Asysyariah
Asysyariah

kisah bani israil dan sapi betina

4 tahun yang lalu
baca 15 menit
Kisah Bani Israil dan Sapi Betina

Samiri telah merasakan buah dari kejahatan dan kesesatannya di dunia. Seumur hidupnya, dia selalu berkata kepada orang lain, “Jangan sentuh aku.” Sebab, setiap kali tubuhnya disentuh, dia akan merasa seperti terbakar. Itulah hukuman bagi orang-orang yang melakukan kesyirikan, bahkan mengajak orang lain kepadanya.

Baca juga: Bani Israil Menyembah Anak Sapi

Menurut para ulama, kisah ini terjadi setelah dihancurkannya patung anak sapi yang disembah oleh sebagian besar Bani Israil yang menyertai Nabi Musa alaihis salam. Hal itu menunjukkan dengan jelas, betapa rendahnya sesuatu yang mereka sembah selain Allah subhanahu wa ta’ala. Ketika sapi itu masih hidup saja ia sudah tidak berdaya saat akan disembelih, terlebih jika ia hanyalah sebuah benda mati yang tuli dan bisu.

Mungkin—wallahu a’lam—kisah penyembelihan sapi betina ini adalah salah satu bentuk rahmat dan karunia Allah subhanahu wa ta’ala kepada Bani Israil. Dengan memerintahkan mereka untuk menyembelih seekor sapi betina ini, sisa-sisa pengaruh kesyirikan dan kesesatan yang pernah mereka lakukan akan hilang. Keyakinan mereka bahwa hanya Allah subhanahu wa ta’ala yang berhak disembah pun akan semakin kukuh.

Kisah ini—secara lengkap dan detail—bersumber dari sebagian cerita Israiliyat. Akan tetapi, kisah ini termasuk kisah yang boleh diriwayatkan, meskipun kebenaran ataupun kebatilannya tidak dapat kita pastikan secara mutlak.

Baca juga: Menyikapi Riwayat Israiliyat

Oleh sebab itu, kisah ini (dan kisah-kisah Israiliyat lainnya) harus dirujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Jika kisah tersebut sesuai dengan keduanya, berarti ia adalah kisah yang benar adanya. Namun, jika ia tidak sesuai, ia adalah kisah batil yang harus ditolak.

Adapun riwayat yang menceritakan secara detail mengenai kisah mereka dan sampai kepada kita, ia (kisah tersebut) disebutkan melalui as-Suddi, Abul Aliyah, dan Abidah as-Salmani rahimahumullah. Riwayat-riwayat ini dikeluarkan oleh para imam kaum muslimin, seperti Ibnu Jarir ath-Thabari, Ibnu Abi Hatim, Ibnul Mundzir, dan al-Baihaqi rahimahumullah.

Awal Kejadian

Alkisah—menurut riwayat-riwayat tersebut—di zaman dahulu, ketika Bani Israil masih hidup bersama Nabi Musa alaihis salam, hiduplah seorang hartawan dengan kekayaan yang berlimpah. Hartawan tersebut tidak memiliki anak yang akan mewarisi hartanya. Namun, ia masih memiliki kerabat yang akan mewarisi hartanya apabila dia meninggal dunia.

Pada suatu hari, hartawan itu ditemukan terbunuh. Jenazahnya tergeletak di depan rumah salah seorang penduduk desa. Keesokan harinya, sang kerabat mendatangi desa tersebut dan melihat jenazah hartawan itu—yang tidak lain adalah pamannya sendiri. Ia segera menjerit dan meratap. Dia memandangi orang-orang di sekitarnya dan menuduh bahwa merekalah yang membunuh pamannya. Tentu saja mereka mengingkarinya; situasi pun memanas.

Baca juga: Pelajaran Penting untuk Para Hartawan

Keributan yang berujung pada perkelahian hampir saja terjadi, hingga salah seorang dari mereka, yang terkenal akan kepandaiannya, berusaha menengahi mereka. “Untuk apa kalian berkelahi dan saling membunuh? Bukankah di tengah-tengah kita ada utusan Allah, Musa alaihis salam? Mari kita menanyakan urusan ini kepada beliau.”

Mereka segera menemui Nabi Musa alaihis salam dan menceritakan apa yang baru saja terjadi. Nabi Musa alaihis salam pun berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan meminta petunjuk tentang kejadian tersebut. Kemudian, Allah subhanahu wa ta’ala mewahyukan agar menyampaikan kepada Bani Israil, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memerintah mereka untuk menyembelih seekor sapi.

Rasa heran menyelimuti mereka. Nabi Musa alaihis salam tidak menyebutkan pelakunya, tetapi justru menyuruh mereka untuk menyembelih seekor sapi. “Apakah kamu hendak menjadikan kami sebagai bahan ejekan?” tanya mereka.

“Aku berlindung kepada Allah (jangan sampai aku) termasuk orang-orang yang jahil (bodoh),” kata Nabi Musa alaihis salam.

Kemudian mereka bertanya kepada beliau, “Berapa usia sapi itu?”

“Tidak muda, tidak pula tua.  Pertengahan di antara keduanya. Sekarang, kerjakanlah apa yang telah diperintahkan kepada kalian!” titah beliau. 

Namun, mereka masih juga bertanya, “Apa warna sapi itu?” 

“Kuning tua dan enak dipandang,” kata beliau.

Mereka kembali bertanya, “Bagaimana keadaan sapi itu? Semoga kami mendapatkan petunjuk, insya Allah.”

“Sapi itu tidak pernah digunakan untuk membajak sawah, memberi minum tanaman, dan ia juga bersih dari cacat,” kata beliau menerangkan.

“Sekarang, barulah engkau telah menerangkannya dengan gamblang,” jawab mereka.

Baca juga: Nabi Musa Menerima Taurat

Setelah mendapatkan jawaban dari Nabi Musa alaihis salam, mereka berkeliling mencari sapi yang dimaksud.

Inilah kesalahan mereka. Seandainya mereka langsung mengerjakan perintah Allah subhanahu wa ta’ala yang disampaikan oleh Nabi Musa alaihis salam, tentu mereka tidak akan dibuat susah untuk mencarinya.

Ketika mereka hampir putus asa mencari sapi yang dimaksud, mereka tiba di sebuah desa. Di sana ada seorang anak yatim yang hidup sederhana bersama ibunya. Ayahnya meninggal ketika ia masih kecil. Sebelum meninggal dunia, sang ayah pernah berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar Dia menjaga sapinya. Sebab, hanya itulah kekayaan yang dimilikinya.

Sapi itu dibiarkan begitu saja, tidak dilatih bekerja apa pun. Kulit sapi itu berwarna kuning tua. Bersih, tanpa warna lain sedikit pun; tidak tua dan tidak pula muda. Benar-benar seperti yang diterangkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala. Begitu melihat sapi tersebut, mereka segera mendekati dan menawarnya.

Baca juga: Adab Jual Beli

Ternyata, anak yatim itu tidak ingin menjualnya dengan harga normal. Mereka terpaksa kembali menemui Nabi Musa alaihis salam dan mengadukan hal itu kepada beliau. Keadaan ini seolah adalah hukuman atas sikap mereka yang enggan bersegera menjalankan perintah. Akhirnya, mereka harus rela menuruti harga yang ditetapkan oleh anak itu, yaitu emas sebanyak yang menutupi kulit sapi tersebut. Dengan terpaksa, mereka pun membelinya.

Sapi tersebut kemudian dibawa ke hadapan Nabi Musa alaihis salam. Beliau memerintahkan agar sapi itu disembelih dan salah satu anggota tubuhnya dipukulkan ke jenazah tersebut. Dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala, jenazah itu hidup kembali. Nabi Musa alaihis salam bertanya kepadanya, “Siapa yang telah membunuhmu?”

“Dia ini,” kata orang itu sambil menunjuk ke arah kerabatnya, dan kemudian kembali menjadi mayat.

Ternyata, pelaku pembunuhan itu adalah kerabatnya sendiri. Akan tetapi, mereka malah mengingkarinya, “Demi Allah! Kami tidak membunuhnya.” Demikianlah watak Bani Israil, bahkan sampai saat ini.

Itulah cerita yang dinukilkan oleh para ulama kaum muslimin dari ahli kitab.

Baca juga: Kelancangan Ahlul Kitab Terhadap Kitab Suci-Nya

Secara umum, kisah ini diabadikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala di dalam al-Quranul Karim. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَإِذۡ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوۡمِهِۦٓ إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تَذۡبَحُواْ بَقَرَةً قَالُوٓاْ أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًاۖ قَالَ أَعُوذُ بِٱللَّهِ أَنۡ أَكُونَ مِنَ ٱلۡجَٰهِلِينَ ٦٧

Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, Allah memerintahkan kamu agar menyembelih seekor sapi betina. Mereka bertanya, ‘Apakah engkau akan menjadikan kami sebagai ejekan?’ Dia (Musa) menjawab, ‘Aku berlindung kepada Allah agar tidak termasuk orang-orang yang bodoh.’

قَالُواْ ٱدۡعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّن لَّنَا مَا هِيَۚ قَالَ إِنَّهُۥ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لَّا فَارِضٌ وَلَا بِكۡرٌ عَوَانُۢ بَيۡنَ ذَٰلِكَۖ فَٱفۡعَلُواْ مَا تُؤۡمَرُونَ ٦٨

Mereka berkata,Mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami tentang (sapi betina) itu. Dia (Musa) menjawab, ‘Dia (Allah) berfirman, bahwa sapi betina itu tidak tua dan tidak muda, (tetapi) pertengahan antara itu. Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepada kalian!’

قَالُواْ ٱدۡعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّن لَّنَا مَا لَوۡنُهَاۚ قَالَ إِنَّهُۥ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ صَفۡرَآءُ فَاقِعٌ لَّوۡنُهَا تَسُرُّ ٱلنَّٰظِرِينَ ٦٩

Mereka berkata, ‘Mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami apa warnanya.’ Dia (Musa) menjawab, ‘Dia (Allah) berfirman, bahwa (sapi) itu adalah sapi betina yang kuning tua warnanya, yang menyenangkan orangorang yang memandang(nya).

قَالُواْ ٱدۡعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّن لَّنَا مَا هِيَ إِنَّ ٱلۡبَقَرَ تَشَٰبَهَ عَلَيۡنَا وَإِنَّآ إِن شَآءَ ٱللَّهُ لَمُهۡتَدُونَ ٧٠

Mereka berkata, Mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami tentang (sapi betina) itu. (Karena) sesungguhnya sapi itu belum jelas bagi kami, dan jika Allah menghendaki, niscaya kami mendapat petunjuk.’

Baca juga: Berlindung dari Kebinasaan Ahlul Kitab (bagian ke-2)

قَالَ إِنَّهُۥ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لَّا ذَلُولٌ تُثِيرُ ٱلۡأَرۡضَ وَلَا تَسۡقِي ٱلۡحَرۡثَ مُسَلَّمَةٌ لَّا شِيَةَ فِيهَاۚ قَالُواْ ٱلۡـَٰٔنَ جِئۡتَ بِٱلۡحَقِّۚ فَذَبَحُوهَا وَمَا كَادُواْ يَفۡعَلُونَ ٧١

Dia (Musa) menjawab, ‘Dia (Allah) berfirman, (sapi) itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak (pula) untuk mengairi tanaman, sehat, dan tanpa belang.’ Mereka berkata, ‘Sekarang barulah engkau menerangkan (hal) yang sebenarnya. Lalu mereka menyembelihnya, dan nyaris mereka tidak melaksanakan (perintah) itu.

وَإِذۡ قَتَلۡتُمۡ نَفۡسًا فَٱدَّٰرَٰٔتُمۡ فِيهَاۖ وَٱللَّهُ مُخۡرِجٌ مَّا كُنتُمۡ تَكۡتُمُونَ ٧٢

Dan (ingatlah) ketika kamu membunuh seseorang, lalu kamu tuduh-menuduh tentang itu. Tetapi Allah menyingkapkan apa yang kamu sembunyikan.

فَقُلۡنَا ٱضۡرِبُوهُ بِبَعۡضِهَاۚ كَذَٰلِكَ يُحۡيِ ٱللَّهُ ٱلۡمَوۡتَىٰ وَيُرِيكُمۡ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ٧٣

Lalu Kami berfirman, Pukullah (mayat) itu dengan bagian dari (sapi) itu! Demikianlah Allah menghidupkan (orang) yang telah mati, dan Dia memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan-Nya) agar kamu mengerti.” (al-Baqarah: 67—73)

Baca juga: Kisah Bani Israil dan Ganimah

Inilah kisah mereka yang dipaparkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, dan ini pasti benar. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ

“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya,” yakni ingatlah, wahai Bani Israil, ketika Musa berkata kepada kaumnya (firman Allah subhanahu wa ta’ala),

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تَذْبَحُوا بَقَرَةً

Allah memerintahkan kamu agar menyembelih seekor sapi betina.

Dalam ayat ini, Nabi Musa alaihis salam menerangkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala lah yang memerintahkan mereka untuk menyembelih seekor sapi betina, bukan beliau. Semestinya yang mereka lakukan ialah bersegera mengerjakan perintah tersebut, bukan malah membantahnya. 

Namun, apa yang terjadi? Mereka justru mengucapkan kata-kata yang tidak beradab kepada Nabi yang mulia ini, (sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala),

إِقَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا

Apakah engkau akan menjadikan kami sebagai ejekan?

Subhanallah. Mengapa mereka harus meragukan perintah Allah Yang Maha Mengetahui? Seolah-olah, dengan pernyataan ini, mereka merasa ragu; bagaimana mungkin dengan menyembelih seekor sapi, pertikaian di antara mereka akan hilang dan pelaku pembunuhan itu akan segera diketahui?

Inilah kebiasaan mereka hingga saat ini, yang selalu menilai segala sesuatunya dengan akal dan materi. Sok logis. Apakah mereka lupa, bagaimana Allah Yang Mahakuasa membelah laut menjadi dua belas jalan yang bisa dilalui oleh setiap kabilah Bani Israil? Padahal peristiwa ini belum lama terjadi.

Baca juga: Bani Israil Melintasi Laut Merah

Mereka juga sudah melihat sendiri beberapa kejadian luar biasa selama hidup bersama Nabi Musa alaihis salam. Lebih dari itu, mengolok-olok orang lain adalah perbuatan orang yang tidak berakal atau kurang akalnya. Para nabi Allah alaihis salam adalah manusia yang paling jauh dari perilaku ini.

Oleh sebab itu, Nabi Musa alaihis salam berkata (sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala),

أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ

Aku berlindung kepada Allah agar tidak termasuk orang-orang yang bodoh.

Seakan-akan Nabi Musa alaihis salam hendak mengatakan, “Aku berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari berucap atas nama Allah subhanahu wa ta’ala, mengenai sesuatu yang tidak diwahyukan kepadaku.” 

Selain itu, orang yang berakal tentu akan mengakui bahwa meremehkan agama dan akal, serta mengolok-olok manusia adalah aib yang buruk, meskipun dia diberi kelebihan daripada orang lain. Wallahul muwaffiq.

Kata بَقَرَةً (seekor sapi betina) pada ayat 67 ini berbentuk nakirah, dalam susunan kalimat mutsbat (positif). Dengan demikian, pengertiannya bersifat mutlak; tidak ditentukan jenis, umur, warna, atau sifat lainnya.

Artinya, sapi betina mana pun yang akan mereka sembelih, itu sudah cukup. Persoalan pun akan selesai dengan segera. Akan tetapi, apa yang terjadi? Mereka justru mempersulit diri sendiri, maka Allah subhanahu wa ta’ala pun semakin mempersulit urusan mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّن لَّنَا مَا هِيَ

Mereka berkata,Mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami tentang (sapi betina) itu.’” (al-Baqarah: 68)

Baca juga: Sebab Penyimpangan

Nabi Musa alaihis salam pun berkata kepada mereka—sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لَّا فَارِضٌ وَلَا بِكْرٌ عَوَانٌ بَيْنَ ذَٰلِكَۖ فَافْعَلُوا مَا تُؤْمَرُونَ

Dia (Allah) berfirman, bahwa sapi betina itu tidak tua dan tidak muda, (tetapi) pertengahan antara itu. Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepada kalian!”

Dalam ayat ini, kembali Nabi Musa alaihis salam menyebutkan bahwa yang menentukan kriteria sapi itu adalah Allah subhanahu wa ta’ala sendiri. Seharusnya mereka segera bergerak mencari sapi dengan kriteria tersebut karena ia masih mudah didapatkan.

Sekali lagi, lihat apa yang mereka lakukan? Mereka justru mempersulit diri sendiri dan tidak segera menjalankan perintah tersebut. Wallahul musta’an.

Mereka berkata—sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّن لَّنَا مَا لَوْنُهَا

Mereka berkata, Mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami apa warnanya.’” (al-Baqarah: 69)

Mereka semakin mempersulit diri sendiri dengan menanyakan warnanya. Perintah pertama sebetulnya sudah cukup jelas, bahkan Nabi Musa alaihis salam telah mengingatkan mereka agar tidak menyanggahnya. Namun, Nabi Musa alaihis salam tetap menjawab—sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ صَفْرَاءُ فَاقِعٌ لَّوْنُهَا تَسُرُّ النَّاظِرِينَ

“Dia (Allah) berfirman, bahwa (sapi) itu adalah sapi betina yang kuning tua warnanya, yang menyenangkan orangorang yang memandang(nya).(al-Baqarah: 69)

Baca juga: Bani Israil Terdampar di Padang Tiih (bagian 1)

Beliau tetap menerangkan bahwa keadaan sapi itu benar-benar dari Allah subhanahu wa ta’ala. Warna yang disebutkan adalah warna sapi yang paling bagus. Mereka mulai beranjak, tetapi kembali mempersulit diri dengan bertanya—sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّن لَّنَا مَا هِيَ إِنَّ الْبَقَرَ تَشَابَهَ عَلَيْنَا وَإِنَّا إِن شَاءَ اللَّهُ لَمُهْتَدُونَ

Mereka berkata, Mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami tentang (sapi betina) itu. (Karena) sesungguhnya sapi itu belum jelas bagi kami, dan jika Allah menghendaki, niscaya kami mendapat petunjuk.’” (alBaqarah: 70)

Seolah-olah, menurut mereka, sapi yang telah diterangkan itu masih belum jelas. Mereka ingin sapi yang dimaksud sudah tidak samar lagi sifat-sifatnya, dan mereka pun kembali bertanya.

Seandainya mereka tidak mengucapkan “Insya Allah,” niscaya mereka akan tetap kebingungan mengenai sapi yang dimaksud tersebut. Nabi Musa alaihis salam menjawab— sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لَّا ذَلُولٌ تُثِيرُ الْأَرْضَ وَلَا تَسْقِي الْحَرْثَ

“Dia (Musa) menjawab, ‘Dia (Allah) berfirman, (sapi) itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak (pula) untuk mengairi tanaman,’” karena sapi itu dibiarkan dalam keadaan liar; tidak dilatih untuk bekerja.

مُسَلَّمَةٌ لَّا شِيَةَ فِيهَا

“Sehat, dan tanpa belang,” yang mencampuri warna kuning tua tersebut.

Setelah mendapat keterangan ini, mereka berkata—sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

قَالُوا الْآنَ جِئْتَ بِالْحَقِّۚ فَذَبَحُوهَا وَمَا كَادُوا يَفْعَلُونَ

Mereka berkata ‘Sekarang barulah engkau menerangkan (hal) yang sebenarnya.’ Lalu mereka menyembelihnya, dan nyaris mereka tidak melaksanakan (perintah) itu.”

Perkataan mereka yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala ini menunjukkan seolah-olah—menurut mereka—penjelasan Nabi Musa alaihis salam sejak awal tidak lengkap dan tidak benar. Mahasuci Allah.

Baca juga: Bagaimana Beriman kepada Nabi dan Rasul?

Di awal, mereka mengira Nabi Musa alaihis salam mempermainkan dan membodohi mereka, padahal mereka mendengar bahwa perintah yang disebutkan oleh beliau alaihis salam itu berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala. Kemudian, ternyata justru mereka sendiri yang meminta Nabi Musa untuk berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar Dia subhanahu wa ta’ala menerangkan sifat sapi tersebut.

Sebetulnya, satu sifat saja (dari sapi tersebut) yang mereka tanyakan sudah cukup. Inilah sebabnya Nabi Musa alaihis salam memperingatkan mereka agar tidak menyanggah perintah tersebut, dan hendaknya segera dikerjakan. Akan tetapi, itulah kebiasaan Bani Israil sampai saat ini. Akibat pembangkangan mereka itu, hampir saja mereka tidak menyembelih sapi yang sudah ditemukan.

Pada awal kisah, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ

“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya,” yakni ingatlah, wahai bani Israil, ketika Musa berkata kepada kaumnya (firman Allah subhanahu wa ta’ala),

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تَذْبَحُوا بَقَرَةً

Allah memerintah kamu agar menyembelih seekor sapi betina.

Namun, Allah subhanahu wa ta’ala belum menerangkan sebabnya. Seakan-akan Dia hendak memancing rasa penasaran orang-orang yang mau memperhatikan agar mereka menunggu dan membacanya dengan saksama hingga selesai. Wallahu a’lam.

Baca juga: Pelajaran dari Kisah Nabi Nuh

Kemudian, pada bagian akhir kisah ini Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَإِذْ قَتَلْتُمْ نَفْسًا فَادَّارَأْتُمْ فِيهَا  وَاللَّهُ مُخْرِجٌ مَّا كُنتُمْ تَكْتُمُونَ ٧٢ فَقُلْنَا اضْرِبُوهُ بِبَعْضِهَاۚ كَذَٰلِكَ يُحْيِي اللَّهُ الْمَوْتَىٰ وَيُرِيكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ ٧٣

Dan (ingatlah) ketika kamu membunuh seseorang, lalu kamu tuduh-menuduh tentang itu. Tetapi Allah menyingkapkan apa yang kamu sembunyikan. Lalu Kami berfirman, Pukullah (mayat) itu dengan bagian dari (sapi) itu! Demikianlah Allah menghidupkan (orang) yang telah mati, dan Dia memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan-Nya) agar kamu mengerti.”  (al-Baqarah: 72—73)

Ayat yang mulia ini menjelaskan peristiwa yang sebetulnya terjadi, yang membuat mereka diperintah untuk menyembelih seekor sapi. Dalam ayat ini pula, seakan-akan Dia hendak menerangkan kepada kaum mukminin, tentang sifat dan watak orang-orang Yahudi terhadap perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Semua ini diceritakan agar kaum mukminin tidak meniru mereka, dan binasa seperti mereka.

Setelah sapi itu disembelih, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan agar memukulkan bagian dari anggota tubuh sapi itu ke tubuh mayat yang mereka perselisihkan pembunuhnya. Allah subhanahu wa ta’ala tidak menerangkan bagian tubuh mana yang harus dipukulkan kepada mayat tersebut. Sebab, itu bukan urusan kita dan tidak ada faedahnya.

Begitu pula dengan pemaparannya, tidak dipaparkan secara lengkap sebagaimana yang dinukil oleh para ulama kaum muslimin, adalah karena tidak banyak faedahnya. Kami menukilkannya di sini untuk memudahkan alur ceritanya karena cerita ini begitu dikenal kaum muslimin. Bagaimanapun, kalam Allah subhanahu wa ta’ala adalah yang paling jelas dan paling benar.

(insya Allah bersambungAkhir Peristiwa dan Beberapa Faedah)

 

Ditulis oleh Ustadz Abu Muhammad Harits