Bulan Januari 2020 ini dunia dikejutkan dengan berbagai berita tentang wabah virus Corona yang sangat menakutkan. Kabarnya, virus ini bereaksi dengan sangat cepat. Ketika terjangkiti virus ini, seseorang bisa mengalami kematian dalam waktu singkat. Dahsyat.
Lantas, bagaimana kita menghadapinya? Adakah tuntunan dari agama kita dalam menghadapi ancaman penyakit semacam ini?
Jawabannya: Ada. Agama kita adalah agama yang sempurna, menjawab segala tantangan kehidupan.
Perhatikan kisah berikut.
Sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma menceritakan bahwa Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah bepergian menuju Syam. Ketika tiba di Sargha, beliau bertemu dengan para panglima pasukan, yaitu Abu Ubaidah bersama para sahabatnya. Mereka mengabarkan bahwa negeri Syam sedang terserang wabah.
Umar bin al-Khaththab lalu berkata, “Panggilkan untukku orang-orang Muhajirin yang pertama kali berhijrah!”
Setelah mereka datang, beliau bermusyawarah dengan mereka dan memberitahukan bahwa negeri Syam sedang terserang wabah.
Mereka pun berselisih pendapat. Sebagian dari mereka berkata, “Anda telah keluar untuk suatu keperluan; kami berpendapat bahwa Anda tidak perlu mengurungkan niat.”
Sebagian yang lain berkata, “Anda sedang bersama rombongan dan beberapa sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam; kami berpendapat agar Anda tidak menghadapkan mereka pada wabah ini.”
“Keluarlah kalian!” perintah beliau. “Panggilkan untukku orang-orang Anshar!”
Mereka pun dipanggil. Setelah itu, beliau bermusyawarah dengan mereka. Ternyata keadaan mereka sama seperti halnya orang-orang Muhajirin; mereka berbeda pendapat.
Umar berkata, “Keluarlah kalian! Panggilkan untukku siapa saja di sini yang dahulu menjadi tokoh Quraisy dan telah berhijrah ketika Fathu Makkah.”
Mereka pun dipanggil dan tidak ada yang berselisih. Mereka berkata, “Kami berpendapat agar Anda kembali membawa rombongan Anda dan tidak menghadapkan mereka pada wabah ini.”
Umar kemudian berseru kepada orang-orang, “Sesungguhnya aku akan pulang pada pagi hari. Bangunlah kalian pada pagi hari!”
Abu Ubaidah bin al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu bertanya, “Apakah Anda akan lari dari takdir Allah?”
“Kalau saja bukan engkau yang mengatakannya, wahai Abu Ubaidah!” jawab Umar.
“Ya, kami lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain. Bagaimana pendapatmu, jika engkau memiliki unta kemudian tiba di suatu lembah yang mempunyai dua daerah, yang satu subur dan yang lainnya gersang. Tahukah engkau, jika engkau membawanya ke tempat yang subur, engkau telah membawanya dengan takdir Allah?! Begitu pula ketika engkau membawanya ke tempat yang kering, bukankah engkau membawanya dengan takdir Allah juga?”
Kemudian Abdurrahman bin Auf datang. Dia tidak hadir dalam musyawarah sebelumnya karena ada keperluan. Dia berkata, “Saya memiliki kabar tentang hal ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda,
‘Jika kalian mendengar suatu negeri terjangkit wabah, janganlah kalian menuju ke sana. Namun, jika suatu wabah menjangkiti suatu negeri dan kalian sedang berada di dalamnya, janganlah kalian keluar dan lari darinya.”
“Umar pun memuji Allah dan pergi.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5288)
Dalam kisah di atas, Islam memberi solusi: apabila suatu daerah terkena wabah, tempat itu diisolasi. Orang yang berada di luar tidak boleh masuk dan yang berada di dalam tidak boleh keluar darinya. Inilah solusi Islam sejak kedatangannya 1441 tahun yang lalu.
Islam juga memberi solusi pencegahan sebelum terjadinya penyakit yang dikhawatirkan, yaitu dengan berbagai upaya yang mungkin dilakukan dan tidak bertentangan dengan syariat.
Di antaranya adalah dengan memberikan vaksin—apabila telah ada vaksin yang menangkalnya; mengonsumsi ramuan yang menguatkan antibodi pada tubuh kita; dan melakukan usaha-usaha perlindungan yang nyata, seperti memakai masker, memakai kaos tangan dan menjaga sterilisasi keduanya, mencuci tangan dengan sabun setelah memegang sesuatu yang dikhawatirkan bisa menjadi media penularan, menjaga jarak komunikasi dengan pihak lain, dan sebagainya.
Di antara contoh konkretnya, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari kita untuk memakan kurma Madinah agar terhindar dari serangan sihir.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan,
“Tidak mengapa memakai obat apabila dikhawatirkan terkena suatu wabah penyakit atau sebab-sebab lain yang dikhawatirkan bisa menimbulkan penyakit. Tidak mengapa menggunakan obat untuk mencegah penyakit yang dikhawatirkan. Hal ini berdasarkan hadits Nabi yang sahih,
مَنْ تَصَبَّحَ بِسَبْعِ تَمَرَاتٍ مِنْ تَمْرِ الْمَدِينَةِ لَمْ يَضُرَّهُ سِحْرٌ وَلَا سُمٌّ
“Barang siapa pada waktu pagi memakan tujuh butir kurma Madinah, dia tidak akan diserang oleh sihir dan racun.”
Ini termasuk dalam tindakan preventif, mencegah penyakit sebelum terjadinya. Demikian pula apabila dikhawatirkan terjadi suatu penyakit lalu dilakukan vaksinasi untuk mencegah terjadinya wabah di suatu negeri atau di tempat mana saja, hal ini tidak mengapa. Ini termasuk dalam tindakan pencegahan.”
Islam juga mengajarkan optimisme bahwa akan ada obat bagi penyakit tersebut. Sebab, seorang muslim berkeyakinan bahwa tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit kecuali Dia akan menurunkan obatnya pula.
Kalaupun belum diketahui ada vaksin atau obat penawarnya, tidak berarti bahwa penyakit itu tidak ada obatnya. Tentu saja berbeda antara ‘belum ditemukan’ dan ‘tidak ada’.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يُنْزِلْ دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ
“Sesungguhnya tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit kecuali Dia menurunkan obatnya pula. Ada orang yang mengetahuinya dan ada pula yang tidak mengetahuinya.” (Sahih, HR. Ahmad, dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah no. 451)
Islam memberikan harapan bagi yang terkena wabah bahwa hal itu akan menjadi penebus dosa dan akan mengangkat derajatnya. Maka dari itu, seorang muslim yang hidup di daerah wabah tidak perlu panik dan takut secara berlebihan. Dia harus bersabar menghadapi segala ujian. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَّهُ كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ، فَجَعَلَهُ اللَّهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ، فَلَيْسَ مِنْ عَبْدٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ فَيَمْكُثُ فِى بَلَدِهِ صَابِرًا، يَعْلَمُ أَنَّهُ لَنْ يُصِيبَهُ إِلاَّ مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ، إِلاَّ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيدِ
“Tha’un merupakan suatu azab yang Allah turunkan kepada siapa yang Allah kehendaki, lalu Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi kaum mukminin. Maka dari itu, tidaklah seorang hamba yang terkena tha’un lantas dia tetap bersabar di daerah tersebut dan yakin bahwa dia hanya akan tertimpa sesuatu yang telah Allah takdirkan untuknya, kecuali diia akan mendapat pahala seperti (pahala) orang yang syahid.” (Sahih, HR. al-Bukhari)
Islam mengajari umatnya agar berdoa kepada Allah supaya terhindar dari penyakit. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan sebuah doa,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَالْأَهْوَاءِ وَالْأَدْوَاءِ
“Ya Allah, aku berlindung kepada–Mu dari akhlak, amal, hawa nafsu, dan penyakit yang mungkar.” (HR. at-Tirmidzi, ath-Thabarani, dan al-Hakim, dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 2178)
Islam mengajari kita agar selalu taat kepada Allah dalam segala hal dan yakin bahwasanya aturan Allah akan membawa maslahat dan mencegah mudarat, termasuk dalam hal makanan dan minuman. Pilihlah makanan dan minuman yang halal, hindari yang haram. Hal ini mengingat bahwa diperkirakan di antara penyebab virus Corona adalah mengonsumsi ular dan hewan-hewan selain hewan piaraan. Apabila hal ini benar, seorang yang beriman akan bertambah keimanannya bahwa tidaklah Allah mengharamkan sesuatu kecuali karena bermudarat.
Setelah berbagai usaha dilakukan, Islam menganjurkan agar bertawakal kepada Allah. Dia-lah yang menentukan segala sesuatu. Dia-lah yang Mahabijaksana dalam segala ketetapan-Nya. Dia-lah yang menetapkan hikmah pada setiap kejadian yang ditetapkan-Nya.
Masjid ar-Rasul, Thaibah.
04 Jumada ats-Tsani 1441 H (29 Januari 2020 M)