Kaum muslimin (baca: para sahabat) telah berijma’ bahwa khalifah pertama pengganti Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Bakr Ash-Shiddiq. Namun ada sekelompok orang yang mengaku sebagai muslimin, tidak menerima keadaan ini. Orang-orang yang mengaku sebagai pecinta Ahlul Bait ini mengklaim bahwa Ali bin Abi Thalib lebih berhak menjadi khalifah dibanding Abu Bakr Ash-Shiddiq. Mereka adalah orang-orang Syi’ah. Uraian berikut mencoba membongkar berbagai kebohongan yang menjadi pijakan sikap mereka.
Ahlul Bait Mengakui Keabsahan Khilafah Abu Bakr ash-Shiddiq
Syubhat terbesar kaum Syi’ahadalah meragukan keabsahankhilafah Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu. Mereka menganggap dibai’atnyaAbu Bakr radhiallahu ‘anhu adalah tidak sah. Sebab,Ali dan keluarganya atau Ahlul Bait tidak diajak musyawarah, padahal Ali lebih berhak menjadi khalifah daripada Abu Bakr atau Umar radhiallahu ‘anhum.
Demikianlah syubhat Syi’ah yang mereka embuskan di mana-mana. Kalimat yang sama dari tokoh Syi’ah yang berbeda-beda. Bagaikan satu kaset yang diputar berulang-ulang.
Pemahaman sesat orang-orang Persia ini selalu mengatasnamakan Ahlul Bait dan menganggap pemahamannya sebagai “mazhab Ahlul Bait”. Karena itu, yang paling mudah terbawa oleh pemahaman Syi’ah ini adalah orang-orang yang mengaku sebagai turunan Ali radhiallahu ‘anhu atau Alawiyin, kecuali yang Allah subhanahu wa ta’ala rahmati.
Ketika disampaikan kepada mereka bahwa Ahlul Bait terzalimi, bangkitlah emosi kekeluargaannya. Padahal apa yang disampaikan oleh kaum Syi’ah—yang merupakan jelmaan kaum Majusi Persia—adalah kedustaan yang nyata dan tidak memiliki bukti yang otentik.
Biasanya mereka mengambil riwayat-riwayat tersebut dari kitab yang paling terkenal di kalangan mereka, Nahjul Balaghah. Kitab itu berisi berbagai ucapan, khutbah dan sya’ir yang semuanya diatasnamakan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu.
Penulis buku tesebut mengesankan bahwa seakan-akan Ali radhiallahu ‘anhu tidak terima dengan keputusan para sahabat memilih Abu Bakr sebagai khalifah. Bahkan, dinukil bahwa Ali mencaci dan mencerca Abu Bakr, Umar, serta yang lain. Akan tetapi, sayang penulis buku tersebut tidak membawakan ucapan-ucapan Ali radhiallahu ‘anhu dengan sanadnya (rantai para rawi). Walhasil, apa yang tertera tidak dapat diperiksa keotentikannya secara ilmiah dengan standar ilmu hadits.
Kitab ini—yang disejajarkan dengan al-Qur’an oleh kaum Syi’ah—ternyata disusun dan dikarang oleh seorang tokoh sesat dari kalangan Syi’ah Imamiyah Rafidhah. Namanya al-Murtadha Abi Thalib Ali bin Husain bin Musa al-Musawi (meninggal 436 H). Dia telah dinyatakan oleh para ulama Ahlus Sunnah sebagai pendusta atas nama Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu.
Al-Imam adz-Dzahabi berkata ketika membahas biografi orang ini, “Dia adalah penghimpun kitab Nahjul Balaghah. Dia menyandarkan kalimat-kalimat yang ada dalam kitab ini kepada al-Imam Ali radhiallahu ‘anhu tanpa menyebut sanad-sanadnya. Sebagian kalimat itu batil, meskipun di dalamnya ada hal yang benar[1]. Namun, ucapan-ucapan palsu yang terdapat dalam kitab ini mustahil diucapkan oleh al-Imam Ali.” (Siyar A’lamin Nubala’, 17/589—590)
Beliau juga berkata, “…Barang siapa melihat buku itu, ia akan yakin bahwa ucapan-ucapan itu adalah dusta atas nama Amirul Mukminin Ali radhiallahu ‘anhu. Sebab, di dalamnya ada caci maki yang sangat jelas terhadap dua tokoh besar sahabat, Abu Bakr dan Umar radhiallahu ‘anhuma.
Selain itu, ada pula ungkapan-ungkapan yang kaku (menurut kaidah sastra Arab -pen.) bagi orang yang mengenal jiwa bangsa Quraisy (dan tingginya bahasa mereka, -pen.) dari kalangan para sahabat. Orang-orang setelahnya akan mengerti dengan yakin bahwa kebanyakan isi kitab tersebut adalah batil.” (Mizanul I’tidal 3/124 Lisanul Mizan, 4/223)
Ibnu Sirin menilai, seluruh yang mereka (kaum Syi’ah) riwayatkan dari Ali radhiallahu ‘anhu adalah kedustaan. (al-’Alamus Syamikh, hlm. 237)
Al-Khathib al-Baghdadi dalam kitabnya, al-Jami’ Li Akhlaqir Rawi wa Adabis Sami’ (2/161), juga mengisyaratkan kedustaan kandungan kitab ini. Syaikhul Islam berkata, “… Sebagian besar khutbah-khutbah yang dinukil penyusun kitab Nahjul Balaghah adalah dusta atas nama Ali radhiallahu ‘anhu. Beliau terlalu mulia dan terlalu tinggi kapasitasnya untuk berbicara dengan ucapan seperti itu. Mereka merekayasa kebohongan dengan menganggap hal itu sebagai sanjungan (terhadap Ali radhiallahu ‘anhu, pent.). Sungguh, itu bukanlah kebenaran, apalagi sanjungan….” (Minhajus Sunnah an-Nabawiyah, 8/55—56)
Para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah telah meriwayatkan dengan sanad—yang telah diteliti kesahihannya secara ilmiah—ucapan-ucapan Ali radhiallahu ‘anhu, yang ternyata bertentangan dengan apa yang mereka riwayatkan. Di antaranya:
Al-Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya sampai Ibnu Sirin dari Ubaidah, ia mendengar Ali radhiallahu ‘anhu mengatakan,
“Putuskanlah sebagaimana kalian putuskan. Sungguh, aku membenci perselisihan, hingga manusia berada dalam satu jamaah atau lebih baik aku mati seperti para sahabatku.” (HR. al-Bukhari Kitab Fadha’il Shahabah Bab Manaqib Ali radhiallahu ‘anhu dengan Fathul Bari 7/424 no. 2707)
Aku bertanya kepada bapakku (yakni Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu), “Siapakah manusia yang terbaik setelah Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam?”
Ia menjawab, “Abu Bakr.”
Aku bertanya (lagi), “Lalu siapa?”
Ia menjawab, “Umar.”
Khawatir ia akan berkata Utsman, maka aku katakan, “Lalu engkau?”
Beliau menjawab, “Tidaklah aku kecuali seorang dari kalangan muslimin.” (HR. al-Bukhari, Kitab Fadha’ilus Shahabah, bab 4 dan Fathul Bari 4/20)
Selain itu, kata beliau, Ali ibnu Abi juga Thalib pernah berbicara di mimbar Kufah, mengancam orang-orang yang mengutamakan beliau di atas Abu Bakr dan Umar dengan cambukan seorang pendusta.
“Tidaklah didatangkan kepadaku seorang yang mengutamakan aku di atas Abu Bakr dan Umar, kecuali akan aku cambuk dengan cambukan seorang pendusta.”
Ketika itu, seorang yang mengatakan beliau lebih utama dari Abu Bakr dan Umar dicambuk 80 kali. (Majmu’ Fatawa, 4/422)
“Sungguh, aku pernah berdiri di kerumunan orang yang bersama-sama mendoakan Umar bin al-Khaththab yang telah diletakkan di atas pembaringannya. Tiba-tiba seseorang dari belakangku yang meletakkan sikunya di kedua pundakku berkata,
‘Semoga Allah merahmatimu (Umar). Aku berharap agar Allah menggabungkanmu bersama dua sahabatmu (yakni Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr). Aku sering mendengar Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Waktu itu aku bersama Abu Bakr dan Umar…’ ‘Aku telah mengerjakan bersama Abu Bakr dan Umar…’, ‘Aku pergi dengan Abu Bakr dan Umar…’. Sungguh, aku berharap semoga Allah menggabungkanmu dengan keduanya.’
Aku pun menengok ke belakang. Ternyata ia adalah Ali bin Abi Thalib.” (HR. al-Bukhari dalam Fadha’ilus Shahabah bab Manaqib Umar bin al-Khaththab, 7/3685, 3677, dengan Fathul Bari)
Syarat Pemimpin adalah Quraisy, Bukan Ahlul Bait
Alasan lain kaum Syi’ah Rafidhah yang menganggap bahwa Ali lebih berhak menjadi khalifah adalah karena Ali termasuk keluarga Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam. Ini seperti alasan Yahudi yang mengatakan bahwa penguasa harus dari keluarga Dawud. Tidak ada satu pun dalil yang menyatakan bahwa kepemimpinan atau khilafah harus dari kalangan Ahlul Bait.
Syarat-syarat seseorang layak menjadi pemimpin sangat jelas dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Di antaranya syarat umum yang harus ada pada seorang pemimpin adalah Islam, baligh, berakal, merdeka (bukan hamba sahaya), laki-laki, dan berilmu.
Ada pula syarat-syarat khusus, yaitu sifat-sifat yang harus ada pada seorang pemimpin, yaitu keadilan, kesempurnaan mental, dan kesempurnaan fisik, seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala tentang Thalut yang Dia angkat menjadi pemimpin,
Nabi mereka mengatakan kepada mereka, “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.”
Mereka menjawab, “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya. Dia pun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?”
Nabi (mereka) berkata, “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.”
Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Allah Mahaluas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 247)
Selain itu, seorang pemimpin harus memiliki kesalehan dan ketakwaan, karena Allah subhanahu wa ta’ala akan mewarisi bumi ini untuk orang-orang yang saleh.
“Sungguh, telah Kami tulis di dalam Zabur, sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwa bumi ini akan diwariskan kepada hamba-hamba-Ku yang saleh.” (al-Anbiya’: 105)
“Allah telah berjanji kepada orang–orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa.
Sungguh, Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka. Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa.
Mereka tetap menyembah-Ku tanpa mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku. Barang siapa (tetap)kafir sesudah (janji) itu, mereka itulah orang-orang yang fasik.” (an-Nur: 55)
Oleh karena itu, ketika Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan Ibrahim sebagai imam, Ibrahim juga meminta keturunannya menjadi pemimpin, Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan bahwa kepemimpinan tidak akan diberikan kepada orang-orang zalim dari keturunannya.
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Rabbnya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.’
Ibrahim berkata, “(Saya mohon juga) dari keturunanku.”
Allah berfirman, “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim.” (al-Baqarah: 124)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata mengutip ucapan Mujahid dalam menafsirkan ayat ini, “Artinya, orang-orang yang saleh di antara mereka, Aku (Allah) akan jadikan sebagai pemimpin. Adapun orang yang zalim dari mereka, Kami tidak akan menjadikannya sebagai pemimpin dan Kami tidak peduli.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/167)
Jadi, kepemimpinan itu didapat bukan karena faktor keturunan, tetapi karena faktor kesalehan.
Di samping itu, sifat yang harus ada agar seseorang layak menjadi pemimpin adalah kesabaran dan keyakinan yang tinggi. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Kami jadikan di antara mereka pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, ketika mereka sabar dan meyakini ayat-ayat Kami.” (as-Sajdah: 24)
Syarat terakhir dari seorang pemimpin adalah Qurasyi (turunan Quraisy). Tentu saja, syarat ini adalah setelah syarat-syarat di atas.
Maka dari itu, kalaupun turunan Quraisy, jika memiliki kekurangan-kekurangan dalam sifat-sifat di atas, ia tidak layak menjadi pemimpin atau khalifah. Namun, jika ada beberapa orang yang memiliki syarat-syarat di atas dan di antara mereka ada seorang turunan Quraisy, tentu saja yang paling layak untuk menjadi seorang pemimpin adalah dari turunan Quraisy.
Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa khalifah itu seluruhnya dari kaum Quraisy. Dari Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhu, ia berkata,
Aku masuk bersama ayahku menemui Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam. Aku mendengar beliau berkata, “Sesungguhnya urusan ini tidak akan lenyap hingga berakhir di antara mereka dua belas khalifah.”
Beliau lalu berbicara dengan ucapan yang tersamar atasku. Aku bertanya kepada ayahku, “Apa yang beliau katakan?”
Ia menjawab, “Seluruhnya dari Quraisy.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Riwayat yang sahih ini jelas menunjukkan bahwa pemimpin tidak harus dari kalangan Ahlul Bait. Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam hanya mengatakan dari Quraisy. Maka dari itu, para ulama semuanya sepakat bahwa syaratnya hanya Qurasyi, baik dari Ahlul Bait maupun bukan.
Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Khilafah ada pada Quraisy, walaupun manusia hanya tersisa dua orang. Tidak seorang pun yang berhak merebutnya dari mereka. Khilafah tidak keluar dari mereka. Kami pun tidak menetapkannya untuk selain mereka, sampai hari kiamat.” (Thabaqat Hanabilah, Ibnu Abi Ya’la; Lihat Imamatul ‘Uzhma, ad-Damiji, hlm. 269)
Demikian pula al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah menetapkan syarat ini dalam kitabnya, al-Umm (1/143)
Al-Imam Malik rahimahullah berkata, “Tidaklah menjadi seorang imam kecuali orang Quraisy.” (Ahkamul Qur’an, Ibnul ‘Arabi, 4/1721; lihat Imamatul ‘Uzhma, hlm. 269)
Tidak ada yang menyelisihi pendapat ini selain beberapa kelompok sempalan, seperti Khawarij, Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Di sisi lain, Syi’ah Rafidhah menyempitkannya dan menganggap bahwa yang dimaksud Quraisy adalah Ahlul Bait.
Orang-orang Syi’ah Rafidhah dari sekte Imamiyah atau Itsna Atsariyyah meyakini bahwa kepemimpinan setelah Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam harus dari kalangan Ahlul Bait, yaitu Ali bin Abi Thalib, kemudian al-Hasan, al-Husain, dan terus kepada turunan al-Husain hingga berakhir pada al-Mahdi al-Muntazhar (al-Mahdi yang ditunggu), yang mereka anggap itu Muhammad bin al-Hasan al-Askari yang sudah lahir dan masuk gua, kemudian ditunggu keluarnya sampai hari ini.
Padahal sekian banyak hadits menyatakan dari Quraisy. Tidak ada satu pun riwayat yang menyatakan dari Ahlul Bait.
Tidak Ada Wasiat Khilafah untuk Ali bin Abi Thalib
Di antara alasan kaum Syi’ah menganggap Ali radhiallahu ‘anhu lebih berhak menjadi khalifah adalah riwayat-riwayat tentang wasiat. Padahal Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam wafat tanpa memberikan wasiat apapun, kepada siapapun, selain al-Qur’an.
Dari Thalhah ibnu Musharrif,
Aku bertanya kepada Abdullah ibnu Abi Aufa, “Apakah Nabi shallalalhu ‘alaihi wa sallam memberikan wasiat?
Beliau menjawab, “Tidak.”
Saya katakan, “Kalau begitu bagaimana beliau menuliskan pesan-pesan atau memerintahkan wasiatnya kepada manusia?”
Dia menjawab, “Beliau mewasiatkan dengan Kitabullah ‘azza wa jalla.” (HR. al-Bukhari; Fathul Bari 5/356, no. 2340; dan Muslim dalam Kitabul Washiyyah 3/1256, hadits ke-16)
Diriwayatkan pula dari Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, istri Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam yang beliau meninggal di pangkuannya, yang tentu lebih tahu apakah Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam berwasiat atau tidak,
“Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam tidak meninggalkan dirham; tidak pula dinar, tidak seekor kambing, tidak pula seekor unta, dan tidak mewasiatkan apa pun.” (HR. Muslim, dalam Kitabul Washiyyah, 3/256, hadits ke-18)
Dalam riwayat lain dari Aswad bin Yazid, dia berkata,
“Mereka menyebut di sisi ‘Aisyah bahwa Ali mendapatkan wasiat.
Aisyah berkata, “Kapan Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepadanya? Padahal aku adalah sandaran beliau ketika beliau bersandar di dadaku – atau pangkuanku – kemudian beliau meminta segelas air, tiba-tiba beliau terkulai di pangkuanku, dan aku tidak merasa ternyata beliau sudah meninggal. Kapan beliau berwasiat kepadanya?” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Demikianlah. Riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam tidak berwasiat ketika wafat sangat banyak, karena itu, para sahabat seluruhnya memahami bahwa wasiat beliau secara umum adalah Al-Qur’an.
Diriwayatkan pula bahwa di antara keluarga Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam, Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menyatakan kekecewaannya, karena beliau shallalalhu ‘alaihi wa sallam tidak sempat berwasiat disebabkan silang pendapat di antara Ahlul Bait.
Sebagian menyatakan, cukup al-Qur’an karena Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam sedang sakit parah. Sebagian yang lain mengharapkan Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam menulis wasiat, hingga datanglah ajal beliau dalam keadaan belum sempat memberikan wasiat. Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata,
“Sungguh, kerugian yang besar adalah terhalangnya Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam untuk menulis wasiat kepada mereka, karena perselisihan dan silang pendapat mereka.” (HR. al-Bukhari dalam Kitabul Maghazi, bab Maradhun Nabi; Fathul Bari, 8/132 no. 4432; Muslim dalam Kitabul Washiyyah, bab Tarkul Wasiat Liman Laisa Lahu Syai’un Yuushi bihi, 3/1259, no. 22)
Terhadap kejadian ini, Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak berburuk sangka kepada para sahabat. Apalagi kepada Ahlul Bait dan keluarga dekat Nabi shallalalhu ‘alaihi wa sallam. Sebab, kedua belah pihak mengharapkan kebaikan.
Sebagian mengharapkan ditulisnya wasiat untuk kebaikan umat. Sebagian keluarga beliau merasa Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam sedang merasakan sakit yang berat sehingga tidak perlu diganggu. Adapun kaum muslimin sudah memiliki al-Qur’an sebagai wasiat Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam.
Sebaliknya, kaum Syi’ah Rafidhah menjadikan riwayat ini sebagai ajang caci maki terhadap para sahabat. Mereka mengira bahwa perbuatan para sahabat itu bertujuan menghalangi wasiat untuk Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan untuk merebut tampuk kepemimpinan, yang lantas diberikan kepada Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu.
Ucapan mereka jelas batil dan dusta. Sebab, Abu Bakr sendiri ketika itu tidak ada di sana. Beliau berada di daerah Sunh di pinggiran kota Madinah, di rumah salah seorang istrinya.
Ucapan mereka ini justru mencerca dan mencela Ahlul Bait sendiri. Sebab, yang berkumpul di sana saat itu kebanyakan adalah keluarga dekat beliau shallalalhu ‘alaihi wa sallam.
Maka dari itu, Syiah mereka tidak pantas disebut pecinta Ahlul Bait. Lihatlah riwayat yang lebih lengkap dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma sebagai berikut.
Ali bin Abi Thalib keluar dari sisi Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam ketika sakit beliau menjelang wafatnya. Manusia berkata, “Wahai Abal Hasan (yakni Ali), bagaimana keadaan Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam?”
Beliau menjawab, “Alhamdulillah, baik.”
Abbas bin Abdil Muththalib (paman Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam) memegang tangan Ali bin Abi Thalib, kemudian berkata, “Engkau, demi Allah, setelah tiga hari akan menjadi orang yang dipimpin. Sungguh, aku mengerti bahwa Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam akan wafat dalam sakitnya ini. Sebab, aku mengenali wajah-wajah anak cucu Abdul Muththalib menjelang wafat. Mari kita menemui Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam untuk menanyakan, kepada siapa urusan ini dipegang? Kalau diserahkan kepada kita, kita mengetahuinya. Kalau pun untuk selain kita, kitapun mengetahuinya dan beliau akan memberikan wasiatnya.”
Ali bin Abi Thalib menjawab, “Demi Allah, sungguh, kalau kita menanyakannya kepada Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam lantas tidak beliau berikan kepada kita, manusia tidak akan memberikan kepada kita selama-lamanya. Dan sungguh, demi Allah aku tidak akan memintanya kepada Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam.” (HR. al-Bukhari, Kitabul Maghazi, bab Maradhun Nabiyyi wa wafatihi; Fathul Bari, 8/142, no. 4447)
Dr. Ali bin Muhammad Nashir al-Faqihi berkata, “Tidak cukupkah nash ini untuk membantah Rafidhah yang mengatakan bahwa Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada Ali bin Abi Thalib dengan khilafah?
Kedustaan mereka jelas dengan hadits ini dari beberapa sisi:
“Bagaimana kita menanyakan untuk siapa urusan ini, padahal beliau telah mewasiatkannya kepadaku?” (al-Imamah war Radd ‘Ala Rafidhah, Abu Nu’aim al-Ashbahani dengan tahqiq Dr. Ali bin Muhammad Nashir al-Faqihi dalam catatan kaki hlm. 237—238; Lihat Badzlul Majhuud Fi Musyabahatir Rafidhah bil Yahuud, 1/191, Abdullah bin Jumaili)
Sungguh, jelas sekali dengan riwayat ini, yang menolak meminta wasiat justru Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu sendiri. Tentusaja, banyak riwayat lain tentang kejadian ini. Memang, ketika itu beberapa hadirin ikut berbicara sehingga suasana menjadi ramai dan berakhir dengan wafatnya Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam tanpa memberi wasiat apa pun tentang khilafah kepada siapa pun.
Bahkan, diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anha, kalau pun Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam memberi wasiat, niscaya beliau akan mewasiatkan penggantinya kepada Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Panggillah Abu Bakr, ayahmu dan saudaramu, sehingga aku tulis satu tulisan (wasiat). Sungguh, aku khawatir akan ada seseorang yang menginginkan (kepemimpinan, -pent.), lantas seseorang berkata, “Aku lebih utama.” Beliau bersabda, “Allah dan orang-orang beriman tidak meridhai selain Abu Bakr.” (HR. Muslim 7/110 dan Ahmad 6/144; Lihat ash-Shahihah, 2/304, hadits no. 690)
Lantas bagaimana bisa kaum Syi’ah menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib mendapatkan wasiat untuk menjadi khalifah setelahnya, ketika di Ghadir Khum?
Mengapa tidak mereka tanyakan kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu sendiri, padahal mereka mengaku pecinta Ahlul Bait?!
Kalau mereka benar-benar cinta kepada Ahlul Bait dan mengaku pengikut setia Ahlul Bait khususnya Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, dengarkanlah riwayat dari beliau dengan sanad yang sahih sebagai berikut.
Diriwayatkan dari Abu Thufail bahwa Ali radhiallahu ‘anhu ditanya, “Apakah Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam mengkhususkanmu dengan sesuatu?”
Ali berkata, “Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam tidak mengkhususkan aku dengan sesuatu pun yang beliau tidak menyebarkannya kepada manusia, selain apa yang ada di sarung pedangku ini.”
Beliau lalu mengeluarkan lembaran dari sarung pedangnya. Tertulis padanya, “Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah….” (HR. Muslim)
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
[1] Ahlul bid’ah biasa mencampurkan kebenaran dengan kebatilan untuk menipu kaum muslimin. Kebenaran yang ada dalam buku tersebut adalah umpan agar kedustaan-kedustaan yang ada di dalamnya bisa diterima. ( pen.)