Istilah Ahlul Bait mungkin terdengar agak asing di telinga sebagian orang. Bisa dimaklumi, mengingat keadaan kaum muslimin yang semakin kurang peduli terhadap agamanya. Padahal ketika seseorang tidak dibimbing secara benar dalam memahami persoalan Ahlul Bait, ia sangat rentan terjatuh pada penyimpangan. Realitas menunjukkan, pemahaman yang keliru terhadap kedudukan Ahlul Bait telah melahirkan banyak kelompok menyimpang.
Seluruh ulama Ahlus Sunnah mengakui keutamaan Ahlul Bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena telah jelas dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan mereka dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Di antaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian. Janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah dahulu. Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai Ahlul Bait dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya.” (al-Ahzab: 33)
Dalil lainnya adalah hadits Ghadir Khum yang diriwayatkan dari Zaid ibnu Arqam,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari pernah berdiri di depan kami berkhutbah di daerah mata air yang bernama Khum[1], antara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah subhanahu wa ta’ala dan menyanjung-Nya. Beliau memberi nasihat dan peringatan.
Beliau berkata, ‘Amma ba’du. Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah manusia biasa yang sebentar lagi akan didatangi utusan Rabbku (malaikat maut) dan aku akan menyambutnya.
Aku tinggalkan di antara kalian dua perkara yang berat. Pertama, Kitab Allah subhanahu wa ta’ala, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Ambillah dengan Kitab Allah subhanahu wa ta’ala ini dan berpeganglah dengannya.”
Zaid berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan dan memberi semangat untuk berpegang dengan kitab Allah subhanahu wa ta’ala.
Kemudian beliau berkata, “Yang kedua Ahlul Baitku. Aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku. Aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku. Aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya dengan syarah an-Nawawi, 15/174—175)
Siapakah Ahlul Bait?
Alangkah baiknya kita mengenal siapa Ahlul Bait yang dimaksud oleh ayat dan hadits di atas.
Para ulama Ahlus Sunnah telah bersepakat bahwa Ahlul Bait adalah keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diharamkan memakan sedekah. Mereka terdiri dari keluarga Ali, keluarga Ja’far, keluarga ‘Aqil, keluarga Abbas, serta para istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan anak-anak mereka.
Diriwayatkan dari Zaid bin Arqam radhiallahu ‘anhu,
Zaid ibnu Arqam radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri di depan kami pada suatu hari sebagai khatib di daerah mata air yang bernama Khum—daerah antara Makkah dan Madinah.
Beliau memuji Allah subhanahu wa ta’ala dan menyanjung-Nya. Beliau memberi nasihat dan memberi peringatan, kemudian berkata, ‘Amma ba’du, wahai manusia, sesungguhnya aku adalah manusia biasa yang sebentar lagi akan datang utusan Rabbku (malaikat maut), dan aku akan menyambutnya.
Aku tinggalkan di antara kalian dua perkara yang berat. Pertama, kitab Allah subhanahu wa ta’ala, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Ambillah kitab Allah subhanahu wa ta’ala ini dan berpeganglah dengannya’.
Zaid berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan dan memberi semangat untuk berpegang dengan kitab Allah subhanahu wa ta’ala.
Kemudian beliau berkata, “Yang kedua Ahlul Baitku. Aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku. Aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku, Aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku.”
Hushain bertanya kepada Zaid, “Siapakah Ahlul Baitnya, wahai Zaid? Bukankah istri-istrinya termasuk Ahlul Bait?”
Zaid radhiallahu ‘anhu menjawab, “Istri-istri beliau termasuk Ahlul Baitnya. Ahlul Bait adalah orang yang diharamkan menerima sedeqah setelah beliau.”
Hushain berkata, “Siapakah (lagi) mereka?”
Zaid menjawab, “Mereka adalah keluarga Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abbas.”
Hushain bertanya lagi, “Apakah mereka semua diharamkan menerima sedekah?”
Zaid menjawab,”Ya.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya dengan Syarh an-Nawawi 15/174—175 no. 6175)
Dari hadits di atas dapat dipahami beberapa kaidah, di antaranya:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada kita untuk memuliakan dan menghormati mereka.
Mereka terdiri dari keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abbas.
Istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Termasuk Ahlul Bait
Dari hadits di atas, kita mengetahui pula bahwa istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah termasuk Ahlul Bait. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mewasiatkan agar kita menghormati dan memuliakan mereka.
Jika kaum Syi’ah konsekuen menghormati Ahlul Bait, seharusnya mereka hormati pula semua keturunan Ja’far, Aqil, dan Abbas, serta para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terutama yang paling beliau cintai, yaitu Aisyah dan Khadijah radhiallahu ‘anhuma.
Hanya saja istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak termasuk yang diharamkan untuk menerima sedekah. Berikut ini penjelasannya.
Pada hadits di atas, ketika Zaid bin Arqam radhiallahu ‘anhu ketika ditanya tentang istriistri Nabi beliau menjawab, “Istri-istri beliau termasuk Ahli Baitnya, tetapi….”.
Adapun dalam hadits berikutnya dalam Shahih Muslim, ketika ditanya tentang siapa yang dimaksud Ahlul Baitnya, apakah istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; Zaid bin Arqam menjawab, “Tidak, Ahlul Baitnya adalah yang tidak boleh menerima sedekah setelahnya.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya dengan Syarh an-Nawawi 15/174—175 no. 6178)
An-Nawawi rahimahullah mengomentari dua lafadz hadits yang tampaknya bertentangan ini, “Ucapan Zaid dalam riwayat di atas, ‘Istri-istri beliau termasuk Ahli Baitnya’ bermakna bahwa istri-istri Nabi termasuk keluarga beliau. Mereka tinggal di rumah beliau. Kita diperintahkan untuk menghormati dan memuliakan mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakannya tsaqalain (sesuatu yang berat dan penting -pen.). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menasihati dan memperingatkan manusia agar memenuhi hak-hak mereka. Istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk dalam semua itu.
Namun, mereka tidak termasuk yang diharamkan untuk memakan sedekah. Inilah yang diisyaratkan pada riwayat pertama, “Istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk Ahli Baitnya, tetapi Ahli Baitnya adalah yang diharamkan menerima sedekah.” (Syarh Shahih Muslim, an-Nawawi, 15/174—175 no. 6178)
Namun, kaum Syi’ah justru mengeluarkan istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Ahlul Bait lantas melecehkannya. Dalil terkuat yang mereka jadikan sandaran adalah hadits dari ‘Umar bin Abi Salamah radhiallahu ‘anhu,
Ketika turun kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ayat Allah, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, hai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” di rumah Ummu Salamah, beliau memanggil Fathimah, Hasan dan Husain. Kemudian beliau menyelimuti mereka dengan selimut (kisa’). ‘Ali berada di belakang beliau, lantas beliau juga menyelimutinya dengan selimut.
Beliau berkata, “Ya Allah, mereka adalah Ahlul Baitku. Hilangkanlah kotoran dari mereka dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya.”
Ummu Salamah berkata, “Apakah aku bersama dengan mereka, ya Nabi Allah?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau tetaplah pada tempatmu dan engkau berada dalam kebaikan.” (HR. at-Tirmidzi no. 3205)
Kaum Syi’ah menganggap, ditolaknya Ummu Salamah masuk dalam selimut menunjukkan bahwa para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak termasuk Ahlul Bait.
Para ulama membantah ucapan mereka di atas sebagai berikut:
Sebab, awal ayat dibuka dengan kalimat,
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain.…” (al-Ahzab: 32)
Kemudian pada ayat berikutnya diakhiri dengan kalimat,
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, hai Ahlul Bait, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya.” (al-Ahzab: 33)
Bahkan, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Asakir dari jalan Ikrimah, Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan ayat ini turun terkait dengan istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ikrimah berkata, “Barang siapa mau, aku akan bermubahalah (saling mendoakan kebinasaan) dengannya bahwa ayat ini turun tentang istri-istri Nabi.” (Lihat Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ at-Tirmidzi, 9/48)
Akan tetapi, ini tidak bertentangan. Sebab, disebutkan dalam hadits di atas bahwa mereka adalah Ahlul Bait juga. (lihat sumber yang sama)
“Apabila kita meneliti secara cermat, tampak perbedaan dhamir yang digunakan dalam ayat tath-hir (وَيُطَهِّرَكُمۡ) dan ayat lastunna (لَسۡتُنَّ) yang ditujukan kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam ayat tath-hir digunakan dhamir jamak untuk laki-laki (kum), sedangkan untuk istri-istri Nabi digunakan dhamir jamak untuk perempuan yang ditandai dengan nun ta’nits (لَسۡتُنَّ). Jadi, penyucian (that-hir) tersebut bukan untuk istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Kita jawab, dhamir jamak untuk laki-laki dalam ayat tath-hir digunakan karena kembalinya kepada kata ‘Ahlul Bait’. Dan kalimat ‘ahli’ dapat dipakai untuk mu’annats (perempuan) dan mudzakar (lelaki). Misalnya, seseorang bertanya, “Kaifa ahluka?” yang dimaksud adalah, “Bagaimana istrimu?”
Ini dapat dipahami oleh orang-orang yang mengerti bahasa Arab dengan dzauqul ‘Arabi. (Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ at-Tirmidzi, al-Imam Muhammad Abdur Rahman bin Abdur Rahim al-Mubarakfuri, 9/48—49)
“Ayat ini mencakup istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencakup pula Ali, Fatimah, al-Hasan, dan al-Husain.
Adapun istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena konteks ayatnya tentang mereka. Selain itu, karena mereka tinggal di rumah-rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun masuknya Ali, Fatimah, al-Hasan, dan al-Husain karena mereka adalah kerabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara nasab. Jadi, siapa yang mengkhususkan ayat ini untuk salah satunya, berarti dia mengabaikan kewajibannya terhadap yang lain. (Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ at-Tirmidzi, 9/49)
Karena telah jelas bahwa ayat ini berbicara tentang istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan Fathimah, Ali, Hasan, dan Husain radhiallahu ‘anhum serta menyatakan bahwa mereka juga Ahlul Bait, walaupun tidak disebut secara jelas dalam ayat di atas.
Keutamaan al-Hasan dan al-Husain
Al-Hasan dan al-Husain adalah putra Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari anak perempuannya, Fathimah radhiallahu ‘anha.
Mereka termasuk kalangan Ahlul Bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memiliki berbagai keutamaan yang besar dan mendapatkan pujian beliau. Di antaranya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya al-Hasan dan al-Husain adalah kesayanganku dari dunia.” (HR. al-Bukhari, at-Tirmidzi, dan Ahmad dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
“Al-Hasan dan al-Husain adalah sayyid (penghulu) para pemuda ahlul jannah.” ( HR. Tirmidzi, Hakim, Thabarani, Ahmad, dll, dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu; dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam ash-Shahihah, hlm. 423, hadits no. 796)
Al-Hasan Lebih Utama Daripada al-Husain
Khusus tentang keutamaan al-Hasan radhiallahu ‘anhu, diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Al-Hasan dariku dan al-Husain dari Ali.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, ath- Thabarani dari Miqdam bin Ma’dikarib; dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam ash-Shahihah, hlm. 450, hadits no. 711)
Dari al-Bara’ bin ‘Azib, dia berkata,
“Aku melihat al-Hasan bin ‘Ali di atas pundak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau bersabda, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku mencintainya, maka cintailah dia’.” (HR. al-Bukhari dengan Fathul Bari, 7/464, hadits no. 3749 dan Muslim dengan Syarh an-Nawawi,15/189, hadits no. 6208)
“Ya Allah, sesungguhnya aku mencintai dia, maka cintailah dia serta cintailah siapa yang mencintainya.” (HR. Muslim dengan Syarh an-Nawawi, 15/188, hadits no. 6206)
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata,
“Tidaklah seorang pun yang lebih mirip dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada al-Hasan bin ‘Ali radhiallahu ‘anhuma.” (HR. al-Bukhari dengan Fathul Bari, 7/464, hadits no. 3752)
Dari Al-Hasan radhiallahu ‘anhu, dia mendengar Abu Bakrah berkata, “Aku mendengar (ceramah) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar, dan al-Hasan di sampingnya. Sesekali, beliau melihat kepada manusia dan sesekali kepada al-Hasan. Beliau bersabda,
“Anakku ini adalah sayyid. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala akan mendamaikan dengannya dua kelompok dari kalangan muslimin.” (HR. al-Bukhari dengan Fathul Bari, 7/463, hadits no. 3746)
Benarlah apa yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas. Setelah ayah beliau, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu terbunuh, sebagian kaum muslimin membai’at beliau, tetapi bukan karena wasiat dari Ali radhiallahu ‘anhu.
Asy-Syaikh Muhibbuddin al-Khathib berkata, diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya (1/130)—setelah disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu akan terbunuh—mereka berkata kepadanya, “Tentukanlah penggantimu bagi kami.”
Beliau menjawab, “Tidak. Aku tinggalkan kalian pada apa yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam….” (Lihat ta’liq kitab al-’Awashim Minal Qawashim, Ibnul Arabi, hlm. 198—199)
Akan tetapi, setelah itu al-Hasan menyerahkan ketaatannya kepada Mu’awiyah untuk mencegah pertumpahan darah di antara kalangan muslimin. Kisah tersebut diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam “Kitab ash-Shulh” dari al-Hasan al-Bashri rahimahullah.
Di akhir hadits, al-Hasan radhiallahu ‘anhu meriwayatkan hadits dari Abu Bakrah bahwa ia berkata, “Aku mendengar (ceramah) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar, dan al-Hasan di sampingnya. Beliau melihat kepada manusia sesekali dan kepadanya sesekali. Beliau bersabda,
“Anakku ini adalah sayyid. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala akan mendamaikan dengannya dua kelompok dari kalangan muslimin.” (HR. al-Bukhari dengan Fathul Bari, 7/463, hadits no. 3746)
Demikianlah keutamaan al-Hasan radhiallahu ‘anhu yang paling besar yang dipuji oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berhasil mempersatukan kaum muslmin, hingga tahun tersebut dikenal dengan tahun jamaah. Kaum muslimin selamat dari pertumpahan darah di antara mereka.
Kekhalifahan Mu’awiyah akhirnya berlangsung dengan persatuan kaum muslimin, dengan keutamaan dari Allah subhanahu wa ta’ala, kemudian pengorbanan al-Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhuma yang besar.
Yang mengherankan, kaum Syi’ah Rafidhah—yang mengaku pencinta Ahlul Bait—justru menyesali kejadian ini. Bahkan, mereka menjuluki al-Hasan radhiallahu ‘anhu sebagai ‘pencoreng wajah-wajah kaum mukminin’. Sebagian di antara mereka menganggap beliau fasik, bahkan sebagian yang lain mengkafirkannya.
Asy-Syaikh Muhibbuddin al-Khathib mengomentari ucapan Syi’ah Rafidhah, “Padahal termasuk dasar keimanan Rafidhah—bahkan dasar keimanan yang paling utama—adalah keyakinan mereka bahwa al-Hasan, ayah, saudara, dan sembilan keturunannya adalah maksum.
Di antara konsekuensi kemaksuman mereka, tentu mereka tidak akan berbuat kesalahan. Demikian pula, segala sesuatu yang bersumber dari mereka berarti benar dan tidak akan terbatalkan.
Hal terbesar yang bersumber dari al-Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhu adalah pembai’atan terhadap Amirul Mukminin Mu’awiyah. Maka dari itu, mestinya mereka masuk dalam baiat ini dan beriman bahwa ini adalah hak. Sebab, ini adalah amalan seorang yang makshm menurut mereka.“ (Lihat catatan kaki kitab al-Awashim minal Qawashim, hlm. 197—198)
Demikianlah keculasan kaum Syi’ah Rafidhah. Mereka menyelisihi imam mereka—yang mereka anggap maksum—menyalahkan, menganggapnya fasik, bahkan kafir. Karena itu, hanya ada dua kemungkinan bagi mereka:
Berbeda halnya dengan Ahlus Sunnah. Mereka beriman dengan kenabian kakek al-Hasan radhiallahu ‘anhu. Mereka berpendapat bahwa berita perdamaian dan bai’at al-Hasan radhiallahu ‘anhu kepada Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu adalah salah satu bukti kenabian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan amal terbesar al-Hasan radhiallahu ‘anhu.
Mereka bergembira dengannya. Mereka mengganggap al-Hasan yang memutihkan wajah kaum muslimin (yakni tidak mencoreng wajah-wajah kaum muslimin seperti anggapan Syi’ah -pen.). (lihat sumber yang sama)
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Muhammad Umar as-Sewed
[1] Riwayat tentang wasiat Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Ghadir Khum yang sahih hanya ini, dan tidak disebutkan adanya wasiat agar Ali menjadi khalifah.