Sakit yang menimpa seorang hamba dan dihadapi dengan sabar, pada hakikatnya merupakan rahmat Allah kepadanya. Dengan sebab itu, Allah menaikkan hamba tersebut kepada derajat yang lebih tinggi. Jadi, tidak sepantasnya seorang hamba berkeluh kesah dan tidak ridha ketika ditimpa sebuah penyakit. Sebab, Allah tidak akan memberi sebuah musibah kepada seorang hamba yang lebih besar dari kemampuan hamba menanggungnya.
Allah lmenjadikan sakit dan sehat sebagai ujian bagi hamba-hamba-Nya, agar terlihat siapa di antara mereka yang bersyukur dan siapa yang kufur, siapa yang bersabar dan siapa yang berkeluh kesah.
“Kami memberikan cobaan kepada kalian dengan kejelekan dan kebaikan sebagai fitnah (ujian).” (al-Anbiya’: 35)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Kami menguji kalian, terkadang dengan musibah dan terkadang dengan kenikmatan. Hingga Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur, siapa yang bersabar dan siapa yang putus asa.
‘Ali bin Abi Thalhah berkata menukil dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma,
Maksudnya, Kami memberi cobaan kepada kalian.
Dengan kesempitan dan kelapangan, dengan kesehatan dan sakit, dengan kekayaan dan kemiskinan, dengan halal dan haram, dengan ketaatan dan maksiat, dengan petunjuk dan kesesatan.” (al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, asy-Syaikh Shafiyyur Rahman al-Mubarakfuri, hlm. 865)
Ketika sakit datang, terasa benar nikmatnya kesehatan. Terasa sekali kita telah lalai mensyukuri nikmat sehat.
Namun, seorang mukmin berbeda keadaannya dengan orang kebanyakan yang Allah ‘azza wa jalla sebutkan sifatnya,
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah; dan apabila mendapat kebaikan. ia amat kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat.” (al-Ma’arij: 19—22)
Sakit yang diderita seorang mukmin, disadarinya sebagai ujian dari Allah ‘azza wa jalla. Kesehatan yang sebelumnya dia nikmati adalah juga ujian dari Allah ‘azza wa jalla. Ia tahu, semuanya adalah ujian dalam bentuknya berbeda. Dia hadapi ujian sakit itu dengan kesabaran, tanpa keluh kesah.
Al-Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi rahimahullah dalam al-Adab asy-Syar’iyyah (2/174) menukilkan ucapan asy-Syaikh Majduddin dalam Syarhul Hidayah, “Tidak mengapa seorang yang sakit mengabarkan rasa sakit yang dia rasakan dengan tujuan yang benar, bukan untuk berkeluh kesah.
Al-Imam Ahmad rahimahullah membolehkan hal ini berdalil ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah radhiallahu ‘anha, ketika Aisyah berkata, “Sakitnya kepalaku!”
Beliau nmenanggapi dengan menyatakan, “Bahkan aku, ya Aisyah, juga merasakan sakit kepalaku!”
Ibnul Mubarak berdalil dengan ucapan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang sakit, “Sungguh, engkau merasakan sakit yang sangat dan panas yang sangat tinggi.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ya, benar. Aku merasakan sakit yang sangat dan panas yang amat tinggi sebagaimana rasa sakit yang dirasakan oleh dua orang dari kalian.” (HR. al-Bukhari no. 5647 dan Muslim no. 2571)
Ingatlah! Apabila engkau ditimpa satu musibah, hakikatnya engkau dijaga dari musibah yang lain…
Saudariku muslimah….
Jadilah engkau sebagai mukminah yang kuat ketika sakit datang menimpamu. Apabila engkau diuji dengan satu penyakit yang ringan, pujilah Allah ‘azza wa jalla (mengucapkan alhamdulillah), karena engkau tidak ditimpa sakit yang parah.
Apabila engkau diberi sakit yang parah, pujilah Allah ‘azza wa jalla karena engkau tidak diberi sakit yang lebih parah dari sakitmu sekarang. Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia akan menimpakan yang lebih berat.
Apabila engkau diuji dengan berbagai penyakit, pujilah Allah ‘azza wa jalla dan bersyukurlah kepada-Nya. Sebab Dia tetap memberimu akal yang sehat. Seandainya Dia menghendaki, niscaya akan Dia cabut akal tersebut darimu.
Pujilah Allah karena masih memberikan penglihatan kepadamu. Engkau masih dapat melihat orang-orang di sekitarmu. Engkau masih dapat membaca Kitabullah yang mulia.
Pujilah Allah karena masih memberi kesehatan untuk lisanmu sehingga dapat engkau gunakan untuk berzikir. Dia masih memberimu pendengaran hingga engkau dapat mendengar bacaan zikir dan kalimat yang baik.
Betapa banyak manusia yang berangan-angan memiliki salah satu saja dari apa yang masih engkau miliki.
‘Urwah bin Az-Zubair rahimahullah pernah ditimpa musibah berupa kematian putranya. Di sisi lain, ia sendiri menderita sakit pada tubuhnya. Dengarkanlah ucapannya kepada Rabbnya yang sangat penyayang,
“Ya Allah, aku dahulu memiliki tujuh putra, lalu Engkau ambil satu dan Engkau sisakan enam untukku. Aku dahulu memiliki empat anggota tubuh (dua tangan dan dua kaki –pen.) lalu Engkau ambil satu darinya dan masih tersisa tiga untukku.
Sungguh, ketika memberikan musibah, Engkau masih memberikan kelapangan. Ketika mengambil sesuatu dari hamba-Mu, sungguh Engkau tetap menyisakan untuknya.” (Siyar A’lamin Nubala’, 4/431)
Diriwayatkan bahwa Umar ibnul al-Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata, “Tidaklah aku ditimpa satu musibah, kecuali pada diriku ada empat kenikmatan yang Allah berikan:
(Ma’al Maridh, hlm. 23)
Faedah Sakit
Saudariku muslimah…
Kita diperintah untuk memohon kesehatan kepada Allah ‘azza wa jalla, berupaya menempuh sebab-sebab kesehatan dan mengobati penyakit dengan obat-obatan, ruqyah, doa-doa yang ma’tsur (yang disyariatkan), latihan-latihan tubuh yang bermanfaat, dan semua hal yang tidak dilarang oleh syariat.
Akan tetapi, apabila Allah ‘azza wa jalla tidak segera memberikan kesembuhan kepadamu, ketahuilah bahwa sakit yang sedang menimpamu ini memiliki faedah yang banyak. Ia akan memberikan kebaikan bagimu di dunia dan di akhirat.
Di antara faedahnya:
Ini akan didapat oleh hamba jika dia disertai keimanan dan kesabaran. Dia tidak berkeluh kesah, menyesali takdir, tidak pula berburuk sangka kepada-Nya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh, besarnya balasan bersama dengan besarnya musibah. Sungguh, apabila Allah ‘azza wa jalla mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka. Siapa yang ridha, dia akan memperoleh keridhaan. Siapa yang murka, ia akan beroleh kemurkaan.” (HR. at-Tirmidzi no. 2396 dan Ibnu Majah no. 4031dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu; dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 146 dan al-Misykat no. 1566)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah menimpa seorang mukmin satu kepayahan pun, tidak pula sakit yang terus-menerus, tidak pula kecemasan, kesedihan, gangguan, dan kesusahan sampai pun hanya duri yang menusuknya, kecuali Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya dengan sebab itu semua.” (HR. al-Bukhari no. 5641, 5642 dan Muslim no. 2573 dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu)
“Tidak ada seorang muslim pun yang tertusuk duri dan ditimpa sakit yang lebih besar dari itu, melainkan dengan sebab itu Allah akan mengangkatnya satu derajat dan menghapus satu kesalahannya.” (HR. Muslim no. 2572 dari Aisyah radhiallahu ‘anha)
Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila seorang hamba sakit atau safar (bepergian jauh), dicatat untuknya amalan semisal yang dia amalkan saat tidak safar dan sehat.” (HR. al-Bukhari no. 2996)
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Apabila satu kemudharatan menimpa manusia, mereka pun berdoa kepada Rabb mereka dalam keadaan kembali kepada-Nya.” (ar-Rum: 33)
Sakit juga dapat mengobati penyakit hati, seperti sombong, bangga diri, riya’, dan sebagainya.
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Siapa yang Allah inginkan kebaikan baginya, akan Dia timpakan musibah padanya.” (HR. al-Bukhari no. 5645) (Ma’al Maridh, hlm. 32—39 secara ringkas)
Sakit adalah Pelajaran
Sakit yang menimpamu, wahai saudariku, adalah salah satu pelajaran tauhid dan iman. Ini akan ditunjukkan dengan perbuatanmu tatkala sakit itu datang. Adakah tauhidmu bertambah, adakah imanmu bertambah?
Dengan sakit tersebut, engkau tahu bahwa dirimu lemah. Engkau hanyalah seorang hamba yang tak berdaya di hadapan kekuasaan ar-Rahman.
Ketahuilah, wahai saudariku, kehidupan yang sehat sejahtera, hidup yang sempurna adalah kehidupan setelah kehidupan dunia ini, di dunia yang sedang kita pijak ini. Dunia adalah tempat kesulitan dan kepayahan.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (al-Balad: 4)
Karena itu, sabarlah dengan kepayahan yang sebentar, untuk menuju kebahagiaan yang kekal di negeri keabadian.
Ketahuilah, janji yang diberikan Allah ‘azza wa jalla kepada hamba yang bersabar sangat tinggi nilainya. Ketahuilah, janji yang sangat bernilai itu adalah jannah.
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah