عَنْ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَيْقَظَ مِنْ نَوْمِهِ وَهُوَ يَقُولُ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَيْلٌ لِلْعَرَبِ مِنْ شَرٍّ قَدِ اقْتَرَبَ، فُتِحَ الْيَوْمَ مِنْ رَدْمِ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مِثْلُ هَذِهِ -وَعَقَدَ سُفْيَانُ بِيَدِهِ عَشَرَةً-. قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَنَهْلِكُ وَفِينَا الصَّالِحُونَ؟ قَالَ: نَعَمْ، إِذَا كَثُرَ الْخَبَثُ.
Dari Zainab bintu Jahsyin radhiallahu anha, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bangun dari tidurnya seraya berkata, “La ilaha illallah, celakalah orang-orang Arab karena keburukan yang telah dekat. Telah terbuka pada hari ini dari dinding Ya`juj dan Ma`juj seperti ini.”
Sufyan (seorang perawi) melingkarkan tangannya dalam bentuk angka sepuluh.
Kemudian saya (Zainab) berkata, “Ya Rasulullah, apakah kita akan binasa meskipun bersama kita ada orang-orang saleh?” Beliau menjawab, “Ya, ketika al-khabats semakin banyak jumlahnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh
Hadits ini juga diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu, seperti yang disebutkan Imam al-Bukhari dalam Kitabul Fitan no. 7059.
Adapun riwayat dari Zainab bintu Jahsyin radhiallahu anha, terjadi perselisihan dalam jalur periwayatannya.
Para perawi murid-murid Sufyan bin Uyainah yang meriwayatkan dari beliau, seperti Amr bin Muhammad an-Naqid (dalam Shahih Muslim), Malik bin Ismail (dalam Shahih al-Bukhari), Said bin Manshur (dalam Sunan-nya), Qutaibah dan Harun bin Abdillah (dalam riwayat al-Ismaili), al-Qa’nabi (dalam riwayat Abu Nu’aim dan Musnad Musaddad), meriwayatkan hadits ini tanpa menyebutkan tambahan perawi Habibah bintu Ummu Habibah[1].
Dalam Shahih al-Bukhari terdapat riwayat dari Uqail bin Khalid al-Aili, Syuaib bin Abi Hamzah al-Umawi, Muhammad bin Abi Atiq, semuanya meriwayatkan dari az-Zuhri dan tidak ada dalam sanadnya penyebutan Habibah bintu Ummu Habibah.
Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari jalan Yunus bin Yazid al-Aili, Uqail bin Khalid, dan Shalih bin Kaisan, semuanya dari az-Zuhri, tanpa menyebutkan Habibah.
Baca juga: Ummu Habibah, Pengantin Rasulullah di Negeri Seberang
Sementara itu, pada riwayat yang lain, Imam Muslim meriwayatkan dari jalan Abu Bakr bin Abi Syaibah, Said bin Amr al-Asy’atsi, Zuhair bin Harb, Muhammad bin Yahya bin Abi Umar. Keempat perawi ini semuanya meriwayatkan dari Sufyan, dari az-Zuhri.
Imam Muslim berkata, “Dalam meriwayatkannya, mereka menambahkan seorang perawi yang bernama Habibah bintu Ummu Habibah; dari Ummu Habibah.”
Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dari jalan Said bin Abdirrahman, Muhammad bin Ahmad al-Qaisi, Abdullah bin az-Zubair al-Qurasyi, Ali bin Abdillah al-Bashri, semuanya dari Sufyan bin Uyainah. Imam at-Tirmidzi berkata, “Sufyan telah membaguskan (periwayatan) hadits ini.”
Abu Nu’aim juga meriwayatkan dalam kitabnya al-Mustakhraj, dari jalan al-Humaidi. Beliau berkata dalam riwayatnya, “Dari Habibah bintu Ummu Habibah; dari ibunya (Ummu Habibah) ….” Disebutkan di akhir perkataan beliau, “Sufyan telah berkata, ‘Aku menghafal (mendapatkan) hadits ini dari az-Zuhri ada empat orang wanita, semuanya telah melihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Dua di antaranya adalah istri beliau, yaitu Ummu Habibah dan Zainab bintu Jahsy. Dua wanita yang lain adalah rabibah (anak tiri beliau), yaitu Zainab bintu Abi Salamah dan Habibah bintu Ummu Habibah.”
Baca juga: Zainab bintu Jahsy
Imam an-Nasai meriwayatkan dari jalan Ubaidullah bin Said, sedangkan Imam Ibnu Majah dari jalan Abu Bakr bin Abi Syaibah, al-Ismaili dari riwayat al-Aswad bin Amir; mereka semua meriwayatkan dari Ibnu Uyainah dan menambahkan Habibah dalam periwayatan.
Diagram periwayatan yang tidak menyebutkan perawi Habibah bintu Ummu Habibah:
Diagram periwayatan yang menambahkan adanya Habibah bintu Ummu Habibah:
Al-Ismaili meriwayatkan dari jalan Harun bin Abdillah, ia berkata, “Al-Aswad bin Amir telah berkata kepadaku, ‘Bagaimana hadits ini dihafal dari Ibnu Uyainah?’ Kemudian Ibnu Uyainah menyebutkan kepada al-Aswad bin Amir riwayat yang tidak terdapat padanya Habibah dan berkata, ‘Akan tetapi, az-Zuhri telah memberitakan kepada kami dari Urwah; dari empat wanita, semuanya telah berjumpa dengan Nabi shallallahu alaihi wa sallam, sebagian mereka dari yang sebagian lain …’.”
Imam ad-Daraquthni berkata, “Saya mengira bahwa Sufyan terkadang meriwayatkan hadits ini dengan menyebut Habibah dan terkadang tidak menyebutnya.”
An-Nawawi berkata, “Pada sanad hadits di atas terkumpul empat sahabat wanita, dua istri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam (Ummu Habibah dan Zainab bintu Jahsyin) dan dua anak tiri beliau (Zainab bintu Ummu Salamah dan Habibah bintu Ummu Habibah). Sebagian mereka meriwayatkan dari sebagian yang lain. Saya tidak mengetahui ada sebuah hadits yang terkumpul padanya empat sahabiyah yang sebagian meriwayatkan dari sebagian yang lain kecuali hadits ini.” (Lihat Fathul Bari, 13/15—16 cet. Darul Hadits; al-Minhaj, 18/211—213)
اسْتَيْقَظَ مِنْ نَوْمِهِ
“Bangun dari tidurnya.”
Pada riwayat yang lain terdapat tambahan
مُحْمَرًّا وَجْهُهُ
“Dalam keadaan memerah wajahnya.”
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam keluar pada suatu hari dalam keadaan terkejut dan memerah wajahnya. Al-Hafizh rahimahullah berkata, “Yang menyebabkan memerahnya wajah beliau adalah karena keterkejutannya.”
وَيْلٌ لِلْعَرَبِ مِنْ شَرٍّ قَدِ اقْتَرَبَ
“Celakalah orang-orang Arab karena keburukan yang telah dekat.”
Dalam hadits ini disebutkan orang Arab secara khusus karena waktu itu merekalah yang paling banyak memeluk agama Islam. Adapun yang dimaksud dengan keburukan ialah apa yang terjadi sepeninggal beliau, berupa pembunuhan Utsman bin Affan radhiallahu anhu yang disusul musibah-musibah berikutnya. Akibatnya, keadaan orang-orang Arab di antara umat manusia seperti santapan yang diperebutkan.
Baca juga: Khawarij, Kelompok Sesat Pertama dalam Islam
Al-Qurthubi berkata, “Kemungkinan, maksud keburukan di sini adalah apa yang diisyaratkan dalam hadits Ummu Salamah, ‘Apa gerangan fitnah-fitnah yang turun pada malam hari ini? Apa gerangan perbendaharaan Allah yang turun?’ Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun mengisyaratkan penaklukan negeri-negeri sehingga berlimpah ruahlah harta di tangan mereka. Akibatnya, terjadilah saling berlomba yang mengantarkan kepada fitnah (keburukan).”
فُتِحَ الْيَوْمَ مِنْ رَدْمِ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ
“Telah terbuka pada hari ini dari dinding Ya`juj dan Ma`juj.”
Yang dimaksud dengan ar-radmu ialah السَّدُ, yaitu dinding yang dibangun oleh Dzulqarnain.
Al-Kisa’i berkata, “Huruf sin di sini boleh di-dhammah (as-sudd) atau di-fathah (as-sadd). Maknanya sama.”
Abu Amr ibnul ‘Ala berkata, “Apabila dinding itu ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala, dibaca dengan men-dhammah. Apabila dindingi itu buatan bani Adam, dibaca dengan mem-fathah.”
Ya`juj dan Ma`juj adalah dari bani Adam. Mereka adalah dua kabilah (bangsa) dari anak keturunan Yafits bin Nuh. Di antara yang berpendapat demikian adalah Wahb dan selainnya.
An-Nawawi dan yang lainnya mengisyaratkan sebuah cerita bahwa ada yang berkata (yakni Ka’b al-Ahbar), “Mereka adalah anak Adam dari selain Hawa (-red.). Nabi Adam alaihis salam tidur lalu mimpi basah. Tercampurlah air maninya dengan tanah dan lahirlah darinya Ya`juj dan Ma`juj.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Ini adalah pendapat yang sangat mungkar. Tidak ada asal-usulnya kecuali dari ahli kitab.”
Disebutkan juga dalam fatwa Syaikh Muhyiddin bahwa Ya`juj dan Ma`juj adalah keturunan Adam, tetapi bukan dari Hawa. Itu adalah pendapat jumhur ulama. Jadi, mereka itu saudara kita sebapak.
Al-Hafizh Ibnu Hajar menyatakan, “Kami tidak mengetahui pendapat ini dari seorang ulama salaf kecuali Ka’b al-Ahbar. Pendapat ini terbantah oleh hadits marfu’ yang menyebutkan bahwa Ya`juj dan Ma`juj adalah keturunan Nuh, sementara Nuh—tidak dimungkiri lagi—adalah keturunan Adam dan Hawa.”
Baca juga: Umat Nabi Nuh Ditenggelamkan
Ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah bangsa at-Turk. Di antara yang berpendapat demikian adalah adh-Dhahhak. Ada pula yang menyatakan bahwa Ya`juj dari bangsa at-Turk, sedangkan Ma`juj dari ad-Dailam.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Disebutkan dalam satu riwayat bahwa seorang nabi tidaklah mimpi basah. Lantas bagaimana bisa dikatakan Ya`juj dan Ma`juj berasal dari perpaduan air mani Nabi Adam alaihis salam dengan tanah? Jawabannya, riwayat yang menyatakan bahwa seorang nabi tidak mimpi basah maksudnya ialah tidak mimpi bersetubuh dalam tidurnya. Jadi, kemungkinan yang terjadi adalah terpancarnya air mani saja. Yang seperti ini dimungkinkan sebagaimana kencing. Pendapat pertama yang kuat untuk dijadikan pegangan. Kalau tidak, di manakah keberadaan mereka saat terjadinya banjir besar (yang menimpa kaum Nuh alaihis salam)?”
Kebanyakan pendapat menyatakan bahwa nama Ya`juj dan Ma`juj merupakan nama ‘ajam (bukan dari bahasa Arab). Meski demikian, ada juga yang menyatakannya berasal dari bahasa Arab.
Dari pendapat yang menyatakan bahwa kedua lafaz ini dari bahasa Arab, terjadi perselisihan tentang asal kata Ya`juj dan Ma`juj. Ada yang mengatakan bahwa asalnya dari kata
أَجِيْجُ النَّارِ
Artinya nyala/jilatan api (bergejolak).
Ada yang mengatakan asalnya ialah dari kata الْأَجَّةُ, yaitu bercampur atau sangat panas.
Ada pula yang mengatakan bahwa asalnya dari kata الْأَجُّ, yaitu yang cepat larinya.
Yang lain mengatakan asalnya adalah dari kata الْأُجَاجُ, yaitu air yang sangat asin.
Wazan (timbangan kata dalam bahasa Arab) Ya`juj dan Ma`juj adalah
يَفْعُولُ – وَمَفْعُولُِ
Inilah yang tampak dari qiraah Ashim dan yang lainnya.
Ada pula yang mengatakan bahwa wazannya adalah فَاعُولُ dari يَجَّ dan مَجَّ, sehingga dibaca
يَاجُوجُ – مَاجُوجُِ
Ada yang mengatakan bahwa kata مَاجُوجُ berasal dari kata مَاجَ, yaitu bergerak.
Semua asal kata yang disebutkan di atas sesuai dengan keadaan mereka.
Pendapat yang menyatakan bahwa ia berasal dari kata مَاجَ yaitu bergerak, dikuatkan oleh ayat,
وَتَرَكۡنَا بَعۡضَهُمۡ يَوۡمَئِذٍ يَمُوجُ فِي بَعۡضٍۖ
“Kami biarkan mereka (Ya`juj dan Ma`juj) di hari itu bercampur aduk antara satu dan yang lain.” (Al-Kahfi: 99)
Hal itu terjadi ketika mereka keluar dari dalam dinding.
Baca juga: Tanda-Tanda Kedatangan Hari Kiamat
Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Adi, Ibnu Abi Hatim, ath-Thabarani dalam al-Ausath, dan Ibnu Mardawaih dari hadits Hudzaifah yang menyebutkan sifat mereka, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
يَأْجُوجُ أُمَّةٌ، وَمَأْجُوجُ أُمَّةٌ، كُلُّ أُمَّةٍ أَرْبَعُمِائَةِ أَلْفِ أُمَّةٍ، لَا يَمُوتُ الرَّجُلُ حَتَّى يَنْظُرَ إِلَى أَلْفِ ذَكَرٍ بَيْنَ يَدَيْهِ مِنْ صُلْبِهُ، كُلُّ وَاحِدٍ قَدْ حَمَلَ السِّلَاحَ
“Ya`juj itu umat dan Ma`juj itu umat. Setiap umat terdapat 400 ribu orang. Tidaklah meninggal salah seorang dari mereka hingga melihat seribu laki-laki dari keturunannya, semuanya telah bersenjata.”
Al-Hafizh menyatakan hadits ini maudhu’ (palsu). Ibnu Abi Hatim mengatakan, “Hadits mungkar. Dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Yahya bin Said al-Aththar, seorang yang sangat lemah. Namun, pada sebagian jalan terdapat penguat yang sahih. Di antaranya riwayat Ibnu Hibban dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya keturunan yang ditinggalkan salah seorang dari Ya`juj dan Ma`juj paling sedikit seribu orang.”
Al-Hakim meriwayatkan dari Abul Jauza Aus bin Abdillah ar-Raba’i al-Bashri; dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, bahwa Ya`juj dan Ma`juj sejengkal-sejengkal, dua jengkal dua jengkal, dan yang paling tinggi tiga jengkal, dan mereka adalah anak keturunan Adam. (Fathul Bari, 13/130—131)
Baca juga: Kiamat Adalah Urusan Gaib
وَعَقَدَ سُفْيَانُ بِيَدِهِ عَشَرَةً
“Sufyan melingkarkan jari membentuk angka sepuluh.”
Pada sebagian riwayat dari Yunus, dari az-Zuhri, disebutkan bahwa beliau melingkarkan kedua jarinya, yaitu ibu jari dengan yang setelahnya (jari telunjuk).
Dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu terdapat tambahan, “Wuhaib melingkarkan tangannya membentuk angka sembilan puluh.”
An-Nawawi berkata, “Riwayat Sufyan dan Yunus, keduanya memiliki kesesuaian makna. Adapun riwayat dari Abu Hurairah radhiallahu anhu menyelisihi, karena bentuk lingkaran sembilan puluh lebih sempit daripada sepuluh.”
Baca juga: Perselisihan dan Adabnya
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Makna membentuk lingkaran sepuluh ialah dengan meletakkan ujung telunjuk jari yang kanan pada ruas bagian atas ibu jari bagian dalam. Adapun membentuk lingkaran sembilan puluh ialah dengan meletakkan ujung telunjuk jari kanan pada pangkalnya. Ibnu at-Tin menukilkan dari ad-Dawudi bahwa caranya adalah dengan meletakkan telunjuk jari pada pertengahan ibu jari.”
أَنَهْلِكُ وَفِينَا الصَّالِحُونًَ
“Apakah kita akan binasa meskipun bersama kita ada orang-orang saleh?”
Pada sebagian riwayat terdapat lafaz, “Zainab bintu Jahsyin radhiallahu anha berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah Allah subhanahu wa ta’ala akan mengazab kami…’.”
Lafaz “bersama kita ada orang-orang saleh” seolah-olah diambil dari ayat,
وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمۡ وَأَنتَ فِيهِمۡۚ
“Akan tetapi, Allah tidak akan menghukum mereka selama engkau (Muhammad) ada di antara mereka.” (al-Anfal: 33)
إِذَا كَثُرَ الْخَبَثُ
“Ketika al-khabats semakin banyak jumlahnya.”
Jumhur ulama menafsirkannya dengan makna kefasikan dan kejahatan. Ada pula yang berpendapat bahwa maknanya adalah zina. Pendapat lain mengatakan bahwa maknanya ialah anak-anak zina.
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Yang tampak dalam hal ini adalah kemaksiatan secara umum.”
Baca juga: Bencana Bukan Akibat Dosa?
Ibnul Arabi berkata,
“Lafaz ini menjelaskan bahwa orang yang baik bisa binasa dengan binasanya orang yang buruk, apabila orang yang jelek itu tidak diubah. Atau apabila diubah, tetapi tidak bermanfaat dan orang yang buruk itu terus melakukan amalan jeleknya. Akhirnya keburukan tersebar dan semakin banyak sehingga kerusakan terjadi secara merata. Saat itulah kebinasaan menimpa yang sedikit maupun yang banyak, kemudian masing-masing akan dibangkitkan sesuai dengan niatnya. Seolah-olah dipahami dari terbukanya dinding seukuran yang disebutkan, apabila terus terjadi, lubang itu menjadi lebar sehingga mereka (Ya`juj dan Ma`juj) dapat keluar.
Lafaz ini juga menunjukkan, Zainab mengetahui bahwa keluarnya Ya`juj dan Ma`juj pada manusia akan menjadi sebab kebinasaan hidup manusia secara keseluruhan.” (Fathul Bari, 13/134)
Keluarnya Ya`juj dan Ma`juj ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
حَتَّىٰٓ إِذَا فُتِحَتۡ يَأۡجُوجُ وَمَأۡجُوجُ وَهُم مِّن كُلِّ حَدَبٍ يَنسِلُونَ ٩٦ وَٱقۡتَرَبَ ٱلۡوَعۡدُ ٱلۡحَقُّ
“Hingga apabila dibukakan tembok (dinding) Ya`juj dan Ma`juj dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi, serta telah dekatlah kedatangan janji yang benar (hari berbangkit).” (al-Anbiya: 96—97)
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّهَا لَنْ تَقُومَ حَتَّى تَرَوْنَ قَبْلَهَا عَشْرَ آيَاتٍ – فَذَكَرَ الدُّخَانَ وَالدَّجَّالَ وَالدَّابَّةَ وَطُلُوعَ الشَّمْسِ وَيَأَجُوجَ مِنْ مَغْرِبِهَا وَنُزُولَ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَمَأْجُوجَ وَثَلَاثَةَ خُسُوفٍ خَسْفٌ بِالْمَشْرِقِ وَخَسْفٌ بِالْمَغْرِبِ وَخَسْفٌ بِجَزِيرَةِ الْعَرَبِ وَآخِرُ ذَلِكَ نَارٌ تَخْرُجُ مِنَ الْيَمَنِ تَطْرُدُ النَّاسَ إِلَى مَحْشَرِهِمْ
“Sesungguhnya, kiamat tidak akan tiba sampai kalian melihat sepuluh tanda.” Kemudian beliau menyebutkan—dukhan (kabut), Dajjal, binatang yang bisa berbicara, terbitnya matahari dari barat, turunnya Isa bin Maryam, keluarnya Ya`juj dan Ma`juj, tiga khusuf (sesuatu yang ditenggelamkan): di timur, barat, dan di Jazirah Arab, yang terakhir (kesepuluh) keluarnya api dari Yaman yang menggiring manusia ke tempat berkumpulnya mereka.” (HR. Muslim, no. (2901)(39) dari hadits Hudzaifah bin Usaid al-Ghifari radhialllahu anhu)
Baca juga: Kiamat Sudah Dekat
Keluarnya Ya’juj dan Ma’juj—yang merupakan pertanda hari kiamat—belumlah terjadi sekarang. Akan tetapi, tanda-tanda keluarnya telah ada sejak zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
فُتِحَ الْيَوْمَ مِنْ رَدْمِ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مِثْلُ هَذِهِ وَحَلَّقَ بِإِصْبَعَيْهِ الْإِبْهَامِ وَالَّتِي تَلِيهَا
“Telah terbuka hari ini dari dinding Ya`juj dan Ma`juj sebesar (lubang) ini.” Rasulullah membuat lingkaran dengan dua jarinya, ibu jari dan jari telunjuk. (HR. al-Bukhari dari Zainab bintu Jahsyin radhiallahu anha) (Lihat Lum’atul I’tiqad, hlm. 108—109)
Wallahu a‘lam bish-shawab.
[1] Habibah bintu Ummu Habibah adalah Habibah bintu Ubaidullah bin Jahsyin. Beliau termasuk yang ikut hijrah ke Habasyah (Ethiopia). Ayahnya kemudian beragama Nasrani dan meninggal di Habasyah. Adapun ibunya (Ummu Habibah) tetap memeluk Islam dan kemudian dinikahi oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Jadi, beliau menjadi anak tiri (rabibah) Nabi shallallahu alaihi wa sallam, sekaligus sebagai keponakan Zainab. Zainab bintu Jahsyin adalah saudara kandung ayah Habibah. Jadi, Zainab bintu Jahsyin adalah bibi Habibah dari pihak ayah (‘ammah).