Asysyariah
Asysyariah

kelancangan ahlul kitab terhadap kitab suci-nya

13 tahun yang lalu
baca 13 menit
Kelancangan Ahlul Kitab Terhadap Kitab Suci-Nya

وَإِنَّ مِنۡهُمۡ لَفَرِيقًا يَلۡوُۥنَ أَلۡسِنَتَهُم بِٱلۡكِتَٰبِ لِتَحۡسَبُوهُ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَمَا هُوَ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَيَقُولُونَ هُوَ مِنۡ عِندِ ٱللَّهِ وَمَا هُوَ مِنۡ عِندِ ٱللَّهِ وَيَقُولُونَ عَلَى ٱللَّهِ ٱلۡكَذِبَ وَهُمۡ يَعۡلَمُونَ

“Sesungguhnya ada segolongan di antara mereka yang memutar-mutar lidahnya membaca al-Kitab, supaya kamu mengira yang dibacanya itu sebagian dari al-Kitab, padahal ia bukan dari al-Kitab dan mereka mengatakan, ‘Ini (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah’, padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah, sedangkan mereka mengetahui.” (Ali ‘Imran: 78)

 

Penjelasan Mufradat Ayat

مِنۡهُمۡ

“Di antara mereka,” yaitu kaum Yahudi yang ada di sekitar kota Madinah. Sebab, kata ganti “mereka” di sini kembali ke firman Allah subhanahu wa ta’ala sebelumnya yang menjelaskan tentang keadaan mereka. (Tafsir ath-Thabari, 3/323)

يَلۡوُۥنَ أَلۡسِنَتَهُم

“Memutar-mutar lidahnya,” maksudnya adalah mereka men-tahrif (mengubahnya), sebagaimana dinukil dari Mujahid, asy-Sya’bi, al-Hasan, Qatadah, dan Rabi’ bin Anas. Demikian pula yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu ‘Abbas bahwa mereka mengubah dan menghilangkannya, dan tidak ada seorang makhluk Allah subhanahu wa ta’ala pun mampu menghilangkan lafadz dari kitab-kitab Allah. Namun, mereka mengubah dan mentakwilnya bukan di atas penakwilan sebenarnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/377, lihat pula Tafsir ath-Thabari, 3/324)

Qatadah rahimahullah berkata, “Mereka adalah Yahudi, musuh Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka mengubah kitab Allah subhanahu wa ta’ala, membuat bid’ah di dalamnya, kemudian mengira bahwa itu dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala.” (Tafsir ath-Thabari, 3/324)

Adapun dalam qiraah Abu Ja’far dan Syaibah dibaca dengan “yulawwuun”, yang menunjukkan makna lebih sering mengerjakan hal tersebut. (Tafsir al-Qurthubi, 4/121)

 

Penjelasan Makna Ayat

Al-’Allamah Abdur Rahman as-Sa’di rahimahullah berkata menjelaskan ayat ini,

“Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwa di antara ahli kitab ada yang mempermainkan lisannya dengan al-Kitab, yaitu memalingkan dan mengubah dari maksud sebenarnya. Ini mencakup mengubah lafadz dan maknanya. Padahal tujuan adanya al-Kitab adalah untuk dipelihara lafadznya dan tidak diubah, serta memahami maksud dari ayat tersebut dan memahamkannya (kepada orang lain).

“Mereka justru bertolak belakang dengan hal ini. Mereka memahamkan (kepada orang lain) maksud yang berbeda dengan yang diinginkan al-Kitab, baik dengan sindiran maupun terang-terangan. Adapun secara sindiran terdapat pada firman-Nya ‘agar kalian menyangkanya dari al-Kitab’, yaitu mereka memutar-mutar lisannya dan memberikan kesan kepadamu bahwa itulah maksud kitab Allah subhanahu wa ta’ala padahal bukan seperti itu maksudnya.

“Adapun yang secara terang-terangan, terdapat pada firman-Nya,

وَيَقُولُونَ هُوَ مِنۡ عِندِ ٱللَّهِ وَمَا هُوَ مِنۡ عِندِ ٱللَّهِ وَيَقُولُونَ عَلَى ٱللَّهِ ٱلۡكَذِبَ وَهُمۡ يَعۡلَمُونَ

“mereka mengatakan bahwa itu dari sisi Allah, padahal bukan dari sisi Allah. Mereka mengada-ada atas nama Allah dengan kedustaan dalam keadaan mereka mengetahui.”

Perbuatan ini lebih besar dosanya daripada orang yang mengada-ada atas nama Allah subhanahu wa ta’ala tanpa ilmu. Mereka berdusta atas nama Allah subhanahu wa ta’ala, kemudian menggabungkan antara menghilangkan makna yang haq dan menetapkan makna yang batil, serta membawa lafadz yang menunjukkan kebenaran kepada makna yang rusak, dalam keadaan mereka mengetahui.” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 136)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan tentang Yahudi—laknat Allah atas mereka—bahwa di antara mereka ada satu kelompok yang mengubah-ubah kalimat dari tempatnya dan mengganti firman Allah serta menghilangkannya dari maksud sebenarnya untuk memberi kesan kepada orang-orang jahil bahwa hal itu terdapat dalam kitab Allah. Mereka menyandarkannya kepada Allah. Mereka berdusta dalam keadaan mereka sendiri mengetahui bahwa mereka berdusta dan mengada-adakan semua itu. Oleh karena itu, Allah mengatakan, ‘dan mereka berdusta atas nama Allah dalam keadaan mereka mengetahui.’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/377)

Ath-Thabari rahimahullah berkata,

“Allah jalla tsana`uhu memaksudkan bahwa di antara ahli kitab—yaitu kaum Yahudi dari Bani Israil yang ada di sekitar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada masanya—ada yang mempermainkan lisan mereka dengan al-Kitab agar kalian menyangkanya dari kitab Allah dan yang diturunkan-Nya. Padahal apa yang dipermainkan oleh lisan mereka adalah kitab Allah yang telah mereka ubah dan ada-adakan.

“Mereka mengesankan bahwa apa yang telah mereka permainkan dengan lisan mereka dengan cara mengubah, berdusta, dan berbuat kebatilan, lantas mereka masukkan dalam kitab Allah, bahwa itu berasal dari sisi Allah. Padahal itu bukan dari apa yang diturunkan Allah kepada salah seorang nabi-Nya. Itu adalah sesuatu yang mereka ada-adakan dari diri mereka sendiri, berdusta atas nama Allah. Mereka sengaja berdusta atas nama Allah, bersaksi atasnya dengan kebatilan, dan menyertakan sesuatu yang tidak termasuk kitab Allah ke dalamnya, hanya karena mengharapkan kekuasaan dan kehidupan dunia yang rendah nilainya.” (Tafsir ath-Thabari dengan sedikit diringkas, 3/323—324)

 

Kitab Taurat dan Injil yang Telah Berubah[i]

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَوَيۡلٌ لِّلَّذِينَ يَكۡتُبُونَ ٱلۡكِتَٰبَ بِأَيۡدِيهِمۡ ثُمَّ يَقُولُونَ هَٰذَا مِنۡ عِندِ ٱللَّهِ لِيَشۡتَرُواْ بِهِۦ ثَمَنًا قَلِيلًاۖ فَوَيۡلٌ لَّهُم مِّمَّا كَتَبَتۡ أَيۡدِيهِمۡ وَوَيۡلٌ لَّهُم مِّمَّا يَكۡسِبُونَ

Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya, “Ini dari Allah,” (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka akibat apa yang mereka kerjakan. (al-Baqarah: 79)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلرَّسُولُ لَا يَحۡزُنكَ ٱلَّذِينَ يُسَٰرِعُونَ فِي ٱلۡكُفۡرِ مِنَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ ءَامَنَّا بِأَفۡوَٰهِهِمۡ وَلَمۡ تُؤۡمِن قُلُوبُهُمۡۛ وَمِنَ ٱلَّذِينَ هَادُواْۛ سَمَّٰعُونَ لِلۡكَذِبِ سَمَّٰعُونَ لِقَوۡمٍ ءَاخَرِينَ لَمۡ يَأۡتُوكَۖ يُحَرِّفُونَ ٱلۡكَلِمَ مِنۢ بَعۡدِ مَوَاضِعِهِۦۖ يَقُولُونَ إِنۡ أُوتِيتُمۡ هَٰذَا فَخُذُوهُ وَإِن لَّمۡ تُؤۡتَوۡهُ فَٱحۡذَرُواْۚ وَمَن يُرِدِ ٱللَّهُ فِتۡنَتَهُۥ فَلَن تَمۡلِكَ لَهُۥ مِنَ ٱللَّهِ شَيً‍ًٔاۚ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ لَمۡ يُرِدِ ٱللَّهُ أَن يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمۡۚ لَهُمۡ فِي ٱلدُّنۡيَا خِزۡيٌۖ وَلَهُمۡ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Hai Rasul, janganlah kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka, “Kami telah beriman,” padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (Orang-orang Yahudi itu) amat suka mendengar (berita-berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka mengubah perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya. Mereka mengatakan, “Jika diberikan ini (yang sudah diubah-ubah oleh mereka) kepada kamu, terimalah; jika kamu diberi yang bukan ini, hati-hatilah.” Barang siapa yang Allah menghendaki kesesatannya, sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatu pun (yang datang) dari Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak menyucikan hati mereka. Mereka mendapat kehinaan di dunia dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar. (al-Maidah: 41)

Ayat-ayat Allah ‘azza wa jalla yang mulia ini menjelaskan tentang perbuatan Ahli Kitab terhadap kitab-kitab mereka. Mereka mengubah, menambah, dan membawa makna-makna yang terdapat dalam kitab Allah tersebut kepada yang bukan pemahaman sebenarnya. Mereka melakukannya untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah dan untuk mendapatkan sebagian kehidupan dunia yang hina. Mereka melakukannya dalam keadaan mengetahui kebenaran tersebut, namun menyembunyikan dan menampakkan sebaliknya di hadapan manusia.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

ٱلَّذِينَ ءَاتَيۡنَٰهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ يَعۡرِفُونَهُۥ كَمَا يَعۡرِفُونَ أَبۡنَآءَهُمۡۖ وَإِنَّ فَرِيقًا مِّنۡهُمۡ لَيَكۡتُمُونَ ٱلۡحَقَّ وَهُمۡ يَعۡلَمُونَ

“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.” (al-Baqarah: 146)

Namun, perubahan yang mereka lakukan tersebut tidak berarti mengubah semua yang terdapat dalam Taurat ataukah Injil secara keseluruhan. Di dalam kedua kitab tersebut masih banyak ayat yang merupakan teks asli dari kitab Allah ‘azza wa jalla. Jika seorang Nasrani atau Yahudi mengimani ayat-ayat tersebut dengan keimanan yang sebenar-benarnya, niscaya mereka akan beriman dengan wahyu al-Qur’an al-Karim yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hal ini telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah,

“Demikian pula dikatakan, jika lafadz-lafadz khabar diubah sedikit, tidaklah menghalangi kemungkinan bahwa mayoritas lafadznya tidak terjadi perubahan. Apalagi jika di dalam al-Kitab sendiri ada yang menunjukkan sesuatu yang telah diubah itu. Dikatakan pula bahwa lafadz-lafadz Taurat dan Injil yang telah diubah, maka dalam Taurat dan Injil sendiri ada yang menjelaskan sesuatu yang telah berubah tersebut.”

Beliau melanjutkan perkataannya,

“Sesungguhnya, perubahan yang ada hanya sedikit. Kebanyakannya tidak berubah. Pada teks yang tidak berubah terdapat lafadz-lafadz yang gamblang dan sangat jelas maksudnya yang menerangkan kesalahan yang menyelisihinya. Teks-teks yang tidak berubah itu memiliki penguat-penguat yang banyak yang saling membenarkan. Berbeda halnya dengan sesuatu yang telah berubah, sesungguhnya lafadznya sedikit dan telah dibantah oleh nas-nas al-Kitab.

“Oleh karena itu, (al-Kitab) ini berkedudukan seperti kitab-kitab hadits yang dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam kitab-kitab hadits terdapat beberapa hadits yang lemah di dalam Sunan Abu Dawud, at-Tirmidzi, atau selainnya. Kelemahan riwayat hadits-hadits tersebut dijelaskan oleh hadits-hadits yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Bahkan, di dalam Shahih Muslim terdapat sedikit lafadz yang keliru. Kekeliruan tersebut dijelaskan oleh hadits-hadits yang sahih dan al-Qur’an. Di antaranya, riwayat bahwa Allah menciptakan bumi pada hari Sabtu dan menjadikan penciptaan makhluk dalam tempo tujuh hari. Para imam ahli hadits, seperti Yahya bin Ma’in, Abdur Rahman bin Mahdi, al-Bukhari, dan selainnya menjelaskan bahwa hadits ini keliru dan bukan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Al-Bukhari menjelaskan dalam at-Tarikh al-Kabir bahwa ini adalah perkataan Ka’b al-Ahbar, sebagaimana telah dirinci pada pembahasannya. Al-Qur’an juga menunjukkan kesalahan ini dan menjelaskan bahwa penciptaan terjadi selama enam hari. Dalam hadits sahih juga dijelaskan bahwa akhir penciptaan adalah pada hari Jum’at sehingga awal penciptaan terjadi pada hari Ahad.

“Demikian pula yang diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat kusuf (gerhana) dengan dua atau tiga rukuk. Yang pasti benar dan mutawatir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disebutkan dalam dua kitab Shahih (al-Bukhari dan Muslim) dan selainnya dari hadits ‘Aisyah, Ibnu ‘Abbas, Abdullah bin ‘Amr, dan yang lain, bahwa beliau shalat pada satu rakaat dengan dua rukuk. Oleh karena itu, al-Imam al-Bukhari tidak mengeluarkan hadits lain selain hadits ini.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata lagi,

“Demikian pula jika terjadi perubahan pada sebagian lafadz kitab-kitab terdahulu, maka dalam kitab itu sendiri ada yang menjelaskan kekeliruannya. Telah kami jelaskan bahwa kaum muslimin tidaklah mengklaim bahwa seluruh salinan (al-Kitab) yang ada di dunia dari zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan setiap bahasa dari Taurat, Injil, dan Zabur telah diubah lafadz-lafadznya.

“Sesungguhnya saya tidak mengetahui ada yang mengucapkan demikian dari ulama salaf. Bisa jadi, kalangan generasi belakangan ada yang mengatakannya, bahkan ada yang membolehkan ber-istinja (bersuci) dengan setiap salinan Taurat dan Injil yang ada di dunia. Ucapan ini dan yang semisalnya bukanlah ucapan para salaf dan imam umat ini.” (Daqa’iq at-Tafsir, 2/57—59. Lihat pula al-Jawab ash-Shahih li Man Baddala Dinal Masih, 2/442—444)

Ucapan Syaikhul Islam di atas dibuktikan kebenarannya oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam banyak tempat, al-Qur’an sering menjadikan isi Taurat dan Injil sebagai hujah atas ahli kitab untuk membenarkan apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Silakan baca Surah al-Maidah ayat 46—50. Demikian pula firman Allah ‘azza wa jalla,

كُلُّ ٱلطَّعَامِ كَانَ حِلًّا لِّبَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسۡرَٰٓءِيلُ عَلَىٰ نَفۡسِهِۦ مِن قَبۡلِ أَن تُنَزَّلَ ٱلتَّوۡرَىٰةُۚ قُلۡ فَأۡتُواْ بِٱلتَّوۡرَىٰةِ فَٱتۡلُوهَآ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ

Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil selain makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah, “(Jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum turun Taurat), bawalah Taurat itu, lalu bacalah dia jika kamu orang-orang yang benar.” (Ali ‘Imran: 93)

Demikian pula yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beberapa orang Yahudi datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa seorang lelaki dan seorang wanita yang telah berbuat zina dari kaum mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada mereka, “Apa yang kalian lakukan terhadap orang yang berzina di antara kalian?”

Mereka menjawab, “Kami melumuri wajahnya dengan arang[ii] dan memukulnya.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Apakah kalian tidak menemukan hukum rajam dalam Taurat?”

Mereka menjawab, “Kami tidak mendapati sedikit pun (tentang rajam).”

Abdullah bin Sallam berkata kepada mereka, “Kalian telah berdusta. Datangkanlah Taurat jika kalian jujur.”

Salah seorang guru mereka mengajari mereka meletakkan telapak tangannya di atas ayat rajam (untuk menutupinya, -red.). Dia pun mulai membaca ayat yang sebelum dan sesudahnya, tidak membaca ayat rajam.

(Abdullah bin Sallam) melepaskan tangannya dari ayat rajam dan bertanya, “(Ayat) apa ini?”

Tatkala mereka melihat itu, mereka pun menjawab, “Itu ayat rajam.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar keduanya dirajam[iii]. Keduanya pun dirajam di dekat tempat jenazah yang ada di dekat masjid.

Ibnu ‘Umar berkata, “Aku melihat (yang dirajam tersebut) berusaha menghindar, melindungi dirinya dari bebatuan (yang dilemparkan kepadanya hingga ia tewas).” (HR. al-Bukhari, 8/4556 dan Muslim no. 1699)

Siapa yang melihat kitab Injil sekarang ini, akan mendapati masih sangat banyak ajaran-ajaran asli yang berasal dari ajaran Nabi ‘Isa alaihis salam. Apabila mereka memahaminya dengan pemahaman yang jernih, niscaya akan mengantarkan pada keyakinan tentang kebenaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antaranya adalah apa yang disebutkan dalam Injil, Kitab Ulangan 6:4, “Dengarlah hai orang Israil, Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu satu.”

Dalam Kitab Yesaya 45:5—6, “Akulah Tuhan dan tidak ada yang lain.”

Demikian pula dalam Yohanes 17:3, “Inilah hidup yang kekal, yaitu mereka mengenal Engkau, satu-satu-Nya yang benar dan mengenal Yesus[iv] yang telah Engkau utus.”

Dalam kitab Injil juga ada larangan membuat patung, dalam Kitab Keluaran 20:4—5, “Janganlah membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku Tuhan, Allahmu adalah Allah yang cemburu.”

Bahkan, anjuran untuk berkhitan pun disebutkan dalam Injil mereka. Di antaranya disebutkan dalam Kitab Kejadian 17:13, “Orang yang lahir di rumahmu dan orang yang engkau beli dengan uang harus disunat.”

Pada ayat ke-14 kemudian disebutkan, “Dan orang yang tidak disunat, yakni laki-laki yang tidak dikerah kulit khatannya, maka orang itu harus dilenyapkan dari tengah masyarakatnya. Ia telah mengingkari perjanjian-Ku.”

Demikian pula dijelaskan bahwa Nabi ‘Isa alaihis salam hanyalah diutus secara khusus untuk Bani Israil, tidak lebih dari itu. Disebutkan dalam Matius 10:5—6, “Kedua belas murid itu diutus Yesus dan ia berpesan kepada mereka, ‘Janganlah kamu menyimpang ke jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota Samaria, melainkan pergilah kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel.”

Dalam Matius 15:24 disebutkan, “Jawab Yesus, ‘Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel’.”

Semua hal di atas dibenarkan oleh Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak haditsnya. Oleh karena itu, setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus sebagai Nabi dan Rasul penghabisan untuk seluruh umat manusia, tidak diperkenankan bagi seorang pun untuk mengambil petunjuk selain apa yang telah dibawa oleh Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Diriwayatkan oleh al-Imam Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لاَ يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ لاَ يَهُودِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ ‌

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentangku seorang pun dari umat ini, entah seorang Yahudi, entah seorang Nasrani, lalu dia mati dalam keadaan tidak beriman dengan apa yang aku telah diutus dengannya, melainkan dia tergolong penduduk neraka.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Wallahu a’lam bish-shawab.

 

[i] Tentang hukum membaca Taurat dan Injil, silakan lihat pembahasan Rubrik “Hadits” edisi ini.

[ii] Ada pula yang menafsirkannya, “Kami menyiramnya dengan air panas.” Dalam riwayat lain, “Kami mempermalukan mereka dan mereka dicambuk.”

[iii] Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya aku menghukuminya berdasarkan apa yang terdapat dalam Taurat.”

[iv] Maksudnya adalah Nabi ‘Isa alaihis salam.