Panas setahun dihapus hujan sehari. Ungkapan ini terasa pas untuk menggambarkan bagaimana sikap kebanyakan istri terhadap suaminya. Kebaikan suami yang demikian banyak, berubah menjadi tak bernilai ketika suami berbuat salah. Sikap enggan untuk mensyukuri kebaikan suami ini termasuk penyebab mayoritas penghuni neraka adalah wanita.
Merupakan anugerah Allah subhanahu wa ta’ala, seorang wanita dipertemukan dengan pasangan hidupnya dalam jalinan kasih yang suci. Hal ini sebagai satu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Sang Khaliq.
“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian pasangan hidup dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada hal itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (ar-Rum: 21)
Apalagi bila pendamping hidup itu seorang yang saleh, yang memuliakan istrinya bila bersemi cinta di hatinya. Kalaupun cinta itu tak kunjung datang, ia tak akan menghinakan istrinya.
Merajut dan menjalin tali pernikahan agar selalu berjalan baik tidak bisa dikatakan mudah. Tidak seperti membalik kedua telapak tangan. Dibutuhkan ilmu dan ketakwaan untuk menjalaninya. Seorang suami membutuhkab bekal ilmu agar ia tahu bagaimana menakhodai rumah tangganya. Istri pun demikian. Dia harus tahu bagaimana menjadi seorang istri yang baik dan bagaimana kedudukan seorang suami dalam syariat ini. Masing-masing punya hak dan kewajiban yang harus ditunaikan agar jalinan itu tidak goncang ataupun terputus.
Syariat menetapkan bahwa suami memiliki hak yang sangat besar terhadap istrinya. Sampai-sampai bila diperkenankan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memerintahkan seorang istri sujud kepada suaminya. Abdullah ibnu Abi Aufa menceritakan bahwa tatkala Mu’adz datang ke negeri Yaman atau Syam, ia melihat orang-orang Nasrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja . Ia memandang dan memastikan dalam hatinya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu.
Ketika ia kembali ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku melihat orang-orang Nasrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja. Aku memandang dan memastikan dalam hatiku bahwa engkaulah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu.”
Mendengar ucapan Mu’adz, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ كُنْتُ آمُرُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَلاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهَا كُلَّهُ حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا عَلَيْهَا كُلَّهَا، حَتَّى لَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَىظَهْرِ قَتَبٍ لَأَعْطَتْهُ إِيَّاهُ
“Seandainya aku boleh memerintah seseorang untuk sujud kepada orang lain (sesama makhluk), niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya. Tidaklah seorang istri dapat menunaikan seluruh hak Allah subhanahu wa ta’ala terhadapnya hingga ia menunaikan seluruh hak suaminya terhadapnya. Sampai-sampai jika suaminya meminta dirinya (mengajaknya bersenggama) sementara ia sedang berada di atas pelana (yang dipasang di atas unta), ia harus memberikannya (tidak boleh menolak).” (HR. Ahmad 4/381. Dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5295 dan Irwa al-Ghalil no. 1998)
Salah satu hak suami terhadap istrinya adalah kebaikan yang diperbuatnya disyukuri dan keutamaannya tidak dilupakan .
Namun disayangkan, banyak istri yang melupakan atau tidak tahu hak yang satu ini. Kita dapati mereka sering mengeluhkan suaminya, melupakan kebaikan yang telah diberikan, dan tidak mengingat keutamaannya. Yang lebih disayangkan, ucapan dan penilaian miring terhadap suami ini kadang menjadi bahan obrolan di antara para wanita dan menjadi bahan keluhan sesama mereka. Padahal perbuatan seperti ini mengantarkan istri pada kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala dan azab yang pedih.
Perbuatan tidak tahu syukur merupakan satu sebab wanita menjadi mayoritas penghuni neraka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda setelah selesai shalat kusuf (shalat gerhana),
أُرِيْتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ. قِيْلَ: أَيَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ الْإِحْسَانَ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
“Diperlihatkan neraka kepadaku. Ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita yang kufur[1].”
Ada yang bertanya kepada beliau, “Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?”
Beliau menjawab, “(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka sepanjang waktu, kemudian ia melihat darimu sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya), niscaya ia akan berkata, ‘Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu’.” (HR. al-Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907)
Al-Qadhi Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata,
“Dalam hadits ini disebutkan secara khusus dosa kufur/ingkar terhadap suami di antara dosa lainnya. Sebab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, ‘Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain (sesama makhluk) niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggandengkan hak suami terhadap istri dengan hak Allah subhanahu wa ta’ala.
Jadi, apabila seorang istri mengkufuri/mengingkari hak suaminya, padahal hak suami terhadapnya sedemikian besar, itu menjadi bukti bahwa istri tersebut meremehkan hak Allah subhanahu wa ta’ala. Karena itulah, diberikan istilah kufur terhadap perbuatannya. Namun, kufurnya tidak sampai mengeluarkan dari agama.” (Fathul Bari, 1/106)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengisahkan,
قُمْتُ عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ فَكَانَ عَامَّةَ مَنْ دَخَلَهَا الْمَسَاكِيْنُ وَأَصْحَابُ الْجَدِّ مَحْبُوْسُوْنَ غَيْرَ أَنَّ أَصْحَابَ النَّارِ قَدْ أُمِرَ بِهِمْ إِلَى النَّارِ فَإِذَا عَامَّةُ مَنْ دَخَلَهَا النِّسَاءُ
“Aku berdiri di depan pintu surga, ternyata kebanyakan yang masuk ke dalamnya adalah orang-orang miskin, sementara orang kaya lagi terpandang masih tertahan (untuk dihisab) namun penghuni neraka telah diperintah untuk masuk ke dalam neraka[2], ternyata mayoritas yang masuk ke dalam neraka adalah wanita.” (HR . al-Bukhari no. 5196 dan Muslim no. 2736)
Pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju lapangan untuk melaksanakan shalat. Setelah itu, beliau berkhutbah dan ketika melewati para wanita beliau bersabda, “Wahai sekalian wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar (meminta ampun) karena sungguh diperlihatkan kepadaku mayoritas kalian adalah penghuni neraka.”
Berkata salah seorang wanita yang cerdas, “Apa sebabnya kami menjadi mayoritas penghuni neraka, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Kalian banyak melaknat dan mengkufuri kebaikan suami. Aku belum pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya namun dapat menundukkan lelaki yang memiliki akal yang sempurna daripada kalian.”
Wanita itu bertanya lagi, “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud dengan kurang akal dan kurang agama?”
“Kurangnya akal wanita ditunjukkan dengan persaksian dua orang wanita sama dengan persaksian seorang lelaki. Kurangnya agama wanita ditunjukkan dengan ia tidak mengerjakan shalat dan meninggalkan puasa di bulan Ramadhan selama beberapa malam (yakni saat ditimpa haid).” (HR. al-Bukhari no. 304 dan Muslim no. 79)
Di sisi lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan dalam sabdanya,
إِنَّ أَقَلَّ سَاكِنِي الْجَنَّةِ النِّسَاءُ
“Minoritas penghuni surga adalah kaum wanita.” (HR. Muslim no. 2738)
Oleh karena itu, tidak pantas seorang wanita yang ingin selamat dari azab untuk menyelisihi suaminya dengan mengkufuri kenikmatan dan kebaikan yang telah banyak ia curahkan. Banyak mengeluh hanya karena sebab sepele yang tak sebanding dengan apa yang telah ia persembahkan untuk anak dan istrinya.
Sepatutnya bila seorang istri melihat dari suaminya sesuatu yang tidak ia sukai atau tidak pantas dilakukan, janganlah ia mengkufuri dan melupakan seluruh kebaikannya. Sungguh, bila seorang istri tidak mau bersyukur kepada suami, padahal suaminya adalah orang yang paling banyak dan paling sering berbuat kebaikan kepadanya, maka ia pun tidak akan pandai bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala, Dzat yang terus mencurahkan kenikmatan dan menetapkan sebab-sebab tersampaikannya kenikmatan pada setiap hamba.
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ لاَ يَشْكُرِ النَّاسَ لاَ يَشْكُرِ اللهَ
“Siapa yang tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia, ia tidak akan bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala.” (HR . Abu Dawud no. 4177 dan at-Tirmidzi no. 2020, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muqbil menurut syarat Muslim, dalam ash-Shahihul Musnad, 2/338)
“Bisa jadi, karena mensyukuri Allah subhanahu wa ta’ala hanya bisa sempurna dengan patuh kepada-Nya dan melaksanakan perintah-Nya. Sementara itu, di antara perkara yang Dia perintahkan adalah berterima kasih kepada manusia yang menjadi perantara tersampaikannya nikmat-nikmat Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya. Orang yang tidak mematuhi Allah subhanahu wa ta’ala dalam hal ini, ia tidak menunaikan kesyukuran atas kenikmatan-Nya.
Bisa jadi pula, maknanya adalah orang yang tidak berterima kasih kepada manusia yang telah memberikan dan menyampaikan kenikmatan kepadanya, padahal tahu bahwa sifat manusia senang mendapatkan pujian, ia menyakiti si pemberi kebaikan dengan berpaling dan mengingkari apa yang telah diberikan. Orang yang seperti ini akan lebih berani meremehkan sikap syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala, yang sebenarnya sama saja bagi-Nya antara kesyukuran dan kekufuran[3].” (Tuhfatul Ahwadzi, 6/74)
Sepantasnya bagi seorang istri yang mencari keselamatan dari azab Allah subhanahu wa ta’ala untuk mencurahkan seluruh kemampuannya dalam menunaikan hak-hak suami, karena suaminya adalah jembatan untuk meraih kenikmatan surga atau malah sebaliknya membawa dirinya ke jurang neraka.
Al-Hushain bin Mihshan radhiallahu ‘anhu menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena satu keperluan dan setelah selesai dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya,
أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنارُكِ
“Apakah engkau sudah bersuami?”
Bibi al-Hushain menjawab, “Sudah.”
“Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?” tanya Rasulullah lagi.
Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lihatlah di mana keberadaanmu saat bergaul dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR . Ahmad 4/341. Lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 2612))
Ingatlah, suamimu hanya sementara waktu menemanimu di dunia. Dia akan berpisah denganmu dan berkumpul dengan para bidadari surga yang murka kala engkau menyakitinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan hal ini dalam sabdanya,
لاَ تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهَا مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ: لاَ تُؤْذِيهِ قَاتَلَكِ اللهُ، فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيْلٌ يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا
“Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia kecuali hurun ‘in[4] (bidadari-bidadari surga) yang menjadi istri si suami di surga berkata, “Jangan engkau menyakitinya, qatalakillah[5], karena dia di sisimu hanyalah sebagai tamu dan sekadar singgah, hampir-hampir dia akan berpisah denganmu untuk bertemu dengan kami.” (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah no. 204. Penulis Bahjatun Nazhirin berkata, Sanad hadits ini sahih, 1/372)
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
[1] Yang dimaksud kufur di sini adalah kufur ashghar (kufur kecil), yaitu kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari keimanan. Pelakunya tetap seorang muslim. Namun, karena dosa yang diperbuat, ia pantas mendapatkan siksa di dalam neraka meski tidak kekal di dalamnya sebagaimana pelaku kufur akbar (kufur besar). Kufur ini yang diistilahkan kufrun duna kufrin.
Al-Qadhi Abu Bakar ibnul ‘Arabi berkata dalam syarahnya sebagaimana dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani,
“Maksud penulis (al-Imam al-Bukhari) membawakan hadits ini (dalam kitab Al-Iman bab Kufranil ‘Asyir wa Kufrin duna Kufrin) adalah untuk menerangkan bahwa sebagaimana ketaatan itu diistilahkan dengan iman; demikian pula perbuatan maksiat diistilahkan kufur. Namun, kufur yang disebutkan dalam hadits ini bukan kufur yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.” (Fathul Bari, 1/106)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah menyatakan bolehnya memberikan istilah kufur kepada orang yang mengkufuri/mengingkari hak-hak orang lain terhadapnya. Hal ini sebagai celaan bagi si pelaku walaupun ia tidak kafir kepada Allah subhanahu wa ta’ala. (Syarah Shahih Muslim, 6/213)
[2] Maknanya ‘orang kaya yang pantas masuk neraka karena kekafiran atau kemaksiatannya, telah masuk ke dalam neraka’. (Syarah Shahih Muslim, 17/53)
[3] Yakni Allah subhanahu wa ta’ala tidak rugi dan tidak ada yang berkurang dari kerajaan-Nya bila Dia dikufuri, sebaliknya Allah subhanahu wa ta’ala tidak mendapat untung dan tidak pula bertambah pemilikan-Nya bila ia disyukuri. Sama saja baginya antara disyukuri dan dikufuri, tidak menambah dan tidak mengurangi sedikit pun apa yang ada pada-Nya.
[4] Al-Hur jamak dari al-haura, yaitu wanita-wanita penduduk surga, yang lebar matanya, bagian yang putih dari matanya sangatlah putih, sementara bola matanya sangatlah hitam. (Tuhfatul Ahwadzi, 4/283—284)
[5] Qatalakillah maknanya, “Semoga Allah membunuhmu, melaknatmu, atau memusuhimu.” Namun, maknanya bisa untuk menyatakan keheranan dan bukan dimaksudkan agar perkara tersebut terjadi.