Asysyariah
Asysyariah

kejahilan, penyakit kronis yang tercela

3 tahun yang lalu
baca 20 menit
Kejahilan, Penyakit Kronis yang Tercela

Mungkin akan muncul pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan penyakit kronis dalam pembahasan “Rubrik Akhlak” kali ini? Sudah mafhum, dalam tinjauan medis, penyakit kronis adalah penyakit menahun yang tak kunjung sembuh atau bahkan sulit tertolong lagi melainkan hanya menunggu detik-detik ajal datang menjemput, kecuali Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki yang lain.

Pada taraf ini, setiap orang atau keluarga yang sakit, umumnya tidak akan berpikir panjang, apa pun akan dikorbankan menuju kesembuhan. Namun, penyakit kronis apa pun, tetaplah suatu penyakit yang masih bisa dideteksi oleh ahlinya.

Tentu saja, kita akan bertanya-bertanya pada diri kita, penyakit kronis apakah yang mengancam keselamatan seluruh jenis manusia, tetapi susah sekali dideteksi itu? Terlebih, keselamatan apabila terbebaskan dari penyakit ini tidak tanggung-tanggung, yaitu keselamatan dunia dan akhirat?

Meski demikianlah, tabiat manusia menyukai sesuatu yang bersifat menguntungkan meski sementara, keselamatan yang bersifat semu, dan melupakan keselamatan yang hakiki. Itulah sifat kelalaian dan lupa yang selalu melekat pada setiap insan kecuali yang dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

إِنَّ ٱلَّذِينَ لَا يَرۡجُونَ لِقَآءَنَا وَرَضُواْ بِٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَٱطۡمَأَنُّواْ بِهَا وَٱلَّذِينَ هُمۡ عَنۡ ءَايَٰتِنَا غَٰفِلُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami.” (Yunus: 7)

Baca juga: Mengutamakan Akhirat di Atas Dunia

فَٱلۡيَوۡمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنۡ خَلۡفَكَ ءَايَةً وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ ٱلنَّاسِ عَنۡ ءَايَٰتِنَا لَغَٰفِلُونَ

“Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu, supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu, dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.” (Yunus: 92)

وَلَا تَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ نَسُواْ ٱللَّهَ فَأَنسَىٰهُمۡ أَنفُسَهُمۡۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ

“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (al-Hasyr: 19)

يَعۡلَمُونَ ظَٰهِرًا مِّنَ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَهُمۡ عَنِ ٱلۡأٓخِرَةِ هُمۡ غَٰفِلُونَ

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (ar-Rum: 7)

Allah subhanahu wa ta’ala telah mengajari kita sebuah sikap dalam bergaul bersama mereka, sebagaimana firman-Nya,

فَأَعۡرِضۡ عَن مَّن تَوَلَّىٰ عَن ذِكۡرِنَا وَلَمۡ يُرِدۡ إِلَّا ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا ٢٩ ذَٰلِكَ مَبۡلَغُهُم مِّنَ ٱلۡعِلۡمِۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِمَنِ ٱهۡتَدَىٰ ٣٠

“Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan kami, dan tidak menginginkan kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Rabbmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (an-Najm: 29—30)

Baca juga: Dunia dalam Pandangan Penghuninya

Imam al-Qurthubi rahimahullah di dalam tafsirnya menjelaskan, “Mereka berilmu tentang urusan dunia mereka, tetapi jahil tentang urusan akhirat mereka. Al-Farra berkata, ‘Allah merendahkan dan menghinakan mereka. Itulah batas akal mereka. Mereka mengutamakan kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat’.”

Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan, “Mencari dunia dan berusaha untuknya merupakan puncak tujuan pencarian mereka. Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dari Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu anha bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata, ‘Dunia merupakan negeri orang yang tidak memiliki negeri dan harta bagi orang yang tidak memilikinya. Yang akan berusaha mengumpulkannya adalah orang yang tidak memiliki akal’.”

Penyakit kronis dalam pembahasan kali ini amat sangat terkait dengan agama dan keselamatan seseorang di dunia dan di akhirat. Sekali lagi, tahukah Anda, penyakit kronis apakah itu?

Itulah penyakit kejahilan (kebodohan). Ia merupakan akhlak tercela dan perangai orang-orang yang hina.

Kejahilan Adalah Penyakit yang Berbahaya

Orang jarang mengetahui bahwa kejahilan adalah penyakit yang lebih berbahaya dari segala penyakit kronis. Bahkan, bukan sesuatu yang aneh lagi, orang yang dijangkiti penyakit ini tidak merasa kalau dirinya sakit. Justru yang terjadi adalah dia mengklaim diri sebagai orang yang sehat segala-galanya. Seseorang yang tertimpa penyakit kronis hanya merasakannya di dunia. Namun, penyakit kejahilan akan dirasakan pedihnya di dunia dan di akhirat.

وَلَقَدۡ ذَرَأۡنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ ٱلۡجِنِّ وَٱلۡإِنسِۖ لَهُمۡ قُلُوبٌ لَّا يَفۡقَهُونَ بِهَا وَلَهُمۡ أَعۡيُنٌ لَّا يُبۡصِرُونَ بِهَا وَلَهُمۡ ءَاذَانٌ لَّا يَسۡمَعُونَ بِهَآۚ أُوْلَٰٓئِكَ كَٱلۡأَنۡعَٰمِ بَلۡ هُمۡ أَضَلُّۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡغَٰفِلُونَ

“Sesungguhnya, Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi, mereka itulah orang-orang yang lalai.” (al-A’raf: 179)

Dengan kejahilan, seseorang akan terjatuh dalam perbuatan dosa yang tidak diampuni oleh Allah subhanahu wa ta’ala, perbuatan kezaliman yang terbesar, yang akan mengharamkan pelakunya masuk ke dalam surga serta mengekalkannya di neraka. Perbuatan yang akan menghalalkan darah, kehormatan, dan harta pelakunya. Itulah perbuatan menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala alias syirik.

Baca juga: Perbedaan Syirik Besar dan Syirik Kecil

Imam al-Albani rahimahullah ketika menjelaskan tentang menggantung jimat menyatakan,

“Kesesatan ini berkesinambungan dan tersebar, baik di tengah orang-orang yang tinggal di pegunungan, para petani, maupun sebagian orang yang tinggal di perkotaan. Termasuk dalam kategori jimat adalah kharazat yang diletakkan oleh para sopir di bagian depan mobil mereka yang digantung di atas spion (tengah). Sebagian mereka menggantungkan sandal yang telah usang di depan atau di belakang mobil mereka. Yang lain menggantungkan sepatu kuda di depan rumah atau toko.

Semuanya mereka jadikan sebagai tameng dari kejahatan ain (pandangan mata yang jahat)—menurut sangkaan mereka. Berbagai bentuk kesyirikan lainnya telah tersebar dan menjadi musibah besar, disebabkan oleh kejahilan tentang tauhid dan hal yang dinafikannya, yaitu segala bentuk kesyirikan dan berhalaisme. Tidaklah para rasul diutus dan kitab-kitab diturunkan melainkan untuk membatalkan segala kesyirikan itu dan menghakiminya. Kepada Allah subhanahu wa ta’ala sajalah kita mengadu akan kejahilan kaum muslimin dan jauhnya mereka dari agama mereka.” (Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah 1/890, no. 492)

Kejahilan juga akan menjatuhkan seseorang ke dalam amalan yang paling disukai Iblis setelah syirik, yakni perbuatan mengada-ada dalam syariat alias bid’ah, serta segala bentuk penyimpangan syariat lainnya. Hingga seseorang akan menolak kebenaran yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, “Tidaklah engkau menemukan seseorang terjatuh dalam kebid’ahan melainkan karena kurangnya mereka dalam berpegang dengan As-Sunnah, baik ilmu maupun amal. Barang siapa berilmu tentang As-Sunnah lalu mengikutinya, tidak ada pendorong bagi dirinya untuk melakukan kebid’ahan. Jadi, orang yang jahil tentang As-Sunnah akan terjatuh pada kebid’ahan.” (Syarah Hadits La Yazni az-Zani hlm. 35)

Baca juga: Benarkah Naik Mobil Adalah Bid’ah?

Demikianlah orang jahil. Kejahilannya akan menjadi malapetaka dahsyat yang menghampirinya. Kesulitan hidup menjadi terbuka di hadapannya. Kesempurnaan manusia akan menghilang di benaknya sehingga segala gerak-geriknya dikendalikan oleh hawa nafsu. Sungguh, betapa malang nasib hidupnya.

إِنَّمَا ٱلتَّوۡبَةُ عَلَى ٱللَّهِ لِلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلسُّوٓءَ بِجَهَٰلَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِن قَرِيبٍ فَأُوْلَٰٓئِكَ يَتُوبُ ٱللَّهُ عَلَيۡهِمۡۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Sesungguhnya tobat di sisi Allah hanyalah bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertobat dengan segera. Maka mereka itulah yang diterima Allah tobatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (an-Nisa: 17)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan,

“Mujahid dan selain beliau mengatakan, ‘Barang siapa bermaksiat kepada Allah, baik karena tersalah atau sengaja, dia adalah orang jahil, hingga dia mencabut diri dari dosa tersebut.’

Qatadah rahimahullah berkata dari Abul Aliyah; dia bercerita bahwa seluruh sahabat Nabi radhiallahu anhum berkata, ‘Segala dosa yang dilakukan oleh seorang hamba adalah karena kejahilan.’

Abdurrazzaq rahimahullah berkata, Ma’mar menyampaikan kepada kami dari Qatadah, dia berkata, ‘Para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersepakat bahwa segala sesuatu yang Allah dimaksiati dengannya, maka itu dilandasi kejahilan, baik disengaja maupun tidak.’

Abu Shalih rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma bahwa dia berkata, ‘Barang siapa jahil tentang sesuatu, dia akan melakukan kejahatan’.” (Tafsir Ibnu Katsir dengan ringkas 1/572)

Baca juga: Kejahilan, Lahan Subur Terorisme

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya kesempurnaan hidup manusia berkisar pada dua poros, yaitu mengetahui kebenaran dari kebatilan dan mengutamakan kebenaran dari selainnya. Perbedaan kedudukan hamba di hadapan Allah hanyalah karena perbedaan mereka dalam dua fondasi ini. Dengan kedua hal inilah, Allah subhanahu wa ta’ala memuji para nabi-Nya di dalam firman-Nya.

وَٱذۡكُرۡ عِبَٰدَنَآ إِبۡرَٰهِيمَ وَإِسۡحَٰقَ وَيَعۡقُوبَ أُوْلِي ٱلۡأَيۡدِي وَٱلۡأَبۡصَٰرِ

“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi.” (Shad: 45)

Lafaz أُولِي الْأَيْدِي artinya kekuatan dalam menerapkan kebenaran. Adapun lafaz الْأَبْصَارِ artinya ilmu tentang agama. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan sifat mereka, berupa kesempurnaan pengetahuan mereka tentang kebenaran dan kesempurnaan penerapan mereka terhadapnya.” (al-Jawabul Kafi hlm. 139)

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Sesungguhnya, seseorang melakukan penyelisihan karena sedikitnya pengetahuan mereka tentang segala yang datang dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” (I’lamul Muwaqqi’in, 1/44)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kebenaran banyak hilang di tengah orang-orang yang jahil lagi ummi (tidak pandai membaca dan menulis).” (Majmu’ Fatawa 25/129)

Ibnul Qayyim shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Sebab tertolaknya kebenaran banyak sekali. Di antaranya adalah kejahilan, dan inilah sebab yang mendominasi pada kebanyakan orang. Sebab, barang siapa jahil terhadap sesuatu, niscaya dia akan menentangnya dan menentang pemeluknya.” (Hidayatul Hayara fi Ajwibati al-Yahudi wan Nashara hlm. 18)

Baca juga: Kebenaran Tercampakkan karena Kedengkian dan Kesombongan

Setelah ini, tidakkah Anda menganggap bahwa kejahilan adalah penyakit yang kronis dan berbahaya? Tidakkah cukup sebagai bukti bahwa terjatuhnya seseorang pada kesyirikan, kekufuran, kemaksiatan, dan segala bentuk penyelisihan terhadap syariat merupakan akibat dari kejahilan? Bahkan, sekte Rafidhah—mazhab yang paling jahat dan paling sesat—muncul dan bisa berkembang pesat di tengah kaum muslimin juga disebabkan kejahilan! Sekte ini dicetuskan oleh seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam pada masa pemerintahan Utsman bin Affan radhiallahu anhu, yaitu Abdullah bin Saba al-Yahudi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan, “Sesungguhnya, yang mencetuskan mazhab Rafidhah adalah seorang zindik (munafik), mulhid (menyeleweng), musuh Islam dan kaum muslimin. Abdullah bin Saba tidak termasuk ahli bid’ah[1] yang melakukan penakwilan, sebagaimana halnya golongan Khawarij dan Qadariyah. Doktrin-doktrinnya berkembang pesat di tengah kaum yang memiliki iman, tetapi terkuasai oleh kejahilan mereka.” (Minhaj as-Sunnah 4/363)

Penyakit kronis ini butuh obat yang ampuh dan mujarab. Obatnya tidak akan didapatkan melalui pemeriksaan medis di belahan dunia mana pun.

Obat Penyakit Kronis Kejahilan

Seseorang yang mengerti sedikit ilmu agama niscaya akan mengetahui obat yang manjur bagi penyakit kronis yang sangat berbahaya tersebut. Itulah ilmu agama, yang bersumberkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang dipahami dengan pemahaman salafus shalih. Ilmu inilah akan memperbaiki hubungan lahiriah dan batiniah dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Ilmu tersebut akan membimbing ke jalan yang diridhai-Nya dan menjauhkan dari amalan-amalan yang dimurkai-Nya. Selain itu, ilmu ini akan membimbing kepada jalan yang benar dan menjauhkan dari jalan yang batil. Ilmu agama yang seperti inilah yang akan membuahkan rasa takut kepada Allah sehingga mencegah pemiliknya dari bermaksiat kepada-Nya.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menjelaskan, “Ilmu adalah mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya, dan mengenal agama-Nya dengan dalil-dalil.” (Tsalatsatul Ushul)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ilmu adalah firman Allah, sabda Rasulullah, dan ucapan para sahabat radhiallahu anhum.”

Al-Auza’i rahimahullah berkata, “Ilmu adalah apa yang diajarkan oleh para sahabat Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Yang selain itu, tidaklah dikatakan ilmu.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Bar, 2/29)

Demikian juga ucapan Imam Ahmad rahimahullah. (Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘alal Khalaf hlm. 42)

Al-Junaidi rahimahullah berkata, “Ilmu kita adalah terikat dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Orang yang tidak membaca Al-Qur’an dan hadits, tidak bisa dijadikan panutan dalam ilmu kami.” (idem, hlm. 44)

Baca juga: Ilmu dan Akhlak Orang yang Berilmu

Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu dan selain beliau berkata, “Cukuplah rasa takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala sebagai ilmu dan cukuplah ketertipuan sebagai kejahilan.”[2]

Sebagian ulama salaf berkata, “Ilmu bukan karena banyak meriwayatkan. Akan tetapi, ilmu adalah yang akan mendatangkan rasa takut.”

Sebagian mereka menegaskan, “Barang siapa takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dia adalah orang alim. Barang siapa bermaksiat, berarti dia adalah orang jahil.” (idem, hlm. 47)

As-Sa’di rahimahullah menjelaskan dalam sebuah manzhumah-nya, “Ketahuilah—semoga Allah memberimu hidayah—bahwa seutama-utama pemberian adalah ilmu yang akan menghilangkan keraguan (yaitu syubhat) dan kekotoran (yaitu syahwat). Ilmu yang akan membuka tabir kebenaran bagi yang berakal, dan ilmu yang akan menyampaikan kepada hal yang dicari.”

Kesimpulan kita bahwa ilmu adalah pohon yang akan membuahkan ucapan yang baik dan amal saleh. Sebaliknya, kejahilan adalah pohon yang membuahkan ucapan dan perbuatan yang jelek. (Qawa’id Fiqhiyyah karya as-Sa’di rahimahullah hlm. 12—13)

Baca juga: Amalan Tanpa Ilmu Laksana Fatamorgana

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

“Barang siapa dikehendaki oleh Allah kebaikan, niscaya Allah akan memberikan kepahaman dalam agama.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Muawiyah radhiallahu anhu)

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلىَ الْجَنَّةِ

“Barang siapa menempuh jalan dalam rangka menuntut ilmu, Allah akan memudahkan jalannya menuju surga.” (HR. Muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu)

مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ

“Tiadalah suatu kaum berkumpul di rumah dari rumah-rumah Allah, mereka membaca Al-Kitab (Al-Qur’an) dan mengkajinya, melainkan akan turun kepada mereka ketenangan, diliputi oleh rahmat, dikelilingi oleh para malaikat dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan orang-orang yang ada di sisi-Nya.” (HR. Muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu)

Dalil-Dalil yang Mengecam Kejahilan

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّا عَرَضۡنَا ٱلۡأَمَانَةَ عَلَى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱلۡجِبَالِ فَأَبَيۡنَ أَن يَحۡمِلۡنَهَا وَأَشۡفَقۡنَ مِنۡهَا وَحَمَلَهَا ٱلۡإِنسَٰنُۖ إِنَّهُۥ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (al-Ahzab: 72)

وَجَٰوَزۡنَا بِبَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ ٱلۡبَحۡرَ فَأَتَوۡاْ عَلَىٰ قَوۡمٍ يَعۡكُفُونَ عَلَىٰٓ أَصۡنَامٍ لَّهُمۡۚ قَالُواْ يَٰمُوسَى ٱجۡعَل لَّنَآ إِلَٰهًا كَمَا لَهُمۡ ءَالِهَةٌۚ قَالَ إِنَّكُمۡ قَوۡمٌ تَجۡهَلُونَ

“Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu. Setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani lsrail berkata, ‘Hai Musa, buatkanlah untuk kami sebuah sembahan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa sembahan (berhala).’ Musa menjawab, ‘Sesungguhnya kalian adalah kaum yang jahil yang tidak mengetahui (sifat-sifat Allah)’.” (al-A’raf: 138)

أَئِنَّكُمۡ لَتَأۡتُونَ ٱلرِّجَالَ شَهۡوَةً مِّن دُونِ ٱلنِّسَآءِۚ بَلۡ أَنتُمۡ قَوۡمٌ تَجۡهَلُونَ

“Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang bodoh (akibat perbuatanmu).” (an-Naml: 55)

Baca juga: Homoseksual Menurut Ulama Empat Mazhab

قُلۡ أَفَغَيۡرَ ٱللَّهِ تَأۡمُرُوٓنِّيٓ أَعۡبُدُ أَيُّهَا ٱلۡجَٰهِلُونَ

Katakanlah, “Maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, hai orang-orang yang tidak berpengetahuan?” (az-Zumar: 64)

أَمَّنۡ هُوَ قَٰنِتٌ ءَانَآءَ ٱلَّيۡلِ سَاجِدًا وَقَآئِمًا يَحۡذَرُ ٱلۡأٓخِرَةَ وَيَرۡجُواْ رَحۡمَةَ رَبِّهِۦۗ قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِي ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ

“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabbnya? Katakanlah, ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (az-Zumar: 9)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنَّ اللهَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ اللهُ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

“Sesungguhnya, Allah tidak akan mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Apabila Allah tidak lagi menyisakan seorang pun dari mereka, lalu orang-orang mengangkat pemimpinnya dari orang jahil, kemudian mereka bertanya kepadanya, dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu, sesat lagi menyesatkan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiallahu anhuma)

Akibat Terjangkiti Penyakit Kejahilan

  1. Kejahilan pada seorang dai

Tidak ada yang memungkiri bahwa kedudukan seorang dai di sisi Allah subhanahu wa ta’ala adalah sangat tinggi. Bahkan, Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya telah memuji mereka di dalam banyak dalil. Di antaranya,

وَمَنۡ أَحۡسَنُ قَوۡلًا مِّمَّن دَعَآ إِلَى ٱللَّهِ وَعَمِلَ صَٰلِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?’.” (Fushshilat: 33)

قُلۡ هَٰذِهِۦ سَبِيلِيٓ أَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِيۖ وَسُبۡحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ

Katakanlah, “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata. Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108)

وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةٌ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ

“Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)

Baca juga: Urgensi Amar Makruf Nahi Mungkar

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

وَاللهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ

“Demi Allah, seseorang mendapatkan hidayah dari Allah karenamu, itu lebih baik daripada kamu memiliki unta-unta merah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Sahl bin Saad as-Saidi radhiallahu anhu)

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا

“Barang siapa menyeru kepada petunjuk, dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. Muslim no. 2674 dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu)

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

“Barang siapa menunjukkan kepada kebaikan, dia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya.” (HR. Muslim no. 1493 dari sahabat Abu Mas’ud Uqbah bin Amir al-Anshari al-Badri radhiallahu anhu)

Bukanlah suatu keanehan apabila seorang dai mendapatkan martabat seperti ini. Sebab, mereka adalah pewaris tugas para nabi. Kita mengetahui bahwa tugas mereka adalah berdakwah di jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, seseorang dituntut agar bersemangat dalam memikul amanat ini untuk mendapatkan pahala yang besar di sisi-Nya. Di sisi lain, realitas umat ini sangat membutuhkan dai-dai yang saleh, tulus memberi nasihat, dan penuh kasih sayang. Selain itu, para dai juga dibutuhkan untuk menghadapi peperangan yang dikobarkan oleh musuh Islam terhadap pemikiran umat, akidah, dan akhlaknya, yang puncaknya mereka terpenjarakan dalam fitnah syahwat dan syubhat.

Baca juga: Akhlak Seorang Dai

Kita telah diajari oleh agama bahwa berdakwah adalah sebuah amanat dan tanggung jawab yang besar. Bukan hanya di dunia, melainkan juga sebuah tanggung jawab di akhirat. Seorang dai akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah subhanahu wa ta’ala, ke mana dia mengajak umat. Untuk menyelamatkan diri dari tanggung jawab ini, Allah subhanahu wa ta’ala mensyaratkan agar berdakwah dilakukan di atas ilmu. Berdakwah di atas ilmu merupakan jalan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para pengikut beliau. Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskannya dalam firman-Nya,

قُلۡ هَٰذِهِۦ سَبِيلِيٓ أَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِيۖ وَسُبۡحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ

Katakanlah, “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata.” (Yusuf: 108)

Berdasaran hal ini, kita mengetahui bahwa orang-orang yang tidak berilmu tentang syariat tidak diperbolehkan baginya memosisikan diri sebagai penerus tugas para nabi, terlebih dikenai perintah untuk berdakwah. Sebab, apabila salah menyampaikan atau menyesatkan orang lain, ancamannya sangat besar. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

“Barang siapa menyeru kepada kesesatan, dia mendapatkan dosa seperti dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim no. 2674 dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu)

  1. Kejahilan pada seorang pemimpin

Bisa dibayangkan apabila seorang pemimpin adalah orang yang jahil tentang agama. Segala sepak terjangnya akan dibangun di atas kejahilan. Yang tergambar adalah sebuah bentuk kezaliman, pemerkosaan hak rakyatnya, bahkan akan memperkosa agama dan kaum muslimin, lagi sesat menyesatkan.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنَّ اللهَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ اللهُ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوسًَا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

“Sesungguhnya, Allah tidak akan mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Hingga apabila Allah tidak lagi menyisakan seorang pun dari mereka, orang-orang akan mengangkat pemimpinnya dari orang jahil, kemudian mereka bertanya kepadanya, dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu, sesat lagi menyesatkan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiallahu anhuma)

  1. Kejahilan pada orang biasa

Kejahilan menjadi akhlak yang tercela, yang akan merusak jati diri seorang dai dan seorang pemimpin. Apatah lagi apabila akhlak ini disandang oleh seseorang yang awam tentang agama. Tentu dia akan semakin rusak dan jahat. Dia akan dijangkiti oleh penyakit kronis, lainnya seperti taklid buta, fanatisme, lancang, menolak kebenaran, membela kebatilan dan berkubang padanya, memusuhi kebenaran dan pelakunya, iri hati, dengki, sombong, dan berbagai sifat berbahaya lainnya.

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Barang siapa ridha dengan kebid’ahannya, tidak mau mencari dalil-dalil syariat dan tidak mau mencari ilmu yang akan bisa memisahkan antara yang haq dan batil, serta tidak mau membelanya, menolak apa yang datang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dibarengi kejahilan dan kesesatan serta berkeyakinan bahwa dirinya berada di atas kebenaran; orang seperti ini termasuk orang zalim dan fasik. (Derajat kezaliman dan kefasikannya) sesuai dengan kewajiban-kewajiban yang dia tinggalkan dan kelancangan dirinya melaksanakan keharaman-keharaman Allah.” (Irsyad Ulil Basha’ir wal Albab hlm. 300)

Wallahu a’lam.


Catatan Kaki

[1] Karena dia telah kafir.

[2] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah di dalam kitab az-Zuhd (no. 158) dan ath-Thabarani rahimahullah di dalam al-Kabir (9/211), dan terdapat kelemahan, pada sanadnya juga ada inqitha` (keterputusan). (Lihat ta’liq dan tahqiq Fadhlu ‘Ilmi as-Salaf hlm. 46)

(Ustadz Abu Usamah Abdurrahman)