Asysyariah
Asysyariah

kedudukan seorang ibu

3 tahun yang lalu
baca 16 menit
Kedudukan Seorang Ibu

Dalam Al-Qur’an yang mulia, Allah azza wa jalla berfirman,

وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ وَهۡنًا عَلَىٰ وَهۡنٍ وَفِصَٰلُهُۥ فِي عَامَيۡنِ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِي وَلِوَٰلِدَيۡكَ إِلَيَّ ٱلۡمَصِيرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu dan hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Luqman: 14)

Di tempat lain, Dia Yang Mahasuci berfirman,

وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ إِحۡسَٰنًاۖ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ كُرۡهًا وَوَضَعَتۡهُ كُرۡهًاۖ وَحَمۡلُهُۥ وَفِصَٰلُهُۥ ثَلَٰثُونَ شَهۡرًاۚ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan….” (al-Ahqaf: 15)

Baca juga: Ritual Mungkar Seputar Kehamilan dan Kelahiran

Dua ayat yang mulia di atas berisi perintah berbakti kepada orang tua. Ia adalah suatu kewajiban dalam agama yang mulia ini. Bahkan, Allah azza wa jalla menggandengkan perintah berbakti ini dengan perintah beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Di antaranya dalam ayat,

وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡ‍ًٔاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنًا

“Beribadahlah kalian kepada Allah dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun serta berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (an-Nisa: 36)

Ayah dan ibu sama-sama memiliki hak terhadap anaknya untuk memperoleh bakti. Hanya saja, ibu memiliki bagian dan porsi yang lebih besar. Seorang sahabat bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِيْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أَبُوْكَ

“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk kupergauli dengan baik?”

Beliau berkata, “Ibumu.”

Laki-laki itu kembali bertanya, “Kemudian siapa?”

“Ibumu,” jawab beliau.

“Kemudian siapa?” tanya laki-laki itu.

“Ibumu,” jawab beliau.

“Kemudian siapa?” tanyanya lagi.

“Kemudian ayahmu,” jawab beliau. (HR. al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447)

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menukilkan ucapan Ibnu Baththal rahimahullah, “Kandungan hadits ini adalah seorang ibu memiliki hak untuk mendapatkan kebaikan yang disebutkan tiga kali daripada hak seorang ayah.”

Baca juga: Kewajiban Berbakti kepada Orang Tua

Ibnu Baththal juga mengatakan, hal itu diperoleh karena kesulitan yang didapatkan saat mengandung, kemudian melahirkan, lalu menyusui. Tiga perkara ini dialami sendiri oleh seorang ibu. Dia merasakan kepayahan karenanya. Kemudian, ibu menyertai ayah dalam memberikan tarbiyah (pendidikan kepada anak). Isyarat tentang hal ini terdapat dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ وَهۡنًا عَلَىٰ وَهۡنٍ وَفِصَٰلُهُۥ فِي عَامَيۡنِ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِي وَلِوَٰلِدَيۡكَ إِلَيَّ ٱلۡمَصِيرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.” (Luqman: 14)

Allah subhanahu wa ta’ala menyamakan ayah dan ibu dalam hal mendapatkan bakti. Dia mengkhususkan ibu dengan tiga perkara (mengandung, melahirkan, dan menyusui).” (Fathul Bari, 10/493)

Imam an-Nawawi rahimahullah menyatakan,

“Dalam hadits ini ada anjuran untuk berbuat baik kepada kerabat[1]. Ibu adalah kerabat yang paling berhak mendapatkan bakti, kemudian ayah, kemudian kerabat yang terdekat. Ulama berkata, ‘Sebab didahulukannya ibu adalah banyaknya kepayahan yang dialaminya ketika mengurusi anak. Di samping itu, juga besarnya kasih sayangnya, pelayanannya, kepayahan yang dialaminya saat mengandung, saat melahirkannya, menyusuinya, mendidiknya, melayaninya, mengurusi/merawatnya tatkala sakit, dan selainnya’.” (al-Minhaj, 16/318)

Baca juga: Empat Kesalahan dalam Mendidik Anak

Al-Allamah Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya terhadap surah al-Ahqaf ayat 15,

“Ini merupakan kelembutan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya dan kesyukuran-Nya kepada kedua orang tua. Dia mewasiatkan kepada anak-anak agar berbuat baik kepada kedua orang tua mereka, dengan menujukan kepada keduanya perkataan yang lembut, kalimat yang lunak/halus, memberikan harta dan nafkah, serta sisi-sisi kebaikan lainnya.

Kemudian, Allah subhanahu wa ta’ala memberikan peringatan dengan menyebutkan sebab seorang anak harus berbuat baik kepada orang tuanya. Dia menyebutkan kesulitan-kesulitan yang ditanggung/dipikul oleh seorang ibu saat mengandung anaknya, kemudian kesulitan yang besar saat melahirkannya, lalu kepayahan menyusuinya dan memberikan pelayanan ketika mengasuhnya.

Kesulitan dan kepayahan ini dialami bukan dalam masa yang pendek/singkat, satu atau dua jam, melainkan masa yang panjang, yaitu tiga puluh bulan. Ini adalah masa kehamilan selama sembilan bulan atau sekitarnya dan waktu yang tersisa untuk masa penyusuan. Ini yang umum terjadi.

Ayat ini bersama dengan firman-Nya,

وَٱلۡوَٰلِدَٰتُ يُرۡضِعۡنَ أَوۡلَٰدَهُنَّ حَوۡلَيۡنِ كَامِلَيۡنِۖ

“Dan para ibu hendaknya menyusui anak-anak mereka selama dua tahun yang sempurna.” (al-Baqarah: 233)

menjadi dalil bahwa masa kehamilan itu minimal enam bulan. Sebab, masa menyusui (sebagaimana dalam ayat di atas, -pent.) lamanya dua tahun. Apabila diambil dua tahun dari masa 30 bulan, tersisa enam bulan sebagai masa kehamilan.” (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 781)

Baca juga: Peran Ibu dalam Tarbiyah Anak

Dari ayat, hadits, dan penjelasan di atas, tampaklah bagi kita peran agung seorang ibu. Ia telah mengandung anaknya selama sembilan bulan lebih beberapa hari, dengan kepayahan, keberatan, dan kesulitan. Saat melahirkan, ia pun berjuang menghadapi maut. Sakit yang sangat pun dialaminya untuk mengeluarkan buah hatinya ke dunia.

Tidak hanya itu, setelah si anak lahir, dengan penuh kasih disusuinya kapan saja si anak membutuhkan. Tak peduli siang atau malam meski harus menyita waktu istirahatnya. Kelelahan demi kelelahan dilewatinya dengan penuh kesabaran dan lapang dada, demi sang permata hati.

Demikianlah. Oleh karena itu, pantaslah syariat yang suci ini memberikan pemuliaan kepada ibu dengan memerintah anak agar berbakti kepadanya, selain kepada sang ayah. Bakti ini terus diberikan sampai akhir hayat keduanya. Bahkan, sepeninggal keduanya, yaitu dengan menyambung silaturahim dan berbuat baik kepada sahabat/orang-orang yang dikasihi oleh keduanya.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَبَرَّ البِرِّ أَنْ يَصِلَ الرَّجُلُ وُدَّ أَبِيْهِ

“Sesungguhnya, berbuat baik yang paling baik adalah seseorang menyambung hubungan dengan orang yang dikasihi oleh ayahnya.” (HR. Muslim no. 2552)

Baca juga: Perkara yang Bermanfaat Bagi Orang yang Telah Mati

Hadits di atas diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma. Beliau mencontohkan pula pengamalan hadits ini dengan perbuatannya. Disebutkan, ada seorang Arab badui bertemu dengan Abdullah di jalanan Makkah. Abdullah mengucapkan salam kepadanya. Abdullah lalu menyerahkan keledai yang ditungganginya agar dinaiki oleh orang tersebut dan memberinya sorban yang semula dipakainya.

Ibnu Dinar, perawi hadits ini, bertanya kepada Abdullah, “Semoga Allah memperbaikimu! Mereka itu orang badui. Mereka sudah cukup senang dengan pemberian yang sedikit.”

Abdullah berkata menjelaskan sebab perbuatannya kepada si badui, “Ayah orang badui itu adalah sahabat yang dikasihi oleh Umar ibnul Khaththab. Sementara itu, aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya, berbuat baik yang paling baik adalah seorang anak menyambung hubungan dengan orang yang dikasihi oleh ayahnya’.” (HR. Muslim no. 2552)

Satu lagi atsar yang menunjukkan keutamaan berbakti kepada ibu. Atsar ini diriwayatkan dari Atha bin Yasar, dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma. Seseorang datang kepada Ibnu Abbas seraya berkata, “Aku telah meminang seorang wanita. Namun, wanita itu menolak untuk menikah denganku. Kemudian ada lelaki lain yang meminangnya. Ternyata, ia senang menikah dengan lelaki tersebut. Aku pun cemburu sehingga aku membunuh wanita tersebut. Adakah tobat untukku?”

Ibnu Abbas radhiallahu anhuma bertanya, “Apakah ibumu masih hidup?”

“Tidak,” jawab lelaki tersebut.

“Bertobatlah kepada Allah azza wa jalla dan taqarrub-lah (mendekatkan diri dengan melakukan amal shalih) kepada-Nya semampumu.”

Baca juga: Syarat Tobat Nasuha

Atha bin Yasar berkata, “Aku pergi dan bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Mengapa engkau menanyakan tentang ibunya (masih hidup atau tidak)?’.”

Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menjawab, “Sungguh, aku tidak mengetahui ada amalan yang lebih mendekatkan diri kepada Allah azza wa jalla selain berbakti kepada ibu.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari rahimahullah dalam al-Adabul Mufrad; dinilai sahih dalam ash-Shahihah no. 2799)

Berbakti kepada orang tua—terkhusus ibu—telah diperintahkan oleh agama Islam. Maka dari itu, kita tidak membutuhkan perayaan Hari Ibu untuk mengenang jasa-jasa seorang ibu dan menjadikannya sebagai momen untuk memberi berbagai hadiah kepada ibu. Atau memberikan perhatian khusus kepadanya dan mengistirahatkannya dari pekerjaan pada hari tersebut.

Dalam Islam, seorang anak harus berbuat baik kepada ibunya, kapan pun. Setiap waktu dan setiap keadaan, tanpa menunggu datangnya Hari Ibu; sebuah perayaan yang diada-adakan tanpa perintah dari agama. Perayaan itu semata taklid kepada budaya Barat yang memang tidak mengenal istilah berbakti kepada orang tua.

Contoh Anak yang Berbakti

Abu Hurairah radhiallahu anhu dikenal sebagai seorang yang berbakti kepada ibunya. Dia tidak lupa untuk meminta ampun bagi ibunya bila ia beristigfar kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata,

“Kami sedang berada di sisi Abu Hurairah pada suatu malam. Saat itu, Abu Hurairah berdoa, ‘Ya Allah, ampunilah Abu Hurairah dan ibuku, serta ampunilah orang yang memintakan ampun untuk Abu Hurairah dan ibunya’.”

Muhammad berkata, “Kami pun memintakan ampun untuk keduanya agar kami dapat masuk dalam doa Abu Hurairah.” (Diriwayatkan al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 37; Syaikh al-Albani menilai sanadnya sahih dalam Shahih al-Adabil Mufrad)

Sebelumnya, ibu Abu Hurairah enggan masuk Islam. Abu Hurairah berkisah,

“Aku mengajak ibuku yang masih musyrik untuk masuk Islam. Suatu hari aku mendakwahinya. Ibuku justru memperdengarkan kepadaku ucapan yang kubenci tentang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Aku mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan menangis dan berkata, ‘Wahai Rasulullah! Aku mengajak ibuku masuk Islam, tetapi ia menolak. Suatu hari aku mendakwahinya, tetapi ia memperdengarkan kepadaku ucapan yang kubenci tentangmu. Doakanlah kepada Allah agar memberikan hidayah kepada ibu Abu Hurairah.’

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun berdoa,

اللَّهُمَّ اهْدِ أُمَّ أَبِي هُرَيْرَةَ

“Ya Allah, berilah hidayah kepada ibu Abu Hurairah.”

Baca juga: Sebab-Sebab Mendapatkan Hidayah

Aku pun keluar dalam keadaan gembira dengan doa Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ketika tiba di rumah, aku menuju pintu yang ternyata sedang tertutup. Ibuku mendengar suara gesekan dua telapak kakiku di tanah. Dia berkata, “Tetaplah di tempatmu, wahai Abu Hurairah.”

Aku mendengar suara gerakan/percikan air. Ternyata ibuku mandi, lalu mengenakan pakaian dan kerudungnya. Setelah itu, dia membuka pintu dan berkata, “Wahai Abu Hurairah! Aku bersaksi La ilaaha illallah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.”

Aku pun kembali menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan menangis karena bahagia. Kukatakan, “Wahai Rasulullah! Bergembiralah, sungguh Allah subhanahu wa ta’ala telah mengabulkan doamu dan memberikan hidayah kepada ibu Abu Hurairah.”

Beliau pun memuji Allah azza wa jalla dan menyanjung-Nya. (HR. Muslim no. 2491)

Baca juga: Hidayah Taufik & Ilham

Ada lagi seorang tokoh tabiin yang dikenal sangat berbakti kepada ibunya. Dia adalah Uwais al-Qarani rahimahullah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda tentangnya kepada Umar ibnul Khaththab radhiallahu anhu,

“Suatu saat nanti, akan datang kepada kalian Uwais bin Amir bersama rombongan pasukan penduduk Yaman. Dia berasal dari kabilah Murad, dari Qaran. Dahulu dia terkena penyakit belang. Lalu dia disembuhkan dari penyakitnya itu, kecuali sebesar dirham di pusarnya. Dia memiliki seorang ibu dan sangat berbakti kepadanya. Kalau dia bersumpah kepada Allah, pasti Allah subhanahu wa ta’ala kabulkan sumpahnya. Kalau engkau bisa memintanya agar memohonkan ampun untukmu, lakukanlah[2].” (HR. Muslim no. 6439)

Haramnya Durhaka kepada Ibu

Perintah berbakti kepada ibu telah jelas bagi kita. Kebalikan dari berbakti adalah berbuat durhaka. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang perbuatan durhaka ini. Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ الْأُمَّهَاتِ …

“Sesungguhnya Allah mengharamkan bagi kalian berbuat durhaka kepada para ibu….” (HR. al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 4457)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata,

“Durhaka kepada ibu adalah haram dan termasuk dosa besar, menurut kesepakatan ulama. Betapa banyak hadits sahih yang memasukkannya ke dalam dosa besar. Berbuat durhaka kepada ayah juga termasuk dosa besar. Dalam hadits ini dibatasi penyebutan durhaka kepada ibu (tanpa menyebutkan durhaka kepada ayah) karena kehormatan ibu lebih ditekankan daripada ayah.

Karena itu, ketika ada yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang siapakah yang paling berhak mendapatkan kebaikannya, beliau menjawab, “Ibumu, kemudian ibumu,” sebanyak tiga kali. Setelah itu, pada kali yang keempat, beliau baru menyebutkan, “Kemudian ayahmu.” Selain itu, karena kebanyakan perbuatan durhaka dari anak diterima/dirasakan oleh para ibu.” (al-Minhaj, 11/238)

Taat Hanya dalam Selain Dosa dan Maksiat

Sa’d bin Abi Waqqash radhiallahu anhu menyebutkan bahwa telah turun beberapa ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan dirinya. Ia berkisah bahwa Ummu Sa’d (ibunya) bersumpah tidak akan mengajaknya bicara selama-lamanya, sampai ia mau meninggalkan agama Islam. Dia juga bersumpah tidak akan makan dan minum.

Si ibu berkata, “Engkau mengaku bahwa Allah mewasiatkan kepadamu untuk berbakti kepada kedua orang tuamu. Aku adalah ibumu. Aku memerintahmu untuk meninggalkan agama baru yang engkau anut.”

Sa’d berkata, “Ibuku melewati tiga hari dengan melaksanakan sumpahnya untuk tidak makan dan minum. Ia sampai jatuh pingsan karena kepayahan yang dideritanya. Bangkitlah putranya yang bernama Umarah lalu memberinya minum. Mulailah si ibu mendoakan kejelekan untuk Sa’d.

Allah azza wa jalla pun menurunkan dalam Al-Qur’an, ayat berikut,

وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ حُسۡنًاۖ وَإِن جَٰهَدَاكَ لِتُشۡرِكَ بِي

“Dan Kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya. “Namun apabila keduanya memaksamu untuk menyekutukan Aku….” (al-Ankabut: 8)

Baca juga: Al-Bara, Kosekuensi Akidah dan Tauhid

Dalam ayat tersebut dinyatakan,

وَصَاحِبۡهُمَا فِي ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفًاۖ

“Maka janganlah engkau menaati keduanya dan bergaullah kepada keduanya di dunia dengan makruf.” (Luqman: 15) (HR. Muslim no. 1748)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لاَ طَاعَةَ فِي الْمَعْصِيَةِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ

“Tidak ada ketaatan dalam perkara maksiat. Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang makruf.” (HR. al-Bukhari no. 7257 dan Muslim no. 1840)

Bolehnya Menyambung Hubungan dengan Ibu yang Musyrik

Seorang anak boleh tetap menjaga hubungan baik dengan ibunya yang berbeda agama dengannya alias kafir. Allah azza wa jalla berfirman,

لَّا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يُقَٰتِلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَلَمۡ يُخۡرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ أَن تَبَرُّوهُمۡ وَتُقۡسِطُوٓاْ إِلَيۡهِمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ ٨ إِنَّمَا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ قَٰتَلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَأَخۡرَجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ وَظَٰهَرُواْ عَلَىٰٓ إِخۡرَاجِكُمۡ أَن تَوَلَّوۡهُمۡۚ وَمَن يَتَوَلَّهُمۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ٩

“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kalian menjadikan sebagai kawan kalian orang-orang yang memerangi kalian karena agama, mengusir kalian dari negeri kalian, dan membantu orang lain untuk mengusir kalian. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (al-Mumtahanah: 8—9)

Asma bintu Abi Bakr Ash-Shiddiq radhiallahu anhuma berkata,

قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّيْ وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ: إِنَّ أُمِّي قَدِمَتْ وَهِيَ رَاغِبَةٌ، أَفَأَصِلُ أُمِّي؟ قَالَ: نَعَمْ، صِلِيْ أُمَّكِ

“Ibuku datang menemuiku dalam keadaan ia masih musyrik di masa perjanjian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam (dengan kafir Quraisy). Aku pun meminta fatwa kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Aku berkata, “Ibuku datang menemuiku untuk meminta baktiku kepadanya dalam keadaan mengharap kebaikan putrinya. Apakah aku boleh menyambung hubungan dengan ibuku?”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Ya, sambunglah hubungan dengan ibumu.” (HR. al-Bukhari no. 2620 dan Muslim no. 2322)

Baca juga: Berbuat Baik kepada Sesama

Mungkin timbul pertanyaan, bagaimana dengan ayat Allah azza wa jalla yang menyatakan,

لَّا تَجِدُ قَوۡمًا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ يُوَآدُّونَ مَنۡ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَوۡ كَانُوٓاْ ءَابَآءَهُمۡ أَوۡ أَبۡنَآءَهُمۡ أَوۡ إِخۡوَٰنَهُمۡ أَوۡ عَشِيرَتَهُمۡۚ

“Engkau tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (al-Mujadilah: 22)

Demikian pula ayat,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُوٓاْ ءَابَآءَكُمۡ وَإِخۡوَٰنَكُمۡ أَوۡلِيَآءَ إِنِ ٱسۡتَحَبُّواْ ٱلۡكُفۡرَ عَلَى ٱلۡإِيمَٰنِۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan bapak-bapak dan saudara-saudara kalian sebagai kekasih, jika mereka lebih mencintai/mengutamakan kekafiran daripada keimanan. Dan siapa di antara kalian yang berloyalitas dengan mereka maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (at-Taubah: 23)

Jawabannya, bahwa berbuat baik dan menyambung hubungan tidak mengharuskan adanya rasa saling mencintai.

Baca juga: Keharusan Membenci dan Berlepas Diri dari Orang Kafir

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata dalam tafsir ayat-ayat ahkam yang dinukil dalam kitab pelengkap (Titimmah) Adhwa`ul Bayan (8/154),

“Menyambung hubungan dengan memberikan harta, berbuat baik, berlaku adil, berbicara lembut dan surat-menyurat, dengan hukum Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah termasuk loyalitas yang terlarang bagi kaum muslimin terhadap orang yang tidak boleh mereka berikan sikap wala (loyalitas) karena permusuhannya dengan kaum muslimin. Allah azza wa jalla membolehkan berlaku baik dan adil seperti itu. Hal itu tidak haram untuk dilakukan kepada orang-orang musyrik yang tidak memusuhi kaum muslimin.

Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang orang-orang yang menampakkan permusuhan kepada kaum muslimin. Kepada mereka inilah kita dilarang berloyalitas apabila bentuk loyalitas tersebut selain berbuat baik dan bersikap adil….”

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

“Kemudian, berbakti, menyambung hubungan, dan berbuat baik, tidaklah mengharuskan saling mencintai dan menyayangi yang dilarang dalam firman-Nya, ‘Engkau tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya….’ Sebab, ayat ini umum mencakup orang yang memerangi dan yang tidak memerangi.” (Fathul Bari)

Wallahu a’lam bish-shawab.


Catatan Kaki:

[1] Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab,

أُمُّكَ، ثُمَّ أُمُّكَ، ثُمَّ أُمُّكَ، ثُمَّ أَبُوْكَ، ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْناَكَ

“Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, kemudian ayahmu. Kemudian, kerabat yang paling dekat denganmu, dan yang paling dekat denganmu.” (HR. Muslim no. 6448)

[2] Kata Imam an-Nawawi rahimahullah, “Hadits Uwais ini menunjukkan keutamaan berbakti kepada kedua orang tua.” (al-Minhaj, 16/312)

(Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah)

Sumber Tulisan:
Kedudukan Seorang Ibu