(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)
Allah l telah memberi kemenangan bagi Rasulullah n dengan takluknya Quraisy dan kota Makkah. Rasulullah n pun berangkat menuju bukit Shafa lantas berdoa di sana.
Melihat kemenangan ini dan keadaan Rasulullah n, sebagian sahabat Anshar berkata satu sama lain: “Beliau ini sudah dihinggapi kecondongan kepada kerabat dan berlemah lembut kepada familinya.”
An-Nawawi t menerangkan bahwa makna hadits ini ialah kaum Anshar melihat kelembutan Rasulullah n kepada penduduk Makkah, menahan diri tidak menyerang mereka. Akhirnya orang-orang Anshar menyangka bahwa beliau akan kembali menetap di Makkah selamanya dan meninggalkan mereka serta kota Madinah. Hal ini tentu saja merisaukan mereka.
Abu Hurairah z menceritakan bahwa wahyu datang ketika itu. Kalau wahyu datang, tidak ada seorang pun mengangkat pandangannya kepada Rasulullah n sampai beliau selesai menerima wahyu. Setelah wahyu berhenti, Rasulullah n berkata: “Wahai sekalian Anshar!”
“Kami sambut panggilanmu, wahai Rasulullah,” sahut mereka.
Kata beliau: “Kalian tadi mengatakan: ‘Beliau ini sudah dihinggapi kecondongan kepada kerabatnya’.”
“Memang demikian,” jawab mereka.
Beliau pun menegaskan: “Sekali-kali tidak. Sungguh, aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku telah berhijrah kepada Allah, dan ke negeri kalian untuk menjadikannya sebagai tanah air kedua. Aku tidak akan meninggalkannya, bahkan tidak akan rujuk dari hijrah tersebut. Hidupku bersama kalian, dan mati di sisi kalian.”
Akhirnya mereka memandang ke arah beliau sambil menangis dan berkata: “Demi Allah, tidaklah kami berkata demikian melainkan karena kami sangat ingin dekat dengan Allah dan Rasul-Nya. Tidak ingin ada yang istimewa dengan engkau selain kami.”
Maka Rasulullah n pun berkata: “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya membenarkan kalian dan menerima alasan kalian.”
Duhai, alangkah agungnya kedudukan mereka dan betapa mulia pujian serta sanjungan untuk kaum Anshar g. Yaitu orang-orang yang beruntung menjadi pembela dan penolong manusia terbaik. Sebab itu pula mereka beruntung menerima pembenaran serta uzur dari Allah l dan Rasul-Nya n atas apa yang mereka ucapkan. Semoga Allah l meridhai mereka.
Islamnya Fadhalah bin ‘Umair Al-Mulawwih
Tidak semua penduduk Makkah menerima kekalahan mereka dan jatuhnya Makkah ke tangan kaum muslimin. Termasuk Fadhalah ketika itu.
Dia bertekad akan membunuh Rasulullah n yang sedang thawaf di Ka’bah.
Mengendap-endap Fadhalah mendekati Rasulullah n sambil menyiapkan belati untuk membunuh beliau. Setelah dekat, Rasulullah n bertanya: “Apakah ini, Fadhalah?”
“Betul, ini Fadhalah, wahai Rasulullah,” jawabnya.
“Apa yang kamu katakan dalam hatimu?” tanya beliau.
“Tidak ada apa-apa. Saya sedang berdzikir kepada Allah,” jawab Fadhalah.
Rasulullah n tertawa mendengarnya. Kemudian beliau berkata: “Minta ampunlah kepada Allah.” Sesudah itu beliau meletakkan tangannya ke dada Fadhalah. Hati Fadhalah pun menjadi tenang.
Fadhalah menceritakan kejadian itu dan mengatakan: “Demi Allah. Tidaklah beliau mengangkat tangannya dari dadaku sampai aku merasa tidak pernah Allah menciptakan sesuatu yang lebih aku cintai dibandingkan beliau.”
Aku pun kembali kepada keluargaku. Di tengah jalan aku melewati seorang wanita yang dahulu aku sering mendatanginya. Katanya: “Kemarilah, kita ngobrol.”
Saya pun berkata: “Tidak.”
Lalu mulailah Fadhalah berujar:
Dia katakan kemarilah berbincang
Ini tidak dikehendaki Allah dan Islam
Andai kau lihat Muhammad dan pasukannya
Membawa kemenangan pada hari dihancurkannya berhala
Tentulah kau dapati agama Allah ini akhirnya menjadi jelas
Sedangkan wajah kesyirikan diliputi kegelapan
Memuliakan Ka’bah dan membersihkan Jazirah Arab dari berhala
Setelah kemenangan semakin nyata, Rasulullah n bersama kaum Muhajirin dan Anshar mulai memasuki Masjidil Haram. Rasulullah n menghadap ke arah Hajarul Aswad lalu menyentuhnya, kemudian thawaf di sekeliling Ka’bah dengan panah di tangannya. Ketika itu, di sekitar Ka’bah terdapat 360 buah patung. Beliau mulai menusuk patung-patung itu dengan panah sambil membaca:
“Dan katakanlah: ‘Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.’ Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (Al-Isra’: 81)
Patung-patung itu pun tersungkur jatuh.
Thawaf ini beliau lakukan di atas kendaraannya tidak dalam keadaan berihram. Setelah selesai thawaf, beliau memanggil ‘Utsman bin Thalhah lalu mengambil kunci Ka’bah dan minta agar dibuka. Kemudian beliau masuk ke dalamnya dan melihat gambar Nabi Ibrahim dan Isma’il e sedang melakukan pengundian dengan azlam (panah). Beliau pun berkata:
قَاتَلَهُمُ اللهُ، وَاللهِ مَا اسْتَقْسَمَا بِهَا قَطُّ
“Semoga Allah binasakan mereka. Demi Allah, keduanya tidak pernah sama sekali mengundi dengan panah.”
Setelah itu beliau memerintahkan agar semua gambar dan patung yang ada dimusnahkan. Beliau n pun bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، فَلَا يَدَعْ فِي بَيْتِهِ صَنَماً إلاَّ كَسَّرَهُ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah dia biarkan di rumahnya berhala melainkan dia hancurkan.”
Nabi n mengutus Khalid bin Al-Walid z untuk menghancurkan ‘Uzza, sebatang pohon yang menjadi tempat pemujaan bagi penduduk Makkah ketika itu. Mereka biasa menyembelih kurban dan berdoa di tempat tersebut. Maka berangkatlah Khalid dengan 30 orang pasukan berkuda hingga tiba di tujuan. Kemudian beliau menghancurkannya dan kembali kepada Rasulullah n, memberi laporan. Tapi Rasulullah n berkata kepadanya: “Apakah engkau melihat sesuatu?”
“Tidak,” jawab Khalid.
Kata Rasulullah n: “Berarti engkau belum berbuat apa-apa. Kembalilah, hancurkan berhala itu.”
Khalid pun kembali sambil menyimpan kejengkelan karena belum menyelesaikan tugas dengan sempurna. Dia pun menghunus pedangnya. Tiba-tiba keluarlah seorang wanita tua yang hitam dengan rambut tergerai, tanpa pakaian. Mulailah juru kunci tempat peribadatan itu berseru memanggilnya: “Ya ‘Uzza.” Maka seketika itu juga Khalid mengayunkan pedangnya menebas tubuh wanita itu menjadi dua bagian. Khalid berujar:
Hai ‘Uzza, aku mengingkarimu, tidak minta ampunanmu
Sungguh aku lihat Allah menghinakanmu
Setelah itu, dia kembali melapor kepada Rasulullah n.
“Betul, itulah ‘Uzza. Dia sudah putus asa untuk disembah di negeri kamu ini, selamanya,” kata Rasulullah n.
Waktu itu juga, Rasulullah n mengutus ‘Amr bin Al-‘Ash z untuk menghancurkan Suwa’ yang disembah suku Hudzail.
Kata ‘Amr: Aku sampai di sana. Waktu itu juru kuncinya ada di dekat tempat ibadah itu. Dia bertanya: “Apa yang kau inginkan?”
“Rasulullah n memerintahkanku untuk menghancurkan berhala ini,” kataku.
“Kau tidak akan sanggup melakukannya,” kata juru kunci itu.
Aku pun bertanya: “Mengapa?”
“Kamu dihalangi,” jawabnya.
“Sial kamu. Sampai saat ini kamu masih dalam kesesatan? Apakah sesembahanmu ini bisa mendengar dan melihat?” timpalku.
Lalu aku pun mendekat dan menghancurkannya. Kemudian aku perintahkan sahabat-sahabatku menghancurkan rumah tempat penyimpanannya, tapi kami tidak menemukan apa-apa.
Kemudian aku bertanya kepada si juru kunci: “Bagaimana?”
“Saya berserah diri (tunduk) kepada Allah,” katanya menyatakan diri masuk Islam.
Rasulullah n juga mengutus Sa’d bin Zaid Al-Asyhali z untuk menghancurkan Manat di Musyallal dekat Qudaid yang dahulu disembah suku Aus, Khazraj, dan Ghassan. Ia pun berangkat bersama 20 pasukan berkuda. Setelah tiba di tempat tujuan, juru kuncinya bertanya: “Kau mau apa?”
“Mau menghancurkan berhala Manat,” jawabnya.
“Itu urusanmu,” kata juru kunci.
Sa’d mulai melangkah ke arah tempat pemujaan. Tiba-tiba keluarlah seorang wanita berkulit hitam dalam keadaan telanjang dan rambut kusut masai, berteriak: “Celaka.” Wanita itu memukuli dadanya. Juru kunci itu berseru: “Manat, uruslah orang yang durhaka kepadamu ini.”
Sa’d membunuh wanita itu lalu menghancurkan patung yang ada. Mereka juga meruntuhkan tempat penyimpanan, tapi tidak menemukan apapun.
Rasulullah n pun tinggal di Makkah beberapa hari dan memberi bimbingan kepada kaum muslimin.
Wallahu a’lam.
(Insya Allah bersambung)