Asysyariah
Asysyariah

kaum hedonis

13 tahun yang lalu
baca 11 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin)

Islam adalah ajaran yang sempurna, sebuah sistem dan cara pandang hidup yang lengkap, praktis, dan mudah. Islam memberikan tuntunan terkait hal yang bersifat individu dan yang menyangkut masalah kemasyarakatan. Semua itu telah diatur oleh Islam. Allah l berfirman,
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu, telah Ku-cukupkan untukmu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (al-Maidah: 3)
Islam mengajak manusia ke alam nan bercahaya, terang benderang. Islam menarik manusia dari kegelapan dan mengarahkannya menuju kehidupan yang penuh makna. Islam membebaskan manusia dari kehampaan hidup, kekeringan jiwa, dan kehilangan arah kendali hidup. Melalui Islam, manusia menjadi tercerahkan. Kebodohan yang tergumpal di dada manusia terbuncah, memberai lalu sirna. Islam dengan sinarnya yang kemilau memupus kebodohan yang meliputi umat. Karena itu, berbahagialah manusia yang telah diliputi oleh petunjuk, berpegang teguh dengan Islam dan menepis setiap nilai jahiliah.
Adapun orang-orang yang berpaling dan tidak mau peduli terhadap kebenaran Islam, sungguh mereka adalah orang-orang yang merugi. Hawa nafsu menjadi landasan pacu amalnya. Perilakunya senantiasa diwarnai oleh noda hitam pekat, tidak merujuk kepada Islam, dan lebih menyukai bersandar kepada sistem nilai kekufuran.
“Barang siapa yang mencari tuntunan selain Islam, maka tidak akan diterima (amal perbuatannya) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran: 85)
Lantaran keadaan mereka yang gersang dari ajaran Islam, tanpa pemahaman dan amal yang lurus dan benar, mereka lebih condong bergelut dengan beragam maksiat. Kehidupan dunia telah banyak memerdayakannya. Mereka berlomba mereguk materi sebanyak-banyaknya tanpa memerhatikan nilai kebenaran walaupun semua itu semu, tidak terkecuali dari kalangan kaum muda Islam. Dengan slogan kata ‘modern’, mereka bergumul meraup dunia. Mereka meninggalkan batas-batas dan menerobos rambu-rambu agama. Halal-haram tak lagi menjadi pertimbangan dalam bersikap. Bagai dikebiri, mereka terjerat siasat Yahudi dan Nasrani. Tidak ada lagi kecemburuan terhadap Islam. Ghirah untuk menampilkan diri sebagai sosok muslim taat pun mandul. Mata, hati, dan pendengaran sudah tidak bisa lagi membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Mereka tidak ubahnya bagai binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi.
Allah l menggambarkan fenomena ini dalam ayat-Nya,
“Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak digunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah). Mereka mempunyai mata, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah). Mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (al-A’raf: 179)
Karena keadaan hati yang buta dan tuli, banyak manusia menolak kebenaran. Bahkan, tidak sedikit yang melontarkan caci maki terhadap Islam dan kaum muslimin yang taat kepada ajarannya. Bagi mereka, Islam dianggap sebagai ajaran yang kolot, kuno, dan ortodoks. Islam hanya akan mengekang kebebasan manusia dalam berbuat, berekspresi, dan berperilaku. Orang-orang yang setia dan mengagungkan Islam mereka tuduh sebagai manusia picik. Singkat kata, Islam hanya akan memberangus apa yang diinginkannya dan hanya akan menyulitkan manusia. Islam hanya akan mempersempit ruang gerak kehidupannya, memasung kebebasannya, dan mengebiri pergaulannya. Padahal Allah l berfirman,
“Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (al-Hajj: 78)
“Thaha. Kami tidak menurunkan al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah, tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah).” (Thaha: 1—3)
Celoteh mereka hakikatnya menunjukkan bahwa mereka tidak memahami Islam secara baik dan benar. Bisa jadi, hal itu karena kedengkian yang ada pada hati mereka. Kemungkinan-kemungkinan itu bisa saja terjadi. Namun, yang jelas sikap apriori mereka terhadap Islam sangat merugikan. Celah ini dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam dan kaum muslimin. Upaya mereka untuk memadamkan cahaya Islam seakan mendapat angin segar. Inilah gerakan yang disinyalir melalui firman-Nya,
“Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” (ash-Shaf: 8)
Akibat sikap buruk terhadap Islam, mereka pun mematri aturan-aturan hidup yang bersumber dari hawa nafsu. Mereka bangga melaksanakannya meskipun kemudian menimbulkan kerusakan di semua lini kehidupan. Dalam pergaulan antarjenis manusia, kerusakan kronis telah begitu kuat mencengkeram. Kebebasan seksual, perilaku kerahiban (hidup membujang), homoseks, lesbian, dan perilaku penyimpangan seksual lainnya telah dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Hubungan yang bercampur baur antara pria dan wanita yang bukan mahram tidak lagi dianggap sebagai dosa yang harus dijauhi.
Anehnya, tidak sedikit dari kalangan umat Islam yang meniru dan bangga dengan hal itu. Tanpa rasa takut kepada Allah l, tanpa malu, dan tanpa risih mereka tiru mentah-mentah perbuatan yang menyelisihi Allah l dan Rasul-Nya n. Nabi n berkata,
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى إِذَا لَمْ تَسْتَحْـِي فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Sesungguhnya dari apa yang telah manusia peroleh dari perkataan kenabian yang pertama, ‘Jika engkau tak memiliki rasa malu, berbuatlah sekehendakmu’.” (HR. al-Bukhari no. 6120 dari sahabat Abu Mas’ud z)
Menjelaskan hadits di atas, asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizahullah berkata, “Malu adalah perangai yang agung. Sikap malu menyebabkan seseorang tercegah dari sesuatu yang akan mengantarkan kepada hal yang tak patut, seperti perbuatan-perbuatan yang rendah dan hina, serta akhlak buruk. Oleh karena itu, sikap malu ini termasuk dari cabang keimanan.” (al-Minhatu ar-Rabbaniyyah fi Syarhi al-Arba’in an-Nawawiyah, hlm. 181)
Jika malu sudah tidak lagi ada di dada, sikap tidak nyaman lantaran melanggar ketentuan Allah l dan Rasul-Nya n menjadi sesuatu yang biasa. Tidak ada lagi kata risih. Jangankan malu, risih saja tidak.
Dengan berbuat seperti itu, seakan-akan mereka menganggap diri mereka sebagai orang yang menerapkan sistem modern. Kalau tidak berbuat dan menerapkan hal demikian, bakal merugikan kehidupannya, masa depannya, dan segenap usahanya. Apa yang dilakukannya seakan-akan merupakan langkah yang baik, selaras dengan prinsip hidup modern, dan sesuai dengan kondisi masyarakat. Fenomena ini digambarkan oleh Allah l dalam firman-Nya,
Katakanlah, “Apakah akan Kami beri tahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (al-Kahfi: 103—104)
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (al-Maidah: 50)
Padahal, apa yang dibanggakannya bisa menjadi sumber bencana. Prinsip-prinsip yang menggayut dalam benaknya adalah pemantik petaka dan perantara turunnya azab Allah l. Firman-Nya,
“Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (an-Nur: 63)
Maka dari itu, yang sekiranya hal itu merupakan perbuatan yang dilarang, hendaknya dijauhi. Sekiranya itu merupakan perintah untuk dipraktikkan, maka tunaikanlah. Sesungguhnya Rasulullah n bersabda,
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apa yang telah kularang padamu darinya, tinggalkanlah (jauhilah). Apa yang telah kuperintahkan dengannya, tunaikanlah semampumu.” (HR. al-Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337 dari sahabat Abu Hurairah z)
Meskipun demikian, masih ada sekelompok manusia yang menyandarkan falsafah hidupnya hanya untuk meraup kesenangan. Ia tidak peduli kesenangan yang didapat dia tempuh dengan cara apa. Baginya, kesenangan adalah satu-satunya kebaikan. Prinsip hidup “asal senang” ini adalah prinsip hidup kaum hedonis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hedonisme diartikan sebagai pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan adalah tujuan utama dalam hidup. Doktrin hedonisme (asal katanya adalah hedone, bahasa Yunani yang berarti kesenangan) digulirkan oleh salah seorang murid Socrates yang bernama Aristippus.
Filsafat hedonisme mengajarkan prinsip “Apa yang dilakukan dalam rangka meraup kesenangan atau menghindari penderitaan. Kesenangan adalah satu-satunya kebaikan, dan mencapai puncak kesenangan adalah satu-satunya kebajikan.” (Sejarah Pemahaman Psikologi dari Masa Kelahiran sampai Masa Modern, Dr. C. George Boeree, hlm. 55)
Pemahaman ini diusung pula oleh Sigmund Freud, seorang keturunan Yahudi yang melontarkan ide Principle of Pleasure (Prinsip-Prinsip Kenikmatan). Freud melemparkan ide bahwa segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia akan bermuara pada soal ekspresi dan nafsu seks. Dengan demikian, atas dasar kenikmatan dan kesenangan ini, tanpa memerhatikan norma yang ada, serbuan pemahaman yang bertitik tekan pada kesenangan dan kenikmatan hidup semata menyeruak masuk ke benak sebagian manusia. Tidak mengherankan apabila kemudian di tengah masyarakat muncul iklan-iklan yang diwarnai oleh citra seksual. Begitu pula di sisi kehidupan media massa lainnya. Berita dan cerita yang beraroma nafsu birahi cenderung meningkat dan digandrungi. Sadar atau tidak, gaya hidup hedonis telah merembes dan menjadi bagian hidup sebagian masyarakat.
Gaya hidup hedonis membentuk sikap mental manusia yang rapuh, mudah putus asa, cenderung tidak mau bersusah payah, selalu ingin mengambil jalan pintas, tidak hidup prihatin, dan bekerja keras. Seseorang yang terjebak gaya hidup hedonis akan mengambil bagian yang menyenangkan saja. Adapun hal yang bakal memayahkannya, dia hindari. Dia tidak mau peduli bagaimana orang tuanya bekerja keras siang dan malam, sementara itu dirinya hanya bisa nongkrong di mal, berkumpul dengan kalangan berduit, selalu memilih barang berharga mahal meskipun menggunakan barang yang relatif murah sebenarnya bisa. Apa yang melekat pada dirinya harus selalu terkesan mewah dan elegan.
Gaya hidup hedonis identik dengan gaya hidup glamor, hura-hura, foya-foya, dan bersenang-senang. Gaya hidup hedonis akan mengantarkan seseorang pada sikap mental yang tidak mau peduli dan peka melihat keberagaman hidup, tidak memiliki sensitivitas terhadap kesulitan hidup orang lain. Singkat kata, gaya hidup hedonis melahirkan manusia-manusia yang tumpul sikap sosialnya, melahirkan jenis manusia asosial.
Padahal hidup di dunia ini hanyalah main-main dan sendau gurau belaka. Adapun kampung akhirat adalah hal yang lebih utama. Allah l berfirman,
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini selain main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (al-An’am: 32)
Rasulullah n mengibaratkan kehidupan dunia bagai seorang pengelana yang beristirahat di bawah pohon. Kala lelah telah sirna dari tubuhnya, pengelana itu pun melanjutkan perjalanannya. Pohon tempatnya berteduh dia tinggalkan. Itulah dunia beserta kehidupan di dalamnya, sekadar tempat rehat sesaat. Nabi n bersabda,
مَا لِي وَلِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Apalah arti dunia bagiku. Tiadalah (bagi) aku dalam perkara dunia melainkan seperti seorang pengelana yang beristirahat di bawah pohon, lalu setelah itu meninggalkan (pohon) tersebut.” (HR. at-Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah, dan al-Hakim. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani menyatakan hadits ini sahih dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir wa Ziyadatuhu no. 5669)
Dalam sebuah hadits dari Abul Abbas Sahl bin Sa’d as-Sa’idi z disebutkan,
أَتَى النَّبِيَّ n رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِي اللهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللهُ، وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّكَ النَّاسُ
“Seorang lelaki datang kepada Nabi n. Laki-laki itu berkata kepada Nabi n, ‘Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku satu amalan yang apabila aku mengamalkannya Allah akan mencintaiku dan manusia akan mencintaiku.’ Jawab Rasulullah n, ‘Zuhudlah dalam urusan dunia, Allah akan mencintaimu dan zuhudlah terhadap apa yang ada di tangan manusia, niscaya manusia akan mencintaimu’.” (HR. Ibnu Majah no. 4102, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani t. Lihat ash-Shahihah no. 944)
Sikap zuhud bisa dilakukan oleh seorang hamba yang fakir ataupun yang memiliki harta kekayaan yang melimpah. Bagi orang fakir, hendaknya dia berzuhud dengan tetap bersemangat mencurahkan segenap kemampuannya bagi kehidupan akhiratnya. Adapun bagi yang diberi limpahan harta kekayaan, dia berzuhud dengan segenap kemampuan dari hartanya guna kepentingan Islam dan kaum muslimin. Harta yang disalurkan untuk hal itu akan membawa kebaikan baginya dan tidak akan membinasakannya. (asy-Syaikh Muhammad al-Imam, Tahdzirul Basyar, hlm. 95)
Menyikapi kehidupan dunia dengan bimbingan syariat, niscaya akan menyelamatkan hamba dari tekanan hedonisme. Seseorang tidak akan diperbudak oleh dunia, tidak pula silau oleh kemilau dunia yang menipu. Dunia hanyalah tempat singgah sementara, sedangkan kampung akhirat adalah tempat tujuan yang hakiki, tujuan nan abadi.

“Adapun kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (al-A’la: 17)
Saat seseorang meninggalkan dunia fana ini menuju kampung akhirat, segenap harta kekayaan yang telah dikumpulkan selama hidupnya tidak akan dibawanya, kecuali kain kafan yang menyelimutinya. Hal ini dinyatakan oleh Rasulullah n,
يَتْبَعُ الْمَيَّتَ ثَلَاثَةٌ: أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ، فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ، فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ
“Orang yang meninggal dunia itu diikuti oleh tiga hal: keluarganya, hartanya, dan amalnya. Yang dua akan kembali, adapun yang satu tetap tinggal. Yang kembali adalah keluarganya dan hartanya. Adapun yang tetap (bersamanya) adalah amalnya.” (HR. al-Bukhari no. 6514 dan Muslim no. 5)
Begitulah dunia, dia tidak akan selalu bersama pemiliknya. Dia akan terpisah, meninggalkan pemiliknya. Kaum hedonis amat sukar menerima kenyataan ini.
Wallahu a’lam.

 

Sumber Tulisan:
Kaum Hedonis