Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
وَلَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
“Janganlah seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita (yang bukan mahram) karena sesungguhnya yang menjadi pihak ketiga adalah setan.”
Hadits di atas adalah penggalan dari hadits Jabir bin Samurah radhiallahu anhu. Secara lengkap, dalam hadits tersebut Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَحْسِنُوا إِلَى أَصْحَابِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ يَجِيءُ قَوْمٌ يَحْلِفُ أَحَدُهُمْ عَلَى الْيَمِينِ قَبْلَ أَنْ يُسْتَحْلَفَ عَلَيْهَا، وَيَشْهَدُ عَلَى الشَّهَادَةِ قَبْلَ أَنْ يُسْتَشْهَدَ، فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَنَالَ بُحْبُوحَةَ الْجَنَّةِ، فَلْيَلْزَمُ الْجَمَاعَةَ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ، وَهُوَ مِنَ الْاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ، وَلا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ، وَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ تَسُرُّهُ حَسَنَتُهُ وَتَسُوؤُهُ سَيِّئَتُهُ فَهُوَ مُؤْمِنٌ
“Berbuat baiklah kepada para sahabatku, kemudian kepada generasi yang setelahnya, dan kepada generasi yang berikutnya.
Kemudian, akan datang sekelompok orang yang salah seorang di antara mereka akan bersumpah sebelum ia diminta untuk bersumpah. Ia memberikan persaksian sebelum diminta untuk bersaksi.
Barang siapa di antara kalian yang menginginkan ‘buhbuhatal jannah’ (bagian tengah, terluas, dan terindah di surga), maka berpeganglah dengan al-jamaah, karena setan bersama orang yang sendiri. Ia lebih jauh dari orang yang berdua.
Baca juga: Siapakah Ahlus Sunnah?
Janganlah seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita (yang bukan mahram) karena sesungguhnya yang menjadi pihak ketiga adalah setan.
Barang siapa di antara kalian yang gembira karena kebaikan yang dilakukannya dan bersedih karena kejelekan yang diperbuatnya, maka ia adalah seorang mukmin.”
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah (2/64); ath-Thahawi, dalam Syarhul Ma’ani (2/284—285); Ibnu Hibban (no. 2282) tanpa sabda Nabi, ‘Barang siapa di antara kalian yang menginginkan…’; ath-Thayalisi (hlm. 7 no. 31); Ahmad (1/177); dan Abu Ya’la dalam Musnad-nya (1/45, cetakan al-Maktab al-Islami) dari jalur Jarir, dari Abdul Malik bin Umair, dari Jabir bin Samurah radhiallahu anhu. Beliau bercerita bahwa Umar radhiallahu anhu pernah menyampaikan khotbah di hadapan kaum muslimin di daerah al-Jabiyah. Beliau menyatakan, ‘Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah berdiri tepat di tempat aku berdiri saat ini, beliau bersabda seperti hadits tadi.’” (as-Silsilah ash-Shahihah, 1/717)
Adapun lafaz di atas adalah lafaz yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad rahimahullah.
Sanad hadits ini sahih, seluruh perawinya adalah perawi Kutubus Sittah.
Al-Hakim rahimahullah memberikan isyarat adanya ‘illah (cacat) dalam al-Mustadrak (1/114), tetapi beliau tidak menyebutkannya. Barangkali yang dimaksud adalah perbincangan tentang Abdul Malik bin Umair mengenai ikhtilath dan perubahan hafalannya. Akan tetapi, hadits di atas sahih.
Hadits ini diriwayatkan dari jalan lain yang dikeluarkan oleh Ahmad (1/114), at-Tirmidzi (3/207), al-Hakim yang menyatakannya sahih, dan al-Baihaqi (7/91); dari jalur Abdullah bin al-Mubarak, dari Muhammad bin Sauqah, dari Abdullah bin Dinar, dari Ibnu Umar, dari Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu.
Al-Hakim rahimahullah berkata, “Sahih menurut syarat Syaikhain (al-Bukhari dan Muslim).” Imam adz-Dzahabi rahimahullah sepakat dengan beliau.
Al-Munawi rahimahullah dan Mubarakfuri rahimahullah menjelaskan makna hadits di atas,
“Sebab, setan akan menggoda dengan membisikkan waswas dan membangkitkan gairah hingga akhirnya menjerumuskan mereka berdua ke dalam perbuatan zina atau perbuatan lain yang mengantarkan kepada zina.” (at-Taisir dan Tuhfatul Ahwadzi)
Amr bin Qais al-Mula’i rahimahullah berkata, “Ada tiga hal yang tidak sepantasnya seorang laki-laki merasa mampu menjaga diri dari salah satunya.
Pertama, janganlah ia bermajelis dengan orang-orang yang menyimpang. Sebab, dikhawatirkan Allah subhanahu wa ta’ala akan menghukumnya dengan memalingkan hatinya seperti mereka.
Kedua, janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita.
Ketiga, jika seorang penguasa memanggilmu untuk membacakan Al-Qur’an untuknya, jangan engkau lakukan.” (Syarah Ibnu Baththal)
Baca juga: Batasan Khalwat
Meskipun ringkas, hadits ini menggambarkan kepada kita secara utuh tentang ajaran Islam yang begitu memperhatikan dan menjaga kaum wanita. Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan laki-laki yang memiliki kecenderungan terhadap wanita, demikian pula sebaliknya. Allah subhanahu wa ta’ala juga menetapkan bahwa hubungan antara dua jenis manusia ini haruslah di atas akad pernikahan atau kepemilikan budak.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِفُرُوجِهِمۡ حَٰفِظُونَ ٥ إِلَّا عَلَىٰٓ أَزۡوَٰجِهِمۡ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُمۡ فَإِنَّهُمۡ غَيۡرُ مَلُومِينَ ٦ فَمَنِ ٱبۡتَغَىٰ وَرَآءَ ذَٰلِكَ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡعَادُونَ ٧
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka tidak tercela, tetapi barang siapa mencari di balik itu (zina dan sebagainya), maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (al-Mu’minun: 5—7)
Apabila telah terjadi akad nikah, hubungan antara seorang lelaki dan seorang wanita menjadi istimewa dan khusus.
هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمۡ وَأَنتُمۡ لِبَاسٌ لَّهُنَّۗ
“Mereka adalah pakaian bagi kalian, dan kalian adalah pakaian bagi mereka.” (al-Baqarah: 187)
Sebelum keduanya menjadi pakaian bagi yang lain dengan akad nikah, seorang wanita adalah ajnabiyah (asing/tidak halal) bagi seorang laki-laki.
Laa haula wala quwwata illa billah. Seolah-olah semua pihak turut mengamini terjadinya pergeseran pandangan; yang haram dianggap halal, yang halal justru dimusuhi. Padahal, Allah subhanahu wa ta’ala telah menutup setiap celah yang dapat menyebabkan seorang hamba tergoda kepada wanita melalui jalan yang haram.
Allah subhanahu wa ta’ala telah memberikan batasan dalam hal pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُل لِّلۡمُؤۡمِنِينَ يَغُضُّواْ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِمۡ
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menahan pandangannya.” (an-Nur: 30)
وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ
“Dan katakanlah kepada para wanita yang beriman, agar mereka menahan pandangannya.” (an-Nur: 31)
Baca juga: Menahan Pandangan Mata
Apa yang akan kita katakan ketika menyaksikan realitas di zaman ini, jika kita membaca hadits berikut? Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ
“Wanita mana pun yang menggunakan parfum kemudian keluar melewati sekelompok laki-laki agar mereka mencium wanginya, maka wanita tersebut adalah seorang pezina.” (HR. an-Nasai no. 5126; dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Ghayatul Maram)
Sungguh, agama Islam sangat ingin menunjukkan jalan keselamatan kepada para pemeluknya agar mereka selamat dari godaan-godaan setan.
Dalam sebuah hadits dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu, disebutkan kisah pelaksanaan haji Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ketika itu beliau memalingkan wajah al-Fadhl bin Abbas radhiallahu anhuma yang sedang memperhatikan seorang gadis dari suku Khats’am yang bertanya kepada beliau shallallahu alaihi wa sallam. Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
رَأَيْتُ شَابًّا وَشَابَّةً فَلَمْ آمَنْ الشَّيْطَانَ عَلَيْهِمَا
“Aku melihat seorang pemuda dan seorang gadis, maka aku tidak merasa aman dari setan atas keduanya.” (HR. at-Tirmidzi no. 885)
Hanya melihat dan memperhatikan, tidak lebih dari itu; Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam saja sudah mengkhawatirkannya. Itu pun terjadi di masa sahabat, kaum yang paling beriman. Lantas, apakah kita dapat menerima alasan sebagian orang, “Pacaran kan untuk menjajaki calon pasangan. Mereka dapat menjaga diri.” Alasan yang dibisikkan oleh setan, Allahul musta’an.
Baca juga: Godaan Hawa Nafsu
Dalam hadits lain, dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَلاَ تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ
“Janganlah seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita, dan janganlah seorang wanita melakukan safar kecuali bersama mahramnya.”
Seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, aku telah tercatat dalam sebuah pasukan perang, padahal istriku akan berangkat haji.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Berangkatlah haji bersama istrimu!” (HR. al-Bukhari no. 2844 dan Muslim no. 1341)
Demikian juga sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits Uqbah bin Amir radhiallahu anhu,
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ
“Berhati-hatilah kalian. Jangan menemui (berduaan dengan) kaum wanita!”
فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ
Seorang sahabat dari Anshar bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda tentang al-hamwu?”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Al-Hamwu adalah kematian.” (HR. al-Bukhari no. 4934 dan Muslim no. 2172)
An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, al-hamwu adalah kerabat laki-laki suami, seperti kakak, adik, paman, sepupu, dan keponakan.
Astaghfirullah, bagaimana dengan keadaan kita dan kaum muslimin? Sangat bermudah-mudah dalam pergaulan dengan alasan, “Kan keluarga sendiri, bukan orang lain.”, “Sok suci kamu!”, “Dengan saudara sendiri kok jual mahal?!” serta alasan-alasan hawa nafsu lainnya.
Sungguh, padahal sudah sering terjadi perzinaan yang dilakukan oleh sesama saudara, ipar, ataupun kerabat dekat; entah itu kakak, adik, bibi, tante, atau yang lain. Na’udzubillah!
Baca juga: Bahaya yang Mengancam Keharmonisan Rumah Tangga
Islam benar-benar menjaga pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Simaklah hadits Jabir radhiallahu anhu berikut, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ لاَ يَبِيتَنَّ رَجُلٌ عِنْدَ امْرَأَةٍ ثَيِّبٍ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ نَاكِحًا أَوْ ذَا مَحْرَمٍ
“Ketahuilah! Janganlah seorang seorang lelaki menginap di rumah seorang janda, kecuali ia telah menikah dengannya atau ia adalah mahramnya.” (HR. Muslim no. 2171)
An-Nawawi rahimahullah menerangkan, “Disebutkannya wanita yang berstatus janda karena secara umum merekalah yang biasa ditemui.
Adapun wanita yang masih gadis, biasanya mereka terjaga dan terpelihara. Mereka benar-benar dijauhkan dari kaum lelaki sehingga tidak perlu disebutkan. Sebab, hadits ini termasuk bab peringatan. Artinya, jika terhadap wanita yang telah berkeluarga saja—yang biasanya dianggap ringan untuk menemuinya—terlarang, lebih-lebih lagi terhadap gadis.” (Syarah Shahih Muslim, 14/153)
Disebutkan dalam hadits Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiallahu anhuma, bahwa ada beberapa orang dari Bani Hasyim yang menemui Asma’ radhiallahu anha. Kemudian datanglah Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu anhu, suami Asma’.
Saat melihat mereka, Abu Bakr tampak tidak senang. Beliau lalu menceritakannya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Aku tidak melihat apa pun selain kebaikan.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun bersabda, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah menyucikannya dari hal tersebut.”
Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bangkit berdiri di atas mimbar dan bersabda,
لاَ يَدْخُلَنَّ رَجُلٌ بَعْدَ يَوْمِي هَذَا عَلَى مُغِيبَةٍ إِلاَّ وَمَعَهُ رَجُلٌ أَوِ اثْنَانِ
“Setelah hari ini, janganlah seorang lelaki menemui seorang wanita yang sedang ditinggal pergi suaminya, kecuali ia ditemani laki-laki lain atau dua orang laki-laki.” (HR. Muslim no. 2173)
Baca juga: Wanita Adalah Aurat
Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Peristiwa ini terjadi pada saat Abu Bakr sedang pergi. Akan tetapi, kepergian Abu Bakr masih dalam jarak mukim, bukan safar. Selain itu, hal ini terjadi pada orang-orang yang dikenal sebagai orang yang baik dan saleh. Ditambah lagi mereka memiliki akhlak yang baik sejak sebelum masa Islam, yang tidak asal menuduh dan menilai.
Hanya saja, Abu Bakr mengingkari hal tersebut berdasarkan cemburu karena tabiat dan agama. Pada saat beliau menceritakannya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda berdasarkan pengetahuan beliau shallallahu alaihi wa sallam tentang orang-orang tersebut dan Asma’, “Aku tidak melihat apa pun selain kebaikan.”
Beliau shallallahu alaihi wa sallam tujukan hal ini kepada kedua belah pihak karena beliau shallallahu alaihi wa sallam mengetahui setiap individunya. Mereka adalah kaum muslimin dari Bani Hasyim. Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengkhususkan Asma’ dengan persaksian, “Sesungguhnya Allah telah menyucikannya dari hal itu.”
Artinya, menyucikannya dari perasaan yang muncul dalam diri Abu Bakr. Hal ini adalah keutamaan besar bagi Asma’, bahkan yang terbesar.
Baca juga: Padamnya Rasa Cemburu
Tidak hanya ini, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga mengumpulkan para sahabat dan berdiri di atas mimbar untuk melarang mereka serta menjelaskan yang diperbolehkan, “Setelah hari ini, janganlah seorang lelaki menemui seorang wanita yang sedang ditinggal pergi suaminya, kecuali ia ditemani laki-laki lain atau dua orang laki-laki.”
Hal ini untuk menutup celah khalwat dan mencegah munculnya tuduhan.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam hanya menyebutkan satu atau dua orang laki-laki (untuk menemani) karena mereka adalah orang-orang yang saleh. Sebab, tuduhan tidak akan terjadi dengan bilangan tersebut.
Adapun hari ini, bilangan ini belumlah cukup. Harus ada jumlah yang banyak karena kerusakan yang telah menyebar dan berbagai niatan yang buruk. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati Imam Malik yang bersikap keras dalam hal ini.” (al-Mufhim, 5/502)
Al-Qurthubi, Abul Abbas Ahmad bin Umar bin Ibrahim, lahir pada 578 H dan meninggal pada 656 H. Beliau menjelaskan hal ini pada masanya. Lantas, apa yang akan beliau katakan jika beliau hidup dan menyaksikan dunia kita di abad kelima belas Hijriah ini?!
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Pada hadits ini dan hadits-hadits berikutnya, terdapat dalil tentang diharamkannya berkhalwat dengan wanita ajnabiyah, dan bolehnya berkhalwat dengan wanita mahram. Kedua hal ini telah menjadi ijmak (kesepakatan).” (Syarah Muslim, 14/153)
Baca juga: Siapa Saja Mahram Itu
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah telah menyebutkan ijmak tentang hal ini (Fathul Bari, 4/77). Demikian juga Imam ash-Shan’ani rahimahullah dalam Subulus Salam.
Aisyah radhiallahu anha, ibunda kaum mukminin, berkata
وَلاَ وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُولِ اللهِ يَدَ امْرَأَةٍ
“Tidak, demi Allah! Tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita pun.” (HR. al-Bukhari no. 4609 dan Muslim no. 1866)
Demikian pula hadits Umaimah binti Ruqaiqah tentang baiat kaum muslimah. ”Wahai Rasulullah, mengapa Anda tidak menjabat tangan kami?”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنِّي لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ
“Sesungguhnya aku tidak menjabat tangan kaum wanita.” (HR. Malik, 2/982; at-Tirmidzi, 4/151; an-Nasai, 7/149; dan Ahmad 6/401. Lihat as-Silsilah ash-Shahihah, no. 529)
Baca juga: Berjabat Tangan dengan Lawan Jenis
Ingatlah selalu hadits dari sahabat Ma’qil bin Yasar radhiallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمُسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ
“Sungguh, kepala salah seorang di antara kalian ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik daripada ia menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya.” (HR. ath-Thabarani dan al-Baihaqi. Lihat as-Silsilah ash-Shahihah, 226)
Fakta mengejutkan diungkapkan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Data yang dimiliki BKKBN menunjukkan, sejak 2010 diketahui sebanyak 50% remaja perempuan di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) sudah tidak perawan karena pernah melakukan hubungan seks pranikah.
Di Jakarta, 51% remaja perempuannya sudah tidak perawan. Di Surabaya mencapai 54%, di Medan 52%, Bandung 47%, dan Yogyakarta 37%.
BKKBN juga menjelaskan bahwa seks pranikah adalah salah satu pemicu meningkatnya kasus HIV/AIDS. Data Kementerian Kesehatan menyebutkan, pada pertengahan 2010, jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia mencapai 21.770 kasus AIDS positif, dan 47.157 kasus HIV positif dengan persentase pengidap usia 20—29 tahun (48,1%) dan usia 30—39 tahun (30,9%).
Ada fakta lain yang tak kalah mengejutkan. Lembar fakta yang diterbitkan oleh PKBI, UNFPA, dan BKKBN menyebutkan, bahwa setiap tahun terdapat sekitar 15 juta remaja berusia 15—19 tahun yang melahirkan. Masih menurut lembar fakta tersebut, sekitar 2,3 juta kasus aborsi juga terjadi di Indonesia, dan 20 persennya dilakukan oleh remaja.
Baca juga: Data dan Fakta LGBT & HIV/AIDS di Indonesia
Islam amat menginginkan jalan kebaikan bagi umatnya dan tidak menghendaki hal-hal yang bisa menimbulkan mudarat. Melalui pembahasan di atas, kita bisa melihat betapa Islam sangat membatasi pergaulan antara pria dan wanita, untuk menghindarkan mereka dari keburukan dunia dan akhirat. Berbahagialah seorang hamba yang mau tunduk dan taat kepada ajaran Islam.
Sebagai penutup, kami akan membawakan sebuah berita yang telah diucapkan oleh baginda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, 1.400 tahun lalu. Anas bin Malik radhiallahu anhu mengatakan,
لَأُحَدِّثَنَّكُمْ حَدِيثًا لَا يُحَدِّثُكُمْ أَحَدٌ بَعْدِي، سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَقِلَّ الْعِلْمُ وَيَظْهَرَ الْجَهْلُ وَيَظْهَرَ الزِّنَا وَتَكْثُرَ النِّسَاءُ وَيَقِلَّ الرِّجَالُ حَتَّى يَكُونَ لِخَمْسِينَ امْرَأَةً الْقَيِّمُ الْوَاحِدُ
“Sungguh, aku akan menyampaikan kepada kalian sebuah hadits yang tidak akan ada orang lain setelahku yang akan menyampaikannya kepada kalian. Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
‘Di antara tanda-tanda Hari Kiamat: berkurangnya ilmu, menyebarnya kejahilan, menyebarnya perbuatan zina, dan banyaknya jumlah kaum wanita, sementara kaum lelaki lebih sedikit. Sampai-sampai lima puluh wanita akan diurus oleh seorang laki-laki.’” (HR. al-Bukhari)
Baca juga: Tanda-Tanda Kedatangan Hari Kiamat
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan taufik kepada segenap kaum muslimin untuk menjaga putra-putri mereka dari kehancuran. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membimbing kita menjadi orang tua yang memilihkan jalan iman daripada jalan dunia.
Wahai Rabb kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan kami telah mengikuti Rasul-Mu. Karena itu, masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah subhanahu wa ta’ala).
Amin, ya Mujibas sa’ilin.