Bagi sebagian masyarakat, wali identik dengan karamah (dibaca: karomah). Wali yang tidak memiliki karamah akan diragukan kewaliannya, meski dalam pandangan syariat ia adalah benar-benar wali Allah ‘azza wa jalla.
Di antara perkara yang harus diketahui yang berkaitan erat dengan pembahasan wali Allah ‘azza wa jalla dan wali setan adalah permasalahan karamah. Dalam permasalahan ini juga terjadi ifrath (melampaui batas) atau ghuluw (keterlaluan/berlebihan) dalam menilai sebuah karamah. Di sisi lain muncul orang-orang yang tafrith (meremehkan) masalah karamah tersebut.
Jalan yang benar adalah jalan tengah antara kelompok ifrath dan tafrith. Itulah jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah dalam kitab beliau al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah mengatakan, “Kita beriman dengan apa yang datang dari mereka tentang adanya karamah dan berita tentang mereka yang sahih penukilannya dari orang-orang yang tepercaya.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab beliau mengatakan, “Termasuk dari prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah membenarkan adanya karamah para wali dan apa-apa yang Allah ‘azza wa jalla perbuat dari keluarbiasaan melalui tangan-tangan mereka, baik yang terkait dengan ilmu, mukasyafat (mengetahui hal yang tersembunyi), bermacam-macam keluarbiasaan (kemampuan), maupun pengaruh-pengaruh.” (al-‘Akidah al-Wasithiyyah)
Abul Qasim Hibatullah rahimahullah yang terkenal dengan al-Imam al-Lalikai menulis sebuah kitab yaitu Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jamaah, dan beliau memberikan porsi yang terbanyak dalam membahas karamah wali Allah ‘azza wa jalla pada jilid yang kesembilan.
Karamah Secara Bahasa dan Istilah
“Al-karamah” secara bahasa diambil dari kata “al-karam” dan “al-karam” (kemuliaan) merupakan lawan dari al-lu’mu yang artinya cercaan sebagaimana ucapan al-Jauhari. Al-karamah menurut istilah adalah perkara luar biasa yang Allah ‘azza wa jalla tampakkan melalui tangan para wali-Nya.
As-Safarini rahimahullah mengatakan, “Al-karamah adalah kejadian di luar kebiasaan tanpa disertai dengan pengakuan sebagai nabi dan tidak memiliki muqaddimah (pendahuluan yang diupayakan seperti bacaan/doa/zikir tertentu), yang keluarbiasaan itu terjadi melalui tangan seorang hamba yang saleh, baik dia mengetahui terjadinya maupun tidak dia ketahui.” (Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah, 9/15)
Dari definisi secara bahasa dan istilah di atas, sangat jelas bahwa adanya karamah tersebut bukan atas usaha seorang hamba, akan tetapi semata-mata datang dari Allah ‘azza wa jalla yang diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba yang saleh.
Terlebih kalau seandainya keanehan itu datang dari pelaku maksiat, bid’ah, bahkan syirik, diminta kapan saja terjadi, kapan diingini, dan sesuai dengan permintaan, maka itu bukan karamah sama sekali, akan tetapi perbuatan yang dibantu oleh setan.
Adanya karamah ditetapkan Al-Qur’an dan As-Sunnah bahkan oleh kenyataan yang mutawatir dari sahabat, tabi’in, dan orang-orang setelahnya.
“Maka Rabb-nya menerimanya (sebagai nadzar) dengan penerimaan yang baik, mendidiknya dengan pendidikan yang baik, dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap kali Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia mendapati makanan di sisinya. Zakariya berkata, ‘Wahai Maryam, darimana kamu peroleh (makanan) ini?’ Maryam menjawab, ‘Makanan itu dari sisi Allah.’ Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.” (Ali ‘Imran: 37)
“Atau apakah (kalian tidak memerhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata, ‘Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?’ Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya, ‘Berapa lama kamu tinggal di sini?’ Ia menjawab, ‘Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari’.” (al-Baqarah: 259)
Ketika itu Juraij mendapatkan ujian dari Allah ‘azza wa jalla berupa tuduhan dari kaumnya bahwa ia telah berzina. Akibat (dari tuduhan itu) menyebabkan tempat peribadatannya hancur dan dia mengalami kekejaman dari kaumnya. Hal ini disebabkan seorang wanita yang berzina dengan seorang penggembala sehingga dia melahirkan seorang anak, lalu mengaku yang menzinainya adalah Juraij. Lalu Juraij meminta anak yang baru lahir itu dibawa ke hadapannya, kemudian ia bertanya kepada anak itu setelah beliau melaksanakan shalat dan memukul perut bayi tersebut, “Siapa bapakmu?” (Anak itu menjawab), “Penggembala.”
Manusia dan Karamah
Manusia dalam masalah karamah ini terbagi menjadi tiga golongan.
Pertama, kelompok yang mengingkari adanya karamah. Mereka adalah Mu’tazilah, Jahmiyyah, dan sebagian Asy’ariyyah. Syubhat mereka adalah kalau kejadian yang luar biasa itu terjadi melalui tangan para wali, niscaya menjadi kabur kedudukan seorang nabi dengan selainnya. Sebab perbedaan antara nabi dengan selainnya adalah adanya mukjizat yaitu kejadian yang luar biasa.
Kedua, orang-orang yang ghuluw (melampaui batas) dalam menetapkan karamah. Hal ini kebanyakan terjadi pada orang-orang sufi dan penyembah kubur. Mereka menghukumi orang-orang yang menampakkan kejadian-kejadian luar biasa yang berasal dari setan seperti masuk ke dalam api, memukul tubuhnya dengan pedang, memegang ular, dan sebagainya sebagai karamah.
Ketiga, orang-orang yang mengimani adanya karamah bagi wali-wali Allah ‘azza wa jalla dan mereka menetapkan adanya karamah itu sesuai dengan yang diinginkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah. (Syarah al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Fauzan, hlm. 156)
Satu hal yang penting kita ketahui adalah perbedaan antara mukjizat, karamah, dan kejadian-kejadian yang merupakan perbuatan setan yang semua itu adalah di luar kebiasaan.
Al-Baghdadi rahimahullah dalam kitabnya Ushuluddin (hlm. 174—175) mengatakan, “Ketahuilah bahwa mukjizat dan karamah itu sama-sama menggambarkan kejadian yang luar biasa dan memiliki perbedaan dari dua sisi:
Pertama, sisi penamaan bahwa kejadian luar biasa yang menunjukkan kebenaran para nabi dinamakan mukjizat dan bila tampak dari wali-wali Allah ‘azza wa jalla dinamakan karamah.
Kedua, pemilik mukjizat tidak akan menyembunyikan mukjizat tersebut bahkan dia menantang musuh-musuhnya dengan menggunakan mukjizat tersebut. Adapun pemilik karamah, ia bersungguh-sungguh untuk menyembunyikannya dan mengaku tidak memiliki karamah.
Ketiga, pemilik mukjizat terpelihara (aman) dari perubahan dan terpelihara dari kesalahan setelah tampak mukjizat tersebut pada dirinya. Adapun pemilik karamah tidak ada jaminan untuk tidak berubah keadaannya, seperti Bal’am bin Baura yang diberi karamah kemudian ditutup kehidupannya dengan kecelakaan (sebagai orang yang celaka).” (disadur dengan ringkas dari kitab Madkhal Ila Syarah Ushul I’tiqad, 9/17. Lihat ucapan asy-Syaikh Ibnu Baz dalam ta’liq beliau terhadap at-Tanbihat al-Lathifah karya Abdurrahman As-Sa’di, hlm. 97—98)
Adapun kejadian luar biasa yang merupakan perbuatan setan adalah seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang jahat dari kalangan sufi seperti memukulkan besi ke tubuhnya, membakar tubuhnya dengan api, dan sebagainya.
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah mengatakan, “Hal yang demikian bukan dari karamah.” Dalam kesempatan lain, beliau mengatakan, “Syarat terjadinya karamah yaitu orang memiliki karamah tersebut lurus di atas keimanan dan mengikuti syariat. Apabila menyelisihi yang demikian, maka kejadian luar biasa yang terjadi pada dirinya adalah kejadian yang dilakukan oleh setan.” (Ta’liq beliau terhadap kitab at-Tanbihat al-Lathifah, hlm. 98)
Perlu diketahui bahwa tidak terjadinya karamah pada sebagian orang yang beriman bukan menunjukkan iman mereka kurang. Karena terjadinya karamah itu disebabkan karena beberapa sebab:
Pertama, mengokohkan keimanan seorang hamba. Oleh karena itu, karamah tidak terlihat dari sebagian para sahabat karena kuatnya iman dan sempurnanya keyakinan mereka.
Kedua, menegakkan hujjah di hadapan musuh sebagaimana terjadi pada diri Khalid ketika memakan racun saat dia mengepung sebuah benteng. Orang-orang yang ada dalam benteng berusaha menghalanginya sampai dia memakan racun itu, lalu beliau memakannya dan terbukalah benteng tersebut. Kejadian yang serupa juga terjadi pada diri Abu Muslim al-Khaulani ketika al-Aswad al-Anasi melemparkannya ke dalam api lalu Allah ‘azza wa jalla menyelamatkannya karena dia butuh kepada karamah tersebut. Juga seperti yang terjadi pada Ummu Aiman ketika ia berhijrah seorang diri dan di tengah jalan diterpa rasa haus yang sangat. Kemudian dia mendengar suara dari atas. Saat dia mengangkat kepalanya, tiba-tiba (sudah ada) ember di hadapannya yang berisi air. Ia pun minum darinya sehingga rasa hausnya pun hilang.
Ketiga, terkadang karamah tersebut sebagai satu bentuk ujian terhadap suatu kaum sehingga menjadi bahagia atau celaka. Terkadang pemiliknya selalu di atas kebahagiaan apabila dia bersyukur dan terkadang binasa kalau dia ujub (bangga diri) dan tidak istiqamah. (Lihat ta’liq asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah terhadap kitab at-Tanbihat, hlm. 99)
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Apabila kalian melihat seseorang berjalan di atas air atau terbang di udara, janganlah kalian memercayainya dan janganlah kalian tertipu dengannya, sampai kalian mengetahui bagaimana dia dalam mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (A’lamus Sunnah al-Mansyurah, Hafizh bin Ahmad al-Hakami, hlm. 193)
Wallahu a’lam.