Kalbu yang selamat yang terbebas dari azab Allah subhanahu wa ta’ala adalah kalbu yang pasrah kepada Rabbnya, yang tunduk kepada perintah-Nya dan tidak ada padanya rasa penentangan terhadap perintah-Nya; tidak pula ada pengingkaran terhadap kabar yang datang dari-Nya. Dialah kalbu yang selamat dari selain Allah subhanahu wa ta’ala.
Tidak ada yang ia inginkan selain Allah subhanahu wa ta’ala. Tidaklah dia berbuat kecuali apa yang Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan. Allahlah satu-satunya yang ia tuju. Perintah dan syariat-Nya ia jadikan sebagai wasilah dan jalan hidupnya. Tidak ada sedikit keraguan yang mejadi penghalang baginya untuk membenarkan berita yang datang dari-Nya. Tidaklah keraguan datang kecuali hanya terlintas sejenak saja. Kemudian ia tahu bahwa ia tidak bisa menetap di kalbu tersebut. Demikian pula hawa nafsu, ia tidak mampu menghalangi kalbu tersebut dari mengikuti keridhaan Allah.
Tatkala kalbu itu demikian keadaannya, ia akan selamat dari kesyirikan, kebid’ahan, penyimpangan, dan kebatilan. Seluruh pendapat yang menafsirkan makna qalbun salim tercakup dalam penjelasan di atas.
Pada hakikatnya, kalbu yang selamat adalah kalbu yang tunduk dan pasrah untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan penuh rasa malu, takut, dan harap. Ia mencukupkan diri dengan kecintaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari kecintaan kepada selain-Nya, dengan rasa takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari takut kepada selain-Nya, dan dengan rasa harap kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari berharap kepada selain-Nya.
Ia menerima segala perintah-Nya dan perintah Rasul-Nya sebagai bentuk keimanan dan ketaatannya. Ia menerima segala takdir dan ketetapan-Nya sehingga ia tidak berprasangka buruk, tidak menentang atau marah terhadap segala ketetapan-Nya. Ia senantiasa berserah diri kepada Allah dengan penuh ketaatan, kerendahan diri, kehinaan, dan penghambaan.
Ia menyerahkan setiap keadaan, perkataan, perbuatan, perasaan, dan daya-upayanya, baik lahir maupun batin, kepada tuntunan Rasul-Nya dan menolak segala sesuatu yang datang dari selainnya. Yang sesuai dengan tuntunan Rasulnya ia terima, dan apa yang menyelisihinya ia tolak. Adapun sesuatu yang belum jelas baginya apakah itu sejalan dengan tuntunan Rasulnya ataukah bertentangan, ia menunda dan mengakhirkannya sampai hal itu menjadi jelas.
Ia senantiasa sejalan dengan wali-wali Allah dan golongan-Nya yang beruntung, yang senantiasa membela agama-Nya dan sunnah Nabi-Nya serta menegakkannya.
Ia pun memusuhi musuh-musuh Allah yang selalu menyelisihi kitab-Nya dan sunnah Nabi-Nya, yang keluar dari bimbingan keduanya, bahkan menyeru manusia untuk menyelisihi keduanya.
(Diambil dari kitab Miftah Daris Sa’adah, karya al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, hlm. 54, cet. Darul Hadits, Kairo)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar