SYARAT KEEMPAT
Barang yang diperjualbelikan dapat diserahterimakan
Banyak sistem jual beli terlarang yang tidak memenuhi persyaratan ini, dan hampir seluruhnya masuk dalam kategori:
Yang dimaksud dengan gharar adalah yang tidak diketahui akibatnya. Sistem jual beli ini haram hukumnya dengan dalil al-Qur`an, as-Sunnah dan kesepakatan para ulama secara global. Adapun ayat yang menerangkannya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan.” (al-Ma`idah: 90)
Juga firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil…” (an-Nisa`:29)
Adapun dari As-Sunnah, di antaranya hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli dengan sistem gharar.” (HR. Muslim no. 1153)
Para ulama telah bersepakat bahwa hukum asal sistem gharar adalah haram. Namun mereka berbeda pendapat pada beberapa kasus dan rinciannya.
Masalah 33: Ada dua perkara yang dikecualikan dari sistem gharar ini:
Contohnya:
– Sewa menyewa bulanan/tahunan dengan penanggalan hijriyah, yang terkadang sebulan berjumlah 30 hari dan terkadang 29 hari.
– WC umum yang bayar, terkadang airnya terpakai banyak, terkadang sedikit.
Para ulama bersepakat bahwa gharar yang sedikit ini dimaafkan dan dimaklumi. Wallahu a’lam bishshawab.
Masalah 34: Kuis Berhadiah
Gambarannya, penyelenggara kuis menjual kartu berhadiah yang berisi pertanyaan atau semisalnya. Lalu jawaban yang benar dikumpulkan dan diundi, dan pemenangnya diumumkan serta berhak mendapatkan hadiah yang telah disediakan.
Hukum masalah ini adalah haram. Karena mengandung unsur gharar dan pertaruhan (judi). Orang yang ikut akan dihadapkan pada dua kemungkinan, yaitu menang atau kalah.
Adapun pemberian hadiah atas jawaban yang benar dari pertanyaan yang diajukan tanpa membeli kupon/kartu, hukum asalnya adalah mubah. Namun tidak sepantasnya seorang thalibul ilmi (penuntut ilmu) mengikuti perkembangan masalah seperti ini, baik melalui majalah, radio, TV dan semisalnya. Karena perbuatan tersebut mengurangi muru`ah (harga diri) dan membuang waktu untuk perkara yang belum pasti kemanfaatannya. Wabillahit taufiq.
Masalah 35: Hadiah yang ada pada barang dagangan
Masalah ini ada dua bentuk. Dan keduanya merupakan kaidah untuk menghukumi masalah lain yang semisal.
Masalah 36:Jual beli ikan yang masih di dalam air
Jual beli ikan yang masih ada di lautan, danau atau sungai besar adalah haram, dengan beberapa alasan:
Termasuk dalam masalah ini adalah sistem jual beli ikan di tambak dengan cara sampling (mengambil contoh). Maksudnya, sang petambak atau pembeli mengambil/menjaring sejumlah ikan di tambak. Ikan yang terjaring dijadikan contoh/tolak ukur untuk ikan-ikan yang ada di tambak tersebut secara keseluruhan. Sistem ini diharamkan karena beberapa sebab:
Faedah: Diperbolehkan jual beli ikan yang masih di dalam air dengan tiga syarat:
Masalah 37: Sistem habalil habalah
Ada dua gambaran tentang sistem ini:
Yang tidak diketahui di sini adalah waktu pembayarannya. Adapun barangnya telah diketahui, yaitu hewan tadi atau anaknya atau cucunya.
Ketidakjelasan waktu pembayaran punya andil besar dalam penentuan harga. Bisa jadi, saat jatuh pembayaran harganya lebih mahal atau mungkin lebih murah.
Yang tidak diketahui di sini adalah barangnya. Jual beli hewan yang masih di perut induknya adalah haram menurut kesepakatan ulama. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma:
“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli habalil habalah.” (HR. Muslim no. 1514)
Dalam Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim) diriwayat-kan dari Ibnu ‘Umar bahwa orang-orang jahiliyah dahulu biasa melakukan jual beli daging unta sampai habalil habalah. Yaitu, unta betina tadi melahirkan anaknya, lalu anaknya tadi bunting dan melahirkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hal tersebut. (HR. Al-Bukhari no. 2143 dan Muslim no. 1514)
Di antara sebab-sebab keharamannya adalah:
radhiallahu ‘anhuma. Tidak diketahui jenisnya
Wallahu a’lam.
Masalah 38: Sistem munabadzah dan mulamasah
Gambaran munabadzah adalah seseorang melemparkan bajunya–misalnya– kepada lelaki lain tanpa melihat barang tadi. Dan hal itu dijadikan sebagai akad jual beli mereka.
Ada beberapa perkara yang tergolong dalam sistem munabadzah ini:
Adapun mulamasah adalah jual beli dengan sistem meraba/memegang barang yang dijual tanpa melihatnya. Ada beberapa gambaran lain yang juga tergolong dalam mulamasah:
Semua sistem munabadzah dan mulamasah di atas adalah haram, karena:
radhiallahu ‘anhuma. Ada unsur ketidaktahuan jenis dan nilai barang.
Dasarnya adalah hadits Abu Sa’id Al-Khudri dalam Ash-Shahihain:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang sistem mulamasah dan munabadzah dalam jual beli.”
Masalah 39: Sistem hashat (lempar batu)
Sistem ini ada beberapa jenis dan gambaran, di antaranya:
Jual beli dengan semua gambaran di atas adalah haram menurut kesepakatan para ulama. Ibnu Qudamah menukilkan bahwa tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang masalah ini. Dasarnya adalah hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli sistem hashat dan yang ada unsur gharar.” (HR. Muslim no. 1513)
Wallahul muwaffiq.
Faedah: Termasuk jual beli yang terlarang karena adanya unsur gharar adalah:
Masalah 40: Jual beli sesuatu yang tertanam dalam tanah, seperti wortel, bawang merah, bawang putih dan semisalnya
Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama:
radhiallahu ‘anhuma. Terdapat hal yang sangat memberatkan pemilik tanaman yang berjumlah besar itu. Karena mereka membutuhkan alat yang dapat menjaga tanaman tersebut setelah dicabut atau dipanen agar tidak rusak. Terkadang mereka tidak mendapatkannya. Juga akan berakibat penjual dipermainkan oleh sang pembeli, misalnya sudah dicabut ternyata tidak jadi dibeli. Ujungnya, kalau tidak ada alat untuk menjaganya dari kerusakan adalah hancurnya tanaman tersebut.
Yang rajih adalah dirinci:
– Bila yang disebutkan oleh pendapat kedua adalah terjadi dan nyata, maka tidak mengapa dan tidak termasuk jual beli yang memiliki unsur gharar.
– Bila tidak benar dan tidak nyata, maka wajib dicabut hingga terlihat oleh sang pembeli.
Ini adalah rincian dari Asy-Syaukani dalam As-Sailul Jarrar. Wallahu a’lam.
Jual Beli Buah-buahan
Dalam masalah ini ada 2 bagian:
Termasuk dalam masalah ini adalah:
Masalah 41: Jual beli Sistem Mu’awamah/Sinin
Yaitu menjual hasil sawah/kebun untuk beberapa tahun ke depan dalam satu akad. Hal ini terlarang, karena ada unsur gharar dan taruhan. Begitu juga menjual buah-buahan yang belum tumbuh. Insya Allah akan dirinci pada poin kedua.
Adapun dasar pelarangan sistem mu’awamah adalah hadits Jabir radhiallahu ‘anhu:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang …. dan melarang sistem mu’awamah.” (HR. Muslim, 1536/85)
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa yang terlarang di sini adalah jual beli dzat buahnya. Adapun bila yang diperjualbelikan adalah sifatnya maka tidak mengapa, karena masuk dalam sistem salam.
Sistem salam adalah menyerahkan uang pembayaran di muka dalam majelis akad untuk membeli suatu barang dengan sifat yang diketahui, tidak ada unsur gharar padanya, dengan jumlah yang diketahui, takaran/timbangan yang diketahui dan waktu serah terima barang yang diketahui pula. Mudah-mudahan ada pembahasan khusus tentang sistem ini pada edisi lain, insya Allah.
“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli buah-buahan hingga nampak matang, beliau melarang penjual dan pembeli.” (Muttafaqun ‘alaih)
Hadits semakna juga diriwayatkan dari Anas radhiallahu ‘anhu (Muttafaqun ‘alaih) dan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu (HR. Muslim, 1538/58).
radhiallahu ‘anhuma. Sejumlah ulama seperti Asy-Syaikh Ibnu Baz dan Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi dalam Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah (14/82-83, no. 3476), berpendapat diperbolehkan jual beli buah-buahan yang belum tampak matang dengan dua syarat:
– Dipanen waktu itu juga.
– Ada unsur kemanfaatan, seperti untuk makanan ternak atau semisalnya.
Jumhur ulama menyepakati syarat yang kedua ini, kecuali Ibnu Abi Laila dan Sufyan Ats-Tsauri.
Yang rajih adalah pendapat ketiga. Karena hukum itu berjalan bersama ‘illat (sebab)nya, ada atau tidaknya. ‘Illat (sebab) pelarangannya adalah seperti yang disebutkan dalam hadits Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu (HR. Abu Dawud no. 3372 dengan sanad yang shahih, lihat Shahih Abu Dawud no. 3372), yaitu bahwa para shahabat dahulu berjual beli buah-buahan sebelum nampak matang. Tatkala datang waktu panen, sang pembeli datang untuk mengambil buah-buahannya. Ternyata buah tersebut sudah rusak terkena hama, maka terjadilah keributan di antara mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda sebagai musyawarah yang beliau tawarkan:
“Kalau tidak (mau berhenti), hendak-nya kalian jangan jual beli buah-buahan kecuali bila nampak matang.”
Dengan adanya dua persyaratan di atas, tidak ada lagi keributan yang dikha-watirkan. Wallahul muwaffiq.
Masalah 42: Membeli buah-buahan yang belum nampak matang dari penjual di kiosnya
Masalah ini tidak termasuk pembahasan di atas. Karena masalah di atas adalah buah-buahan yang belum nampak matang yang masih ada di pohonnya. Adapun bila sudah ada di kios atau di tangan penjual, maka boleh diperjualbelikan, baik buah-buahan yang sudah matang ataupun belum. Hujjahnya adalah hadits Anas radhiallahu ‘anhu:
“Bagaimana pendapatmu bila Allah menahan buah tersebut? Bagaimana salah seorang kalian menghalalkan harta saudaranya tanpa hak?!” (Muttafaqun ‘alaih)
Faedah: Ketentuan matangnya buah-buahan tergantung jenis buahnya juga. Misalnya, tanda matangnya korma adalah memerah atau menguning.
Masalah 43: Jual beli buah-buahan yang telah matang
Jumhur ulama berpendapat diperbo-lehkan, baik langsung dipanen atau dibiarkan di pohonnya untuk beberapa waktu. Karena tidak termasuk larangan hadits di atas.
Jual Beli Barang yang Belum Diterima
Para ulama –kecuali ‘Atha` dan ‘Utsman Al-Butti– bersepakat bahwa seseorang yang membeli makanan lalu menjualnya kepada orang lain sebelum makanan tadi dia terima adalah haram. Dengan dasar hadits Jabir radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Bila engkau membeli makanan maka janganlah engkau jual hingga engkau terima sepenuhnya.” (HR. Muslim no. 1529)
Masalah 44: Apakah larangan di atas khusus untuk makanan saja?
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama:
Yang rajih adalah pendapat pertama, dengan beberapa dalil berikut:
“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual barang dagangan di tempat dibelinya, hingga dipindahkan oleh pedagang ke tempat mereka.” (HR. Abu Dawud no. 3499 dengan sanad yang hasan)
Lafadz bersifat umum, mencakup semua barang yang diperjualbelikan.
“Bila engkau membeli sesuatu, maka janganlah engkau jual hingga engkau menerimanya.” (HR. Ahmad, 3/402, dengan sanad yang dha’if, namun menjadi hasan dengan hadits Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu di atas)
Lafadz mencakup semua barang yang diperjualbelikan. Wallahul muwaffiq.
Perkecualian dalam Jual Beli
Maksudnya adalah menjual barang dengan mengecualikan sesuatu darinya. Masalah ini memiliki dua bagian:
Dinukil adanya kesepakatan ulama bahwa masalah ini diperbolehkan, karena tidak ada unsur gharar di dalamnya.
Yang rajih adalah pendapat jumhur ulama, dengan dasar hadits Jabir radhiallahu ‘anhu:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang perkecualian dalam jual beli, yakni mengecualikan sesuatu yang majhul (tidak diketahui).” (HR. Muslim, 1536/85)
Juga ada alasan bahwa tidak diketahuinya sesuatu yang dikecualikan akan berakibat tidak diketahuinya barang yang diperjualbelikan. Sehingga hal ini termasuk dalam ‘jual beli sesuatu yang tidak diketahui’. Dan ini tidak diperbolehkan karena ada unsur gharar dan taruhan.
Misalnya seseorang menjual rumah yang memiliki 4 kamar. Lalu dia mengecuali-kan satu kamar tanpa ditentukan kamar yang mana. Hal ini akan mengakibatkan tidak diketahuinya kamar yang hendak diperjualbelikan. Wallahul muwaffiq.
Najsy dalam Jual Beli
Najsy ialah menaikkan harga barang dari seseorang yang tidak ingin membelinya.
Ada beberapa alasan seseorang melakukan hal tersebut, di antaranya:
Semua tujuan di atas adalah haram. Para ulama bersepakat bahwa pelakunya telah bermaksiat dengan perbuatan itu.
Bentuk najsy yang terlarang cukup banyak, di antaranya:
radhiallahu ‘anhuma. Sang pelaku memuji dan menyanjung barang tersebut setinggi langit, hingga sang pembeli tertipu.
Semua jenis najsy di atas adalah haram, termasuk dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari najsy.” (Muttafaqun ‘alaih)
Bersambung syarat ke 5