Salah satu bentuk interaksi antar manusia yang paling sering dijumpai adalah jual beli. Oleh karena itulah, Islam mengatur ini semua agar terwujud tatanan kehidupan yang sarat dengan keadilan.
Termasuk rahmat Allah subhanahu wa ta’ala kepada segenap umat manusia adalah dihalalkannya jual beli di kalangan mereka dalam rangka melestarikan komunitas Bani Adam hingga hari penghabisan. Serta melanggengkan hubungan antar mereka sebagai makhluk yang membutuhkan orang lain. Lalu bagaimanakah jual beli yang sesuai petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu?
Secara global, kajian berikut akan mengupas pokok-pokok kaidah dalam masalah ini disertai beberapa rincian seperlunya. Wallahul muwaffiq lishshawab.
Definisi bai’ (Jual Beli)
Secara bahasa adalah pertukaran harta dengan harta.
Secara syariat, makna bai) telah disebutkan beberapa definisinya oleh para fuqaha (ahli fiqh). Definisi terbaik adalah: Pertukaran/pemilikan harta dengan harta berdasarkan saling ridha melalui cara yang syar’i. (Syarah Buyu’,hal.1)
Hukum Jual Beli
Hukum asal jual beli adalah halal dan boleh, hingga ada dalil yang menjelaskan keharamannya. Dalil kebolehannya adalah al-Qur`an, hadits, dan ijma’ ulama.
Dalil dari al-Qur`an di antaranya firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (al-Baqarah: 275)
Adapun hadits, di antaranya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya jual beli itu dengan sama-sama ridha.” (HR. Ibnu Majah no. 2185, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, dari jalan Abdul ‘Aziz bin Muhammad, dari Dawud bin Shalih Al-Madani, dari ayahnya, dari Abu Sa’id. Sanadnya shahih, lihat Al-Irwa` 1283)
Para ulama di sepanjang masa dan di belahan dunia manapun telah sepakat tentang bolehnya jual beli. Bahkan ini merupakan kesepakatan segenap umat, sebagaimana dinukil oleh Al-Imam An-Nawawi.
Syarat-syarat Jual Beli
Jual beli dianggap sah secara syar’i bila memenuhi beberapa persyaratan berikut:
Masing-masing syarat di atas mengandung sekian banyak permasalahan yang terkaitan dengan jual beli. Jika dirinci, akan diketahui mana mekanisme yang diperbolehkan dan mana yang terlarang secara syar’i. Bila telah tuntas uraiannya, yang tersisa hanya beberapa bab saja dalam masalah jual beli, seperti bab Khiyarat dan Riba.
Karena keterbatasan lembar majalah ini, maka akan kami uraikan seperlunya dan kami sebutkan masalah-masalah yang masyhur saja, bi idznillahi ta’ala (dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala).
SYARAT PERTAMA
Keridhaan Kedua Belah Pihak
Dalil persyaratan ini disebutkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kailan saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan saling ridha di antara kalian.” (an-Nisa`: 29)
Juga dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya jual beli itu dengan keridhaan.”
Akal yang sehatpun menerima persyaratan ini. Karena jika tidak ada persyaratan ini, maka masing-masing orang akan saling mendzalimi dan bertindak melampaui batas terhadap orang lain.
Masalah 1: Jual beli orang yang dipaksa
Jumhur ulama berpendapat bahwa jual beli orang yang dipaksa hukumnya tidak sah. Mereka berhujjah dengan ayat dan hadits di atas, juga dengan hadits berikut:
“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala memaafkan dari umatku tindakan kesalahan, kealpaan, dan keterpaksaan.” (HR. Ibnu Majah 2045 dan Al-Baihaqi dalam Al-Kubra 7/356-357 dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dengan sanad hasan karena banyak penguatnya. Lihat Nashbur Rayah, 4/64-66, dan Al-Maqashidul Hasanah hal. 369-371, no. 528)
Termasuk faedah dalam bab ini adalah jual beli seseorang karena malu, sebab tidak terwujud persyaratan keridhaan padanya.
Masalah 2: Jual beli orang yang bergurau
Misalnya, ada orang bergurau dengan orang lain, dia berkata: “Saya jual mobilku kepadamu dengan harga Rp. 500 ribu.” Jual beli seperti ini tidak sah, karena tidak ada niatan jual beli dan juga tidak ada keridhaan dari sang penjual.
Kita bisa mengetahui sang penjual sedang bergurau dengan qarinah (tanda/bukti-bukti). Bila tidak ada tanda-tanda gurauan, maka jual belinya sah. Sang penjual harus bisa mendatangkan bukti-bukti yang kuat bahwa dia tengah bergurau.
Masalah 3: Jual beli dengan orang yang tengah membutuhkan (uang)
Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang masalah ini:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli orang yang sedang butuh.”
Sanad ini didha’ifkan karena tidak diketahui siapa syaikh di atas. Meski ada penguat lain dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yamanz, yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, namun dalam sanadnya ada perawi yang bernama Kautsar bin Hakim, di mana dia matruk (ditinggalkan hadits–nya). Sanadnya juga terputus antara Makhul dan Hudzaifah. Wallahu a’lam.
Ijab Qabul dalam Jual Beli
Termasuk dalam persyaratan pertama ini adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan ijab qabul. Ijab adalah ucapan penjual: “Saya jual”, sedangkan qabul adalah ucapan pembeli: “Saya terima.”
Masalah 4: Apakah disyaratkan lafadz-lafadz tertentu dalam jual beli?
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama:
Yang mendekati pendapat ini adalah pendapat Ibnu Hazm: Tidak sah kecuali dengan lafadz “Saya jual” atau “Saya beli”.
Menurut mereka, jual beli barang yang besar atau mahal tidak sah kecuali dengan lafadz ijab dan qabul.
Pendapat inilah yang rajih, sebab masalah ini tidak ditentukan batasannya secara syar’i atau bahasa Arab. Sehingga dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat setempat. Kaidah umum menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak ditentukan batasannya secara syar’i atau bahasa, maka dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat.
Masalah 5: Bila masalah di atas telah dipahami, jual beli mu’athah yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqh adalah sah.
Gambaran mu’athah adalah: Pembeli memberikan uang kepada penjual dan mengambil barang tanpa lafadz ijab qabul.
Mu’athah ini bisa dari sang penjual. Misalnya, pembeli berkata: “Apakah kamu menjual barang ini kepadaku dengan harga sekian?” Lalu penjual memberikan barang-nya tanpa mengucapkan lafadz: “Saya terima.”
Mu’athah juga bisa dari sang pembeli. Misalnya, sang penjual berkata: “Maukah kamu membeli barang ini dengan harga sekian?” Lalu sang pembeli mengeluarkan uang dan mengambil barang tadi tanpa lafadz ijab qabul.
Masalah 6: Bila sang pembeli berkata kepada penjual dalam bentuk pertanyaan: “Apakah engkau menjual barangmu ini?” Lalu penjual mengatakan: “Saya terima.”
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa akad ini tidak sah, karena tidak diketahui keridhaan sang pembeli. Demikian yang dinukilkan Ibnu Qudamah dan yang lainnya.
Masalah 7: Jual beli dalam bentuk janji
Misalnya, sang penjual berkata: “Maukah engkau membeli barang ini dengan harga sekian?” Pembeli berkata: “Nanti akan saya beli.”
Janji seperti ini tidak dianggap sebagai akad jual beli, bagaimanapun bentuknya. Penjual tidak diharuskan menyimpan barang tadi (artinya dia boleh menjualnya kepada orang lain). Pembeli pun tidak diharuskan membeli barang tadi, walaupun telah menyerahkan DP (downpayment,persekot/uang muka). Wallahu a’lam.
Jual Beli Menggunakan Alat-alat Modern Masa Kini
Termasuk dalam bab ini adalah jual beli dengan piranti masa kini.
Masalah 8: Jual beli lewat telepon
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah pernah menyebutkan satu masalah: Jika ada dua orang yang saling berbicara dari tempat jauh, satu sama lain tidak saling melihat, yang terdengar hanyalah suaranya saja dan pembicaraannya adalah masalah akad jual beli, maka akadnya adalah sah.
Demikian pula lewat telepon. Dengan syarat, aman dari penipuan suara. Jika terjadi penipuan, maka dikembalikan kepada kaidah-kaidah umum jual beli.
Masalah 9: Jual beli lewat telegram, faksimili, atau Short Message Service (SMS)
masalah ini masuk dalam permasalahan jual beli lewat tulisan yang diperbincangkan para fuqaha.
Pendapat inilah yang rajih (kuat). Karena yang dimaksud dalam jual beli adalah keridhaan. Dan keridhaan bisa dengan lafadz atau perbuatan, seperti tulisan. Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kita untuk menulis hutang piutang dan mendahulukan tulisan daripada gadai, dalam firman-Nya:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (al-Baqarah: 283)
Perhatian: Ini semua dengan satu syarat penting, yakni barang-barang yang dibeli tidak termasuk barang-barang yang disyaratkan harus diserah terimakan di tempat. Pembahasan masalah ini, insya’ Allah, dalam bab Riba.
Faedah: Saya (penulis) pernah bertanya kepada Syaikhuna (guru saya) Abu Abdillah Abdurrahman Mar’i Al-’Adani hafizhahullahu wa syafaahu sewaktu di Yaman, di Masjid Mazra’ah perumahan keluarga di Dammaj, tentang masalah jual beli lewat internet (secara online). Beliau menjawab (secara makna): “Tidak apa-apa, selama barang yang dibeli tersebut tidak termasuk barang yang harus diserah terimakan di tempat.” Wallahu a’lam.
SYARAT KEDUA
Orang yang melakukan akad adalah orang yang diperbolehkan menangani urusan tersebut
Dalam hal ini adalah seorang yang berakal dan baligh. Dengan syarat ini, ada beberapa orang yang diperbincangkan para ulama tentang akad jual beli mereka. Di antaranya adalah:
Para ulama telah sepakat bahwa akad jual beli orang gila tidaklah sah. Demikian pula orang yang sedang pingsan, dengan dasar hadits:
“Pena (takdir) diangkat dari 3 orang….”
Namun bila penyakit gilanya tidak menentu (kadang kambuh, kadang normal), maka di saat gila, tidak sah akad jual belinya. Dan di saat dia sadar, maka akadnya sah.
Ada dua keadaan:
Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama:
– Jumhur ulama berpendapat, tidak sah jual belinya, karena hilang ingatan dan akalnya.
– Kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah dan satu riwayat dari Ahmad berpendapat sah, sebagai hukuman atasnya. Mereka juga beralasan: Siapa yang tahu dia itu mabuk? Jangan-jangan dia hanya berpura-pura saja.
Yang rajih adalah pendapat jumhur, karena keadaan dia seperti orang gila, maka masuk pada hadits di atas.
2. Mabuk tidak menyeluruh (tidak hilang ingatannya)
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama, bahwa jual belinya sah.
Ada 2 keadaan:
Tidak ada perbedaan pendapat tentang ketidaksahan akad jual belinya.
2. Telah mumayyiz
Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama:
Mereka mensyaratkan, anak kecil itu tidak tertipu dengan tingkat penipuan yang parah. Bila hal ini terjadi, maka sang wali punya hak untuk meminta kembali barang yang dijual dari sang pembeli. Pada kasus seperti ini tidak sah akad jual belinya.
Faedah: Al-Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih membolehkan anak kecil berjual beli barang-barang yang remeh walaupun tanpa seizin wali. Adapun barang-barang yang mahal/besar, maka harus dengan izin wali. Wallahu a’lam bishshawab.
(bersambung bagian 2. “Syarat ke 3”)