Mahalnya Sebuah Hidayah
Bila menengok tatanan kehidupan umat manusia di masa jahiliyah, niscaya akan didapati potret kehidupan yang multi krisis. Sebuah kehidupan, yang umat manusianya dirundung kegalauan spiritual dan kepincangan intelektual. Tingkah polahnya sangat jauh dari norma-norma agama yang luhur dan fitrah suci. Sementara corak kehidupannya adalah kebejatan akhlaq dan dekadensi moral. Sehingga kesyirikan –yang merupakan dosa paling besar di sisi Allah– merajalela. Demikian pula pembunuhan, kezhaliman, perzinaan dan berbagai macam bentuk kemaksiatan lainnya tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Tak ayal, bila masa itu kemudian dikenal dengan masa jahiliyah.
Di kala umat manusia berada dalam kegersangan hati dan haus akan siraman rohani inilah, Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, membawa petunjuk ilahi dan agama yang benar serta kitab suci al-Qur`an. Dengan sebuah misi mulia: mengentaskan umat manusia dari jurang kejahiliyahan yang gelap gulita menuju cahaya Islam yang terang benderang. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dialah (Allah subhanahu wa ta’ala) yang telah mengutus Rasul-Nya dengan (membawa) petunjuk dan agama yang benar, agar Allah subhanahu wa ta’ala memenangkan agama tersebut atas semua agama yang ada, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukainya.” (ash-Shaff: 9)
“Hai Ahli Kitab, telah datang kepada kalian Rasul kami, menjelaskan kepada kalian banyak dari al-Kitab yang kalian sembunyikan dan banyak pula yang dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan (al-Qur`an). Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya kepada jalan keselamatan. Dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (al-Ma`idah: 15-16)
Namun hidayah itu sangat mahal harganya. Tak setiap orang bisa mendapatkannya. Karena itu, Allah memerintahkan para hamba untuk selalu memohon hidayah tersebut dalam setiap rakaat shalat mereka. Dengan sebuah lantunan doa dan harapan:
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (al-Fatihah: 6)
Bahkan tatkala hidayah ilahi telah didapatkan, Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan pula para hamba untuk memohon keteguhan hati (istiqamah) di atasnya. Karena tak setiap orang yang telah mendapatkan hidayah tersebut dapat istiqamah di atasnya.Allah perintahkan dengan sebuah lantunan doa:
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau sesatkan hati-hati kami setelah Engkau beri kami hidayah dan karuniakanlah kepada kami kasih sayang dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau adalah Dzat Yang Maha Pemberi.” (ali ‘Imran: 8)
Betapa mahalnya nikmat hidayah tersebut. Oleh karenanya, Allah subhanahu wa ta’ala selalu mengingatkan para hamba untuk mensyukurinya, dengan berpegang teguh terhadap agama-Nya dan tidak bercerai-berai. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan berpegang teguhlah kalian dengan tali (agama) Allah secara bersama-sama dan jangan bercerai-berai. Ingatlah akan nikmat Allah yang telah dicurahkan kepada kalian, ketika kalian dahulu bermusuhan lalu Allah menyatukan hati-hati kalian sehingga kalian menjadi bersaudara dengan nikmat tersebut, dan (juga) kalian dahulu berada di tepi jurang neraka lalu Allah selamatkan kalian darinya. Demikianlah Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada kalian agar kalian mendapat hidayah.” (ali ‘Imran: 103)
Badai Fitnah yang Menghempaskan
Seiring dengan mahalnya hidayah ilahi yang tak didapat oleh setiap hamba Allah, ternyata kehidupan dunia ini tak pernah lengang dari fitnah dan ujian. Badai fitnah dan hempasannya yang amat kuat merupakan suatu realita yang harus dihadapi oleh setiap anak manusia, terlebih seorang muslim. Militansinya akan selalu diuji. Eksistensi keimanannya pun akan senantiasa digoyang. Semua itu untuk membuktikan siapa yang tergolong jujur dalam keimanannya dan siapa pula yang berdusta. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“ Apakah manusia mengira mereka dibiarkan berkata: ‘Kami telah beriman’ sedangkan mereka tidak diuji? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka agar Allah subhanahu wa ta’ala melihat siapakah orang-orang yang jujur (dalam keimanannya) dan siapa (pula) yang berdusta.” (al-’Ankabut: 2-3)
Para pembaca yang mulia, bagaimanakah datangnya badai fitnah itu?
Datangnya fitnah itu ibarat potongan-potongan malam. Tatkala datang sepotong darinya, maka keadaan pun menjadi gelap. Dan setiap kali datang potongan berikutnya semakin gelap pula keadaannya. Demikianlah seterusnya, kegelapan di atas kegelapan. Hingga seseorang benar-benar merasa kesulitan untuk membedakan mana yang haq dan mana yang batil. Mana yang halal dan mana yang haram. Wallahul Musta’an. Hal ini sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Bergegaslah kalian untuk beramal, (karena akan datang) fitnah-fitnah ibarat potongan-potongan malam. Di pagi hari seseorang dalam keadaan beriman dan sore harinya dalam keadaan kafir. Di sore hari dalam keadaan beriman dan keesokan harinya dalam keadaan kafir. Dia menjual agamanya dengan sesuatu dari (gemerlapnya) dunia ini.” (HR. Muslim no.118, dari shahabat Abu Hurairah rahimahullah)
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullah berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang yang jujur lagi terpercaya telah memberitakan kepada kita dalam banyak haditsnya, termasuk hadits Abu Hurairah rahimahullah (diatas-pen) tentang munculnya berbagai macam fitnah di tengah umat ini. Dan benar-benar telah terjadi berbagai macam fitnah besar yang sangat kuat hempasannya terhadap aqidah dan manhaj (prinsip beragama) umat Islam, mencabik-cabik keutuhan mereka, menyebabkan pertumpahan darah di antara mereka dan menjatuhkan kehormatan mereka. Bahkan benar-benar telah menjadi kenyataan (pada umat ini) sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“ Sungguh kalian akan mengikuti jalan/jejak orang-orang sebelum kalian (Yahudi dan Kristen-pen) sejengkal dengan sejengkal dan sehasta dengan sehasta[1]. Sampai-sampai jika mereka masuk ke liang binatang dhab (sejenis biawak yang hidup di padang pasir-pen) pasti kalian akan mengikutinya.”
Beliau juga berkata: “Di negeri-negeri kaum muslimin, saat ini telah bermunculan berbagai macam fitnah, seperti komunis, liberal, sekuler, ba’ts (sosialis), dan demokrasi dengan segala perangkatnya. Kelompok sesat Syi’ah Rafidhah dan Khawarij pun semakin gencar menghembuskan racun-racun yang dahulu disembunyikannya. Sebagaimana pula telah muncul kelompok sesat Qadiyaniyyah dan Baha`iyyah.” (Haqiqah Al-Manhaj Al-Wasi’ ‘Inda Abil Hasan, hal. 2)
Para pembaca yang mulia, dari keterangan di atas jelaslah bagi kita bahwa badai fitnah yang menghempaskan itu terkadang dalam bentuk iming-iming harta dan dunia (fitnah syahawat), dan terkadang pula dalam bentuk kerancuan berfikir (fitnah syubuhat) yang dihembuskan oleh para penyeru kesesatan. Hanya Allah-lah satu-satunya tempat berlindung dari kedua jenis fitnah tersebut, baik yang tampak maupun yang tidak tampak.
Fenomena Fitnah di Era Globalisasi
Era globalisasi dan industrialisasi kian hari semakin pesat. Laju modernisasi yang kerap kali bertajuk ‘pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)’ terus bergulir sesuai dengan visi dan misinya. Sarana informasi, komunikasi, dan transportasi pun kian hari semakin mengglobal, yang menjadikan dunia ini bak sebuah kampung yang mudah untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Fenomena ini, tentunya memberikan kemudahan tersendiri bagi umat manusia dalam melakukan berbagai aktivitasnya. Namun di sisi lain, tak bisa dipungkiri mempunyai dampak negatif yang cukup serius bagi moralitas mereka.
Hal ini nampak jelas bila kita mencermati salah satu saja dari jargon era globalisasi dan industrialisasi semisal Pasar Bebas yang kondisinya semakin hari semakin ‘menggila’. Para mafia dan preman berdasi pun tak ketinggalan untuk meramaikannya. Sehingga tak mengherankan bila dunia bisnis dan perdagangan industri saat ini banyak diwarnai oleh kasus-kasus kelabu (bahkan kelam) yang tidak selaras dengan fitrah suci dan norma-norma agama yang murni.
Fenomena di atas, galibnya sudah dimengerti oleh khalayak ramai. Namun di sana ada juga Pasar Bebas yang sejatinya sama-sama berdiri di balik ‘kecanggihan’ IPTEK dan tidak diketahui oleh kebanyakan orang, namun efeknya demikian besar bagi eksistensi keimanan seorang muslim. Tahukah anda, pasar bebas apakah itu? Ia adalah pasar bebas ideologi dan syahwat. Pasar bebas yang hakekatnya adalah perang pemikiran (ghazwul fikri), dengan umat Islam sebagai sasaran bidiknya.
Di pasar bebas yang satu inilah, ekspor-impor ideologi sesat sekaligus transfernya dapat dilakukan dengan begitu mudah. Demikian pula promosi syahwat, baik dalam bentuk wanita dengan segala aksennya ataupun hingar bingarnya fitnah dunia yang selainnya. Cukuplah televisi, parabola dan internet sebagai perwakilan global dari IPTEK yang menjadi mediator aktif bagi proyek ekspor-impor ideologi sesat dan syahwat tersebut. Hal ini semakin meyakinkan bahwa era globalisasi dan industrialisasi modern dengan laju arusnya yang sangat deras ini, setahap demi setahap dapat ‘menggerus’ agama, manhaj (prinsip beragama), dan harga diri umat Islam.
Para pembaca yang budiman, ketika genderang ghazwul fikri telah ditabuh via ‘pasar bebasnya’, maka tak ayal kesyirikan dengan berbagai merknya muncul di permukaan. Kesesatan dengan segala aksesorisnya pun meruak. Demikian pula kemurtadan dari agama Islam terus berlangsung, seiring dengan semakin gencarnya fitnah syahwat. Tentunya, ini merupakan petaka yang dapat mengancam eksistensi umat Islam di penjuru dunia.
Atas dasar itulah nampaknya posisi kita di era globalisasi ini benar-benar berada di persimpangan jalan. Persimpangan jalan antara fitnah syubhat dan fitnah syahwat. Sebuah posisi yang cukup mencemaskan. Pernahkah kita merenungkannya?! Pernahkah kita memikirkan keselamatan diri kita?! Ataukah justru kita terlena dan larut dengan laju fitnah yang amat deras arusnya itu?! Na’udzu billahi min dzalik.
Ketika Fitnah Syahwat Mengitari Kita
Fitnah syahwat (harta dan dunia) merupakan realita kehidupan yang tidak bisa dipungkiri. Bahkan keindahannya yang menggoda, merupakan bagian dari sunnatullah. Namun itu semua tak ada artinya bila dibandingkan dengan kenikmatan di negeri akhirat. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada segala apa yang diingini (syahawat), yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak,dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; Dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). Katakanlah: ‘Maukah aku kabarkan kepada kalian apa yang lebih baik dari itu semua?’ Bagi orang-orang yang bertakwa (kepada Allah subhanahu wa ta’ala), di sisi Rabb mereka ada jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) istri-istri yang disucikan dan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala. Dan Allah Maha Melihat akan para hamba-Nya.” (ali ‘Imran: 14-15)
Para pembaca yang mulia, cobalah amati apa yang ada di sekitar anda! Benarkah di sana ada fitnah syahawat? Orang yang bijak pasti akan mengatakan: ‘Benar’. Terlebih dengan semakin derasnya arus globalisasi yang kerap kali mengemas keangkaramurkaan dengan isu modernisasi dan kekinian. Bagaimana tidak?!
Slogan hidup ‘Time is money’ (waktu adalah uang) telah bercokol pada otak kebanyakan orang, termasuk umat Islam. Rumor kemiskinan dan penderitaan karena berpegang teguh dengan agama sering kali didengungkan. Sehingga tak jarang bila segala sesuatunya diukur dengan harta. Bahkan keberhasilan dan kesuksesan hidup pun mulai diteropong dari sisi yang satu ini, tanpa melirik lagi kepada kampung akhirat. Padahal di sanalah sesungguhnya keberhasilan dan kesuksesan hakiki akan terbukti. Wallahul Musta’an.
Pornografi dan pornoaksi telah menjadi hak asasi yang diperjuangkan. Wanita pekerja seks komersial dengan praktek prostitusinya berkeliaran di mana-mana. Bahkan dunia kampus pun telah mereka rambah, walaupun dengan identitas ‘ayam kampus’.
Kasak-kusuk perselingkuhan dengan segala liku-likunya sering menimpa rumah tangga. Hingar bingarnya kehidupan malam di bar/kafe/diskotik dengan pesta dansa dan dentingan gelas-gelas minuman keras mewarnai hari-hari sebagian kawula muda. Kriminalitas pun sering kali terjadi, yang tak jarang motifnya adalah urusan dunia. Hal ini mengingatkan kita akan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“ Sesungguhnya di antara tanda (datangnya) hari kiamat adalah dicabutnya ilmu agama dan tampak (tersebarnya) kebodohan, merajalelanya perzinaan dan diminumnya (baca: dipestakannya) minuman khamr. Kaum lelaki semakin berkurang, sementara kaum wanita semakin bertambah. Sampai-sampai lima puluh orang wanita dikepalai oleh satu orang lelaki.” (HR. Muslim no. 2671,dari shahabat Anas bin Malik z)
Dalam riwayat Muslim lainnya (no. 2672) dari shahabat Abdullah bin Mas’ud dan Abu Musa Al-Asy’ari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Dan banyak terjadi padanya al-harj, al-harj adalah pembunuhan.”
Demikianlah realita fitnah syahawat yang mengitari kita. Hempasannya tidak hanya menerpa orang awam atau anak jalanan semata. Bahkan orang berilmu pun nyaris terancam ketika orientasi hidupnya adalah dunia. Di mana ada ‘lahan basah’ dia pun ada di sana, walaupun harus mengikuti keinginan big bosnya yang kerap kali tak sesuai dengan hati nuraninya.
Syahdan, ketika hawa nafsu telah membelenggu fitrah sucinya maka ayat-ayat Allah (agama) dia jual dengan harga yang murah. Manhaj (prinsip agamanya) pun dia korbankan demi meraih kelayakan hidup atau kemapanan ekonomi. Dengan tegas Allah subhanahu wa ta’ala memperingatkan orang-orang berilmu dari perbuatan tersebut, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab, dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api. Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat, tidak akan menyucikan mereka dan bagi mereka siksa yang pedih. Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan (membeli) siksa dengan ampunan. Alangkah beraninya mereka menghadapi api neraka!”(al-Baqarah: 174-175)
Para pembaca yang mulia, sesungguhnya agama Islam tidak melarang seseorang untuk mencari sumber penghidupan. Namun jangan sampai itu semua melupakannya untuk mencari kebahagiaan negeri akhirat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagian) negeri akhirat. Dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (al-Qashash: 77)
Menjual Agama, Pangkal Kehinaan
Para pembaca yang mulia, menjual agama dan manhaj merupakan puncak terburuk dari tenggelamnya seseorang ke dalam badai fitnah. Dan merupakan suatu kesepakatan bahwasanya menjual agama (apapun alasannya) adalah tercela. Bahkan merupakan pangkal kehinaan dan kemurtadan. Dalam banyak ayat-Nya Allah subhanahu wa ta’ala mencela orang-orang yang menjual agamanya. Di antaranya, firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Merekalah orang-orang yang telah membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perdagangan mereka itu dan mereka itu bukanlah orang-orang yang mendapat hidayah.” (al-Baqarah: 16)
“Sesungguhnya orang-orang yang membeli kekafiran dengan keimanan sekali-kali tidak akan memudharatkan Allah sedikit pun dan bagi mereka adzab yang pedih.” (ali ‘Imran: 177)
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi. Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir (murtad) sesudah mereka beriman, serta mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar rasul, dan keterangan-keterangan pun telah sampai kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang yang zhalim. Mereka itu, balasannya ialah bahwasanya laknat Allah ditimpakan kepada mereka, (demikian pula) laknat para malaikat dan manusia seluruhnya.” (ali ‘Imran: 85-87)
Dengan demikian, betapa tercelanya orang-orang yang menjual agamanya. Di dunia jerih payahnya sia-sia. Bahkan mendapatkan laknat dari Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya. Sedang-kan di akhirat, dia termasuk orang-orang merugi dan menuai adzab yang pedih. Tentunya, hal ini berbeda dengan keadaan orang-orang yang berteguh diri di atas keimanan hingga akhir hayatnya. Mereka mendapatkan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Sesungguhnya orang-orang yang menyatakan: ‘Rabb-ku adalah Allah,’ kemudian berteguh diri di atasnya (istiqamah), para malaikat akan turun kepadanya (ketika sakratul maut) seraya mengatakan: ‘Janganlah kalian merasa takut dan jangan pula bersedih. Bergembiralah dengan jannah yang telah dijanjikan Allah untuk kalian’. Kami Pelindung kalian dalam kehidupan dunia dan di akhirat. Di dalamnya kalian akan memperoleh segala apa yang kalian inginkan dan memperoleh (pula) apa yang kalian minta. Sebagai hidangan dari Allah Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Fushshilat: 30-32)
Sehingga tak mengherankan bila Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang mewanti-wanti para hamba-Nya yang beriman agar tidak meninggalkan dunia ini kecuali dalam keadaan di atas agama Islam. Sebagaimana dalam firman-Nya subhanahu wa ta’ala:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar takwa dan janganlah sekali-kali meninggal dunia melainkan sebagai pemeluk agama Islam.” (ali ‘Imran: 102)
Saatnya Kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala
Para pembaca yang mulia, mengingat betapa mahalnya nilai hidayah di tengah kuatnya badai fitnah baik syubuhat maupun syahawat, maka sudah saatnya bagi kita untuk kembali kepada Allah. Kembali kepada-Nya dengan memegang erat-erat agama Islam dan meniti jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya, kemudian bersatu di atasnya. Itulah satu-satunya jalan keselamatan di dunia dan di akhirat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan berpegang teguhlah kalian dengan tali (agama) Allah secara bersama-sama dan jangan bercerai-berai. Ingatlah nikmat Allah yang telah dicurahkan kepada kalian, ketika kalian dahulu bermusuhan lalu Allah menyatukan hati-hati kalian sehingga kalian menjadi bersaudara dengan nikmat tersebut, dan (juga) kalian dahulu berada di tepi jurang neraka lalu Allah selamatkan kalian darinya. Demikianlah Allah menerangkan tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada kalian agar kalian mendapat hidayah.” (ali ‘Imran: 103)
“Dan ikutilah dia (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) supaya kalian mendapatkan petunjuk.” (al-A’raf: 158)
“Jika mereka beriman seperti apa yang kalian (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya) beriman dengannya, sungguh mereka akan mendapatkan hidayah.” (al-Baqarah: 137)
Akhir kata, semoga ampunan, taufiq dan hidayah ilahi selalu mengiringi kita selama hayat masih dikandung badan.
“Wahai Rabb kami ampunilah dosa-dosa kami dan tindak-tanduk kami yang keterlaluan dalam urusan kami, dan teguhkanlah pendirian kami, serta tolonglah kami atas kaum yang kafir.” (ali ‘Imran: 147)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi
[1] Ini merupakan permisalan tentang betapa kuatnya kecenderungan umat ini dalam mengikuti jejak orang Yahudi dan Kristen. Bila mereka melangkah sejengkal, umat ini pun mengikutinya sejengkal langkah pula. Dan bila mereka melangkah sehasta, umat ini pun akan mengikutinya sehasta pula. Sampai-sampai ketika mereka masuk ke liang binatang dhab (yang hakekatnya tidak bisa dimasuki oleh manusia), umat Islam pun akan mengikutinya.