Sebagai sebuah amal besar, jihad mensyaratkan adanya seorang pemimpin. Dalam prinsip Ahlus Sunnah, pihak yang paling berhak untuk memimpin jihad adalah penguasa (pemerintah). Penguasa yang bagaimana yang pantas menjadi pemimpin jihad? Bila pemimpin itu seorang yang jahat, apakah kita tetap menaatinya atau boleh menolak perintahnya?
Jihad secara etimologis (bahasa) Bermakna kesulitan atau kemampuan. Adapun secara terminologis (istilah) bermakna mengerahkan segenap kemampuan di jalan Allah ‘azza wa jalla, dalam rangka meninggikan kalimat-Nya, membela agama-Nya, memerangi musuh-musuh-Nya, dan juga demi mencegah kezaliman, pelanggaran, dan kejahatan seseorang.
Makna jihad lebih luas dari sekadar bertempur atau perang. Bahkan ia mencakup jihad melawan hawa nafsu, jihad melawan orang-orang kafir dan seluruh musuh Islam, serta jihad melawan kemungkaran dan sejenisnya. Sebagaimana pula jihad dapat dilakukan dengan jiwa, harta, lisan, dan lainnya. (al-Jihad al-Islami wal Isti’anah bighairil Muslimin fii Muwaajahatil ‘Aduw, Bayan al-Majma’ al-Fiqhil Islami, Makkah al-Mukarramah)
Namun jihad sering disalahartikan. Terkadang ia diidentikkan dengan segala tindak anarkis dan teror, sebagaimana yang diopinikan oleh orang-orang kafir dan antek-anteknya. Terkadang pula dipahami secara radikal, sehingga identik dengan memerangi setiap orang kafir (tanpa kecuali) dan memerangi setiap penguasa yang berbuat zalim, sebagaimana diyakini oleh orang-orang yang berafiliasi kepada paham sesat Khawarij. Tidak jarang mereka meyakini dan menamakan tindakan anarkhis dan teror yang mereka lakukan sebagai jihad.
Inilah yang menyebabkan kian rancunya definisi jihad yang syar’i, padahal jihad itu sendiri merupakan amalan mulia lagi suci. Jihad dalam Islam bersih dari tindakan anarkhis dan melampaui batas, tidak diperbolehkan membunuh orang kafir mu’ahad (orang kafir yang terikat perjanjian untuk tidak saling memerangi), kafir musta’min (orang kafir yang mendapatkan jaminan keamanan dari pemerintah kaum muslimin), serta para wanita dan anak-anak (kecuali mereka terbukti turut berpartisipasi memerangi kaum muslimin).
Bahkan adanya syariat jihad ini sebenarnya untuk meniadakan fitnah, mewujudkan ketenangan dan kedamaian di dunia, dan supaya agama (ibadah) ini semata-mata untuk Allah ‘azza wa jalla.
“Dan perangilah mereka supaya jangan ada fitnah dan supaya agama ini semata-mata untuk Allah.” (Al- Anfal: 39)
Oleh karena itulah, syariat jihad sudah ada sejak dahulu kala di dalam agama para nabi sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan berapa banyak nabi yang berperang, bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka (dalam perjuangan) di jalan Allah, tidak lesu, dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Dan Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (Ali Imran: 146)
Peran Penguasa dalam Jihad
Jihad merupakan amalan besar yang membutuhkan persiapan dan kebersamaan. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orangorang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya sedang Allah mengetahuinya.” (Al-Anfal: 60)
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakanakan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh.” (Ash-Shaff: 4)
Dengan demikian syariat jihad tidak mungkin terlaksana tanpa ada seorang pemimpin, sebagaimana layaknya shalat berjamaah. Namun siapakah pemimpin syar’i dalam urusan jihad tersebut? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Oleh karena itu, Sunnah Rasulullah, (Sunnah) al-Khulafa’ ar-Rasyidin, dan (Sunnah) para penguasa yang mengikuti jejak mereka pada Daulah Umawiyyah dan Abbasiyyah, menunjukkan bahwa penguasalah yang bertindak sebagai pemimpin dalam dua amalan prinsip ini: shalat dan jihad.” (Majmu’ Fatawa, juz 35 hlm. 38)
Peran penguasa dalam urusan jihad sangatlah besar. Tidaklah aneh bila sahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata, “Urusan kaum muslimin tidaklah stabil tanpa ada penguasa, yang baik atau yang jahat sekalipun.”
Orang-orang berkata, “Wahai Amirul Mukminin, kalau penguasa yang baik kami bisa menerimanya, lalu bagaimana dengan penguasa yang jahat?”
‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya (walaupun) penguasa itu jahat namun Allah subhanahu wa ta’ala tetap memerankannya sebagai pengawas keamanan di jalan-jalan dan pemimpin dalam jihad….” (Syu’abul Iman, karya al-Imam al-Baihaqi rahimahullah juz 13, hlm.187, dinukil dari Mu’amalatul Hukkam, karya asy-Syaikh Abdus Salam bin Barjas rahimahullah hlm. 57)
Sikap terhadap Penguasa dalam Urusan Jihad
Setelah kita mengetahui betapa pentingnya peran penguasa dalam urusan jihad, lalu bagaimanakah sikap kita bila penguasa mengumandangkan seruan jihad fi sabilillah? Siapa pun yang merujuk kepada al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta teladan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasti meyakini bahwa jihad fi sabilillah adalah amalan mulia dan tergolong sebagai amalan ma’ruf (kebaikan) bukan kemaksiatan. Kecuali dari sudut pandang kelompok-kelompok sesat semacam Ahmadiyyah (Qadiyaniyyah) yang “mengubur” syariat jihad. Ataupun Jamaah Tabligh yang menyelewengkan makna jihad menjadi khuruj (‘dakwah’ keliling selama 3 hari, 7 hari, dst.) ala mereka. Karenanya, bila penguasa mengumandangkan seruan jihad fii sabilillah, wajib didengar dan ditaati.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan Ulil Amri di antara kalian.” (An-Nisa: 59)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah orang-orang yang Allah subhanahu wa ta’ala wajibkan untuk ditaati dari para penguasa dan pemimpin. Inilah pendapat mayoritas ulama dahulu dan sekarang dari kalangan ahli tafsir dan ahli fiqih serta yang lainnya.” (Syarh Shahih Muslim, juz 12, hlm. 222)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَىاللهَ، وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيْرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ عَصَى أَمِيْرِي فَقَدْ عَصَانِي
“Barang siapa menaatiku, ia telah menaati Allah. Barang siapa menentangku, ia telah menentang Allah subhanahu wa ta’ala. Barang siapa menaati pemimpin (umat)ku, ia telah menaatiku. Barang siapa menentang pemimpin (umat)ku, ia telah menentangku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Di dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang wajibnya menaati para penguasa dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kesatuan (kaum muslimin), karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, juz 13 hlm. 120)
Mungkin ada yang mengatakan, “Itu berlaku kalau penguasanya seorang yang baik, adapun yang diktator dan koruptor yang menzalimi dan memakan uang rakyat, atau sejenisnya, tidak ada ketaatan kepadanya walaupun dalam perkara-perkara yang ma’ruf (termasuk jihad), bahkan wajib memberontak dan menggulingkannya.”
Sesungguhnya konsep pemikiran semacam ini merupakan lagu lama yang didendangkan oleh kelompok sesat semacam Khawarij dan Mu’tazilah. Yang kemudian dipegangi orang-orang yang berangan-angan mendirikan negara (khilafah) Islam tanpa mengerti dan memahami bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perkara tersebut.
Cobalah perhatikan pernyataan-pernyataan berikut ini.
Demikianlah dua contoh pernyataan dari sekian banyak pernyataan yang berafiliasi kepada paham sesat Khawarij. Suatu pernyataan batil yang bertentangan dengan dalil naqli maupun aqli. Di antara dalil-dalil naqli itu adalah:
يَارَسُولَ اللهِ، لاَ نَسْأَلُكَ عَنْ طَاعَةِ مَنِ اتَّقَى، وَلَكِنْ مَنْ فَعَلَ وَفَعَلَ–فَذَكَرَ الشَّرَّ–فَقَالَ: اتَّقُوا اللهَ وَاسْمَعُوا وَأَطِيْعُوْا.
“Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya kepadamu tentang ketaatan terhadap pemimpin yang bertakwa. Namun yang kami tanyakan adalah ketaatan terhadap pemimpin yang berbuat demikian dan demikian (ia sebutkan kejelekan-kejelekan pemimpin).” Rasulullah bersabda, “Bertakwalah kalian kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dengarlah dan taatilah (pemimpin tersebut).” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani radhiallahu ‘anhu dalam Zhilalul Jannah fi Takhrijis Sunnah, 2/494, no. 1064)
يَكُونُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ، لاَيَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِيْ، وَسَيَقُوْمُ فِيْهمْ رِجَالٌ قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ. قَالَ) حُذَيْفَةُ(: قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيْرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
“Akan ada sepeninggalku para penguasa yang mereka itu tidak berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti cara/jalanku. Akan ada pula di antara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan dalam bentuk manusia.”
Hudzaifah berkata, “Apa yang kuperbuat bila aku mendapatinya?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya engkau mendengar dan menaati penguasa tersebut, walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu dirampas, maka (tetap) dengarkanlah (perintahnya) dan taatilah (dia).” (HR. Muslim dari sahabat Hudzaifah bin al-Yaman radhiallahu ‘anhu, 3/1476, no. 1847)
`3. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
شِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ. قِيْلَ: يَا رَسُولَ الله، أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لا، مَا أَقَامُوا فِيْكُمُ الصَّلَاةَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Seburuk-buruk penguasa kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian mencaci mereka dan mereka pun mencaci kalian.”
Lalu dikatakan kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerangi mereka dengan pedang (memberontak)?”
Beliau bersabda, “Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian! Jika kalian melihat mereka mengerjakan perbuatan yang kalian tidak sukai, maka bencilah perbuatannya dan jangan mencabut ketaatan (darinya).” (HR. Muslim, dari ‘Auf bin Malik radhiallahu ‘anhu, 3/1481, no. 1855)
Adapun dalil-dalil aqli di antaranya adalah:
Hal ini seperti pengingkaran terhadap para raja dan penguasa dengan cara memberontak. Sungguh yang demikian itu sumber segala kejahatan dan fitnah hingga akhir masa…. Barang siapa merenungkan apa yang terjadi pada (umat) Islam dalam berbagai fitnah, baik yang besar maupun yang kecil, niscaya akan melihat bahwa penyebabnya adalah mengabaikan prinsip ini dan tidak sabar atas kemungkaran sehingga berusaha untuk menghilangkannya. Namun akhirnya justru muncul kemungkaran yang lebih besar.” (I’lamul Muwaqqi’in juz 3, hlm. 6)
Demikianlah beberapa dalil naqli dan aqli seputar sikap yang benar terhadap para penguasa yang jahat dan zalim. Tentunya para pembaca yang kritis dan sportif akan menilai dengan mudah bahwa segala macam pernyataan yang berafiliasi kepada paham Khawarij di dalam menyikapi para penguasa merupakan kebatilan.
Demikian pula pengeboman yang terjadi di negeri kaum muslimin yang mereka lakukan sebagai teror terhadap penguasa bukanlah bagian dari jihad yang syar’i, bahkan bertentangan dengan dalil naqli, aqli, dan fitrah yang suci.
Untaian Fatwa
Para ulama dan para imam yang mulia memfatwakan keharusan berjihad bersama penguasa, walaupun ia seorang yang jahat dan zalim.
Penutup
Dari bahasan yang lalu dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa:
Wallahu a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.