Di awal surah al-Baqarah, Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan tiga golongan manusia, yaitu kaum mukminin, orang-orang kafir, dan orang-orang munafik. Dalam ayat tersebut Allah subhanahu wa ta’ala juga membeberkan busuknya hati orang-orang munafik dan permusuhan mereka kepada kaum mukminin.
Dalam firman-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan bahwa mereka adalah orang-orang yang berbuat kerusakan, tetapi mengaku sebagai orang yang melakukan perbaikan.
وَإِذَا قِيلَ لَهُمۡ لَا تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ قَالُوٓاْ إِنَّمَا نَحۡنُ مُصۡلِحُونَ ١١ أَلَآ إِنَّهُمۡ هُمُ ٱلۡمُفۡسِدُونَ وَلَٰكِن لَّا يَشۡعُرُونَ ١٢
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah berbuat kerusakan di bumi!’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan.’ Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari.” (al-Baqarah: 11—12)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, menjelaskan bahwa mereka adalah orang-orang yang bodoh,
وَإِذَا قِيلَ لَهُمۡ ءَامِنُواْ كَمَآ ءَامَنَ ٱلنَّاسُ قَالُوٓاْ أَنُؤۡمِنُ كَمَآ ءَامَنَ ٱلسُّفَهَآءُۗ أَلَآ إِنَّهُمۡ هُمُ ٱلسُّفَهَآءُ وَلَٰكِن لَّا يَعۡلَمُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Berimanlah kamu sebagaimana orang lain telah beriman!’ Mereka menjawab, ‘Apakah kami akan beriman sebagaimana orang-orang yang bodoh itu beriman?’ Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang bodoh (dungu), tetapi mereka tidak tahu.” (al-Baqarah: 13)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman, untuk menghinakan mereka,
ٱللَّهُ يَسۡتَهۡزِئُ بِهِمۡ وَيَمُدُّهُمۡ فِي طُغۡيَٰنِهِمۡ يَعۡمَهُونَ
“Allah akan memperolok-olokkan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan.” (al-Baqarah: 15)
Baca juga: Kemunafikan Berselubung Agama
Salah satu bentuk balasan dari Allah subhanahu wa ta’ala untuk mereka, adalah apa yang kelak akan ditimpakan kepada mereka di Hari Kiamat nanti, sebagaimana firman-Nya,
يَوۡمَ تَرَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَسۡعَىٰ نُورُهُم بَيۡنَ أَيۡدِيهِمۡ وَبِأَيۡمَٰنِهِمۖ بُشۡرَىٰكُمُ ٱلۡيَوۡمَ جَنَّٰتٌ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَاۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ ١٢ يَوۡمَ يَقُولُ ٱلۡمُنَٰفِقُونَ وَٱلۡمُنَٰفِقَٰتُ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱنظُرُونَا نَقۡتَبِسۡ مِن نُّورِكُمۡ قِيلَ ٱرۡجِعُواْ وَرَآءَكُمۡ فَٱلۡتَمِسُواْ نُورًاۖ فَضُرِبَ بَيۡنَهُم بِسُورٍ لَّهُۥ بَابُۢ بَاطِنُهُۥ فِيهِ ٱلرَّحۡمَةُ وَظَٰهِرُهُۥ مِن قِبَلِهِ ٱلۡعَذَابُ ١٣ يُنَادُونَهُمۡ أَلَمۡ نَكُن مَّعَكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰ وَلَٰكِنَّكُمۡ فَتَنتُمۡ أَنفُسَكُمۡ وَتَرَبَّصۡتُمۡ وَٱرۡتَبۡتُمۡ وَغَرَّتۡكُمُ ٱلۡأَمَانِيُّ حَتَّىٰ جَآءَ أَمۡرُ ٱللَّهِ وَغَرَّكُم بِٱللَّهِ ٱلۡغَرُورُ ١٤
“Pada hari engkau akan melihat orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, betapa cahaya mereka bersinar di depan dan di sebelah kanan mereka, (dikatakan kepada meraka), ‘Pada hari ini ada berita gembira untukmu, (yaitu) surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang agung.
Pada hari orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman, ‘Tunggulah kami! Kami ingin mengambil cahayamu.’ (Kepada mereka) dikatakan, ‘Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu).’ Lalu di antara mereka dipasang dinding (pemisah) yang berpintu. Di sebelah dalam ada rahmat dan di luarnya hanya ada siksa.
Orang-orang munafik memanggil orang-orang mukmin, ‘Bukankah kami dahulu bersama dengan kalian?’ Mereka menjawab, ‘Benar, tetapi kalian mencelakakan diri kalian sendiri, dan hanya menunggu, meragukan (janji Allah) dan ditipu oleh angan-angan kosong sampai datang ketetapan Allah; dan penipu (setan) datang memperdaya kamu tentang Allah.’” (al-Hadid: 12—14)
Baca juga: Mewaspadai Kaum Munafik
Allah subhanahu wa ta’ala pun telah mengancam orang-orang munafik dengan ancaman yang keras,
أَلَمۡ يَعۡلَمُوٓاْ أَنَّهُۥ مَن يُحَادِدِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَأَنَّ لَهُۥ نَارَ جَهَنَّمَ خَٰلِدًا فِيهَاۚ ذَٰلِكَ ٱلۡخِزۡيُ ٱلۡعَظِيمُ
“Tidakkah mereka (orang-orang munafik) mengetahui bahwa barang siapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya neraka Jahanamlah baginya, dia kekal di dalamnya. Itulah kehinaan yang besar.” (at-Taubah: 63)
وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ وَٱلۡمُنَٰفِقَٰتِ وَٱلۡكُفَّارَ نَارَ جَهَنَّمَ خَٰلِدِينَ فِيهَاۚ
“Allah menjanjikan (mengancam) orang-orang munafik yang laki-laki dan perempuan serta orang-orang kafir, dengan neraka Jahanam. Mereka kekal di dalamnya.” (at-Taubah: 68)
إِنَّ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ فِي ٱلدَّرۡكِ ٱلۡأَسۡفَلِ مِنَ ٱلنَّارِ وَلَن تَجِدَ لَهُمۡ نَصِيرًا
“Sungguh, orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (an-Nisa: 145)
Masih banyak lagi nas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang memperlihatkan keburukan orang-orang munafik, sekaligus menyebutkan ancaman bagi mereka. Oleh karena itu, setiap muslim hendaknya selalu berhati-hati dan berusaha menjauhi sifat mereka.
Kemunafikan adalah menyembunyikan kebatilan dan menampakkan kebaikan. Kemunafikan adalah penyakit hati yang berbahaya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ ٱللَّهُ مَرَضًاۖ وَلَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمُۢ بِمَا كَانُواْ يَكۡذِبُونَ
“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya itu; dan mereka mendapat azab yang pedih, karena mereka berdusta.” (al-Baqarah: 10)
Kemunafikan terbagi menjadi dua jenis, yakni nifaq akbar (kemunafikan besar) dan nifaq ashghar (kemunafikan kecil).
Kemunafikan ashghar memiliki lima kriteria/tanda:
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Kesimpulannya, kemunafikan ashghar bisa dilihat dari berbedanya keadaan seseorang ketika ia sedang sendiri dan ketika sedang bersama orang lain, sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Hasan al-Bashri rahimahullah.” (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam, hlm. 747)
Beberapa perbedaan antara keduanya adalah:
(Lihat Kitabut Tauhid, karya Syaikh Shalih al-Fauzan)
Ibnu Rajab rahimahullah berkata,
“Kemunafikan ashghar adalah pintu menuju kemunafikan akbar, sebagaimana maksiat adalah pintu menuju kekufuran. Orang yang terus-menerus mengerjakan maksiat, dikhawatirkan keimanannya akan dicabut dari dirinya menjelang kematiannya. Demikian juga orang yang terus-menerus bersikap munafik (ashghar), dikhawatirkan keimanannya akan dicabut dan ia pun akan menjadi munafik tulen.” (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam)
Seorang mukmin akan senantiasa khawatir dirinya terjatuh dalam kemunafikan. Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah berkata, “Aku pernah menjumpai tiga puluh orang sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Mereka semua khawatir terjatuh pada kemunafikan.”
Bahkan, Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu sampai bertanya kepada Hudzaifah radhiallahu anhu, apakah dirinya termasuk yang disebut oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagai orang munafik.
Sebagian ulama menyatakan, “Tidak ada yang takut dari kemunafikan kecuali seorang mukmin. Dan tidak ada yang merasa aman darinya kecuali seorang munafik.” (disebutkan oleh al-Bukhari rahimahullah, dari al-Hasan al-Bashri rahimahullah)
Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya, “Apa pendapatmu tentang orang yang mengkhawatirkan dirinya terjatuh pada kemunafikan?” Beliau menjawab, “Adakah seseorang yang merasa dirinya aman dari kemunafikan?” (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam)
Di sini kami akan menyebutkan beberapa sifat kemunafikan amali yang telah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Sebab, kemunafikan inilah yang kadang dianggap remeh oleh sebagian kaum muslimin, padahal akibatnya sangat fatal jika terus dilakukan oleh seseorang.
Hal ini sebagaimana ucapan Ibnu Rajab rahimahullah di atas,
“Kemunafikan ashghar adalah pintu menuju kemunafikan akbar, sebagaimana maksiat adalah pintu menuju kekufuran. Orang yang terus-menerus mengerjakan maksiat, dikhawatirkan keimanannya akan dicabut dari dirinya menjelang kematiannya. Demikian juga orang yang terus-menerus bersikap munafik (ashghar), dikhawatirkan keimanannya akan dicabut dan ia pun akan menjadi munafik tulen.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ؛ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ
“Tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara, ia berdusta; jika diberi amanah, ia berkhianat; dan jika berjanji, ia akan menyelisihinya.”
Baca juga: Menepati Janji
Dari Abdullah bin Amr radhiallahu anhuma, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda,
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا، وَإِنْ كَانَتْ خَصْلةٌ مِنْهُنَّ فِيهِ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا: مَنْ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ
“Ada empat perangai yang jika seseorang memiliki keempat perangai tersebut, ia adalah munafik tulen. Namun, jika ia hanya memiliki salah satunya, berarti ia memiliki satu perangai kemunafikan, sampai ia meninggalkannya, yaitu:
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa perangai kemunafikan ada empat:
Perjanjian yang dimaksud dalam hadits ini ada dua:
a. perjanjian dengan Allah subhanahu wa ta’ala untuk senantiasa beribadah kepada-Nya; dan
b. perjanjian dengan hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala, dan ini meliputi banyak perkara.
Baca juga: Sikap-Sikap Baik dalam Bermuamalah
Oleh karena itu, seorang mukmin hendaknya selalu berusaha memenuhi janjinya, terlebih lagi jika itu adalah perjanjian dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
مِّنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُواْ مَا عَٰهَدُواْ ٱللَّهَ عَلَيۡهِۖ فَمِنۡهُم مَّن قَضَىٰ نَحۡبَهُۥ وَمِنۡهُم مَّن يَنتَظِرُۖ وَمَا بَدَّلُواْ تَبۡدِيلًا
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Maka di antara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya).” (al-Ahzab: 23)
Berbeda halnya dengan orang-orang kafir dan munafik. Mereka adalah orang-orang yang suka menyelisihi perjanjian. Bahkan, mereka berani membatalkannya secara sepihak. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ٱلَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهۡدَ ٱللَّهِ مِنۢ بَعۡدِ مِيثَٰقِهِۦ وَيَقۡطَعُونَ مَآ أَمَرَ ٱللَّهُ بِهِۦٓ أَن يُوصَلَ وَيُفۡسِدُونَ فِي ٱلۡأَرۡضِۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡخَٰسِرُونَ
“(Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah setelah (perjanjian) itu diteguhkan, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan dan berbuat kerusakan di bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (al-Baqarah: 27)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ٱلَّذِينَ عَٰهَدتَّ مِنۡهُمۡ ثُمَّ يَنقُضُونَ عَهۡدَهُمۡ فِي كُلِّ مَرَّةٍ وَهُمۡ لَا يَتَّقُونَ
“(Yaitu) orang-orang yang terikat perjanjian dengan kamu, kemudian setiap kali berjanji mereka mengkhianati janjinya, sedang mereka tidak takut (kepada Allah).” (al-Anfal: 56)
Baca juga: Takutlah kepada Allah
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمِنۡهُم مَّنۡ عَٰهَدَ ٱللَّهَ لَئِنۡ ءَاتَىٰنَا مِن فَضۡلِهِۦ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ ٧٥ فَلَمَّآ ءَاتَىٰهُم مِّن فَضۡلِهِۦ بَخِلُواْ بِهِۦ وَتَوَلَّواْ وَّهُم مُّعۡرِضُونَ ٧٦ فَأَعۡقَبَهُمۡ نِفَاقًا فِي قُلُوبِهِمۡ إِلَىٰ يَوۡمِ يَلۡقَوۡنَهُۥ بِمَآ أَخۡلَفُواْ ٱللَّهَ مَا وَعَدُوهُ وَبِمَا كَانُواْ يَكۡذِبُونَ ٧٧
“Dan di antara mereka ada orang yang telah berjanji kepada Allah, ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian dari karunia-Nya kepada kami, niscaya kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.’
Ketika Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka menjadi kikir dan berpaling, dan selalu menentang (kebenaran).
Maka Allah menanamkan kemunafikan dalam hati mereka sampai pada waktu mereka menemui-Nya, karena mereka telah mengingkari janji yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu berdusta.” (at-Taubah: 75—77)
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan,
“Mengingkari (mengkhianati) perjanjian yang telah disepakati dengan sesama muslim adalah haram. Bahkan, walaupun perjanjian itu dilakukan dengan seorang kafir mu’ahad. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
‘Barang siapa membunuh seorang kafir mu’ahad, ia tidak akan bisa mencium bau surga. Padahal, wanginya bisa tercium dari jarak empat puluh tahun perjalanan.’” (HR. al-Bukhari no. 3166) [Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam, hlm. 744]
Beliau rahimahullah juga menyatakan, “Perjanjian yang dilakukan dengan sesama kaum muslimin itu lebih wajib untuk dipertahankan, dan membatalkannya adalah lebih besar dosanya. Adapun perkara terbesarnya adalah membatalkan perjanjian untuk menaati pemimpin kaum muslimin yang (kita) telah berbaiat kepadanya.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللهُ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ: …وَرَجُلٌ بَايَعَ رَجُلًا لَا يُبَايِعُهُ إِلَّا لِلدُّنْيَا فَإِنْ أَعْطَاهُ مَا يُرِيدُ وَفَى لَهُ…
“Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah subhanahu wa ta’ala, tidak disucikan, dan akan mendapatkan azab yang pedih pada Hari Kiamat nanti. (Salah satunya) … Seseorang yang membaiat pemimpinnya hanya karena dunia. Jika pemimpinnya memberikan keinginannya, dia akan memenuhi janjinya (baiatnya); dan jika tidak, dia pun tidak akan memenuhinya.” (HR. al-Bukhari no. 2672 dan Muslim no. 108)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Sebagian orang mengira bahwa kemunafikan hanya ada di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tidak ada lagi setelah zaman beliau. Ini adalah prasangka yang salah.
Hudzaifah radhiallahu anhu berkata, ‘Kemunafikan pada zaman ini lebih dahsyat daripada kemunafikan di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.’
Mereka bertanya, ‘Bagaimana (bisa demikian)?’
Beliau menjawab, ‘Orang-orang munafik di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, mereka menyembunyikan kemunafikan mereka. Adapun sekarang, mereka justru (berani) menampakkan kemunafikan mereka.’”
Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali berkata,
“Kemunafikan sekarang ini banyak terjadi pada pergerakan politik, sebagaimana hal ini telah disaksikan oleh sebagian mereka. Beberapa dari mereka bahkan sampai mengatakan, ‘Aku tidak pernah tahu ada politikus yang tidak berdusta.’ Ada lagi yang mengatakan, ‘Sesungguhnya politik adalah kemunafikan.’ Jadi, kebanyakan politikus terjatuh pada kemunafikan amali dalam partai-partai politik.”
Beliau juga mengatakan, “Salah satu tanda kemunafikan amali adalah berloyalitas/berkawan dengan ahlul bid’ah, dan membuat manhaj-manhaj yang berbahaya untuk melawan serta meruntuhkan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah.” (Syarh Ushul as–Sunnah)
Saudaraku sekalian.… Allah subhanahu wa ta’ala memerintah kita agar bersikap tegas dan menjauhi orang-orang munafik, serta menjadikan mereka sebagai musuh. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ جَٰهِدِ ٱلۡكُفَّارَ وَٱلۡمُنَٰفِقِينَ وَٱغۡلُظۡ عَلَيۡهِمۡۚ وَمَأۡوَىٰهُمۡ جَهَنَّمُۖ وَبِئۡسَ ٱلۡمَصِيرُ
“Wahai Nabi! Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.” (at-Tahrim: 9)
Dalam ayat yang lain,
هُمُ ٱلۡعَدُوُّ فَٱحۡذَرۡهُمۡۚ
“Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadap mereka.” (al-Munafiqun: 4)
Oleh sebab itu, setiap muslim harus menjauhkan dirinya dari amalan dan sifat-sifat kemunafikan, juga menjauhkan diri dari semua perkara yang akan menjerumuskan dirinya ke dalam kemunafikan, seperti politik praktis dan berbagai jenis kebid’ahan.
Nas’alullah al-‘afwa wal ‘afiyah.