Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan makhluk-Nya untuk selalu taat kepada-Nya[1], dalam keadaan Dia tidak membutuhkan apa pun dan siapa pun, baik makhluk yang disebut malaikat, jin, maupun manusia.[2]
Dari tiga jenis makhluk yang disebutkan ini, jenis malaikat tidaklah diberi bagian untuk durhaka kepada-Nya. Malaikat adalah makhluk yang diciptakan untuk senantiasa taat, tunduk, patuh, dan selalu beribadah kepada-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan sifat mereka dalam Al-Qur’an,
لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ
“Mereka tidak pernah bermaksiat kepada Allah dalam apa yang Allah perintahkan kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (at-Tahrim: 6)
Tinggal dua jenis makhluk, manusia dan jin, yang muncul dari mereka kedurhakaan dan kemaksiatan kepada Rabbul Alamin. Memang keduanya dibebankan taklif (beban-beban syariat). Apabila keduanya mau menjalankannya dengan baik selama hidup di dunia, kelak akan beroleh kenikmatan abadi yang tiada tara. Sebaliknya, apabila keduanya enggan, kesengsaraan dan derita tiada terperi telah menanti.
Manusia dan jin, Allah subhanahu wa ta’ala ciptakan secara syariat untuk beribadah kepada-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam kitab-Nya yang agung,
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)
Di antara manusia dan jin ada yang menjadi hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang taat. Namun, lebih banyak lagi yang durhaka, sesuai dengan kehendak dan hikmah Allah subhanahu wa ta’ala yang agung serta keadilan-Nya.
Kedurhakaan dan kemaksiatan yang diperbuat dua makhluk—yang diistilahkan tsaqalain (dua yang berat)—ini terus terjadi di muka bumi. Banyak dan tiada terhitung pelanggaran yang mereka lakukan. Namun, pokok atau pangkal dari kesalahan makhluk tersebut ada tiga: ambisi, hasad/iri dengki, dan kibr/sombong[3].
Merasa tidak puas dengan apa yang telah diperoleh dan terus ingin menambah dan menambah.
Karena sifat inilah, dengan kehendak Allah subhanahu wa ta’ala dan hikmah-Nya, bapak kita Adam ‘alaihissalam dikeluarkan dari janah (surga).
Iblis yang menyimpan dendam kesumat kepada Adam ‘alaihissalam berusaha menggelincirkan Adam dan Hawa dengan tipu muslihatnya. Ia melihat ambisi Adam untuk tetap abadi di surga guna terus merasakan kenikmatan tiada tara. Sebelumnya, Allah subhanahu wa ta’ala telah bertitah kepada Adam ‘alaihissalam,
وَقُلۡنَا يَٰٓـَٔادَمُ ٱسۡكُنۡ أَنتَ وَزَوۡجُكَ ٱلۡجَنَّةَ وَكُلَا مِنۡهَا رَغَدًا حَيۡثُ شِئۡتُمَا وَلَا تَقۡرَبَا هَٰذِهِ ٱلشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ
Dan Kami berfirman, “Wahai Adam, tinggallah kamu dan istrimu di surga ini, dan makanlah makan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kalian berdua sukai. Namun, janganlah kalian berdua mendekati pohon ini, yang menyebabkan kalian berdua termasuk orang-orang yang zalim.” (al-Baqarah: 35)
فَقُلۡنَا يَٰٓـَٔادَمُ إِنَّ هَٰذَا عَدُوٌّ لَّكَ وَلِزَوۡجِكَ فَلَا يُخۡرِجَنَّكُمَا مِنَ ٱلۡجَنَّةِ فَتَشۡقَىٰٓ ١١٧ إِنَّ لَكَ أَلَّا تَجُوعَ فِيهَا وَلَا تَعۡرَىٰ
“Maka Kami berkata, ‘Wahai Adam, sesungguhnya Iblis ini adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kalian berdua dari surga, yang menyebabkan kamu celaka. Sungguh di dalam surga ini kamu tidak akan kelaparan dan tidak akan telanjang.” (Thaha: 117—118)
Iblis, nenek moyang para setan, melancarkan makar busuknya terhadap bapak dan ibu manusia ini.
فَوَسۡوَسَ لَهُمَا ٱلشَّيۡطَٰنُ لِيُبۡدِيَ لَهُمَا مَا وُۥرِيَ عَنۡهُمَا مِن سَوۡءَٰتِهِمَا وَقَالَ مَا نَهَىٰكُمَا رَبُّكُمَا عَنۡ هَٰذِهِ ٱلشَّجَرَةِ إِلَّآ أَن تَكُونَا مَلَكَيۡنِ أَوۡ تَكُونَا مِنَ ٱلۡخَٰلِدِينَ
“Maka setan membisikkan pikiran jelek kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu aurat keduanya. Setan berkata, ‘Rabb kalian berdua tidaklah melarang kalian dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kalian berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal di dalam surga’.” (al-A’raf: 20)
فَوَسۡوَسَ إِلَيۡهِ ٱلشَّيۡطَٰنُ قَالَ يَٰٓـَٔادَمُ هَلۡ أَدُلُّكَ عَلَىٰ شَجَرَةِ ٱلۡخُلۡدِ وَمُلۡكٍ لَّا يَبۡلَىٰ
“Kemudian setan membisikkan pikiran jelek kepada Adam, dengan berkata, ‘Wahai Adam, maukah aku tunjukkan kepadamu pohon khuldi[4] (pohon kekekalan) dan kerajaan yang tidak akan binasa?’” (Thaha: 120)
Pada akhirnya, karena ambisi ingin kekal di dalam surga, Adam jatuh dalam tipu daya setan.
فَدَلَّىٰهُمَا بِغُرُورٖۚ فَلَمَّا ذَاقَا ٱلشَّجَرَةَ بَدَتۡ لَهُمَا سَوۡءَٰتُهُمَا وَطَفِقَا يَخۡصِفَانِ عَلَيۡهِمَا مِن وَرَقِ ٱلۡجَنَّةِۖ وَنَادَىٰهُمَا رَبُّهُمَآ أَلَمۡ أَنۡهَكُمَا عَن تِلۡكُمَا ٱلشَّجَرَةِ وَأَقُل لَّكُمَآ إِنَّ ٱلشَّيۡطَٰنَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُّبِينٌ
Maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasakan buah dari pohon terlarang itu, tampaklah bagi keduanya aurat keduanya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Rabb keduanya menyeru, “Bukankah Aku telah melarang kalian berdua dari pohon itu dan Aku katakan kepada kalian berdua, ‘Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian berdua?’” (al-A’raf: 22)
Karena kesalahan tersebut, Adam dan Hawa akhirnya diturunkan ke bumi, tidak lagi menghuni surga nan bergelimang kenikmatan, setelah Allah subhanahu wa ta’ala menerima tobat keduanya.
Hasad adalah tidak suka terhadap nikmat yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada orang lain, baik disertai keinginan hilangnya nikmat tersebut dari orang yang didengki maupun tidak. Demikian disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Karena sifat buruk ini, terjadilah permusuhan di antara dua putra Adam. Tatkala keduanya mempersembahkan kurban sebagai amalan taqarrub kepada Rabbul Alamin, hanya kurban salah satunya yang diterima. Sementara itu, yang satu lagi ditolak. Irilah anak Adam yang ditolak kurbannya terhadap saudaranya sehingga ia tega membunuhnya. Terjadilah pembunuhan pertama di muka bumi. Akibat sifat apa? Ya, iri, dengki, atau hasad.
Allah subhanahu wa ta’ala mengabadikan kisah pembunuhan tersebut dalam kitab-Nya,
وَٱتۡلُ عَلَيۡهِمۡ نَبَأَ ٱبۡنَيۡ ءَادَمَ بِٱلۡحَقِّ إِذۡ قَرَّبَا قُرۡبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنۡ أَحَدِهِمَا وَلَمۡ يُتَقَبَّلۡ مِنَ ٱلۡأٓخَرِ قَالَ لَأَقۡتُلَنَّكَۖ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ ٱلۡمُتَّقِينَ ٢٧ لَئِنۢ بَسَطتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقۡتُلَنِي مَآ أَنَا۠ بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيۡكَ لِأَقۡتُلَكَۖ إِنِّيٓ أَخَافُ ٱللَّهَ رَبَّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٢٨ إِنِّيٓ أُرِيدُ أَن تَبُوٓأَ بِإِثۡمِي وَإِثۡمِكَ فَتَكُونَ مِنۡ أَصۡحَٰبِ ٱلنَّارِۚ وَذَٰلِكَ جَزَٰٓؤُاْ ٱلظَّٰلِمِينَ ٢٩ فَطَوَّعَتۡ لَهُۥ نَفۡسُهُۥ قَتۡلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُۥ فَأَصۡبَحَ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٣٠
“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang mereka dan tidak diterima dari yang lain. Yang tidak diterima berkata, ‘Aku pasti akan membunuhmu!’
Yang diterima kurbannya berkata, ‘Sungguh, Allah hanya menerima kurban dari orang-orang yang bertakwa. Sungguh, kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta alam. Sungguh, aku ingin agar kamu kembali dengan membawa dosa membunuhku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim.’
Maka hawa nafsu yang tidak diterima kurbannya menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah saudaranya maka jadilah dia di antara orang-orang yang merugi.” (al-Maidah: 27—30)
Hasad juga merupakan perangai musuh kita al-maghdhubi ‘alaihim (orang-orang yang dimurkai), yaitu orang-orang Yahudi. Dalam shalat saat membaca al-Fatihah kita selalu berlindung agar tidak mengikuti jalan mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang Yahudi,
أَمۡ يَحۡسُدُونَ ٱلنَّاسَ عَلَىٰ مَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۖ
“Apakah mereka hasad terhadap manusia atas nikmat keutamaan yang Allah berikan kepadanya?” (an-Nisa: 54)
Ketika kita dapati perasaan hasad ini dalam hati kita, tahanlah lisan dan perbuatan kita. Jangan kita munculkan apa yang tersimpan dalam dada. Berusahalah menghilangkan rasa tidak suka tersebut. Berdoalah agar Allah menambahkan keutamaan-Nya kepadanya (orang yang didengki) dan Dia memberimu sesuatu yang lebih utama darinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan tentang kibir atau sombong dengan sabdanya,
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Muslim)
Karena kesombongan, Iblis jatuh dalam kekafiran. Kisahnya, tatkala Allah subhanahu wa ta’ala memerintah para malaikat, dan Iblis[5] ikut bergabung bersama mereka, untuk sujud penghormatan kepada Adam, seluruh malaikat sujud sebagai kepatuhan terhadap perintah Allah subhanahu wa ta’ala.
Namun, Iblis enggan. Dengan congkaknya ia menolak. Ia beralasan bahwa dirinya lebih baik daripada Adam karena ia diciptakan dari api, sedangkan Adam dari tanah. Murkalah Rabbul Alamin kepadanya dan diusirlah dia dari surga.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menceritakan kesombongan Iblis,
وَإِذۡ قُلۡنَا لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ ٱسۡجُدُواْ لِأٓدَمَ فَسَجَدُوٓاْ إِلَّآ إِبۡلِيسَ أَبَىٰ وَٱسۡتَكۡبَرَ وَكَانَ مِنَ ٱلۡكَٰفِرِينَ ٣٤
“Dan ingatlah ketika Kami berkata kepada para malaikat, ‘Sujudlah kalian sebagai penghormatan kepada Adam!’ Maka mereka semua sujud, kecuali Iblis, dia enggan dan sombong, dan jadilah dia termasuk orang-orang kafir.” (al-Baqarah: 34)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa Iblis, musuh Allah subhanahu wa ta’ala, hasad kepada Adam ‘alaihissalam dengan kemuliaan yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada Adam. Ia mengatakan bahwa dirinya dari api, lebih baik daripada Adam yang diciptakan dari tanah. Kesombongan menjadi awal dosa yang diperbuat oleh makhluk.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengancam orang yang sombong dalam sabdanya,
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk surga, orang yang di hatinya ada kesombongan walau seberat semut yang kecil.” (HR. Muslim)
Maka dari itu, hendaklah kita membuang rasa sombong ini dari hati kita dengan cepat menerima kebenaran. Sesuai ataupun tidak dengan hawa nafsu kita. Hargailah hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala. Jangan mengangkat diri di hadapan mereka. Namun, hendaklah kita tawadhu.
Demikianlah keburukan sifat terlalu ambisi, hasad, dan sombong. Semuanya akan menjerumuskan pemiliknya ke dalam jurang kesengsaraan. Karena itu, berhati-hatilah darinya!
• al-Qur’anul Karim
• al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, an-Nawawi, cet. Darul Marifah, Beirut.
• Fathul Majid Syarhu Kitabit Tauhid, Syaikh Abdurahman bin Hasan Alusy Syaikh, cet. Dar Alamil Kutub, Riyadh.
• Kitabul ‘Ilmi, Syaikh Ibnu Utsaimin, cet. Dar ats-Tsuraya lin Nasyr, Riyadh.
• Syarhus Sunnah lil Muzani, Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi, cet. Darul Minhaj, Kairo.
• Tafsir al-Qur’anil ‘Azhim, al-Hafizh Ibnu Katsir, cet. al-Maktabah at-Tauqifiyah, Kairo.
[1] Dengan kehendak-Nya secara syariat atau disebut iradah syar’iyah. Sebab, ada dua macam iradah: iradah syar’iyah yang berarti mahabbah/cinta; dan iradah kauniyah yang berarti masyi’ah/kehendak. Iradah kauniyah mesti terjadi, tetapi perkaranya bisa Allah cintai, bisa pula tidak. Sementara itu, iradah syar’iyah tidak mesti terjadi, tetapi perkaranya pasti Allah cintai.
[2] Adapun makhluk-Nya yang lain, seperti hewan dan makhluk yang tidak diberi akal lainnya, sudah pasti taat kepada-Nya, tanpa ada keberatan. Bahkan, langit dan bumi pun taat kepada Allah l, seperti disebutkan dalam ayat,
ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰٓ إِلَى ٱلسَّمَآءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلۡأَرۡضِ ٱئۡتِيَا طَوۡعًا أَوۡ كَرۡهًا قَالَتَآ أَتَيۡنَا طَآئِعِينَ
Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih berupa asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, “Datanglah kalian berdua menurut perintah-Ku dengan suka hati (tanpa rasa keberatan) atau terpaksa.” Keduanya (langit dan bumi) menjawab, “Kami datang dengan suka hati.” (Fushshilat: 11)
[3] Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةً
Ingatlah ketika Rabbmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (al-Baqarah: 30)
Yang dimaksud khalifah di sini menurut sebagian ahli tafsir adalah satu kaum yang turun-temurun, sebagiannya menggantikan sebagian yang lain, satu generasi menggantikan generasi sebelumnya, dan terus demikian. Mereka adalah Adam dan anak keturunannya, sebagaimana firman-Nya,
أَمَّن يُجِيبُ ٱلۡمُضۡطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكۡشِفُ ٱلسُّوٓءَ وَيَجۡعَلُكُمۡ خُلَفَآءَ ٱلۡأَرۡضِۗ أَءِلَٰهٌ مَّعَ ٱللَّهِۚ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ
“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingat(Nya).” (an-Naml: 62)
[4] Penamaan yang diberikan oleh Iblis.
[5] Iblis bersama para malaikat, tetapi ia bukanlah golongan malaikat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِلَّآ إِبۡلِيسَ كَانَ مِنَ ٱلۡجِنِّ فَفَسَقَ عَنۡ أَمۡرِ رَبِّهِۦٓۗ
“Kecuali Iblis (tidak mau sujud) adalah dia termasuk dari golongan jin, maka ia ingkar dari perintah Rabbnya.” (al-Kahfi: 50)