Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sang penyampai risalah dari langit, pernah bersabda,
إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَغَارُ وَغَيْرَةُ اللهِ تَعَالَى أَنْ يَأْتِيَ الْمَرْءُ مَا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ
“Sesungguhnya, Allah Mahacemburu. Cemburu Allah adalah apabila seseorang melakukan apa yang Allah haramkan atasnya.” (Muttafaqun alaih dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Manusia yang paling tahu tentang Sang Rabb ini memberitakan bahwa Dia Yang Mahasuci memiliki sifat cemburu sebagai suatu sifat yang hakiki bagi-Nya. Jangan merasa heran apabila Allah subhanahu wa ta’ala memiliki sifat ini! Apabila Anda heran, pastilah Anda sedang membayangkan cemburunya manusia.
Sifat cemburu Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah sama dengan cemburu kita, para makhluk.
لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَيۡءٌۖ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia….” (asy-Syura: 11)
Cemburu Allah subhanahu wa ta’ala sangat agung dan mulia, sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya.
Baca juga: Hanya Bagi Allah, Sifat yang Mahatinggi di Langit dan di Bumi
Dengan hikmah-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan bagi hamba-hamba-Nya berbagai kewajiban. Dia mengharamkan atas mereka apa yang buruk dan menghalalkan apa yang baik dalam hukum-Nya.
Semua yang Allah subhanahu wa ta’ala wajibkan pastilah baik bagi kita untuk agama dan dunia kita. Itu pastilah baik bagi kita untuk sekarang dan masa yang akan datang. Sebaliknya, yang Dia haramkan pastilah buruk bagi kita untuk semuanya; agama, dunia, waktu sekarang, dan masa yang akan datang.
Apabila Allah subhanahu wa ta’ala sudah mengharamkan sesuatu lantas masih saja seorang hamba melakukannya, Dia cemburu. Mengapa si hamba berbuat demikian padahal Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkannya demi kemaslahatan si hamba?
Allah subhanahu wa ta’ala sendiri tidaklah termudaratkan dengan maksiat si hamba. Demikian pula, Allah subhanahu wa ta’ala tidak beroleh manfaat dari ketaatan hamba.
Lantas, mengapa Allah subhanahu wa ta’ala cemburu?
Hendaklah setiap hamba mengetahui bahwa Allah subhanahu wa ta’ala adalah Dzat Yang Maha Memiliki hikmah, Maha Penyayang. Dia tidaklah melarang hamba-Nya dari sesuatu karena kikir terhadap mereka, tetapi demi kemaslahatan mereka.
Kemudian datanglah hamba yang lancang. Dengan kebodohan dan hawa nafsunya, dia terjang larangan Sang Khaliq. Dia lampaui batasan yang ditetapkan oleh ar-Rahman. Dia bermaksiat kepada Rabbnya yang sebenarnya sangat sayang kepada hamba-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala cemburu karenanya.
Ada satu perbuatan haram yang dikaitkan secara khusus dengan sifat cemburu Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ أَحَدٍ أَغْيَرُ مِنَ اللهِ تَعَالَى أَنْ يَزْنِيَ عَبْدُهُ أَوْ تَزْنِيَ أَمَتَهُ
“Tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah subhanahu wa ta’ala apabila hamba laki-laki-Nya atau hamba perempuan-Nya berzina.” (HR. al-Bukhari)
Mengapa demikian? Karena zina adalah perbuatan yang keji, amat rendah, dan sangat buruk. Karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkan perbuatan zina, bahkan semua hal yang mengantarkan kepada zina.[1] Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلزِّنَىٰٓۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا
“Janganlah kalian mendekati zina, sungguh zina itu adalah perbuatan keji dan seburuk-buruk jalan.” (al-Isra: 32)
Apabila seorang hamba berzina, na’udzubillah, Allah subhanahu wa ta’ala sangat cemburu dan lebih besar kecemburuan-Nya daripada jika seorang hamba melakukan perbuatan haram selain zina. (Syarhu Riyadhish Shalihin, Ibnu Utsaimin, 1/338—339)
Anehnya, ada zina yang dilegalkan atas nama agama. Ya, mut’ah namanya. Boleh kita sebut kawin kontrak; kontraknya bisa setahun, sebulan, sepekan, bahkan semalam, na’udzubillah. Setelah itu, berpisah begitu saja, tanpa ada pertanggungjawaban. Lantas, bagaimana jika perempuan yang dimut’ah itu akhirnya hamil?
Ada juga yang tidak menetapkan waktu. Artinya sesukanya, kalau sudah bosan ya pisah, cari yang lain lagi, sebagaimana praktik mut’ah yang terdata dilakukan oleh mahasiswa di universitas tertentu yang terkena racun Syiah.
Pada praktiknya, mut’ah dilakukan tanpa wali, tanpa saksi, tanpa pemberitahuan kepada orang-orang (tidak disebarkan beritanya), tanpa memberitahu wali si perempuan, dan tidak ada hubungan waris-mewarisi antara kedua pihak. Jadi, bagaimana hakikatnya? Si perempuan hanyalah berstatus istri sewaan.
Memang benar, dahulu pernikahan dengan cara mut’ah ini pernah dibolehkan. Akan tetapi, kebolehannya telah dihapus dan diharamkan sampai hari kiamat. Kaum yang gemar mengumbar hawa nafsu, hanya mengejar kesenangan perut dan kemaluan, justru melegalisasi zina dengan istilah mut’ah. Mereka adalah Syiah Rafidhah.
Menurut mereka, seseorang yang melakukan mut’ah memiliki keutamaan yang besar. Tiga kali bermut’ah ganjarannya akan dikumpulkan bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di surga.
Sebaliknya, mereka mengklaim bahwa siapa yang tidak pernah bermut’ah, dia bukanlah seorang muslim; siapa yang tidak menerima mut’ah, berarti dia kafir. (sebagaimana disebutkan dalam kitab pegangan Syiah: Man La Yahdhuruhu al-Faqih, ash-Shaduq al-Qummi 3/366, dinukil dalam kitab Lillahi Tsumma lit Tarikh, hlm. 33—34)
Baca juga: Dusta, Prinsip Agama Rafidhah (Syiah)
Mereka membolehkan lelaki melakukan mut’ah tidak hanya dengan para gadis atau janda. Bahkan, boleh bermut’ah dengan istri orang, dan yang afdal tanpa sepengetahuan suaminya! Inna lillahi…. (kitab Syiah Furu’ al-Kafi, al-Kulaini, 5/463, dinukil dalam Lillahi Tsumma lit Tarikh hlm. 41)
Pelegalan mut’ah atas nama agama di kalangan orang-orang Syiah Rafidhah di Iran, sampai menyeret kepada pembolehan i’aratul farj (menyewakan farji). Pembolehannya difatwakan oleh tokoh ulama mereka, seperti as-Sayyid Luthfullah ash-Shafi.
Bagaimana bentuk i’aratul farj ini? Yang pertama, seorang lelaki memberikan istri atau budak perempuannya kepada lelaki lain dan memperbolehkan si lelaki “berhubungan” dengan istrinya atau melakukan apa pun terhadap istrinya sekehendak si lelaki.
Apabila seorang suami hendak safar, dia menitipkan istrinya kepada lelaki tetangganya, temannya, atau siapa saja yang dipilihnya. Dia membolehkan lelaki tersebut melakukan apa saja terhadap istrinya selama dia safar. Tujuannya agar dia bisa tenang dalam safarnya dan tidak khawatir istrinya melakukan zina selama dia tinggalkan. Lho!
Bentuk yang kedua, apabila suatu kaum atau keluarga kedatangan tamu dan mereka hendak memuliakan tamu tersebut, si tuan rumah meminjamkan istrinya kepada si tamu selama dia tinggal bersama mereka. Si tamu boleh melakukan apa saja terhadap si istri. (Lillahi Tsumma lit Tarikh, hlm. 46—47)
Apa hakikat dari semua itu kalau bukan zina? Padahal Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam jelas-jelas mengharamkan zina?!
Ada lagi yang lebih keji dari perbuatan zina yaitu liwath, perbuatan kaum Luth. Allah subhanahu wa ta’ala menukilkan ucapan Nabi Luth alaihis salam kepada kaumnya,
أَتَأۡتُونَ ٱلۡفَٰحِشَةَ مَا سَبَقَكُم بِهَا مِنۡ أَحَدٍ مِّنَ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٨٠ إِنَّكُمۡ لَتَأۡتُونَ ٱلرِّجَالَ شَهۡوَةً مِّن دُونِ ٱلنِّسَآءِۚ بَلۡ أَنتُمۡ قَوۡمٌ مُّسۡرِفُونَ ٨١
“Apakah kalian melakukan al-fahisyah yang tidak ada seorang pun dari penghuni alam semesta ini yang mendahului kalian (melakukannya)?! Sungguh, kalian mendatangi lelaki untuk melampiaskan syahwat kalian, bukannya mendatangi perempuan. Sungguh, kalian adalah orang-orang yang melampaui batas.” (al-A’raf: 80—81)
Perhatikan ayat di atas! Perbuatan liwath disebut dengan fahisyah memakai alif lam (ma’rifah, yang berarti sudah tertentu), sedangkan zina dalam surat al-Isra ayat 32, disebut tanpa alim lam (nakirah, masih umum, tidak tertentu). Apa bedanya?
Kata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, “Zina adalah suatu fahisyah/perbuatan keji dan kotor di antara sekian banyak perbuatan fahisyah. Adapun liwath adalah fahisyah yang paling besar.” (Syarhu Riyadhish Shalihin, Ibnu Utsaimin, 1/339)
Ternyata, kaum liberal dan yang sebarisan dengan mereka, sama suaranya dengan Syiah ketika menyerukan agar LGBT dilegalkan di negeri tercinta ini—semoga Allah subhanahu wa ta’ala selamatkan negeri ini.
Baca juga: Syubhat & Kerancuan Berpikir Pembela LGBT di Indonesia
Mengapa demikian? Syiah adalah penyuka liwath, “berhubungan” sesama lelaki, terutama dengan amrad (anak muda belia yang belum tumbuh jenggotnya). Hal ini telah difatwakan oleh kebanyakan ulama mereka, seperti as-Sayyid Abdul Husain Syarafuddin al-Musawi. (Lihat Lillahi Tsumma lit Tarikh, hlm. 52—54)
Laa haula wa laa quwwata illa billah! Lengkap sudah kebejatan Syiah Rafidhah. Kalau mereka tidak mengaku Islam, tentu lebih ringan. Yang parah, mereka mengaku beragama Islam dan mengatasnamakan kebejatan akhlak mereka sebagai ajaran Islam.
Mereka membawakan riwayat-riwayat palsu penuh kedustaan atas nama para imam ahlul bait untuk melegalkan penyimpangan moral. Hakikatnya, mereka ingin menjatuhkan kehormatan imam-imam ahlul bait dengan riwayat yang dibuat-buat oleh para zindik. Sebab, kerendahan akhlak dan penyimpangan moral nantinya akan dianggap sebagai seruan dan ajaran para imam.
Mengapa para hamba demikian lancang berbuat dosa?
Wallahul musta’an.
[1] Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkan wasilah (sarana yang mengantarkan) kepada zina, seperti memandang lawan jenis yang bukan mahram, ikhtilath (campur baur) lelaki dan perempuan tanpa hijab, khalwat (berdua saja) lelaki dan perempuan yang bukan mahram, bersentuhan antara lelaki dan perempuan yang bukan mahram dengan berjabat tangan misalnya, perempuan melembutkan suaranya saat berbicara dengan lelaki, perempuan keluar rumah bertabarruj, memakai wangi-wangian, dsb. Semua itu dalam rangka mencegah terjadinya zina.