Asysyariah
Asysyariah

‘isratun nisa’

13 tahun yang lalu
baca 8 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)

 

Isyratun nisa’ merupakan tema yang sudah berulang dibicarakan dalam rubrik ini. Namun pertanyaan seputar masalah ini terus saja datang. Karenanya, tidak ada salahnya kita angkat kembali namun dalam kemasan lain. Satu bab dalam Kitabun Nikah dari kitab Al-Mulakhkhsash Al-Fiqhi karya Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah, ingin kami nukilkan untuk pembaca yang mulia. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.

Secara bahasa yang dimaksudkan dengan ‘isyrah adalah perkumpulan dan percampuran. Sehingga setiap jamaah atau sekumpulan orang disebut ‘isyrah dan ma’syar.

Yang dimaksudkan dengan kata ‘isyratun nisa’ sebagaimana judul di atas adalah kedekatan yang terjalin di antara suami istri dan pergaulan keduanya, karena masing-masingnya harus bergaul dengan baik kepada pasangannya, tanpa menunda penunaian hak pasangannya, tidak merasa terpaksa memberikan hak pasangannya serta tidak menyertainya dengan gangguan dan mengungkit-ungkit kebaikan yang telah dilakukan kepada pasangannya.

Telah datang perintah Rabbul Izzah agar para suami bergaul dengan ma’ruf kepada istri mereka:

“Dan bergaullah kalian dengan mereka (para istri) secara patut.” (An-Nisa’: 19)

Dalam ayat lain Rabbul Izzah berfirman:

“Para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)

Rasul yang mulia n menegaskan:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya.” (HR. At-Tirmidzi no. 3895, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih At-Tirmidzi)

Bagaimanakah gambaran pergaulan suami dengan istrinya dalam sebuah rumah tangga? Berikut ini penjelasannya:

• Masing-masing pihak bergaul dengan akhlak yang baik kepada pasangannya, berlaku lembut, dan sabar dengan kekurangannya. Rasulullah n memerintahkan:

اسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّهُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ

“Mintalah wasiat kebaikan dalam perkara istri-istri kalian karena sungguh mereka itu hanyalah tawanan di sisi kalian.” (HR. Ahmad 5/72, At-Tirmidzi no. 1173, Ibnu Majah no. 1851, hadits ini hasan sebagaimana dalam Shahih At-Tirmidzi dan Shahih Ibni Majah)

• Sepantasnya seorang suami tetap menahan istrinya dalam pernikahan, tidak bermudah-mudah dalam mentalak (menceraikan), walaupun ada sesuatu yang tidak disukainya dari si istri. Karena Allah l berfirman:

“Dan bergaullah kalian dengan mereka (para istri) secara patut. Jika kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa’: 19)

Ketika memaknai ayat yang mulia di atas, Ibnu Abbas c menyatakan, bisa jadi si suami diberi rezeki berupa anak dari istri tersebut, lalu Allah l jadikan kebaikan yang banyak pada diri si anak. (Tafsir Ibni Katsir, 2/173)

Rasul yang mulia n pernah bersabda:

لاَ يَفْرُكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً، إِنْ سَخِطَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ

“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Jika ia tidak suka satu akhlak dari si mukminah maka (bisa jadi) ia ridha darinya perangai yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)

• Diharamkan bagi suami melakukan jima’ dengan istrinya yang sedang haid, karena Allah l berfirman:

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah kotoran.’ Oleh karena itulah hendaklah kalian menjauhkan diri dari para istri (tidak menyetubuhi istri) di waktu haid dan janganlah kalian mendekati (menyetubuhi) mereka sampai mereka suci (mandi bersih dari haid). Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang menyucikan diri.” (Al-Baqarah: 222)

• Suami bisa memaksa istrinya menghilangkan kotoran yang ada pada si istri, menghilangkan sesuatu yang memang jiwa tidak menyukainya, seperti rambut ketiak dan kuku yang panjang. Suami juga berhak melarang istrinya memakan makanan yang memiliki bau tidak sedap, karena hal itu akan membuat si suami “lari” darinya.

• Suami dapat memaksa istrinya untuk membasuh najis yang ada pada tubuh si istri dan memerintahnya menunaikan kewajiban agama seperti shalat lima waktu. Bila si istri enggan, suami harus memaksanya dan memberikan hukuman pendidikan kepadanya. Suami juga harus memaksa istrinya meninggalkan perkara-perkara yang haram. Kenapa semua ini harus dilakukan suami? Karena Allah l berfirman:

“Kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita disebabkan Allah telah melebihkan sebagian kalian (lelaki) di atas sebagian yang lain (wanita).” (An-Nisa’: 34)

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah/peliharalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya para malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)

“Perintahkanlah keluargamu untuk mengerjakan shalat dan bersabarlah kalian dalam mengerjakannya.” (Thaha: 132)

Allah l berfirman memuji Nabi-Nya, Ismail q:

“Dan ceritakanlah (wahai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail yang tersebut di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya Ismail adalah seorang yang benar janjinya dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Ia memerintahkan keluarganya untuk mendirikan shalat dan membayar zakat.” (Maryam: 54-55)

Seorang suami adalah penanggung jawab terhadap istrinya dan ia adalah pemberi arahan kepada istrinya. Kelak di hari kiamat, ia akan ditanya tentang tanggung jawab ini. Suami harus mendidik istrinya terlebih jika mengingat istri merupakan pendidik anak-anaknya. Tentunya bila rusak akhlaknya dan cacat agamanya niscaya akan merusak anak-anaknya.

• Termasuk pergaulan yang baik kepada istri adalah suami memberikan nafkah batin kepadanya paling tidak empat bulan sekali. Karena Allah l memberi tenggang waktu empat bulan kepada suami yang meng-ilaa’1 istrinya, setelahnya ia harus kembali menggauli istrinya dengan membayar kaffarah sumpah atau mentalaknya2. Waktu empat bulan ini pun diqiyaskan untuk selain kasus ilaa’. Sementara Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berpandangan kewajiban memberi nafkah batin kepada istri ini tidak ada penetapan waktu berapa lamanya, namun disesuaikan kadar yang dirasa cukup oleh istri selama tidak memadharatkan suami atau menyibukkannya dari mencari penghidupan.

• Bila suami safar (bepergian) meninggalkan istrinya lebih dari setengah tahun sedangkan si istri memintanya pulang, maka suami harus pulang menemui istrinya terkecuali dalam safar haji yang wajib atau peperangan yang wajib, ataupun suami tidak memiliki kemampuan untuk pulang.

• Haram bagi masing-masing pihak untuk menceritakan kepada orang lain tentang hubungan intim yang berlangsung di antara mereka. Karena Nabi n memperingatkan:

شَرُّ النَّاسِ مَنْزِلَةً عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلُ يُفْضِي إِلَى الْمَرْأَةِ وَتُفْضِي إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا

“Manusia yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat nanti adalah seorang suami berhubungan badan dengan istrinya dan istrinya berhubungan dengannya, kemudian ia menyebarkan rahasia istrinya.” (HR. Muslim no. 1437)

Siapa yang berbuat demikian, ia serupa dengan setan laki dan setan perempuan yang berhubungan di jalanan dan ditonton oleh orang-orang, sebagaimana disebutkan dalam hadits Asma’ bintu Yazid x, “Aku sedang berada di sisi Rasulullah n sementara para lelaki dan wanita tengah duduk-duduk. Beliau pun bersabda:

لَعَلَّ رَجُلاً يَقُوْلُ مَا يَفْعَلُ بِأَهْلِهِ وَلَعَلَّ امْرَأَةً تُخْبِرُ بِمَا فَعَلَتْ مَعَ زَوْجِهَا. فَأَرَمَّ الْقَوْمُ فَقُلْتُ: أَيْ، وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّهُنَّ لَيَفْعَلْنَ وَإِنَّهُمْ ليَفْعَلُوْنَ. قَالَ: فَلاَ تَفْعَلُوا فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِثْلُ شَيْطَانٍ لَقِيَ شَيْطَانَةً فِي طَرِيْقٍ فَغَشِيَهَا وَالنَّاسُ يَنْظُرُوْنَ

“Mungkin ada seorang lelaki menceritakan apa yang diperbuatnya dengan istrinya dan mungkin ada seorang wanita mengabarkan apa yang dilakukannya bersama suaminya.” Orang-orang yang hadir terdiam. Maka aku menjawab, “Iya, demi Allah, wahai Rasulullah. Mereka para wanita melakukannya dan para lelaki pun melakukannya.” Rasulullah memberi bimbingan, “Jangan kalian lakukan hal tersebut, karena permisalannya tidak lain seperti setan jantan bertemu setan betina di satu jalan lalu ia menggaulinya sementara orang-orang menontonnya.” (HR. Ahmad 6/456, dan dalam sanadnya ada Syahr ibnu Hausyab dan tentang dirinya ada pembicaraan. Namun hadits ini terangkat menjadi hasan dengan syawahid [penguat]nya)

• Suami berhak melarang istrinya keluar rumahnya tanpa ada kebutuhan darurat. Ia tidak boleh membiarkan istrinya pergi sesukanya. Haram pula bagi istri keluar rumah tanpa izin suaminya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya.” Beliau menegaskan, “Bila sampai istri keluar dari rumah suaminya tanpa izin si suami berarti ia telah berbuat nusyuz, bermaksiat kepada Allah l dan Rasul-Nya hingga ia pantas mendapatkan hukuman.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32/281)

• Tidak sepantasnya suami melarang mertuanya (ayah dan ibu dari istrinya) untuk menziarahi (mengunjungi) istrinya (putri keduanya) di rumahnya, kecuali bila ia mengkhawatirkan keduanya akan merusak hubungannya dengan istrinya atau meracuni pikiran istrinya.

• Suami berhak melarang istrinya bekerja, karena suamilah yang bertanggung jawab memberikan nafkah kepada istrinya. Disamping itu, bila si istri bekerja akan melalaikannya dari menunaikan sebagian hak suaminya, menelantarkan pendidikan anak-anaknya, memperhadapkan si istri kepada penyimpangan akhlak, khususnya di zaman ini di mana rasa malu semakin sedikit dan penyeru kepada kejelekan semakin banyak. Banyaklah didapati para wanita bercampur baur dengan lelaki di kantor-kantor dan lapangan pekerjaan yang lain. Tidak jarang pula terjadi khalwat (bersepi-sepi/berduaan) yang diharamkan.

• Istri tidak boleh menaati kedua orangtuanya bila keduanya memintanya berpisah dengan suaminya. Tidak boleh pula menuruti permintaan keduanya bila menyuruhnya mengunjungi keduanya sementara suaminya tidak ridha. Bahkan taat kepada suami lebih dikedepankan, karena suami ibaratnya surga dan neraka bagi si istri. Bibi Hushain bin Mihshan z pernah datang kepada Nabi n. Beliau n bertanya:

أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قاَلَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قاَلَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ

“Apakah engkau punya suami?” Ia menjawab, “Iya.” Kata Rasulullah n lagi, “Bagaimana yang engkau lakukan terhadap suamimu?” Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurang-ngurangi dalam menaatinya dan berkhidmat padanya, kecuali dalam perkara yang memang aku tidak mampu.” Rasulullah memberi nasihat, “Perhatikanlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena dia adalah surgamu dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4/341, An-Nasa’i no. 8962, Al-Hakim 2/206, ia berkata, “Sanadnya shahih,” dan disepakati Adz-Dzahabi t. Sanadnya memang shahih, kata Al-Imam Al-Albani t, lihat Adabuz Zifaf, hal. 214 dan Ash-Shahihah no. 2612)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

(Nukilan dari Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Kitabun Nikah, bab Fi ‘Isyratun Nisa’, 2/307-312, dengan beberapa perubahan dan tambahan)


1 Suami bersumpah tidak ingin menggauli istrinya selama-lamanya atau lebih dari empat bulan.

2 Sebagaimana Allah l nyatakan dalam firman-Nya:

“Kepada para suami yang meng-ilaa’ istri mereka diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika setelah itu mereka kembali (menggauli istri mereka) maka sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang. Dan jika mereka berketetapan hati untuk talak maka sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah: 226-227)