Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda,
لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَنْزِلَ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ حَكَمًا مُقْسِطًا وَإِمَامًا عَدْلاً فَيَكْسِرُ الصَّلِيْبَ وَيَقْتُلُ الْخِنْزِيْرَ وَيَضَعُ الْجِزْيَةَ وَيَفِيْضُ الْمَالُ حَتَّى لاَ يَقْبَلَهُ أَحَدٌ
“Tidak akan terjadi hari kiamat hingga Nabi Isa alaihis salam turun (ke bumi) menjadi seorang hakim yang bijaksana dan pemimpin yang adil, menghancurkan salib, membunuh babi-babi, meletakkan upeti, harta melimpah ruah hingga tidak ada seorang pun yang menerimanya.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh
Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dalam Musnad-nya dari lima jalan:
Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam Shahih-nya dari dua jalan:
Baca juga: Keluarnya Dajjal Sebagai Tanda Hari Kiamat
Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dalam Shahih-nya dari jalan Laits bin Saad Abul Harits al-Fahmi, Sufyan bin Uyainah Abu Muhammad al-Hilali, Yunus bin Yazid Abu Zaid al-Aili, dan Shalih bin Kaisan Abu Muhammad al-Madani, semuanya meriwayatkan dari az-Zuhri, dari Said bin Musayyab, dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Adapun Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dalam Sunan-nya dari jalan Hammam bin Yahya al-Azdi al-Audi Abu Abdillah, dari Qatadah bin Di’amah as-Sadusi Abul Khaththab, dari Abdurrahman bin Adam al-Bashri, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Imam at-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan dalam Sunan-nya dari jalan Laits bin Saad, dari az-Zuhri, dari Said bin Musayyab, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Ibnu Majah rahimahullah meriwayatkan dari jalan Sufyan bin Uyainah, dari az-Zuhri, dari Said bin Musayyab, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Demikianlah kesimpulan jalur periwayatan hadits di atas. Pada sebagian jalur periwayatannya terdapat kesamaan dan sebagian yang lain terdapat tambahan.
لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَنْزِلَ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ
“Tidak akan terjadi hari kiamat hingga Nabi Isa turun (ke bumi).”
Dalam sebagian riwayat dengan lafaz
لَيَنْزِلَنَّ
“Sungguh-sungguh akan turun ….” (Lihat Musnad Imam Ahmad no. hadits 10001)
Ada pula yang meriwayatkan dengan lafaz
لَيُوشِكَنَّ أَنْ يَنْزِلَ فِيكُمْ
dengan men-dhammah huruf ya dan meng-kasrah huruf sin. Maknanya adalah لَيَقْرُبَنَّ (telah dekat atau keharusan terjadi secepatnya). (lihat Fathul Bari 6/553 cet. Darul Hadits, Syarh an-Nawawi, 1/469)
Lafaz ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya dan Imam at-Tirmidzi rahimahullah.
حَكَمًاْ
Maknanya adalah حَاكِمًا, yaitu seorang hakim. Nabi Isa alaihis salam akan memutuskan perkara dengan syariat (Islam) karena syariat ini tidak akan dihapus. Beliau tidak diturunkan sebagai seorang nabi yang membawa risalah tersendiri dan syariat yang menghapus syariat sebelumnya. Nabi Isa alaihis salam akan menjadi salah seorang hakim dari sekian hakim yang ada pada umat ini.
Yang menguatkan hal ini adalah riwayat Imam ath-Thabarani rahimahullah dari hadits Abdullah bin Mughaffal radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Akan turun Nabi Isa bin Maryam membenarkan kerasulan Muhammad atas agama yang dibawanya.”
Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari jalan Shalih bin Kaisan, dari az-Zuhri, dari Said, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dengan lafaz حَكَمًا عَدْلًا , yaitu seorang hakim yang adil.
Adapun riwayat yang lain, semuanya dengan lafaz حَكَمًا مُقْسِطًا seperti riwayat Laits dari Ibnu Syihab dalam Shahih Muslim.
Baca juga: Tanda-Tanda Kedatangan Hari Kiamat
Imam Muslim rahimahullah juga meriwayatkan dari jalan lain dari Ibnu Uyainah, dari Ibnu Syihab, dengan lafaz إِمَامًا مُقْسِطًا. Makna الْمُقْسِطُ ialah العَادِلُ, artinya orang yang adil. Kalimat ini berasal dari kata
أَقْسَطَ-يُقْسِطُ-إِقْسَاطًا، فَهُوَ مُقْسِطٌ إِذَا عَدَلَ
Sebab, lafaz القِسْطُ dengan kasrah pada huruf qaf memiliki makna العَدْلُ (keadilan). Berbeda halnya dengan القَاسِطُ, maknanya adalah الْجَائِر artinya orang yang zalim. Kalimat ini berasal dari kata
قَسَطَ-يَقْسُطُ-قَسْطًا، فَهُوَ قَاسِطُ إِذَا جَارَ
Lafaz القَسْطُ dengan mem-fathah huruf qaf memiliki makna الجَوْرُ (ketidakadilan, kezaliman). (lihat al-Fath, 6/553 cet. Darul Hadits, Syarh an-Nawawi 1/469 cet. Darul Hadits)
فَيَكْسِرَ الصَّلِيبَ
Maknanya ialah menghancurkan salib secara hakiki, dan menyalahkan/membatalkan pendapat orang-orang Nasrani yang mengagungkan salib.
فَوَيَضَعَ الْجِزْيَةَ
“Meletakkan jizyah (upeti).”
Abu Sulaiman al-Khaththabi rahimahullah dan ulama lainnya berkata, “Tidak diterimanya upeti (dari orang-orang kafir dzimmi) dan tidak diterima kecuali keislaman mereka. Barang siapa di antara mereka yang membayar (jizyah), itu tidak cukup. Tidaklah diterima kecuali keislaman atau dibunuh.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Maknanya adalah agama akan menjadi satu (Islam) sehingga tidak tersisa seorang pun dari ahlu dzimmah (orang kafir yang menyerahkan upeti sebagai jaminan keamanan) yang membayar upeti.”
Kemudian, beliau menyebutkan pendapat-pendapat para ulama yang lain. Namun, semuanya dikritik oleh Imam an-Nawawi rahimahullah. Yang benar menurut beliau adalah sesuai dengan yang diucapkan oleh Imam al-Khaththabi rahimahullah di atas.
Pendapat ini dikuatkan oleh sebuah riwayat Imam Ahmad dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, “Dan seruan menjadi satu (yaitu Islam).”
وَيَفِيضُ الْمَالُ حَتَّى لَا يَقْبَلَهُ أَحَدٌ
Dibaca dengan mem-fathah huruf ya dan meng-kasrah huruf fa, diakhiri huruf dhad. Maknanya adalah يَكْثُرُ, yaitu banyak.
Pada riwayat yang lain, “Diseru kepada harta, tetapi tidak ada seorang pun yang menerimanya.”
Hal ini karena banyaknya keberkahan yang turun dan datangnya kebaikan (harta kekayaan) secara berturut-turut disebabkan oleh keadilan dan tidak adanya kezaliman. Muncullah pada waktu itu harta yang terpendam dari dalam bumi, bersamaan dengan kurangnya perhatian mereka terhadap semua itu (harta) karena pengetahuan mereka akan dekatnya hari kiamat.
Baca juga: Kiamat Sudah Dekat
Pada sebagian riwayat terdapat tambahan pada akhir hadits di atas dengan lafaz,
حَتَّى تَكُونَ السَّجْدَةُ الْوَاحِدَةُ خَيْرًا مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Hingga keberadaan satu sujud lebih baik daripada dunia dan seisinya.”
Maknanya, pada waktu itu mereka tidaklah mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala kecuali dengan ibadah (shalat), bukan dengan menyedekahkan harta. Sebagian ulama mengatakan bahwa waktu itu manusia tidak memiliki keinginan terhadap dunia sehingga satu kali sujud lebih mereka cintai daripada dunia seisinya.
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Keinginan manusia waktu itu kebanyakan dalam perkara shalat dan seluruh ketaatan. Angan-angan mereka pendek karena dekatnya hari kiamat. Keinginan mereka terhadap dunia menjadi kecil karena tidak mereka tidak membutuhkannya.
Al-Qadhi Iyadh rahimahullah berkata, “Pahala terbaik yang diberikan kepada seseorang yang menjalankan shalat lebih utama daripada sedekah mereka dengan dunia dan seisinya. Hal itu disebabkan melimpahnya harta, minimnya kekikiran, dan sedikitnya kebutuhan akan harta untuk urusan jihad. Satu sujud yang dimaksud dalam hal ini adalah sujud itu sendiri atau sebagai kiasan dari shalat.”
Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Keberadaan shalat lebih utama daripada sedekah adalah karena melimpahnya harta pada waktu itu dan tidak bermanfaatnya harta tersebut. Sampai-sampai, tidak ada seorang pun yang mau menerimanya.”
Baca juga: Beriman Adanya Kebangkitan Setelah Kematian
Kemudian, di akhir haditsnya, Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata, “Bacalah oleh kalian, jika kalian mau,
وَإِن مِّنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ إِلَّا لَيُؤۡمِنَنَّ بِهِۦ قَبۡلَ مَوۡتِهِۦۖ وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ يَكُونُ عَلَيۡهِمۡ شَهِيدًا
“Tidak ada seorang pun dari ahli kitab kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya dan di hari kiamat nanti itu akan menjadi saksi terhadap mereka.” (an-Nisa: 159)
Ucapan Abu Hurairah radhiallahu anhu ini adalah isyarat adanya sisi keserasian terhadap lafaz, “Hingga keberadaan satu sujud lebih baik daripada dunia dan seisinya.” Maknanya, bahwa manusia dalam keadaan baik, memiliki kekuatan iman, dan menyambut perkara kebaikan. Dalam keadaan seperti itu, mereka lebih mementingkan satu rakaat daripada dunia seluruhnya.” (Fathul Bari, Syarh an-Nawawi cet. Darul Hadits, Mausu’atul Hadits asy-Syarif al-Kutubut Tis’ah)
Hal ini dikuatkan dari sisi tinjauan bahasa dan makna. Pada riwayat Imam Ahmad rahimahullah, pada lafaz yang bermakna turunnya Nabi Isa menggunakan dua huruf penguat (taukid), yaitu huruf lam dan nun taukid pada kata, لَيَنْزِلَنَّ. Maknanya, sungguh-sungguh akan turun (tidak diragukan).
Turunnya Nabi Isa pada akhir zaman disepakati oleh para ulama Ahlus Sunnah baik yang terdahulu maupun sekarang, berdasarkan Al-Qur’an dan hadits-hadits yang sahih. Tidak ada yang menyelisihi perkara ini kecuali orang-orang yang terdapat penyakit dalam hatinya.
Al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Turunnya Isa dan pembunuhan Dajjal oleh beliau alaihis salam adalah perkara yang haq dan benar, menurut ulama Ahlus Sunnah berdasarkan hadits-hadits sahih dalam masalah ini. Tidak ada dasar, baik akal maupun syariat, yang menyanggahnya. Karena itu, wajib menetapkan pendapat tersebut.”
Baca juga: Mu’tazilah, Kelompok Sesat Pemuja Akal
Meskipun demikian, sebagian kalangan Mu’tazilah, Jahmiyah, dan yang sependapat dengan mereka tetap mengingkari turunnya Isa ini. Mereka berpendapat bahwa hadits-hadits yang mengabarkan perkara ini tertolak. Mereka berdalil dengan ayat,
وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّۧنَۗ
“Dan penutup nabi-nabi.” (al-Ahzab: 40)
Demikian pula hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Tidak ada nabi setelahku.”
Demikian juga kesepakatan kaum muslimin bahwa tidak ada nabi setelah nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Syariatnya berlaku hingga hari kiamat dan tidak dihapus.
Semua pendalilan ini rusak (tidak sah). Sebab, turunnya Nabi Isa alaihis salam bukanlah dalam kapasitasnya sebagai nabi (baru) yang membawa syariat yang menghapus syariat Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Tidak ada dalil yang membenarkan pendapat mereka pada hadits-hadits yang sahih maupun yang lainnya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Dimasukkannya hadits tersebut pada bab ini adalah sebagai isyarat bahwa hewan yang diperintahkan untuk dibunuh berarti tidak boleh diperjualbelikan, haram dimanfaatkan dan dimakan. Selain itu, (sebagai isyarat bahwa) babi adalah hewan yang najis. Hal ini ditinjau dari sisi bahwa sesuatu yang dapat dimanfaatkan tidak disyariatkan untuk dirusak (dibinasakan).”
Kezaliman/ketidakadilan adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan sesuatu yang diambil bukan dengan cara yang haq (benar), atau meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya secara syariat.
Sisi pendalilan hadits dalam bab ini adalah adanya isyarat bahwa barang siapa membunuh babi-babi dan menghancurkan salib, dia tidak dituntut membayar denda. (Artinya, hal itu bukan merupakan kezaliman). Sebab, hal itu merupakan perbuatan yang diperintahkan oleh syariat (Islam) dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa Nabi Isa alaihis salam akan melakukannya. Nabi Isa alaihis salam turun dalam keadaan membawa syariat yang sama dengan syariat Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
Diperbolehkannya menghancurkan salib (dalam hal ini) berlaku pada orang-orang kafir harbi (orang kafir yang memusuhi/memerangi Islam) atau pada orang-orang kafir dzimmi yang melanggar batas ketentuan. Apabila orang-orang kafir dzimmi tidak melanggar batas ketentuan, lantas seorang muslim menghancurkan salib mereka (kafir dzimmi), hal ini dianggap sebagai bentuk pelanggaran (kezaliman). Hal ini sesuai dengan apa yang mereka pahami, yaitu apabila telah membayar upeti, mereka terjamin keamanannya.
Di sinilah letak rahasia, mengapa Nabi Isa alaihis salam menghukumi secara umum dalam menghancurkan salib pada waktu itu. Sebab, beliau diutus untuk meletakkan/menghapus upeti (tidak menerimanya). Ini bukanlah bentuk penghapusan atas syariat Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Bahkan, yang menghapusnya adalah syariat Islam melalui sabda beliau pada hadits di atas dan beliau menyetujui segala yang akan dilakukan oleh Nabi Isa alaihis salam.
Imam al-Qurthubi rahimahullah dalam kitabnya, at-Tadzkirah (hlm. 562—563) menyebutkan beberapa kemungkinan.
Hal ini berjalan sebagaimana yang Allah azza wa jalla beritakan dalam Al-Qur’an. Mereka mengaku telah membunuh Nabi Isa alaihis salam, menisbahkan kepada beliau sihir dan hal-hal yang Allah azza wa jalla tiadakan dan sucikan beliau dari semua itu. Kemudian, Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan kepada mereka kehinaan sejak mulia dan munculnya Islam. Hal ini berlanjut hingga saat dekatnya hari kiamat.
Kemudian, muncullah Dajjal sebagai tukang sihir yang paling utama. Orang-orang Yahudi lalu membaiatnya hingga akhirnya kaum muslimin memerangi mereka. Tidaklah mereka mendapati tempat persembunyian hingga pohon, batu, dan dinding pun menyerukan tempat mereka bersembunyi. Akhirnya, mereka dihadapkan kepada dua hal: masuk Islam atau dibunuh.
Begitulah yang berlaku atas setiap orang kafir dari semua golongan hingga tidak tertinggal di muka bumi ini seorang kafir pun.
Sebab, tidak sepantasnya makhluk yang diciptakan dari tanah meninggal di langit. Akan tetapi, urusannya berjalan sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan,
مِنۡهَا خَلَقۡنَٰكُمۡ وَفِيهَا نُعِيدُكُمۡ وَمِنۡهَا نُخۡرِجُكُمۡ تَارَةً أُخۡرَىٰ
“Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.” (Thaha: 55)
Maka dari itu, Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan Nabi Isa alaihis salam untuk dikuburkan di bumi sebagaimana para nabi yang lain. Itulah sebab diturunkannya Nabi Isa alaihis salam meskipun bersamaan pada waktu itu muncul Dajjal.
Hal ini sebagaimana dalam ayat,
ذَٰلِكَ مَثَلُهُمۡ فِي ٱلتَّوۡرَىٰةِۚ وَمَثَلُهُمۡ فِي ٱلۡإِنجِيلِ
“Demikianlah sifat-sifat mereka (umat Muhammad) dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil.” (al-Fath: 29)
Kemudian, Nabi Isa alaihis salam berdoa agar Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan dirinya termasuk dari umat Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Allah pun mengabulkan doanya, kemudian mengangkatnya ke langit sampai diturunkannya kembali pada akhir zaman sebagai seorang mujadid (pembaru) agama Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Bersamaan itu pula, muncullah Dajjal. Beliau pun membunuhnya.
Di antaranya adalah,
Al-Hafizh Abu Nuaim rahimahullah dalam kitabnya Dalail an-Nubuwwah menjelaskan, “Ibnu Maryam dinamai al-Masih karena Allah menghapuskan dosa-dosa darinya.”
Pada tempat lain, beliau berkata, “Dinamai demikian karena Jibril alaihis salam mengusap beliau dengan berkah. Hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيۡنَ مَا كُنتُ
“Dan Dia menjadikan aku sebagai seorang yang diberkati di mana saja aku berada.” (Maryam: 31)
Wallahu a’lam bish-shawab.