Asysyariah
Asysyariah

iran dalang kekacauan global

7 tahun yang lalu
baca 8 menit
Iran Dalang Kekacauan Global

Ideologi Syiah sebagai dasar negara telah menempatkan Iran sebagai pihak yang mempunyai kepentingan di berbagai belahan dunia.

Konsep Wilayatul Faqih yang ditetapkan sebagai salah satu prinsip penting kaum Syiah, mendorong Iran mewujudkan cita-cita untuk membentuk sebuah sistem pemerintahan dengan kepemimpinan di bawah kekuasaan seorang faqih (baca: ulama Syiah) yang memenuhi syarat sebagai wakil Imam Mahdi yang masih dalam masa kegaiban yang panjang, yang selalu dinanti kedatangannya.

Wilayatul Faqih adalah keyakinan dan ideologi kaum Syiah bahwa mereka adalah satu-satunya pihak yang mempunyai hak dan wewenang untuk menguasai dan mengatur dunia.

Menurut mereka, seluruh bumi—tanpa terkecuali walau hanya sejengkal—harus berada di bawah kekuasaan ulama Syiah. Oleh sebab itu, melalui dan atas nama negara Iran, kaum Syiah selalu berperan dan campur tangan dalam banyak konflik global.

 

Konflik Suriah

Walaupun telah berlangsung bertahun-tahun, konflik Suriah belum menunjukkan tanda akan berakhir. Bahkan, sebagian kalangan mengkhawatirkan jika konflik Suriah tidak segera berakhir, akan mengakibatkan pecahnya perang dunia ke-3. Kekhawatiran semacam ini wajar dimunculkan, sebab sekian banyak negara plus kepentingan masing-masing, terlibat di dalam konflik Suriah.

Konflik Suriah tidak serta-merta pecah begitu saja. Perang berkepanjangan di sana merupakan akibat dan akumulasi dari sekian puluh tahun sebelumnya. Kaum Syiah menjadi pihak yang paling bertanggung jawab, baik sebagai sebab, pelaku, maupun penerus kekacauan.

Hafidz al-Asad menjadi presiden Suriah pertama yang berideologi Syiah. Setelah melakukan serangkaian gerakan untuk kudeta, Hafidz—seorang perwira tinggi militer, dibantu sejumlah perwira tinggi lainnya—akhirnya ditetapkan sebagai Presiden Suriah pada 22 Februari 1971.

Sebagai seorang penganut ideologi Syiah, Hafidz al-Asad melakukan pembersihan di seluruh lini pemerintahan dan militer Suriah. Hampir semuanya diserahkan dan dikuasai oleh kaum Syiah. Presiden Hafidz memerintah Suriah dengan gaya diktator yang penuh kezaliman dan kekerasan.

Salah satu peristiwa besar di dalam sejarah Suriah adalah pengepungan kota Hama selama 27 hari. Dengan alasan melakukan aksi balas atas penyerangan terhadap pihak pemerintah di kota Hama yang berlatar belakang Syiah, pasukan Presiden Hafidz mengerahkan pesawat tempur dan tank untuk menghancurkan kota Hama.

Februari 1982 menjadi bagian sejarah yang sulit terlupakan. Sepertiga kota Hama hancur. Lebih dari 30.000 orang Sunni tewas menjadi korban. Belasan ribu lainnya tidak diketahui keberadaannya, dan kurang lebih 100.000 orang terusir dari Hama. Selain menggunakan alat-alat perang yang berat, pasukan Hafidz juga menggunakan senjata kimia untuk melakukan pembantaian, yaitu hidrogen sianida.

Bashar al-Asad, putra Hafidz yang menjadi Presiden Suriah sepeninggalnya, melanjutkan gaya kepemimpinan ayahnya. Posisi kaum Syiah semakin kuat dan memegang posisi-posisi strategis di bidang politik, pemerintahan, dan ekonomi. Presiden Bashar melakukan tindakan represif terhadap rakyat. Seluruh media massa diatur negara, yang tidak tunduk akan ditangkap lalu dipenjarakan.

Tahun 2011 adalah tahun pertama konflik Suriah yang berkepanjangan sampai saat ini. Presiden Bashar yang berideologi Syiah melakukan pembantaian massal terhadap warga Sunni. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa selama kurun lima tahun, korban tewas akibat konflik Suriah mencapai angka 400.000 orang. Jumlah yang menyedihkan.

Konflik Suriah yang berkepanjangan ini rupanya tidak lepas dari peran Iran. Secara tegas, Wakil Komandan Garda Revolusi Iran, Jenderal Husein, menyatakan bahwa kehadiran dan keterlibatan tentara Iran di dalam konflik Suriah adalah demi kepentingan Revolusi Iran.

Sejak awal konflik, Iran berada di samping Presiden Bashar guna mendukung penuh rezimnya. Iran adalah sekutu regional Presiden Bashar. Dukungan secara militer dan ekonomi diberikan Iran untuk pemerintahan Bashar. Satu hal yang mempertemukan mereka adalah sama-sama berideologi Syiah.

Garda Revolusi Iran dinilai sebagai pihak yang sangat menentukan kebijakan-kebijakan militer di Suriah. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika pernah ada seorang jenderal Garda Revolusi Iran yang dinyatakan tewas di dekat Aleppo, Suriah, dalam sebuah pertempuran pada awal Oktober 2015. Husein Hamdani, jenderal yang tewas tersebut, adalah seorang penasihat militer Presiden Bashar yang berasal dari Garda Revolusi Iran.

Walhasil, Iran menjadi pihak yang paling banyak berperan di dalam konflik Suriah yang berkepanjangan.

 

Konflik Irak

Kaum Syiah di Irak terhitung mayoritas. Mereka adalah 60% dari total jumlah penduduk. Bagi kaum Syiah dunia, Irak memiliki keistimewaan dan kelebihan tersendiri. Di Irak terdapat dua kota suci menurut kaum Syiah, yaitu Najaf dan Karbala. Dalam keyakinan sebagian sekte Syiah, Najaf adalah lokasi Ali bin Abi Thalib dimakamkan. Adapun Karbala merupakan tempat wafat dan dikuburkannya Husein bin Ali.

Konflik Irak tidak lepas dari keberadaan milisi-milisi bersenjata yang didirikan oleh kaum Syiah. Milisi-milisi tersebut menjadi faktor utama yang menyebabkan berbagai konflik fisik di Irak. Sasaran dan target mereka adalah masyarakat Sunni, yakni masyarakat yang tidak sejalan dengan ideologi Syiah.

Hanya dalam tempo enam tahun, milisi-milisi Syiah telah membunuh lebih dari 650.000 orang Sunni. Sebuah angka yang cukup menggambarkan posisi dan peran kaum Syiah dalam peta konflik di Irak. Keberadaan milisi-milisi tersebut, ternyata tidak lepas dari sokongan dan dukungan Iran sebagai induk semang kekacauan di Timur Tengah.

Pada 2008, keterlibatan Iran dalam konflik Irak telah tersingkap. Senjata-senjata modern dikirim oleh Iran untuk milisi-milisi Syiah di Irak. Hal ini diperkuat oleh tertangkapnya sejumlah anggota milisi Syiah dan anggota Kesatuan Quds (Qods Force) yang melakukan misi di Irak. Qods Force adalah pasukan elite dari Garda Revolusi Iran (Iran’s Islamic Revolutionary Guard Corps).

Di Irak, dikenal sebuah sebutan “Special Groups/SGs”. Sebutan ini diberikan kepada milisi-milisi Syiah di Irak yang didukung oleh Iran. Mereka dilatih, dibantu, dan dibiayai oleh Iran. Beberapa milisi yang didukung oleh Iran adalah Korps Badar (Failaq Badr), Jaisy al-Mahdi, Asha-ib Ahlil Haqq, Jaisy al-Mukhtar, Liwa Abil Fadhl al-Abbas, dan Korps Ramazan dari Pasukan Garda Revolusi Iran.

Jadi, jika dicermati secara lebih mendalam, Iran mengambil peran yang cukup besar dalam konflik Irak. Bagaimanapun juga, dua kota suci kaum Syiah ada di wilayah Irak. Oleh sebab itu, kaum Syiah Iran akan terus berupaya untuk menciptakan konflik guna menguasai kedua kota tersebut.

 

Konflik Bahrain

Bahrain adalah sebuah negara di Teluk Persia dengan wilayah yang tidak begitu luas. Ternyata, Iran turut berperan di dalam berbagai bentuk konflik di Bahrain.

Setelah Revolusi Iran dicetuskan, beberapa kelompok politik yang berdasarkan ideologi Syiah didirikan, seperti The Islamic National Liberation, al-Jamaah al-Islamiyah, Harakat Syabab Muslim Bahrain, dan al-Jabhah al- Wathaniyyah li Tahriril Bahrain.

Kelompok yang disebutkan terakhir, diumumkan pembentukannya pada 2 September 1979 oleh Hujjatul Islam Hadi al-Mudarrisi. Al-Mudarrisi adalah seorang tokoh Syiah yang berasal dari Iran. Kelompok ini dikenal dengan sebutan IFLB atau Islamic Front For The Liberation of Bahrain.

Sebagian besar anggota IFLB adalah kaum Syiah yang mempunyai garis keturunan Iran. IFLB dibentuk di Iran, dilatih dan dibiayai oleh intelijen Iran dan Garda Revolusi Iran. Adapun salah satu tujuan yang hendak dicapai adalah melepaskan negara Bahrain dari persatuan negara-negara Teluk untuk kemudian digabungkan dengan negara Iran.

Pada 1981, tidak berselang lama dari Revolusi Iran, IFLB mencoba melakukan kudeta di Bahrain. Namun, usaha mereka dapat digagalkan oleh pemerintah Bahrain. Setelah itu, beberapa pemimpin IFLB melakukan kesepakatan dengan para pejabat intelijen Iran untuk membentuk sayap militer di Bahrain. Dari sana, lahirlah sayap militer bernama Hizbullah Bahrain.

Sejak awal pergerakan, mereka melakukan pelatihan militer dengan melibatkan ribuan kaum Syiah Bahrain. Salah seorang tokoh yang pernah memimpin Hizbullah Bahrain adalah Ali Salman, seorang tokoh Syiah yang dididik di kota Qumm, Iran. Ali Salman sering melakukan kritik, bahkan hasutan untuk membenci dan memusuhi pemerintah Bahrain.

Akhirnya Ali Salman ditangkap dan diasingkan. Ali Salman lalu mencari suaka di Inggris. Sekembalinya dari Inggris, Ali Salman kembali ke Bahrain dan masih terus melakukan upaya-upaya penghasutan.

Hizbullah Bahrain mempunyai tujuan utama untuk melakukan kudeta guna mengubah sistem pemerintahan menjadi pro-Iran. Setelah gagal melakukan kudeta pada 1981, Hizbullah Bahrain mencoba lagi untuk melakukan kudeta pada 1996. Radio dan siaran berita dari Teheran Iran terus meningkatkan hasutan dan kebencian terhadap pemerintah Bahrain.

Bahkan, pemerintah Bahrain sempat memanggil pulang duta besarnya dari Iran setelah terkuak skenario kudeta ternyata dibuat oleh Iran melalui sayap militer mereka, Hizbullah Bahrain.

 

Bagaimana dengan kondisi saat ini?

Ayatullah Rauhani pernah mengatakan, “Bahrain adalah pengikut Iran. Bahrain merupakan bagian dari Republik Islam Iran.”

Kaum Syiah dan Iran tidak akan berhenti untuk mengupayakan agar Bahrain menjadi negara Syiah. Melihat kegagalan-kegagalan dalam aksi fisik, saat ini Iran menjalankan politik halus dengan mendorong Syiah Bahrain masuk dan aktif di parlemen.

Meskipun demikian, gerakan Syiah masih saja menggunakan langkah-langkah kekerasan. Terbaru, pada Oktober 2015, aparat keamanan Bahrain menemukan 1,5 ton bahan peledak, beberapa senjata api, granat, dan perlengkapan perang lainnya di beberapa tempat berbeda. Menteri Dalam Negeri Bahrain mengungkapkan bahwa orang-orang yang tertangkap memiliki hubungan dekat dengan terorisme di Iran.

 

Iran dan Konflik-Konflik Lain

Keterangan di atas hanyalah sekelumit informasi tentang peran dan posisi Iran di dalam konflik yang terjadi di Timur Tengah dan daerah lainnya. Selain di ketiga negara di atas, Iran pun sangat berperan dalam konflik di Pakistan, Lebanon, Turki, dan yang cukup besar adalah di negeri Yaman.

Tokoh utama milisi Houthi, yaitu Badruddin al-Houthi, tercatat pernah tinggal di Iran antara tahun 1994—1997. Milisi Houthi adalah milisi Syiah yang menjadi dalang kekacauan dan konflik di Yaman. Hingga saat ini, kekacauan di Yaman belum juga berakhir.

Milisi Houthi seakan tidak mengenal menyerah untuk mewujudkan cita-cita mereka, mendirikan negara Syiah Yaman. Di dalam konflik Yaman, Iran terbukti telah menyuplai senjata dan alat-alat perang untuk milisi Houthi. Beberapa kali, kiriman senjata, bom, bahkan rudal dari Iran untuk milisi Houthi melalui jalur laut dapat digagalkan oleh pemerintah Yaman.

Bahkan, pada salah satu upaya penggagalan penyelundupan, Menteri Dalam Negeri Yaman sempat menyatakan bahwa senjata dan alat-alat perang itu sudah cukup untuk menghancurkan Yaman.

 

Kesimpulan

Intinya, di dalam konflik global dan peta dunia, Iran selalu ikut campur tangan untuk mewujudkan prinsip Wilayatul Faqih, yakni mensyiahkan dunia.

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa membimbing dan memberikan hidayah untuk kaum muslimin di Indonesia agar selalu waspada dari bahaya Syiah dan Iran. Terutama para pemimpin bangsa ini, semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan petunjuk kepada mereka.

Amin.

anDitulis oleh al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar bin Rifa’i