“Sesungguhnya, orang-orang terdahulu (para ulama salaf, -red.) diam karena ilmu. Mereka pun menahan diri (dari sesuatu) karena pandangan hati yang tajam. Sungguh, mereka lebih mampu meneliti (sebuah masalah) kalau mereka mau melakukannya.”
“Sungguh, banyak orang belakangan yang tertipu dengan hal ini. Mereka menyangka bahwa siapa yang banyak bicara, debat, dan perbantahannya dalam masalah agama, berarti dia lebih berilmu. Ini adalah murni kebodohan. Lihatlah para sahabat yang senior dan ulama mereka, seperti Abu Bakr, Umar, Ali, Mu’adz, Ibnu Mas’ud, dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu anhu.
Betapa sedikit ucapan mereka dibandingkan dengan ucapan Ibnu Abbas radhiyallahu anhu, padahal mereka lebih berilmu. Demikian pula ucapan generasi tabi’in lebih banyak daripada ucapan generasi sahabat, padahal generasi sahabat lebih berilmu. Ucapan generasi setelah tabi’in pun lebih banyak daripada ucapan generasi tabi’in, padahal generasi tabi’in lebih berilmu.
Jadi, ilmu itu bukan karena banyaknya riwayat dan ucapan, melainkan cahaya yang diletakkan di kalbu. Dengan cahaya itu, seorang hamba akan mengenal kebenaran dan bisa membedakannya dengan kebatilan….”
(Lammud Durril Mantsur minal Qaulil Ma’tsur, hlm. 82—83)