Kata iddah diambil dari kata ‘adad yang berarti bilangan, karena masa iddah itu terbatas (dalam hitungan bilangan tertentu). Iddah adalah penantian seorang wanita (selama waktu tertentu) untuk tidak melangsungkan pernikahan berikutnya setelah perpisahan dengan suami sebelumnya. (Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, Abdullah Alu Bassam, 5/561)
Kata iddah di antaranya terdapat pada surah ath-Thalaq,
وَٱلَّٰٓـِٔي يَئِسۡنَ مِنَ ٱلۡمَحِيضِ مِن نِّسَآئِكُمۡ إِنِ ٱرۡتَبۡتُمۡ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَٰثَةُ أَشۡهُرٍ وَٱلَّٰٓـِٔي لَمۡ يَحِضۡنَۚ
“Dan istri-istri kalian yang telah berhenti dari haid (menopause) (yang kalian talak), jika kalian ragu, iddah mereka adalah tiga bulan, demikian pula iddah istri-istri yang belum haid (karena masih kecil/belum baligh).” (ath-Thalaq: 4)
Baca juga: Definisi dan Hukum Talak
Dasar hukumnya ada dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmak/kesepakatan ulama dengan bersandar kepada dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dalil dari Al-Qur’an antara lain firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ
“Dan istri-istri yang ditalak (oleh suami-suami mereka) hendaklah menahan diri-diri mereka….” (al-Baqarah: 228)
Dalil dari As-Sunnah banyak sekali, di antaranya perintah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada sahabiyah Fathimah bintu Qais radhiallahu anha yang ditalak tiga oleh suaminya untuk menjalani masa iddah di rumah Ummu Syarik radhiallahu anha, sebelum akhirnya beliau shallallahu alaihi wa sallam menyuruhnya pindah ke rumah Ibnu Ummi Maktum radhiallahu anhu, seorang sahabat yang buta. (HR. Muslim no. 3681)
Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan iddah sebagai waktu tenggang sebelum benar-benar terjadi perpisahan antara suami dan istri. Syariat ini memiliki hikmah dan rahasia yang agung. Hikmah tersebut berbeda-beda sesuai dengan keadaan perpisahan antara suami-istri.
Di antara hikmahnya,
Dengan demikian, tidak akan terjadi percampuran dua benih di dalam rahim satu perempuan seandainya dia menikah lagi dengan lelaki lain. Jadi, nasab tidak akan diragukan dan akan terjaga.
Sebab, bisa jadi timbul penyesalan dalam hatinya setelah beberapa waktu perceraian tersebut terjadi. Dengan adanya iddah, dia masih memiliki kesempatan untuk rujuk. Hikmah ini diisyaratkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,
لَا تَدۡرِي لَعَلَّ ٱللَّهَ يُحۡدِثُ بَعۡدَ ذَٰلِكَ أَمۡرًا
“Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah (perceraian) itu suatu hal yang baru.”[1] (ath-Thalaq: 1)
Baca juga: Mempersaksikan Talak dan Rujuk
Iddah ada dua macam:
a. Iddah istri yang tidak sedang hamil
Apabila seorang istri ditinggal wafat oleh suaminya, istri wajib menjalani iddah selama 4 bulan 10 hari. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوۡنَ مِنكُمۡ وَيَذَرُونَ أَزۡوَٰجًا يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرۡبَعَةَ أَشۡهُرٍ وَعَشۡرًاۖ
“Dan orang-orang yang wafat di antara kalian (para suami) dan mereka meninggalkan istri-istri, maka hendaklah istri-istri tersebut menahan diri mereka selama empat bulan sepuluh hari.” (al-Baqarah: 234)
Masa iddah 4 bulan 10 hari tersebut dijalani oleh istri yang tidak dalam kondisi hamil saat ditinggal wafat suaminya. Dengan kata lain, rahimnya kosong dari benih suaminya yang wafat.
b. Iddah istri yang sedang hamil
Apabila si istri yang ditinggal tersebut sedang hamil, iddahnya berbeda; yaitu sampai dia melahirkan kandungannya. Mengapa? Sebab, hikmah terbesar disyariatkannya iddah adalah untuk memastikan kosongnya rahim dari janin, dan ini sangat jelas dengan adanya kelahiran.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأُوْلَٰتُ ٱلۡأَحۡمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ
“Istri-istri yang sedang hamil (yang berpisah dengan suaminya), maka waktunya (berakhirnya iddah) adalah dengan mereka melahirkan kandungan mereka.” (ath-Thalaq: 4)
Baca juga: Fatwa Seputar Talak
Masa iddah istri yang sedang hamil ini bisa lebih pendek dari 4 bulan 10 hari dan bisa pula lebih panjang, tergantung kapan dia melahirkan kandungannya.
Hal ini ditunjukkan dalam As-Sunnah,
أَنَّ سُبَيْعَةَ الْأَسْلَمِيَّةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا نُفِسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ, فَجَاءَتِ إِلَىالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَاسْتَأْذَنَتهْ أَنْ تَنْكِحَ فَأَذِنَ لَهَا فَنَكَحَتْ.
“Subai’ah al-Aslamiyah melahirkan beberapa malam setelah suaminya meninggal dunia. Dia pun mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam guna meminta izin menikah (lagi). Beliau shallallahu alaihi wa sallam mengizinkannya, Subai’ah pun menikah[2].” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Az-Zuhri rahimahullah berkata, “Aku memandang tidak apa-apa dia menikah dalam keadaan masih nifas, hanya saja suaminya jangan ‘menggaulinya’ sampai dia suci.” (Riwayat Muslim setelah hadits no. 3706)
Baca juga: Akad Nikah Ketika Sedang Haid
Kata Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah,
“Apa yang dikatakan az-Zuhri benar. Sebab, tidak apa-apa si perempuan menikah setelah persalinannya walaupun darah nifasnya masih keluar, belum suci dari nifasnya. Akan tetapi, suaminya jangan ‘mendekatinya’ sampai dia suci dari nifas.
“Demikian pula haid, tidak apa-apa seorang lelaki menikahi perempuan yang sedang haid, tetapi si suami jangan ‘mendekatinya’ sampai dia suci.
“Akan tetapi, apakah kita biarkan pengantin baru itu berduaan?
Dalam hal ini ada perincian:
Baca juga: Mempersaksikan Talak dan Rujuk
Sebagian kecil ulama memandang bahwa iddah istri yang hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya adalah waktu yang paling jauh dari dua waktu yang ada, baik dalam hitungan bulan maupun dengan kehamilan.
Jika kehamilannya lebih dari 4 bulan 10 hari, dia beriddah dengan kehamilan tersebut, yakni sampai melahirkan kandungannya. Jika dia melahirkan sebelum 4 bulan 10 hari, dia beriddah dengan waktu 4 bulan 10 hari.
Akan tetapi, jumhur ulama, termasuk para imam yang empat berpendapat bahwa dalil surah al-Baqarah ayat 234 di atas dikhususkan dengan hadits Subai’ah. Jadi, ayat di atas berlaku khusus untuk istri yang tidak sedang hamil. Adapun untuk istri yang sedang hamil, berlaku hukum berdasarkan surah ath-Thalaq ayat 4.
Dengan demikian, ayat dalam surah ath-Thalaq ini berlaku umum untuk semua istri yang sedang hamil, baik berpisah dengan suaminya karena wafat maupun karena cerai hidup; iddahnya berakhir dengan dia melahirkan kandungannya. (al-Minhaj, 1/348, Taudhihul Ahkam 5/565, Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 5/107—108)
Apabila suami menjatuhkan talak kepada istrinya yang sedang hamil, iddahnya berakhir sampai si istri melahirkan, berdasar dalil surah ath-Thalaq ayat 4. Adapun ayat berikut ini,
ٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٍۚ
“Istri-istri yang ditalak hendaklah menahan diri mereka selama tiga quru’.” (al-Baqarah: 228),
yang dimaksud adalah istri yang ditalak oleh suaminya dalam kondisi tidak sedang hamil.
Quru’ yang disebut dalam ayat dapat dipahami dari hadits Aisyah radhiallahu anha berikut ini.
أَنَّ أُمَّ حَبِيْبَةَ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ فَسَأَلَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا أَنْ تَدَعَ الصَّلاَةَ أَيَّامَ أَقْرَاءِهَا
“Ummu Habibah radhiallahu anha biasa mengalami istihadah. Dia bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Beliau lalu memerintah Ummu Habibah untuk tidak mengerjakan shalat pada hari-hari quru’nya.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Dawud)
Hadits di atas menunjukkan bahwa quru’ adalah haid karena wanita istihadah hanyalah meninggalkan shalat pada saat hari-hari haidnya. Inilah pendapat yang lebih kuat terkait quru’.
Baca juga: Istihadhah (bagian 1)
Apabila istri yang ditalak masih belia, belum balig, atau sudah berusia tua dan telah terputus dari haid (menopause), iddahnya tidak bisa disandarkan pada haid. Hitungannya adalah tiga bulan, berdasar firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surah ath-Thalaq ayat 4.
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan, “Ayisah yang disebutkan dalam ayat adalah perempuan yang telah terputus dari haid karena usia yang sudah tua. Masa iddahnya adalah tiga bulan sebagai pengganti tiga quru’ untuk iddah perempuan yang masih haid, sebagaimana ditunjukkan dalam surah al-Baqarah. Demikian pula, perempuan yang masih kecil yang belum mencapai usia haid, iddahnya seperti iddah ayisah, yaitu tiga bulan.” (Tafsir Ibni Katsir, 8/119)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
[1] Yaitu timbul penyesalan dari suami dan ingin rujuk. (Tafsir Ibni Katsir, 8/115)
[2] Dikisahkan bahwa setelah melahirkan kandungannya, Subai’ah berhias untuk menerima pinangan. Ketika Abu as-Sanabil ibnu Ba’kak dari Bani Abdid Dar melihat apa yang dilakukan Subai’ah, dia pun mengingkarinya. Dia menganggap, seharusnya Subai’ah melakukan iddah selama 4 bulan 10 hari. Subai’ah kemudian berangkat menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk meminta fatwa tentang perkaranya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menetapkan bahwa Subai’ah telah halal untuk menikah setelah melahirkan kandungannya.