(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini)
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa talak ada dua macam: talak raj’i dan talak ba’in. Berikut keterangan hukum masing-masing dari wanita yang ditalak raj’i dan yang ditalak ba’in.
Wanita yang Ditalak Raj’i
Wanita yang ditalak raj’i masih berlaku hukum-hukum istri atasnya.
Dalilnya adalah firman Allah l:
“Dan suami-suaminya lebih berhak merujuknya dalam masa ‘iddah itu, jika mereka (para suami) menghendaki perbaikan.” (al-Baqarah: 228)
Pada ayat ini, Allah l menamakan suami yang telah menalak istrinya dengan talak raj’i sebagai suami yang berhak merujuknya. Ini menunjukkan bahwa wanita yang ditalak raj’i adalah istri yang berlaku atasnya hukum-hukum istri yang tidak ditalak.
Begitu pula, Allah l berfirman:
“Janganlah kalian keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar melainkan jika mereka melakukan perbuatan keji yang jelas. Itulah hukum-hukum Allah. Barang siapa melanggar hukum-hukum Allah maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kalian tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru1.” (ath-Thalaq: 1)
Pada ayat ini, Allah l memerintahkan agar istri yang ditalak tetap tinggal bersama suaminya di rumah yang ditinggalinya dan Allah l menisbahkan rumah itu kepadanya sebagai rumahnya. Ini menunjukkan bahwa ia masih istrinya, karena seandainya tidak demikian, tentulah ia tidak boleh lagi tinggal bersamanya, dan rumah suaminya bukan lagi rumahnya.
Selama masa ‘iddah, istri yang ditalak raj’i berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal. Wajib baginya tinggal di rumah yang ditinggalinya bersama suaminya dan makan apa yang dimakan suaminya sebagaimana layaknya istri. Wajib baginya menaati suaminya pada batas-batas yang ma’ruf dan tidak boleh keluar rumah untuk suatu hajat tanpa seizin suaminya. Halal baginya membuka auratnya di hadapan suaminya, berkhalwat dengannya, berdandan untuknya, bercanda dengannya, tertawa dengannya, safar bersamanya, dan seluruh perkara yang berlaku antara suami istri masih berlaku pada istri yang ditalak raj’i. Oleh karena itu, suaminya berhak merujuknya kapan saja ia mau tanpa dipersyaratkan adanya kerelaan istri, kecuali dalam masalah pembagian jatah gilir pada kehidupan poligami. Istri yang ditalak raj’i tidak punya hak untuk digilir, karena ia telah ditalak.
Demikian pula, suami tidak boleh menggaulinya tanpa niat rujuk, sebagaimana akan diterangkan nanti.
Wanita yang Ditalak Ba’in
Telah lewat keterangan bahwa talak ba’in ada dua jenis:
1. Talak ba’in bainunah shugra’ (perpisahan kecil)
Jenis ini pada wanita yang ditalak sebelum digauli. Artinya, tidak halal baginya untuk merujuknya kecuali dengan akad nikah yang baru. Kapan saja ia mau, maka boleh menikahinya kembali dengan akad baru.
2. Talak ba’in bainunah kubra’ (perpisahan besar)
Jenis ini pada wanita yang ditalak dengan talak tiga. Artinya, tidak halal lagi untuk dinikahinya sampai digauli oleh suami yang lain dengan pernikahan yang sah.2 Jadi, syarat yang harus terpenuhi agar halal kembali untuk dinikahinya adalah:
a. Dinikahi suami yang lain dengan pernikahan yang sah.
Dalilnya adalah firman Allah l:
“Talak (yang dapat dirujuki) itu dua kali.” (al-Baqarah: 229)
“Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga menikah dengan suami yang lain.” (al-Baqarah: 230)
Ayat ini menunjukkan bahwa pernikahan itu harus pernikahan yang sah, karena Allah l menamainya sebagai suami yang lain. Artinya, pernikahan yang sah yang dengannya keduanya menjadi suami istri. Dengan demikian, pernikahan yang tidak sah (fasid atau batil) tidak memenuhi syarat.
Begitu pula, tidaklah memenuhi syarat suatu pernikahan yang bertujuan sekadar untuk menjadikannya halal bagi suami pertamanya, sebagaimana akan diterangkan nanti.
As-Sa’di dalam Taisir al-Karim ar-Rahman menerangkan, “Dipersyaratkan bahwa suami lain yang menikahinya karena memang menginginkannya. Bila ia menikahinya dengan maksud sekadar menjadikan halal bagi suami pertamanya, sesungguhnya itu bukanlah pernikahan dan tidak bermanfaat menjadikannya halal bagi suami pertamanya.”
Nabi n telah bersabda,
لَعَنَ رَسُولُ اَللَّهِ n اَلْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ.
“Rasulullah n melaknat lelaki yang menikahi wanita yang ditalak tiga untuk menghalalkannya (bagi suami pertamanya) dan yang dihalalkan untuknya (suami pertamanya).” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan lainnya dari Ibnu Mas’ud z, disahihkan oleh al-Albani)3
Keduanya dilaknat, karena kerjasama dalam melakukan dosa. Inilah pendapat jumhur ulama dari kalangan sahabat dan tabi’in, serta imam-imam Islam setelahnya. Tampak jelas dengan ini, kekeliruan pendapat sekelompok ulama yang membolehkan hal itu dan menganggap pelakunya mendapat pahala karena telah menjadi sebab hilangnya sekian mafsadah dengan menghalalkan kembalinya wanita itu kepada suami pertamanya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah membantah mereka—sebagaimana dalam Majmu’ al-Fatawa—bahwa perbuatan tersebut termasuk dalam kategori rekayasa terlarang yang bertujuan menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah l.
b. Digauli olehnya.
Dipersyaratkan pula bahwa suami yang lain itu telah menggaulinya.
Sebagian ulama berdalil untuk persyaratan ini dengan ayat ini juga. Namun, Ibnu ‘Utsaimin tidak setuju dengan pendalilan ini. Beliau mengatakan bahwa ayat ini hanya menunjukkan persyaratan telah dinikahi oleh suami yang lain dengan pernikahan yang sah. Adapun persyaratan telah digauli oleh suami yang lain, dalilnya adalah hadits ‘Aisyah x:
أَنَّ امْرَأَةَ رِفَاعَةَ الْقُرَظِيِّ جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللهِ n فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَنِي فَبَتَّ طَلاَقِي، وَإِنِّي نَكَحْتُ بَعْدَهُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزُّبَيْرِ الْقُرَظِيَّ وَإِنَّمَا مَعَهُ مِثْلُ الْهُدْبَةِ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ n: لَعَلَّكِ تُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ، لاَ، حَتَّى يَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ وَتَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ
(Mantan) istri Rifa’ah al-Qurazhi datang menemui Rasulullah n lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Rifa’ah telah menalakku dengan talak selamanya. Aku kemudian menikah setelahnya dengan ‘Abdurrahman bin Zubair al-Qurazhi, tetapi punyanya hanya seperti rumbai kain4.”
Rasulullah n bersabda, “Barangkali kamu ingin kembali kepada Rifa’ah. Tidak boleh, sampai ‘Abdurrahman merasakan nikmatnya senggama denganmu dan kamu merasakan nikmatnya senggama dengannya.” (Muttafaq ‘alaih)
Cukup dalam hal ini, minimal yang dinamakan jima’, yaitu terbenamnya seluruh kepala zakar ke dalam farji.5 Hal ini tentu ditandai adanya ereksi (syahwat) sehingga kelezatan jima’ dapat dirasakan.
Kasus ‘Abdurrahman bin az-Zubair z menunjukkan syarat ini, karena zakarnya tidak ereksi sehingga tidak diperhitungkan oleh Rasulullah n. Jadi, tidak dipersyaratkan harus senggama secara sempurna. idak dipersyaratkan pula harus terjadi inzal (ejakulasi), karena hal ini tidak terkandung dalam hadits tersebut.
Oleh karena itu, Ibnu ‘Utsaimin, Ibnul Qayyim, dan jumhur (mayoritas) ulama menegaskan bahwa inzal (ejakulasi) bukan syarat.
Wanita yang berpisah dengan suaminya baik dengan bainunah shugra’ (perpisahan kecil)6 maupun bainunah kubra’ (perpisahan besar) statusnya bukan istri lagi. Maka dari itu, di masa ‘iddah tidak boleh berkhalwat (berdua-duaan) dengannya dan membuka aurat di hadapannya, serta tidak ada hak nafkah dan tempat tinggal baginya kecuali bagi yang hamil (untuk janinnya).
Catatan Kaki:
1 Yaitu keinginan untuk bersatu kembali dengan cara rujuk.
2 Ada yang berpendapat hanya dipersyaratkan pernikahan yang sah tanpa syarat digauli olehnya. Pendapat ini lemah.
3 Diriwayatkan pula dari sahabat yang lain. Lihat kitab al-Irwa’ no. 1897.
4 Maksudnya, syahwatnya lemah sehingga zakarnya tidak ereksi.
5 Jika tidak punya kepala zakar karena putus, cukup terbenamnya seukuran kepala zakar dari zakarnya yang tersisa.
6 Termasuk yang pisah khulu’, baik dikatakan khulu’ itu jatuh sebagai talak atau sebagai fasakh.