Asysyariah
Asysyariah

hukum obat pencegah haid

13 tahun yang lalu
baca 2 menit

Bolehkah seorang wanita mengonsumsi obat yang bisa mencegah datangnya haid?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin t menjawab, “Apabila wanita yang menggunakan obat pencegah haid tidak mendapati mudarat/bahaya/dampak negatif pada obat tersebut dari sisi kesehatan, maka tidak mengapa menggunakannya, namun dengan syarat harus seizin suaminya—bila ia sudah bersuami—. Akan tetapi, sepanjang yang saya ketahui, obat-obatan pencegah haid tersebut dapat memudaratkan wanita yang menggunakannya. Telah diketahui pula bahwa keluarnya darah haid itu sifatnya alamiah, sementara sesuatu yang sifatnya alamiah bila ditahan/dicegah pada waktu yang semestinya ia keluar niscaya akan memberikan dampak negatif bagi tubuh.
Sisi lain dari dampak negatif obat-obatan ini adalah mengacaukan waktu kebiasaan haid (adat) seorang wanita sehingga haid akan datang di luar kebiasaan yang ada. Akibatnya, si wanita menjadi bimbang dan ragu (apakah darah yang menimpanya tersebut haid atau bukan) dalam pelaksanaan shalatnya, dalam hubungannya dengan suaminya, dan lainnya. Karena itulah, dalam penggunaan obat-obatan semacam itu saya tidak mengatakannya haram akan tetapi aku tidak menyukai bila seorang wanita menggunakannya karena mengkhawatirkan kemudaratan bagi dirinya.
Saya katakan, sepantasnya seorang wanita meridhai apa yang Allah l tetapkan atas dirinya. Ketika Rasulullah n masuk menemui Ummul Mukminin Aisyah x pada waktu haji wada’, beliau dapati Aisyah sedang menangis sementara Aisyah telah berihram untuk umrah. Beliau pun bersabda:
مَا لَكِ، أَنُفِسْتِ1؟ قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ: إِنَّ هذَا أَمْرٌ كَتَبَهُ اللهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ
“Ada apa dengan dirimu? Apakah engkau ditimpa haid?” Aisyah menjawab, “Iya.”
Beliau bersabda, “Sesungguhnya haid ini adalah perkara yang telah Allah tetapkan atas anak-anak perempuan Adam.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, yang sepantasnya bagi seorang wanita adalah bersabar dan mengharapkan pahala. Apabila ia berhalangan untuk menunaikan ibadah puasa dan shalat karena haid yang menimpanya, sungguh pintu zikir terbuka baginya, alhamdulillah. Ia bisa berzikir kepada Allah l, bertasbih (menyucikan Allah l), ia bisa bersedekah serta berbuat baik kepada orang lain dengan ucapan dan perbuatan, ini termasuk amalan yang paling utama.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin, 11/283)

Catatan Kaki:

1 Hadits ini menunjukkan bolehnya menyebut haid dengan nifas.