Assalamu’alaikum.
Sebelumnya terima kasih atas penjelasan yang diberikan. Saya menghadapi suatu permasalahan hukum yang sangat membutuhkan penjelasan. Ada dua orang muslim yang terikat perjanjian utang piutang. Kemudian orang yang berutang menyalahi perjanjian karena suatu sebab, bisa jadi karena sebab-sebab di luar kemampuannya, atau bisa jadi juga memang tidak punya itikad untuk membayar utangnya.
Apakah kehormatan orang yang berutang dan tidak membayar itu halal, dalam artian boleh dirusak atau dihinakan? Sebab, ada yang mengatakan boleh, dengan dalil Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyalati jenazah orang yang belum melunasi utangnya.
Apakah sebab-sebab tidak dilunasinya utang bisa menjadi pertimbangan bagi orang yang memberi utang untuk memberikan tangguh, atau bahkan menyedekahkan piutangnya kepada yang berutang?
Apakah harta orang yang berutang tersebut halal bagi orang yang memberi utang, dalam artian boleh diambil paksa sebatas jumlah utangnya?
Ummu Shafeya, DepokTimur
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini
Pada dasarnya, barang siapa berutang lantas memiliki kemampuan membayarnya meskipun secara keumuman ia terhitung miskin, ia berkewajiban membayar utangnya saat pemilik hak menagihnya atau saat tiba waktu pembayaran yang ditentukan (jatuh tempo) pada utang yang bersifat angsuran.
Haram hukumnya menunda pembayaran hak pemiutang yang telah berbuat baik kepadanya dengan mengutanginya, karena hal itu adalah kezaliman. Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Penundaan pembayaran oleh pengutang yang mampu adalah kezaliman.” (Muttafaq ‘alaih)
Kata Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah dalam Fathul Bari, “Terdapat perselisihan pendapat, apakah kesengajaan menunda pembayaran utang tergolong dosa besar atau tidak? Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa pelakunya fasik.
Akan tetapi, apakah ia menjadi fasik lantaran menunda pembayaran satu kali atau tidak?
An-Nawawi mengatakan, ‘Tuntutan mazhab kami dalam masalah ini adalah dipersyaratkan berulang kali (baru disebut fasik).’
Akan tetapi, hal itu dibantah oleh as-Subki pada Syarhu al-Minhaj, ‘Tuntutan mazhab kami adalah tidak dipersyaratkan berulang kali. Dalilnya, menahan hak seseorang setelah pemiliknya menuntut disertai mencari-cari alasan (penghalang) untuk membayarnya (kedudukannya) seperti merampas hak orang. Sementara itu, merampas adalah dosa besar.
Penamaannya sebagai kezaliman mengindikasikan bahwa hal itu adalah kefasikan, dan suatu dosa besar tidak dipersyaratkan harus dilakukan berulang kali (baru dinamakan dosa besar).
Ya, ia tidak dihukumi fasik kecuali jika benar-benar jelas bahwa ia tidak punya uzur untuk menundanya.’
Mereka juga berselisih pendapat, apakah pelakunya menjadi fasik lantaran menundanya setelah mampu, baik ditagih maupun tidak?
Hadits dalam bab ini mengindikasikan bahwa pelakunya menjadi fasik apabila pemilik hak telah menagihnya, karena kata ‘menunda’ mengindikasikan makna demikian.”
Ini pula yang dipilih oleh Ibnu ‘Utsaimin dalam syarah Bulughul Maram.
Dalam Fathul Bari, al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan bahwa hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu di atas menunjukkan bolehnya mendesak pengutang yang menunda pembayaran agar segera membayar utangnya dan menempuh berbagai cara untuk mengambil haknya dari dia secara paksa.[1]
Diantara cara itu adalah melaporkannya kepada pihak berwajib, sebagaimana akan diterangkan nanti. Adapun pemaksaan secara fisik yang bisa memicu (fitnah) pertumpahan darah, hal itu harus dihindari.
Kezaliman orang yang menunda pembayaran utangnya bisa menjadi alasan bagi pemiutang yang terzalimi untuk mengghibahinya (menggunjingya) dan mengadukannya ke pihak yang berwajib. Dalilnya adalah hadits asy-Syarid radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Menunda pembayaran oleh pengutang yang mampu menghalalkan kehormatan dan hukumannya.” (HR.Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan al-Bukhari secara ta’liq [tanpa menyebutkan sanad]; dinyatakan hasan oleh Ibnu Hajar dan al-Albani)[2]
Tentang kalimat “menghalalkan kehormatannya”, Ibnu ‘Utsaimin menetapkan makna-makna berikut:
Maslahat itu boleh jadi merupakan maslahat pemilik hak, yaitu apabila membuat pengutang bersegera membayar utangnya karena takut kejelekannya tersebar luas; atau maslahat orang lain agar berhati-hati dalam bermuamalah dengan orang tersebut (sebagai tahdzir/peringatan).
Ibnu ‘Abdil Barr menyatakan bahwa hal ini seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Allah tidak menyukai terang-terangan dalam hal ucapan yang jelek kecuali orang yang dizalimi.” (an-Nisa’:148)
Adapun makna “menghalalkan hukumannya” adalah berdasarkan tuntutan pemilik hak, tidak tanpa tuntutan pemilik hak. Menurut Ibnu ‘Utsaimin, hadits ini mutlak terserah kebijakan pihak yang berwajib dalam menentukan hukuman apa yang dianggap membuatnya segera membayar utangnya; apakah dipenjara atau dipukul/dicambuk. Jika dipukul/cambuk, tentunya pukulan/cambukan yang tidak menyebabkan cacat fisik dan tidak lebih dari sepuluh kali tiap hari. Jika masih belum membayar juga, pihak hakim (pihak yang berwajib) langsung turun tangan secara paksa membayarkan utangnya dari harta orang tersebut yang ada atau menjualnya untuk pembayaran utangnya.[3]
Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyalati muslim yang mati dengan meninggalkan tanggungan utang yang belum terbayar,[4] adalah sebagai peringatan bagi yang lain agar tidak meremehkan masalah utang dan tidak bermudah-mudah dalam hal berutang, kecuali pada kondisi benar-benar terdesak kebutuhan yang mengharuskannya berutang.
Apabila pengutang benar-benar belum mampu membayar utangnya, pemilik hak wajib memberi tangguh sampai ia mampu membayarnya. Bahkan, dianjurkan bagi pemilik hak agar bersedekah kepadanya dengan membebaskannya dari sebagian atau seluruh tanggungan utangnya. Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, berilah tangguh sampai dia memiliki kelapangan, dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui.” (al-Baqarah: 280)
Adapun balasannya telah disebutkan pada keumuman makna hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa membebaskan seorang mukmin dari satu kesusahan di antara kesusahan-kesusahan dunia, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala akan membebaskannya dari satu kesusahan di antara kesusahan-kesusahan akhirat. Barang siapa memberi kemudahan atas orang yang kesulitan ekonomi, niscaya Allah akan memberi kemudahan atasnya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)
Bahkan ada nash secara khusus:
“Barang siapa memberi tangguh orang yang kesulitan membayar utang sampai dia berkelapangan sebelum tiba waktu pelunasan, dia mendapatkan pahala sedekah senilai dengannya setiap hari. Apabila waktu pelunasan telah tiba lantas dia memberi tangguh kepadanya sampai berkelapangan, dia mendapatkan pahala sedekah dua kali lipat darinya setiap hari.” (HR. Ahmad dan al-Hakim. Al Hakim menghukuminya sahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslim, serta disetujui oleh adz-Dzahabi, tetapi diluruskan oleh al-Albani dan al-Wadi’i bahwa sahih menurut syarat Muslim saja)[5]
“Barang siapa memberi tangguh orang yang kesulitan membayar utang hingga ia berkelapangan atau menggugurkan utangnya, Allah subhanahu wa ta’ala akan menaunginya di hari kiamat (dari panas terik matahari) di bawah naungan ‘Arasy-Nya pada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya.” (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi, ini adalah lafadz at-Tirmidzi; dinyatakan sahih oleh at-Tirmidzi, al-Albani, dan al-Wadi’i)[6]
Wallahu a’lam.
[1] Lihat Fathul Bari (4/Bab “al-Hawalah”, syarah hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu) dan Fathu Dzil Jalal wal Ikram (Kitab al-Buyu’, Bab “al-Hawalah waadh-Dhaman”, syarah hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu).
[2] Lihat Fathul Bari (5/Kitab al-Istiqradh, Bab “Li Shahib al-Haqqi Maqal”) dan al-Irwa’ (no. 1434).
[3] Lihat kitab asy-Syarh al-Mumti’ (9/273—274).
[4] Akan tetapi, dishalati oleh keumuman para sahabat radhiallahu ‘anhum.
[5] Lihat kitab ash-Shahihah (no. 86), al-Irwa’ (no. 1438), dan ash-Shahih al-Musnad (1/127).
[6] Lihat kitab Shahih al-Jami’ (no. 6107) dan al-Jami’ ash-Shahih (3/12).