Asysyariah
Asysyariah

hukum alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan

13 tahun yang lalu
baca 6 menit

Apa hukumnya bila seorang suami menyetujui istrinya dipakaikan alat kontrasepsi oleh pihak rumah sakit guna mencegah kehamilan?

Jawab:
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t berfatwa: “Sang suami tidak boleh menyetujuinya, sementara Rasulullah n telah menyatakan: Menikahlah kalian sehingga jumlah kalian menjadi banyak karena sesungguhnya aku membanggakan (banyaknya) kalian di hadapan umat-umat lain pada hari kiamat.1
Dan juga Nabi n pernah mendoakan Anas bin Malik z agar dilipatkan jumlah harta dan anaknya2. Selain itu, bisa jadi kita akan dihadapkan dengan takdir Allah (berupa musibah kematian anaknya sehingga ia kehilangan si buah hati).
(Bila ada alasan untuk menunda kehamilan) maka ketika mendatangi istrinya (jima‘), sang suami diperbolehkan melakukan ‘azal3. Adapun (menunda kehamilan) dengan menggunakan obat-obatan/ pil, memotong rahim (pengangkatan rahim) atau yang lain, tidak diperbolehkan.
Perlu diketahui, musuh-musuh Islam menghias-hiasi perbuatan yang menyelisihi agama di hadapan kita. (Mereka menyerukan agar kaum muslimin membatasi kelahiran) sementara mereka sendiri, justru terus berupaya memperbanyak jumlah mereka. Dan benar-benar mereka telah melakukannya.
Aku bertanya kepada kalian, wahai saudara-saudaraku. Bila sekarang ini, di zaman ini, ada orang yang memiliki sepuluh anak, apakah kalian saksikan Allah I menyia-nyiakannya? Atau justru kalian melihat, Allah I membukakan rizki baginya dari arah yang tidak disangka-sangka?
Bila seseorang membatasi kelahiran karena alasan duniawi (takut rizki misalnya, –pent.), ia benar-benar telah keliru. Karena Rabbul ‘Izzah berfirman dalam kitab-Nya yang mulia:

“Dan tidak ada satu makhluk melata pun di bumi ini kecuali Allah-lah yang menanggung rizkinya.” (Hud: 6)
Dan juga firman-Nya:

“Berapa banyak hewan yang tidak dapat membawa (mengurus) sendiri rizkinya tapi Allah lah yang memberikan rizkinya dan juga memberikan rizki kepada kalian.” (Al-Ankabut: 60)
Namun bila ia melakukannya karena khawatir adanya mudharat/ bahaya yang bakal menimpa sang istri, maka diperbolehkan menunda kehamilan dengan melakukan ‘azal. Adapun kalau harus menggunakan alat/ obat yang berasal dari musuh-musuh Islam, baik berupa obat/ pil pencegah kehamilan atau lainnya, maka ini tidaklah kami anjurkan. ‘Azal sendiri sebenarnya makruh, namun diizinkan Rasulullah n. Beliau bersabda ketika mengizin-kan para shahabatnya untuk melakukan ‘azal:

“Tidak ada satu jiwa pun yang telah ditakdirkan untuk diciptakan sampai hari kiamat kecuali mesti akan ada/ tercipta.”
Jabir bin Abdillah c berkata:

“Kami melakukan ‘azal sementara Al-Qur`an (wahyu) masih turun (belum berhenti terus tersampaikan kepada Rasulullah n).”5
Maka Nabi n memberikan rukhshah (keringanan) untuk melakukan ‘azal. Walham-dulillah Rabbil ‘alamin. (Ijabatus Sa`il, hal. 467-468)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t mengatakan: “Adapun menggunakan sesuatu yang bisa mencegah kehamilan, ada dua:
Pertama: Mencegah kehamilan secara permanen. Hal ini tidak diperbolehkan karena akan memutus kehamilan sehingga memper-sedikit keturunan. Ini bertentangan dengan tujuan syariat memperbanyak jumlah umat Islam. Juga, ada kemungkinan bahwa anak-anaknya yang ada akan meninggal, sehingga si wanita menjadi tidak punya anak sama sekali.
Kedua: Mencegah kehamilan dalam jangka waktu tertentu. Seperti bila si wanita banyak hamil sedangkan hamil akan melemah-kannya, dan dia ingin mengatur kehamilan setiap dua tahun sekali atau semacamnya. Hal yang seperti ini diperbolehkan, dengan syarat seijin suaminya dan tidak memadharatkan si wanita. Dalilnya, para shahabat dahulu melakukan ‘azal  terhadap istri-istri mereka pada masa Nabi n dengan tujuan agar istri-istri mereka tidak hamil. Dan Nabi n tidak melarang hal itu.” (Risalah fid Dima’ Ath-Thibi’iyyah lin Nisa`, hal. 44) (ed)

 


 

1 Ma’qil bin Yasar z berkata: Seseorang datang menemui Nabi n, lalu ia berkata: “Sesungguhnya aku mendapatkan seorang wanita cantik dan memiliki kedudukan, namun ia tidak dapat melahirkan anak, apakah boleh aku menikahinya?” Nabi n menjawab: “Tidak boleh.” Orang itu datang lagi kepada Nabi n mengutarakan keinginan yang sama, namun Nabi n tetap melarangnya. Kemudian ketika ia datang untuk ketiga kalinya, Nabi n bersabda:

“Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang lagi subur (dapat melahirkan anak yang banyak) karena sesungguhnya aku berbangga-bangga dengan banyaknya kalian di hadapan umat-umat yang lain.” (HR. Abu Dawud no. 2050, dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad 2/211) –pent.
2 Ummu Sulaim, ibu Anas bin Malik z, berkata kepada Rasulullah n: “Wahai Rasulullah, ini Anas pelayanmu, mohonkanlah kepada Allah kebaikan untuknya. Rasulullah n berdoa:

“Ya Allah, banyakkanlah harta dan anaknya. Dan berkahilah dia atas apa yang Engkau berikan kepadanya.” (HR. Al-Bukhari no. 6378 dan Muslim no. 1499) –pent.
3 Mengeluarkan air mani di luar kemaluan istri, di mana ketika akan inzal, sang suami menarik kemaluannya dari kemaluan istrinya sehingga air maninya terbuang di luar farji (kemaluan). (Fathul Bari)

4 Hadits di atas diriwayatkan dalam Ash-Shahihain. Al-Imam An-Nawawi t menerangkan makna hadits di atas: “Setiap jiwa yang telah Allah takdirkan untuk diciptakan, maka pasti akan Ia ciptakan. Sama saja baik kalian melakukan ‘azal atau tidak. Sedangkan apa yang Allah tidak takdirkan untuk diciptakan maka pasti tidak terjadi, sama saja baik kalian melakukan ‘azal atau tidak. Dengan demikian ‘azal kalian tidak ada faedahnya, bila Allah I telah mentakdirkan penciptaan satu jiwa, maka air mani kalian mendahului kalian (ada yang tertumpah ke dalam farji tanpa kalian sadari) sehingga tidaklah bermanfaat semangat kalian untuk mencegah penciptaan Allah.” (Al-Minhaj, 10/252)  –pent.
5 HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya. Tambahan faedah: Asy-Syaikh Al-Albani t mengatakan: “Adapun di masa ini, didapatkan sarana-sarana yang memungkinkan seorang lelaki mencegah air maninya agar tidak tertumpah sama sekali (di kemaluan) istri, seperti apa yang disebut dengan rabthul mawasir (mengikat saluran telur) dan kondom yang dipasangkan di kemaluan ketika jima’, dan yang semacamnya… Bagaimanapun juga, yang dimakruhkan menurutku adalah bila dalam dua perkara ini atau salah satunya (yaitu dua hal yang timbul akibat terhalangnya tertumpahnya mani: pertama, memberi madharat dengan mengurangi kenikmatan istri, kedua: menghilangkan sebagian tujuan pernikahan), tidak ada tujuan seperti tujuan orang kafir melakukan ‘azal. Seperti takut miskin karena banyak anak dan terbebani untuk menafkahi serta mendidik mereka. Bila disertai hal ini maka hukumnya naik dari makruh ke tingkat haram, karena  kesamaan niat orang yang melakukan ‘azal dengan tujuan orang kafir melakukannya. Di mana orang-orang kafir membunuh anak-anak mereka karena takut menafkahi dan takut miskin, sebagaimana telah diketahui. Berbeda halnya bila si wanita sakit, yang dokter mengkhawatirkan sakitnya akan bertambah parah bila hamil. Dalam keadaan ini, si wanita boleh memakai alat pencegah kehamilan untuk jangka waktu tertentu. Adapun bila sakitnya berbahaya dan dikhawatirkan menyebabkan kematian, si wanita boleh –dalam keadaan ini saja–  bahkan wajib melakukan rabthul mawasir untuk menjaga agar dia tetap hidup. Wallahu a’lam. (Adabuz Zifaf, hal. 136-137)