Asysyariah
Asysyariah

hubungan jiwa dengan kalbu

13 tahun yang lalu
baca 12 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc)

Kalbu, yang sebenarnya bermakna jantung (Inggris: heart), adalah motor dari gerak langkah anggota badan. Ada yang mengatakan bahwa kalbu adalah raja bagi anggota badan. Anggota badan adalah tentaranya yang senantiasa patuh kepadanya, langsung bergerak karena taat kepadanya dalam rangka menjalankan perintahnya, tidak pernah durhaka atas perintahnya sedikit pun. Dengan demikian, apabila sang raja baik, tentaranya akan baik. Sebaliknya, apabila sang raja rusak, tentaranya juga akan rusak. (Jami’ul Ulum wal Hikam)
Permisalan itu adalah kandungan hadits Nabi n,
أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
“Ketahuilah, dalam jasad ada segumpal daging. Apabila ia baik, akan menjadi baik pula seluruh jasadnya. Apabila daging itu rusak, akan menjadi rusak juga seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa daging itu adalah kalbu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Ibnu Rajab t mengatakan, “Hadits di atas menerangkan bahwa kebaikan perilaku seorang hamba pada anggota badannya, jauhnya dia dari hal-hal yang haram dan syubhat, adalah seukuran/sebanding dengan kebaikan gerakan kalbunya.”
لاَ يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلاَ يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ
“Tidaklah iman seorang hamba akan istiqamah hingga kalbunya istiqamah. Dan kalbunya tidak akan istiqamah hingga lisannya istiqamah.” (Sahih, HR. Ahmad, lihat ash-Shahihah no. 2841)
Istiqamahnya iman artinya istiqamahnya amalan anggota badan, sementara itu anggota badan tidak akan istiqamah selain dengan keistiqamahan kalbu. Adapun makna keistiqamahan kalbu adalah dipenuhinya kalbu itu dengan rasa cinta kepada Allah l, mencintai ketaatan kepada-Nya, dan benci kepada kemaksiatan terhadap-Nya. Demikian keterangan Ibnu Rajab t.
Nabi n telah menggambarkan akibat kebaikan kalbu atau kerusakannya dalam sebuah hadits,
تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا، فَأَيُّ قَلْبٍ أُشْرِبَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ، وَأَيُّ قَلْبٍ أَنْكَرَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ بَيْضَاءُ، حَتَّى تَصِيرَ عَلَى قَلْبَيْنِ عَلَى أَبْيَضَ مِثْلِ الصَّفَا فَلاَ تَضُرُّهُ فِتْنَةٌ مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ، وَالْآخَرُ أَسْوَدُ مُرْبَادًّا كَالْكُوزِ مُجَخِّيًا، لاَ يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلاَ يُنْكِرُ مُنْكَرًا إِلاَّ مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ
“Godaan-godaan dosa ditawarkan kepada kalbu-kalbu seperti (anyaman) tikar, sehelai demi sehelai. Kalbu mana pun yang menyerapnya, maka akan tertitik padanya sebuah noktah hitam. Adapun kalbu mana pun yang menolaknya, maka akan tertitik padanya titik putih. Akhirnya, akan menjadi dua macam kalbu, ada yang putih bagaikan batu yang halus (tidak ada kotoran yang hinggap, -pen.) sehingga tidak mencelakakannya godaan-godaan apa pun selama langit dan bumi ada. Sementara itu, kalbu yang lain hitam kelabu (dan) bagaikan gelas yang terbalik. Ia tidak mengenal hal yang baik dan tidak mengingkari hal yang mungkar. Ia tidak mengetahui selain apa yang diserap oleh hawa nafsunya.” (Sahih, HR. Muslim)
Sedemikian rupa bahayanya kalbu ketika rusak, benar-benar membuat rusak amalan. Begitu pula ketika kalbu itu baik, benar-benar membuat baik segala amalan.
Lantas, apa yang memengaruhi kalbu sehingga menjadi baik atau menjadi jelek? Jiwa, itulah yang memengaruhinya. Ketika jiwa baik, kalbu akan baik. Ketika jiwa buruk, kalbu pun akan menjadi buruk.
Ibnul Qayyim t menjelaskan, “Sesungguhnya seluruh penyakit kalbu itu muncul dari arah jiwa. Segala benih rusak tertuang padanya. Darinya, merebaklah kepada anggota badan. Yang pertama terkena adalah kalbu….” (Ighatsatul Lahafan hlm. 82)
Karena pengaruh jiwa ini, kalbu terbagi menjadi tiga.
1. Kalbu yang selamat, hidup sehat.
2. Kalbu yang sakit, hidup namun sakit.
3. Kalbu yang mati.

Kalbu yang hidup sehat disebut juga al-qalbu as-salim, kalbu yang selamat. Ia adalah kalbu yang selamat dari segala nafsu yang menyelisihi perintah dan larangan Allah l, selamat dari segala syubhat (kesamaran) yang bertentangan dengan berita-Nya, sehingga selamat dari peribadahan kepada selain-Nya dan selamat dari berhukum kepada selain Rasulullah n….
Ibadahnya murni untuk Allah l. Niat, cinta, tawakal, taubat, tunduk, takut, berharap, dan amalnya pun hanya untuk-Nya. Apabila ia mencintai, ia cinta karena Allah l. Apabila ia benci, benci pun karena Allah l. Apabila memberi, ia memberi karena-Nya, dan apabila tidak memberi, ia juga tidak memberi karena-Nya. Bahkan, tidak hanya ini, sampai dia selamat dari mematuhi dan berhukum kepada siapa saja selain Rasulullah n, sehingga kalbunya meyakini bersamanya sebuah keyakinan yang kokoh untuk berteladan hanya kepadanya saja, tidak kepada selainnya, siapa pun dia baik dalam hal berkata maupun beramal….
Kalbu yang sakit, adalah kalbu yang memiliki kehidupan, namun berpenyakit. Dia memiliki dua unsur. Sesekali, unsur kehidupan yang mengisinya, dan pada kesempatan yang lain unsur penyakit yang mengisinya. Kalbu tersebut tergantung kepada unsur mana yang dominan menguasainya. Ada padanya rasa cinta kepada Allah l, keimanan terhadap-Nya, dan keikhlasan kepada-Nya, serta tawakal kepada-Nya. Ini menjadi unsur kehidupannya. Akan tetapi, ada juga padanya cinta syahwat, mendahulukannya, serta semangat untuk memperolehnya. Ada pula padanya, dengki, sombong, bangga diri, senang unggul (merendahkan yang lain), merusak di bumi dengan kepemimpinannya, yang itu semua adalah unsur kehancurannya.
Jadi, kalbu ini diuji di antara dua penyeru: penyeru pertama mengajaknya kepada Allah l dan Rasul-Nya serta negeri akhirat; penyeru kedua mengajaknya kepada dunia. Ia akan menyambut seruan yang pintunya paling dekat kepadanya dan yang lebih dekat bertetangga dengannya. (Diringkas dari keterangan Ibnul Qayyim t)
Tentang kalbu yang mati, Ibnul Qayyim menyebutnya kering dan mati. Ia adalah kalbu yang tiada kehidupan padanya. Ia tidak mengenal Rabbnya, tidak mengibadahi-Nya dengan perintah-Nya, hal-hal yang dicintai-Nya dan diridhai-Nya. Ia justru senantiasa berdampingan dengan nafsunya dan kelezatannya walaupun mengandung kemurkaan dan kemarahan Rabbnya. Dia tidak akan peduli selama syahwat dan bagiannya terpenuhi. Allah l ridha atau murka (ia tidak peduli). Dia telah menghambakan dirinya kepada selain Allah l dengan cinta, takut, harap, ridha, marah, pengagungan dan penghinaan dirinya.
Kalau dia mencintai, maka cinta itu demi nafsunya. Kalau dia membenci, benci itu demi nafsunya pula. Kalau ia memberi, ia memberi demi nafsunya, sedangkan kalau ia tidak memberi, pun karena nafsunya. Hawa nafsunya lebih ia utamakan dan lebih ia cintai daripada Rabbnya. Hawa nafsu menjadi pemimpinnya. Syahwat menjadi pemandunya. Kebodohan menjadi pengemudinya. Kelalaian menjadi tunggangannya. Pikirannya terbenam dalam usaha memperoleh kepentingan-kepentingan duniawinya, tertutup oleh mabuk cinta nafsu dan dunia.
Dari jauh ia diseru menuju Allah l dan negeri akhirat, namun tidak mau menyambut seruan sang penasihat yang berkeinginan baik. Ia justru mengekor di belakang setiap setan yang durhaka. Dunialah yang membuatnya cinta atau benci. Nafsulah yang membuatnya tuli dan buta selain kepada kebatilan….
Berbaur dengan pemilik kalbu ini adalah penyakit. Bergaul dengannya adalah racun. Duduk-duduk bersamanya adalah kebinasaan. (Ighatsatul Lahafan)
Pemilik kalbu ini tidak akan selamat. Pemilik kalbu yang sakit dekat kepada kehancuran. Tidak ada yang benar-benar selamat di hari kiamat selain pemilik kalbu yang salim, yang datang kepada Allah l dengannya,
“(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, melainkan orang-orang yang menghadap Allah dengan kalbu yang bersih.” (asy-Syu’ara: 88—89)
Oleh karena itu, Nabi n berdoa,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الثَّبَاتَ فِي الْأَمْرِ، وَالْعَزِيمَةَ عَلَى الرُّشْدِ، وَأَسْأَلُكَ شُكْرَ نِعْمَتِكَ وَحُسْنَ عِبَادَتِكَ وَأَسْأَلُكَ قَلْبًا سَلِيمًا وَلِسَانًا صَادِقًا، وَأَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ مَا تَعْلَمُ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا تَعْلَمُ وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا تَعْلَمُ
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kekokohan dalam agama ini, dan agar bertekad untuk selalu terbimbing. Aku juga memohon untuk bersyukur atas nikmat-Mu, kebaikan dalam ibadah kepada-Mu. Aku memohon kepada-Mu kalbu yang selamat dan lisan yang jujur. Aku memohon kepada-Mu dari kebaikan yang Engkau ketahui, serta berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang Engkau ketahui, dan aku memohon ampunan atas dosa yang Engkau ketahui.” (Sahih, HR. an-Nasa’i, lihat ash-Shahihah no. 3228)
Tentu sangat pantas bagi kita untuk senantiasa memanjatkan doa ini. Al-Hasan t mengatakan,
دَاوِ قَلْبَكَ؛ فَإِنَّ حَاجَةَ اللهِ إِلَى الْعِبَادِ صَلَاحُ قُلُوبِهِمْ
“Obatilah kalbumu. Sesungguhnya, kebutuhan Allah l kepada hamba-Nya itu dalam hal kebaikan kalbunya.” (Jami’ul Ulum wal Hikam)

Macam-Macam Jiwa
“Sesungguhnya, jiwa itu satu. Akan tetapi, jiwa tersebut memiliki beberapa sifat sehingga diberi nama ditinjau dari tiap-tiap sifatnya.” (ar-Ruh, Ibnul Qayyim t)
“Allah l telah menyifati jiwa dalam al-Qur’an dengan tiga sifat: al-muthma’innah, al-ammarah bis su’, dan al-lawwamah.” (Ighatsatul Lahafan)
Firman Allah l,
“Hai jiwa yang tenang (al-muthma’innah), kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga-Ku.” (al Fajr: 27—30)
Jiwa yang muthma’innah adalah yang tenteram menuju Rabbnya, tenteram dengan berzikir kepada-Nya, kembali kepada-Nya, rindu untuk berjumpa dengan-Nya, dan tenang ketika dekat dengan-Nya. Jiwa itulah yang dipanggil saat wafatnya,
“Hai jiwa yang tenang (al-muthma’innah). Kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” (al-Fajr: 27—28)
Ibnu Abbas c menafsirkannya, “Maksudnya, yang membenarkan.”
Qatadah t mengatakan, “Jiwanya tenteram dengan janji Allah l.”
Hakikat ketenteraman adalah ketenangan dan kemapanan. Dia tenang menuju Rabbnya dan taat kepada-Nya, mengikuti perintah-Nya, dan selalu mengingat-Nya. Ia tidak merasa tenteram kepada selain-Nya, namun tenteram dengan cinta kepada-Nya, ibadah kepada-Nya, serta mengingat-Nya. Ia tenteram dengan perintah-Nya, larangan-Nya, dan berita-Nya.
Ia tenteram dengan perjumpaan dengan-Nya dan janji-Nya. Ia pun tenteram dengan mengimani hakikat nama-nama dan sifat-Nya, tenteram dengan ridha kepada Allah l sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul. Ia tenteram dengan qadha dan qadar-Nya, tenteram dengan perlindungan dan jaminan-Nya. Jiwa tersebut tenteram dengan keyakinan-Nya bahwa Allah l adalah satu-satu-Nya Rabbnya, sesembahannya, tujuan ibadahnya, Penguasanya, yang mengurusi segala urusannya, dan ke sanalah tempat kembalinya, serta ia tidak dapat lepas darinya walau sekejap mata.
Adapun jiwa ammarah bis-su’, Allah l berfirman,
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yusuf: 53)
Ammarah bis-su’, yakni yang sering memerintahkan kepada yang jelek. Jadi, jiwa ini memiliki sifat yang berlawanan dengan jiwa yang muthma’innah. Jiwa ini memerintahkan pemiliknya sesuai dengan kemauan nafsunya. Nafsu yang melampaui batas, mengikuti yang batil. Ia menjadi tempat mangkal setiap kejelekan. Kalau pemiliknya tunduk kepadanya, ia akan memerintahnya kepada setiap yang jelek.
Adapun jiwa lawwamah, Allah l berfirman,
“Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali dirinya sendiri (al-lawwamah).” (al-Qiyamah: 2)
Sa’id bin Jubair t pernah bertanya kepada Ibnu Abbas c, “Apa maksudnya lawwamah?” Beliau menjawab, “Yaitu jiwa yang selalu mencela dirinya.”
Mujahid t mengatakan, “Yaitu jiwa yang menyesali apa yang telah berlalu dan mencela dirinya karena itu.”
Ibnu Abbas c mengatakan juga, “Setiap jiwa akan mencela dirinya pada hari kiamat. Jiwa yang baik mencela dirinya karena tidak memperbanyak berbuat baik. Adapun jiwa yang jelek mencela dirinya karena tidak kembali dari kejelekannya.”
Al-Hasan t mengatakan, “Sesungguhnya, seorang mukmin—demi Allah—engkau tidak melihatnya melainkan dia mencela dirinya dalam segala kondisi. Ia menganggapnya kurang dalam segala hal yang diperbuatnya sehingga ia menyesali dan mencela dirinya. Adapun orang yang jahat, dia akan terus berlalu tanpa mencela dirinya.” (Ighatsatul Lahafan)
Ibnul Qayyim t berkata, “Bisa jadi, sebuah jiwa terkadang menjadi jiwa yang ammarah, terkadang menjadi jiwa yang lawwamah, dan terkadang menjadi jiwa yang muthma’innah. Bahkan, dalam satu waktu dan satu saat, penilaian terhadap jiwa tersebut tergantung pada apa yang dominan menguasainya. Sifat muthma’innah adalah pujian dan ammarah bis-su’ adalah sifat tercela. Adapun lawwamah mengandung sifat pujian dan celaan, tergantung kepada jiwa itu, apa yang disesali dan dicelanya? (Ighatsatul Lahafan)

Keutamaan Jiwa yang Suci
Memiliki jiwa yang suci adalah karunia besar dari Allah l. Jiwa itulah yang pantas meraih surga-Nya. Allah l berfirman,
“Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya). (an-Nazi’at: 40—41)
“(Yaitu) surga ‘Adn yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Itu adalah balasan bagi orang yang bersih (dari kekafiran dan kemaksiatan).” (Thaha: 76)
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (asy-Syams: 9—10)
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Rabbnya, lalu dia beribadah.” (al-A’la: 14—15)
As-Sa’di t mengatakan, “Sungguh, telah menang dan beruntung seseorang yang menyucikan dan membersihkan jiwanya dari syirik, kezaliman, dan akhlak yang jelek.”
Kesucian yang ia upayakan keuntungannya tidak lain kembali kepada dirinya. Allah l berfirman,
“Barang siapa yang menyucikan dirinya, sesungguhnya ia menyucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Kepada Allah-lah kembali (mu).” (Fathir: 18)
Ibnu Katsir t mengatakan, “Maksudnya, barang siapa yang beramal saleh, manfaatnya akan kembali kepada dirinya.” (Tafsir Ibnu Katsir)
As-Sa’di t menafsirkan, “Barang siapa yang menyucikan dirinya dengan membersihkannya dari aib, seperti riya, sombong, dusta, curang, makar, menipu, kemunafikan, dan akhlak hina yang sejenisnya, lantas dia hiasi dirinya dengan akhlak yang indah seperti jujur, ikhlas, tawadhu’, lunak, suka menasihati sesama, bersihnya dada dari iri, dengki dan akhlak buruk selain keduanya, manfaat penyucian dirinya akan kembali kepadanya. Tujuannya akan sampai kepadanya. Amalannya tidak akan hilang sedikit pun.
Sementara itu, jiwa yang kotor pantasnya bertempat di neraka.
“Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (asy-Syams: 10)
As-Sa’di t mengatakan, “Maksudnya, mengotorinya dengan akhlak yang rendah, mendekatkannya kepada aib, melakukan dosa-dosa, meninggalkan sesuatu yang menyempurnakannya dan mengembangkannya, serta melakukan sesuatu yang membuatnya jelek dan kotor.” (Tafsir as-Sa’di)
Lihatlah bagaimana nasib pemilik jiwa yang tidak diberi kesucian oleh Allah l.
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu al-Kitab, dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah). Mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya kecuali api. Dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat, tidak akan menyucikan mereka, dan bagi mereka siksa yang amat pedih.” (al-Baqarah: 174)
Maksudnya, Allah l tidak menyucikan mereka dari akhlak yang rendah, dan mereka tidak memiliki amal saleh yang pantas untuk dipuji, diridhai, dan diberi balasan. Allah l tidak menyucikan mereka karena mereka melakukan hal-hal yang menyebabkan ketidaksucian. Di antara sebab kesucian yang terbesar adalah mengamalkan kitabullah, menelusuri bimbingannya, dan mengajak kepadanya. Akan tetapi, mereka justru menyingkirkan kitabullah, berpaling darinya, memilih kesesatan daripada petunjuk, dan memilih siksa daripada ampunan. Tidak ada yang pantas bagi mereka selain neraka. Bagaimana mereka akan bersabar di neraka dan bagaimana mereka akan sanggup menahan siksanya? (Tafsir as-Sa’di)