Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu pernah menyampaikan, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah telah melarang kalian memakan daging hewan kurban lebih dari tiga hari. Maka, janganlah kalian makan (lebih dari tiga hari).” (HR. al-Bukhari no. 5573 dan Muslim no. 1969)
Al-Qadhi rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini, melalui riwayat Sufyan, memiliki ‘illah (cacat) menurut ahli hadits dalam hal rafa’nya (sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Sebab, para hafizh, murid-murid Sufyan tidak menyebutkannya secara rafa’. Oleh karena itu, al-Bukhari rahimahullah tidak meriwayatkan hadits ini melalui jalan Sufyan akan tetapi meriwayatkannya dari jalan lain.
Ad-Daruquthni rahimahullah menjelaskan, ‘Riwayat ini termasuk wahm (kesalahan) Abdul Jabbar bin al-‘Ala’. Sebab, Ali al-Madini, Ahmad bin Hanbal, al-Qa’nabi, Abu Khaitsamah, Ishaq, dan yang lain meriwayatkan dari Sufyan bin Uyainah secara waqf (sampai kepada sahabat).
Hadits ini sahih secara rafa’ melalui az-Zuhri, namun bukan dari jalan Sufyan. Shalih, Yunus, Ma’mar, az-Zubaidi, dan Malik dari riwayat Juwairiyah, mereka semua meriwayatkan hadits ini dari az-Zuhri secara rafa.’ Ini adalah penjelasan ad-Daraquthni. Adapun matan hadits tetaplah sahih apa pun keadaannya. Wallahu a’lam.”
Hadits di atas dan hadits-hadits lain yang semakna menunjukkan tidak bolehnya menyimpan daging hewan kurban lebih dari tiga hari. Daging tersebut harus habis dikonsumsi dan dibagikan dalam waktu kurang dari tiga hari. Sejak dan hingga kapan hitungan tiga hari itu?
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah menerangkan, “Ada kemungkinan, tiga hari itu terhitung dari hari menyembelih kurban. Bisa jadi juga, tiga hari tersebut terhitung dari hari Nahr (10 Dzulhijjah), meskipun waktu penyembelihannya tertunda sampai hari-hari Tasyriq, dan kemungkinan makna inilah yang paling dhahir dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Hukum ini pernah berlaku selama beberapa waktu. Hingga suatu saat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa hukum tersebut tidak lagi berlaku. Yang kemudian berlaku adalah bolehnya mengonsumsi, menyimpan, atau membagikan daging hewan kurban lebih dari tiga hari sejak saat menyembelihnya di hari Nahr. Berikut ini kami akan menyebutkan hadits-hadits yang mansukhah (telah dihapuskan hukumnya) dan hadits-hadits nasikhah (yang menghapus hukum sebelumnya dan yang berlaku seterusnya).
“Makanlah daging hewan kurban kalian dalam tiga hari saja.”
Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma makan dengan menggunakan minyak zaitun sebagai lauk setelah beliau meninggalkan Mina. (HR. Bukhari no. 5574)
“Janganlah ada orang makan daging hewan kurbannya lebih dari tiga hari.” (HR. Muslim no. 1970)
1. Hadits Buraidah radhiallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dahulu, aku melarang kalian mengonsumsi daging hewan kurban lebih dari tiga hari. Maka, (sekarang) kalian boleh menyimpannya sesuai keinginan kalian.” (HR. Muslim 977)
2. Hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang untuk mengonsumsi daging hewan kurban lebih dari tiga hari. Setelah itu beliau bersabda, “Makanlah daging hewan kurban, jadikanlah bekal perjalanan dan simpanlah!” (HR. Muslim 1972)
3. Hadits Nubaisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, sungguhnya, aku dahulu melarang kalian untuk mengonsumsi daging hewan kurban lebih dari tiga hari supaya dapat mencukupi kalian. Kini, Allah subhanahu wa ta’ala telah memberikan kecukupan untuk kalian, maka makanlah, simpan, dan carilah pahala. Ketahuilah, sesungguhnya hari-hari ini (yakni hari–hari tasyriq) adalah hari makan, minum, dan zikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala.” (HR. Abu Dawud no. 2796, an-Nasa’i no. 4237, dan Ibnu Majah no. 3160.Dinyatakan sahih oleh al-Wadi’i dalam ash-Shahihul Musnad [2/222] dan al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah [2575])
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah sebelum menyebutkan hadits di atas, membuat bab dengan judul “Keterangan tentang Larangan Mengonsumsi Daging Hewan Kurban di Atas Tiga Hari, di Awal Islam, dan Keterangan tentang Dihapuskannya Hukum Tersebut, serta Diperbolehkannya (Mengonsumsi Daging Hewan Kurban) Sampai Batas Waktu yang Diinginkan.”
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Para ulama berselisih pandangan mengenai hukum yang ditunjukkan hadits-hadits ini.
Sebagian berpendapat, diharamkan untuk menyimpan dan makan daging hewan kurban lebih dari tiga hari. Hukum pengharaman ini masih tetap berlaku sebagaimana pendapat Ali dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma.
Sementara itu, mayoritas ulama menyatakan, diperbolehkan untuk makan dan menyimpan daging hewan kurban lebih dari tiga hari. Larangan yang ada telah dinasakh (dihapus) dengan hadits-hadits yang secara jelas menunjukkan nasakh, terutama hadits Buraidah radhiallahu ‘anhu. Ini termasuk contoh sunnah yang dinasakh dengan sunnah lainnya.
Sebagian ulama yang lain memandang, hal ini bukanlah nasakh. Akan tetapi pengharaman yang lalu dikarenakan adanya satu ‘illah (sebab). Pada saat ‘illah tersebut hilang maka berakhirlah pengharaman itu berdasarkan hadits Salamah dan ‘Aisyah radhiallahu ‘anhuma.
Ada pendapat lain, larangan pertama menunjukkan makruh bukan pengharaman. Mereka menjelaskan, hukum makruh masih berlaku hingga hari ini, namun tidak sampai pada tingkatan haram. Meskipun sebab seperti itu terjadi lagi hari ini, lantas berdatangan orang-orang lemah dari perdesaan dan manusia pun saling berbagi. Mereka memahami hal ini dari pendapat Ali dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma.”
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah menyimpulkan, “Yang benar adalah larangan tersebut telah dinasakh (dihapus) secara mutlak, sehingga tidak ada lagi yang tersisa hukum makruh ataupun haram. Maka, saat ini diperbolehkan untuk menyimpan daging kurban hingga lebih dari tiga hari dan diperbolehkan makan hingga kapan pun yang ia mau, berdasarkan isi hadits Buraidah yang jelas dan hadits lainnya. Wallahu a’lam.” (Syarah an-Nawawi untuk hadits no. 1969)
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah mengatakan (Nailul Authar 3/496), setelah menukil perbedaan pendapat di atas, “Sungguh, setelah masanya ulama berbeda pendapat, para ulama telah berijma’ tentang diperbolehkannya makan dan menyimpan daging hewan kurban lebih dari tiga hari. Aku juga tidak mengetahui ada seorang ulama setelah mereka, yang tidak berpendapat seperti pendapat mereka.”
Nasakh adalah dihapuskannya sebuah hukum dari dalil terdahulu (dalil yang mansukh) dan digantikan dengan hukum lain dari dalil yang terakhir (dalil yang nasikh).
Umat Islam memiliki kesepakatan tentang boleh dan terjadinya nasakh.Tidak hanya satu ulama yang menukil kesepakatan tersebut. Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Kaum muslimin seluruhnya bersepakat tentang adanya nasakh di dalam ahkam (hukum-hukum) Allah subhanahu wa ta’ala.” (Tafsir Ibnu Katsir [1/226])
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab.” (ar-Ra’d: 39)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
“Apa saja ayat yang kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa terhadapnya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau sebanding dengannya.” (al-Baqarah: 106)
Ayat di atas menunjukkan bahwa hukum yang terkandung di dalam dalil penasakh pasti lebih baik. Baik itu lebih ringan, lebih berat, maupun seimbang.Perintah dan larangan Allah subhanahu wa ta’ala pastinya mengandung hikmah dan maslahat.Apabila hikmah dan maslahat telah berakhir dari dalil yang pertama kemudian hikmah dan maslahat tersebut berpindah ke yang lain, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk meninggalkan dalil pertama (yang telah berakhir maslahatnya) kepada dalil baru, yang mengandung maslahat untuk saat itu.
Dalil mansukh, saat masih berlaku, tentu mengandung maslahat dan hikmah.Dalil nasikh adalah dalil yang membawa maslahat dan hikmah setelah terjadinya nasakh. (Rihlatul Hajj hlm. 61)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menerangkan tentang hikmah nasakh (al-Ushul min ‘Ilmil Ushul). Di antaranya,
Ada yang menganggap, adanya nasakh apakah tidak menunjukkan sifat al-Bada’ bagi Allah subhanahu wa ta’ala?
Al-Bada’ adalah sesuatu yang muncul kemudian tanpa ada ilmu sebelumnya.Al-Imam asy-Syinqiti rahimahullah menjelaskan, “Ketahuilah bahwa keberadaan nasakh tidak mengharuskan adanya al-Bada’ yaitu ar-ra’yu al-mutajaddid (pendapat yang baru muncul). Sebab, saat Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan syariat yang pertama, Allah Maha Mengetahui bahwa Dia akan menasakhnya pada saat maslahat di dalamnya telah berakhir dan maslahat telah berpindah ke dalil penasakh. Sesuai dengan ilmu-Nya yang telah lalu bahwa Dia akan melakukannya. Sebagaimana halnya sakit setelah sehat atau sebaliknya.Kematian setelah kehidupan atau sebaliknya. Kefakiran setelah kaya atau sebaliknya, dan semisalnya.
Hal-hal ini bukanlah bentuk bada’, karena ilmu Allah subhanahu wa ta’ala telah lalu sebelumnya, Dia akan melakukannya pada waktunya sebagaimana zahirnya.” (al-Mudzakirah hlm. 122)
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma bercerita,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan Madinah pada tahun al-Fath di bulan Ramadhan. Beliau tetap berpuasa sampai tiba di daerah al-Kadid, kemudian beliau berbuka.” Ia berkata, yaitu az-Zuhri, “Dan para sahabat selalu mengikuti hukum yang terbaru dan hukum yang setelahnya.” (HR. Muslim no. 1113)
Bentuk Nasakh Dalam Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Al-Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Abul ‘Ala’ bin asy-Syikhir, ia berkata,“Sesungguhnya Rasulullah, sebagian haditsnya menasakh hadits yang lain, sebagaimana ayat al-Qur’an menasakh ayat yang lain.”
An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Abul ‘Ala’ namanya Yazid bin Abdillah bin as-Syikhir (dengan mengkasrah Syin), beliau seorang tabi’in. Maksud al-Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan ucapan Abul ‘Ala’ adalah untuk menjelaskan bahwa hadits ‘Diwajibkan mandi karena keluar mani (sehingga seandainya tidak mengeluarkan mani pun tetap wajib mandi),’ telah mansukh. Pernyataan Abul ‘Ala, ‘Sunnah menasakh sunnah’ adalah benar.
Para ulama menerangkan, sunnah menasakh sunnah terjadi dengan empat bentuk,
Adapun tiga bentuk pertama bisa saja terjadi, tanpa adanya khilaf. Adapun bentuk keempat, menurut jumhur, tidak bisa terjadi. Sementara itu, sebagian ulama Zhahiriyah menyatakan bisa terjadi.
Nasakh dapat diketahui dengan beberapa cara. Antara lain,
Contohnya adalah hadits Buraidah radhiallahu ‘anhu dalam pembahasan kita kali ini, “Dahulu aku melarang kalian berziarah kubur, maka sekarang ziarah kuburlah! Dahulu, aku melarang kalian mengonsumsi daging hewan kurban lebih dari tiga hari. Maka, (sekarang) kalian boleh menyimpannya sesuai keinginan kalian.” (HR. Muslim no. 977)
Misalnya, ucapan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Dahulu, harta warisan diberikan kepada anak, sedangkan wasiat diberikan kepada orang tua. Lalu, Allah subhanahu wa ta’ala menasakh hal tersebut sesuai yang Dia senangi. Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan (harta warisan) untuk anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan, untuk kedua orang tua masing-masing seperenam, untuk istri seperdelapan atau seperempat, dan untuk suami setengahnya atau seperempat.” (HR. al-Bukhari)
Adapun contohnya sangat banyak.
Asy-Syaikh al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan. “Sebab, seluruh perkara ada di tangan Allah subhanahu wa ta’ala dan semua hukum hanyalah milik Allah subhanahu wa ta’ala. Karena, Dia adalah Rabb al-Malik. Allah subhanahu wa ta’ala berhak menetapkan syariat untuk hamba-hamba-Nya sesuai dengan hikmah dan rahmat-Nya.”(al-Ushul)
Asy-Syaikh al-Utsaimin menerangkan, “Kemudian, hikmah dan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala kepada hamba menjadikan-Nya menetapkan syariat untuk hamba, berdasarkan ilmu-Nya, hukum-hukum yang memberikan kemaslahatan secara dunia atau agama. Kemaslahatan itu sangat terkait dengan kondisi dan waktu. Bisa jadi, suatu hukum lebih memberikan maslahat dalam rentang waktu tertentu atau dalam kondisi tertentu. Sementara itu, di waktu dan kondisi yang lain, selain hukum tersebut lebih mendatangkan maslahat. Dan Allah, Mahaalim dan Mahahakim.” (al-Ushul)
Wallahul muwaffiq ila aqwamis sabil.