Sekali lagi Allah subhanahu wa ta’ala menyempurnakan nikmat-Nya kepada Ibrahim ‘alaihissalam dan merahmati pula istrinya Sarah yang telah berusia lanjut dan mandul dengan berita gembira akan lahirnya seorang putra dari rahimnya, yaitu Ishaq ‘alaihissalam.
Sebagaimana dengan nabi-nabi terdahulu, ketika Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Nabi Luth ‘alaihissalam kepada kaumnya, mereka juga mendurhakainya. Allah subhanahu wa ta’ala pun kemudian memutuskan untuk menyiksa mereka. Nabi Luth ‘alaihissalam sendiri boleh disebut sebagai murid Nabi Ibrahim ‘alaihissalam sehingga hak Nabi Ibrahim ‘alaihissalam terhadapnya sangat besar.
Datanglah para malaikat yang diutus untuk menghancurkan kaum Nabi Luth ‘alaihissalam kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dalam wujud manusia. Ketika mereka menemuinya dan mengucapkan salam, beliau menjawab salam itu dan segera menjamu mereka. Allah subhanahu wa ta’ala memberi rezeki yang luas dan kedermawanan kepada beliau di mana rumah beliau merupakan persinggahan para tamu.
Diam-diam beliau segera menemui istrinya kemudian menjumpai tamunya sambil membawa daging anak sapi gemuk yang telah matang dan menyuguhkannya kepada mereka. Beliau berkata,
“Silakan kalian makan.” (adz-Dzariyat: 27)
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka, dan merasa takut.” (Hud: 70)
Yakni, karena menyangka jangan-jangan mereka pencuri.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Malaikat itu berkata, ‘Jangan takut. Sesungguhnya kami adalah (malaikat-malaikat) yang diutus kepada kaum Luth’.” (Hud: 70)
Pada waktu itu, Sarah-lah yang melayani mereka. Para malaikat itu memberi kabar gembira kepada Nabi Ibrahim dengan seorang anak yang alim (Ishaq).
Mendengar berita ini, Sarah terpekik dan menepuk mukanya sendiri sambil tercengang, bingung bercampur rasa bahagia. Dia berkata,
“Apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua?” (Hud: 72)
‘Sebelumnya aku adalah seorang wanita yang mandul’. Allah subhanahu wa ta’ala mengisahkan hal ini dalam firman-Nya,
“Dan ini, suamiku pun dalam keadaan sudah tua pula? Sesungguhnya ini benar-benar sesuatu yang sangat aneh. Para malaikat itu berkata, ‘Apakah kamu merasa heran tentang keputusan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan berkah-Nya dicurahkan atas kalian, wahai ahlul bait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Mahamulia.’” (Hud: 72—73)
Malaikat itu memberi kabar gembira kepada keduanya dengan kelahiran Ishaq yang nantinya akan mempunyai anak bernama Ya’qub. Nabi Ibrahim dan istrinya akan berjumpa dengan cucunya itu. Oleh karena itulah, Nabi Ibrahim memuji Allah subhanahu wa ta’ala atas kesempurnaan nikmat yang diberikan-Nya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tuaku, Isma’il dan Ishaq. Sesungguhnya Rabbku, benar-benar Maha Mendengar doa.” (Ibrahim: 39)
Pelajaran dari Kisah al-Khalil ‘alaihissalam
Perlu diketahui, semua yang dikisahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada kita melalui sejarah Nabi Ibrahim al-Khalil ‘alaihissalam, maka kita dapatkan suatu perintah khusus, firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim.” (al-Hajj: 78)
Yakni, tetaplah kamu mengikuti agama itu.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ‘Ikutilah agama Ibrahim yang lurus’.” (an-Nahl: 123)
“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia….” (al-Mumtahanah: 4)
Perintah khusus itu adalah agar mengikuti apa yang diyakini oleh beliau dalam masalah tauhid, pokok-pokok keyakinan (keimanan), akhlak, dan semua berita yang sampai kepada kita tentang beliau. Ketaatan kita dalam mengikuti beliau merupakan bagian dari agama kita. Karena perintah ini merupakan perintah yang umum sifatnya untuk mengikuti semua hal ihwal beliau. Namun Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan pula satu hal yang dikecualikan dalam perintah tersebut, yaitu firman-Nya,
Kecuali ucapan Ibrahim terhadap ayahnya, “Sungguh saya akan memintakan ampun untukmu….” (al-Mumtahanah: 4)
Maksudnya, untuk yang satu ini, janganlah kita menirunya, yaitu memohon ampunan untuk orang-orang musyrik. Permohonan ampunan dari Nabi Ibrahim ‘alaihissalam untuk ayahnya ini sesungguhnya merupakan janji yang beliau ucapkan kepadanya. Ketika telah jelas baginya bahwa ayahnya ternyata adalah musuh Allah subhanahu wa ta’ala, beliau pun berlepas diri darinya.
Kemuliaan yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada beliau, Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan nubuwwah dan Kitab ini berada di tangan anak-anak cucunya. Allah subhanahu wa ta’ala mengeluarkan dari tulang sulbi (keturunan langsung) beliau dua golongan umat atau bangsa yang paling utama, yaitu bangsa Arab dan bani Israil. Allah subhanahu wa ta’ala memilihnya untuk membangun rumah-Nya yang merupakan rumah ibadah yang paling mulia dan paling awal diletakkan bagi manusia. Dia berikan karunia anak-anak kepadanya di saat usianya sudah lanjut. Allah subhanahu wa ta’ala penuhi dunia ini, timur dan baratnya dengan sebutan atau namanya, bahkan hati setiap manusia pun mencintai dan memujinya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang ada) di langit dan bumi agar dia termasuk orang-orang yang yakin.” (al-An’am: 75)
“Dan itulah hujah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (al-An’am: 83)
“… Wahai Rabbku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.”
Allah berfirman, “Belum yakinkah engkau?”
Ibrahim menjawab, “Aku telah meyakininya, tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku).”
Allah berfirman, “Ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya. Kemudian letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (al-Baqarah: 260)
Sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala katakan tentang orang yang hijrah kemudian mati sebelum tiba di tempat tujuannya. Seperti yang diterangkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam kisah penyembelihan, di mana Allah subhanahu wa ta’ala menyempurnakan pahala bagi Nabi Ibrahim dan Isma’il ‘alaihimassalam ketika keduanya telah menyerah tunduk kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan siap melaksanakan perintah-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala mengangkat kesulitan yang mereka alami dan Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada keduanya pahala dunia dan akhirat.
Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan hal ini dalam firman-Nya,
“Segala puji hanya bagi Allah yang telah menganugerahkan aku di hari tuaku Isma’il dan Ishaq. Sesungguhnya Rabbku benar-benar Maha Mendengar doa.
Wahai Rabb kami, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, wahai Rabb kami, perkenankanlah doaku.
Wahai Rabb kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).” (Ibrahim: 39—41)
Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan pula pujian secara umum bagi mereka yang berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk kebaikan anak cucunya,
“… sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya mencapai 40 tahun, ia berdoa, ‘Wahai Rabbku, tunjukilah aku agar mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku, dan supaya aku dapat beramal saleh yang Engkau ridhai. Dan berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri’.” (al-Ahqaf: 15)
Karena apabila seorang hamba Allah subhanahu wa ta’ala meninggal dunia, terputuslah amalannya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang saleh yang mendoakan kebaikan untuknya.
Adanya anjuran untuk menjadikan mereka sebagai panutan dalam setiap keadaan agama mereka. Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Dan jadikanlah sebagian maqam (tempat berdiri) Ibrahim sebagai tempat shalat.” (al-Baqarah: 125)
“… Dan bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, i’tikaf, ruku’, dan sujud.” (al-Baqarah: 125)
“(Bertasbih kepada-Nya) di dalam rumah-rumah (masjid-masjid) yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya.” (an-Nur: 36)
Doa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam untuk penduduk Baitul Haram dengan dua hal tersebut dan alasan beliau memohonkan urusan dunia ini, adalah agar menjadi wasilah untuk bersyukur. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menyebutkan hal ini,
“Dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan mudah-mudahan mereka bersyukur.” (Ibrahim: 37)
Di sini beliau melayani sendiri tamu-tamunya dengan segera menyambut mereka sebelum melakukan sesuatu. Kemudian beliau menemui mereka dengan harta terbaik berupa daging sapi gemuk yang beliau tawarkan kepada mereka tanpa perlu meninggalkan mereka mencarinya ke tempat lain. Lalu mengundang mereka makan dengan kalimat yang sangat lembut,
“Silakan kalian makan.” (adz-Dzariyat: 27)
“Sesungguhnya kalian adalah orang-orang yang tidak dikenal.” (al-Hijr: 62)
Yakni, saya tidak mengenali kalian, dan saya suka kalau kalian memperkenalkan diri kalian kepada saya. Ucapan ini lebih lembut dari pada ucapan, “Saya mengingkari kalian”, atau semacamnya.
Kisah seperti ini juga dialami Maryam yang memperoleh ‘Isa ‘alaihissalam, juga Yahya ‘alaihissalam bagi Nabi Zakariya ‘alaihissalam dan istrinya. Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan tanda adanya berita gembira ini bagi Nabi Zakariya ‘alaihissalam, yaitu dengan beliau tidak berbicara dengan manusia selama tiga hari padahal beliau sehat, kecuali dengan isyarat. Keadaan ini dan yang sejenis adalah ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah subhanahu wa ta’ala. Lebih ajaib daripada ini adalah diciptakannya Adam ‘alaihissalam dari tanah. Mahasuci Allah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Pada hari yang tidak bermanfaat harta dan anak-anak, kecuali yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat.” (asy-Syu’ara: 88—89)
Yaitu, hati yang selamat dari kejahatan dan semua sebabnya. Hati yang penuh dengan kebaikan dan kemuliaan, bersih dari syubhat yang merusak ilmu dan keyakinan, bersih dari syahwat yang menghalangi seseorang mendapatkan kesempurnaan, bersih dari kesombongan dan riya’ (pamer), perpecahan, kemunafikan, dan akhlak yang buruk, juga bersih dari khianat dan dendam. Penuh dengan tauhid dan iman serta tawadhu’ terhadap kebenaran dan rendah hati terhadap sesama manusia. Juga hati yang penuh dengan ketulusan bagi kaum muslimin, rasa suka beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan memberi manfaat bagi sesama hamba Allah subhanahu wa ta’ala.
“Kesejahteraan dilimpahkan atas Nuh di seluruh alam.” (ash-Shaffat: 79)
Kesejahteraan dilimpahkan kepada Ibrahim.” (ash-Shaffat: 109)
Disusul dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (ash-Shaffat: 80)
Di sini Allah Yang Maha Pencipta menjanjikan bahwa setiap orang yang berbuat ihsan (baik) dalam ibadahnya serta berbuat baik pula terhadap sesama hamba Allah subhanahu wa ta’ala, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan memberi pujian yang baik dan doa dari seluruh alam sesuai dengan perbuatan ihsannya. Ini adalah pahala yang disegerakan dan juga yang ditangguhkan. Semua ini adalah berita gembira bagi seseorang dalam kehidupan di dunia dan akhirat, dan merupakan tanda-tanda kebahagiaan.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Muhammad Harits