Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, “Ini halal dan ini haram,” untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (an-Nahl :116)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala melarang untuk mengikuti jejak orang musyrikin yang menghalakan dan mengharamkan sekedar dengan apa yang mereka sifati dan mereka istilahkan hanya berdasarkan rasio mereka. Termasuk dalam ayat ini, setiap orang yang membuat kebid’ahan yang tidak ada sandaran syar’i atau menghalalkan sesuatu yang Allah haramkan dan mengharamkan sesuatu yang Allah subhanahu wa ta’ala halalkan sekedar dengan pendapat akal dan hawa nafsunya.”[1]
Al-Imam Malik rahimahullah berkata, “Dulu ketika –para ulama- berfatwa kepada orang-orang, mereka tidak berkata, ‘Ini halal,’ ‘Ini haram.’ Akan tetapi, mereka berkata, ‘Jauhkan diri kalian dari ini dan itu,’ atau ‘(Adapun) saya tidak akan melakukan ini’.”
Al-Qurthubi mengatakan bahwa makna ucapan beliau rahimahullah adalah ‘sesungguhnya penghalalan dan pengharaman ini hanyalah hak Allah. Tidak boleh seorangpun mengatakan atau menegaskan hukum ini (halal/ haram) pada sesuatu tertentu kecuali jika Allah subhanahu wa ta’ala kabarkan tentang hukum tersebut pada perkara tersebut. Adapun sesuatu yang hanya berasal dari ijtihadnya bahwa itu perkara haram, maka beliau katakan, ‘Saya tidak menyukai hal itu’.’ Demikian yang dilakukan al-Imam Malik dalam rangka meneladani pendahulu beliau dari ahli fatwa.’[2]
Ibnul Qayyim berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala tujukan kepada mereka ancaman atas dasar kedustaan mereka terhadap Allah subhanahu wa ta’ala pada hukum-hukum-Nya dan atas dasar ucapan mereka pada sesuatu yang tidak Allah subhanahu wa ta’ala haramkan, ‘Ini adalah haram,’ dan pada sesuatu yang tidak Allah subhanahu wa ta’ala halalkan, ‘Ini adalah halal’.”
Jadi, ini adalah keterangan dari Allah subhanahu wa ta’ala bahwa tidak boleh bagi seorang hamba untuk berkata, “Ini halal,” “Ini haram,” kecuali dengan sesuatu yang dia ketahui bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menghalalkan atau mengharamkannya.
Sebagian (ulama salaf) berkata, “Hendaknya seseorang berhati-hati untuk berkata, ‘Allah subhanahu wa ta’ala menghalalkan ini dan mengharamkan itu.’ Akibatnya, Allah subhanahu wa ta’ala akan berkata kepadanya, ‘Kamu berdusta, Aku tidak mengharamkan ini, Aku tidak mengharamkan itu.’ Tidak sepantasnya seseorang mengatakan suatu hal yang tidak dia ketahui adanya wahyu yang menjelaskan halal atau haram; bahwa Allah menghalalkan atau mengharamkannya sekedar karena taqlid atau taqwil (penyelewengan makna).
Dalam hadits sahih[3], sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang pimpinan perangnya yang bernama Buraidah untuk menghukumi musuhnya dengan suatu hukum (atas nama) hukum Allah subhanahu wa ta’ala tatkala ia mengepung mereka seraya berkata, ‘… karena sesungguhnya kamu tidak tahu apakah kami menepati hukum Allah subhanahu wa ta’ala atau tidak pada perkara itu. Akan tetapi, putuskanlah kepada mereka (atas nama) hukummu dan hukum pasukanmu.’
Perhatikanlah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membedakan antara hukum Allah subhanahu wa ta’ala (yang sudah jelas, -pent.) dan hukum seorang pimpinan yang sedang berijtihad. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk menyebut hukum para mujtahidin dengan sebutan ‘hukum Allah’..”
Dari Ibnu Wahb, al-Imam Malik berkata, “Saya tidak mendapati ada seorang pun di kalangan manusia, (bahkan) tidak pula para pendahulu kita yang dijadikan panutan, menghukumi suatu perkara[4] dengan berkata, ‘Ini adalah halal, ini adalah haram.’ Mereka tidak berani mengatakan demikian. Akan tetapi, mereka berkata, ‘Kita benci ini; kita memandang ini baik,’ ‘Kita menghindari ini,’ dan ‘Kita memandang ini tidak boleh.’
Athiq bin Ya’qub rahimahullah meriwayatkan hal itu dari al-Imam Malik, bahkan menambahkan lanjutannya, ‘…dan mereka tidak berkata, ‘Halal,’ ‘Haram.’ Tidakkah engkau mendengar firman Allah subhanahu wa ta’ala,
Katakanlah, “Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.” Katakanlah, “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (Yunus: 59)
Halal adalah yang dihalalkan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, sedangkan haram adalah yang diharamkan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.”[5]
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Katakanlah, “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak atau pun yang tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (al-A’raf: 33)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ini mencakup berbicara atas nama Allah k tanpa ilmu dalam hal asma (namanama), sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya. Demikian pula dalam hal agama dan syariat-Nya.”[6]
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“(Ingatlah) pada waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. (an-Nur: 15)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلَا إِنَّ مَا حَرَّمَ رَسُولُ اللهِ مِثْلَ ما حَرَّمَ اللهُ
“Sesungguhnya apa yang Rasulullah haramkan itu seperti yang Allah haramkan…”[7]
Demikian beratnya penentuan hukum halal dan haram sehingga kita tahu betapa jauhnya kesesatan orang yang berani menghukumi ini dan itu halal atau haram tanpa ilmu. Di antara mereka adalah orang JIL yang menghalalkan nikah dan waris beda agama; menganggap khamr merk Vodka bisa jadi halal di Rusia, mengubah sebagian aturan ibadah haji, merombak hukum pernikahan sebagaimana yang mereka tuliskan dalam buku “Pembaharuan Hukum Islam: Counter Leal Draft (CLD) KHI”, dan sekian banyak kelancangan mereka.
Mereka yang mengharamkan apa yang Allah subhanahu wa ta’ala halalkan dan sebaliknya dalam keadaaan tahu bahwa hal itu menyelisihi hukum Allah subhanahu wa ta’ala, berarti ia telah menempatkan dirinya sebagai Rabb yang memiliki hak pembuatan syariat.
Adapun orang yang menaati dan meyakini seperti keyakinan mereka setelah tahu hukum Allah subhanahu wa ta’ala, berarti telah menjadikan mereka sebagai Rabb selain Allah subhanahu wa ta’ala. Kesyirikan manalagi setelah ini?
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Rabb Yang Maha Esa; tidak ada Rabb (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (at-Taubah: 31)
Dari ‘Adi bin Hatim, ia berkata,
“Aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan di leherku terdapat salib dari emas. Kemudian aku mendengar beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat (yang artinya), ‘…Mereka menjadikan pendeta dan ahli ibadah mereka sebagai tuhan mereka selain Allah.’
Lalu aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, mereka (orang Nasrani) tidak beribadah kepada para pendeta.’
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ya, justru (lantaran) para pendeta itu menghalalkan untuk mereka apa yang Allah haramkan, lalu mereka ikut menghalalkannya. Kemudian para pendeta itu mengharamkan untuk mereka apa yang Allah subhanahu wa ta’ala halalkan dan mereka ikut mengharamkannya. Itulah ibadah mereka kepada para pendeta’.”[8]
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “… Orang-orang yang mengetahui bahwa yang diikuti mereka telah mengganti agama Allah lalu mengikuti penggantian ajaran itu oleh mereka sehingga meyakini halalnya apa yang Allah haramkan dan sebaliknya karena mengikuti tokoh mereka. Padahal mereka mengetahui bahwa tokoh itu menyelisihi agama para rasul. Hal ini merupakan kekafiran. Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya telah menganggap hal ini sebagai kesyirikan walaupun mereka tidak shalat dan sujud kepada tokoh tersebut. Barang siapa yang mengikuti selainnya dalam urusan yang menyelisihi agama padahal ia tahu bahwa itu menyelisihi agama, lalu ia meyakininya (bukan lagi yang dikatakan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya), maka dia musyrik seperti mereka (yang ada dalam ayat ini, -pent.).”[9]
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Barang siapa yang menaati ulama dan umara (penguasa) dalam hal mengharamkan apa yang Allah subhanahu wa ta’ala halalkan dan menghalalkan apa yang Allah subhanahu wa ta’ala haramkan, ia telah menjadikan mereka sebagai rabb selain Allah subhanahu wa ta’ala.”[10]
Ibnu Taimiyah berkata, “Barang siapa yang mengetahui bahwa ia telah menyelisihi apa yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas tetap mengikutinya karena kesalahannya dan berpaling dari ucapannya, ia mendapat bagian dari nafsunya dan membelanya dengan tangan dan lisannya, padahal ia tahu bahwa ia menyelisihi Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah syirik. Pelakunya berhak mendapatkan hukuman atasnya.”[11]
Ditulis oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi
[1] Tafsir al-Qur’anil Azhim, 2/611
[2] Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 10/196
[3] Sahih, HR. Muslim
[4] Yakni, pada perkara ijtihadiyah sebagaimana Ibnu Qayyim terangkan di atas, wallahu a’lam.
[5] I’lamu al-Muwaqi’in, 1/70-71
[6] I’lamu al-Muwaqi’in, 1/70
[7] Sahih, HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Al-Hakim; dinyatakan sahih. Ahmad dengan sanad sahih dari Miqdam bin Ma’dikarib. Demikian kata asy-Syaikh al-Albani. Lihat al-Haditsu Hujjatun bin Nafsihi hlm. 28.
[8] Hasan, HR. at-Tirmidzi dan al-Baihaqi. Dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam kitab Ghayatul Maram, 6.
[9] Fathul Majid, 127-128, tahqiq al-Furayyan
[10] Kitab at-Tauhid
[11] Fathul Majid hlm. 128, tahqiq al-Furayyan