Sepasang suami istri harus bergaul dengan pasangannya dengan makruf dalam bentuk pertemanan yang indah, pemenuhan hak, dan tidak saling menzalimi.
Demikian pembuka nasihat yang disampaikan oleh Syaikh al-Allamah Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah. Beliau adalah seorang alim rabbani yang hidup dalam rentang tahun 1307—1376 H. Beliau adalah guru besar dari Syaikh al-Faqih Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin rahimahullah.
Baca juga: Syaikh Ibnu Utsaimin Pelita di Tengah Umat
Selanjutnya, beliau merangkai mutiara nasihatnya sebagai berikut.
Istri berkewajiban untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada suaminya. Dia tidak boleh enggan memberikan semua ‘kesenangan’ bagi suaminya. Istri juga harus memberikan pelayanan kepada suaminya dengan makruf, menaati suaminya untuk tidak melakukan hal-hal yang mustahab/sunnah, seperti puasa sunnah, safar haji, haji yang tidak wajib[1], dan tidak keluar dari rumah suami kecuali dengan izinnya.
Ia juga tidak boleh memasukkan seorang pun ke rumah suami kecuali dengan ridha suami[2]. Dia menjaga dirinya untuk suaminya, menjaga anak dan harta suami. Adapun dalam hal yang wajib, seorang istri tentu lebih harus menaati suaminya.
Di sisi lain, suami wajib memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal yang makruf untuk istrinya[3], bergaul dengan baik, tidur di rumahnya, dan jimak jika istri membutuhkannya sesuai dengan kemampuan suami. Selain itu, suami berkewajiban mendidik istrinya, mengajarinya urusan agama dan segala yang dibutuhkan dalam urusan ibadahnya.
Baca juga: Suami Ideal, Antara Kenyataan & Harapan
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارًا
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka.” (at-Tahrim: 6)
Kata ahli tafsir, makna ayat di atas adalah ajari dan didiklah keluarga kalian. Seorang suami tidak diperbolehkan memaki, mencela, dan menjelekkan istrinya. Suami juga tidak boleh memboikotnya tanpa sebab. Jika istrinya berbuat nusyuz/durhaka, hendaknya dinasihati. Apabila istri tetap durhaka dan tidak berubah setelah dinasihati, suami boleh memboikotnya di tempat tidur dengan tindakan yang suami inginkan. Jika istri tidak juga berubah, suami boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak membuat cacat[4].
Apabila sebab nusyuz istri adalah karena suami tidak memenuhi haknya, suami harus menunaikan kewajibannya tersebut, kemudian istri pun harus memenuhi kewajibannya terhadap suami.
Baca juga: Hak Suami dalam Islam
Apabila memiliki lebih dari satu istri, suami wajib berlaku adil di antara mereka dalam hal pembagian giliran, nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan bepergian/safar[5]. Suami tidak boleh membawa bepergian salah satu istrinya tanpa menyertakan yang lain, kecuali dengan izin istri-istri yang lain atau dengan mengundi di antara mereka.[6]
Selain itu, suami berhak melakukan istimta’ dengan istrinya dalam batasan yang diperkenankan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam, tanpa membahayakan agama dan tubuh istri. Suami pun punya hak untuk safar tanpa izin istrinya.
Termasuk keadilan saat berpoligami adalah apabila suami menikahi istri yang baru, hendaknya dia berdiam atau mendampinginya pada awal pernikahannya hingga hilang rasa asing/canggung (menjadi terbiasa) dengan suaminya.
Baca juga: Bersikaplah Adil, Wahai Suami!
Penetap syariat menentukan waktu berdiam tersebut tujuh hari apabila istri yang dinikahi masih gadis dan tiga hari untuk yang sudah janda[7]. Jika istri yang janda itu ingin ditemani selama tujuh hari, boleh dia lakukan, tetapi jatah giliran istri yang lain diganti waktunya menjadi tujuh hari-tujuh hari[8]. (al-Irsyad ila Ma’rifah al-Ahkam, hlm. 217)
Syaikh al-Faqih Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin rahimahullah melengkapi nasihat terkait dengan hak-hak suami istri sebagai berikut.
Hak-hak yang wajib ditunaikan oleh suami terhadap istrinya, demikian pula sebaliknya, tidak ada ketentuan khusus dalam syariat. Semuanya dikembalikan kepada ‘urf/kebiasaan[9], berdasar firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
“Bergaullah kalian (wahai para suami) dengan mereka (para istri) dengan makruf.” (an-Nisa: 19)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِي عَلَيۡهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
“Dan hak mereka (para istri) sebanding dengan kewajiban mereka dengan makruf.” (al-Baqarah: 228)
Baca juga: Tanya Jawab Ringkas – Seputar Pernikahan
Apa yang lazim dianggap sebagai hak suami istri di masyarakat, itulah yang wajib. Apa yang tidak dianggap biasa, berarti tidak wajib. Akan tetapi, apabila ‘urf menyelisihi ‘urf syariat (kebaikan menurut syariat), yang diambil adalah apa ada dalam syariat. Seandainya kebiasaan masyarakat adalah seorang suami tidak memerintah istrinya untuk mengerjakan shalat dan berakhlak yang baik, ini adalah kebiasaan yang batil.
Apabila ‘urf tersebut tidak bertentangan dengan kebiasaan manusia, tidak pula dengan syariat, sungguh Allah subhanahu wa ta’ala mengembalikannya kepada ‘urf tersebut dalam ayat-ayat yang telah berlalu.
Baca juga: Antara Tradisi dan Akhlak Islami
Kepala keluarga wajib bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala terkait dengan orang-orang yang diamanatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada mereka. Hendaknya mereka tidak menyia-nyiakan orang-orang yang menjadi tanggung jawab mereka tersebut.
Terkadang, kita dapati ayah yang menelantarkan anak-anak mereka, baik anak laki-laki maupun perempuan. Para ayah ini tidak pernah menanyakan keberadaan anaknya yang tidak ada di rumah atau tidak ada di hadapannya. Dia tidak pernah duduk-duduk bersama anak-anak. Terkadang, berlalu waktu satu atau dua bulan dalam keadaan si ayah tidak pernah berkumpul dengan anak atau istrinya. Tentu saja, ini merupakan kesalahan yang besar.
Kami nasihatkan kepada saudara-saudara kami untuk bersemangat menjalin kebersamaan dan merangkai keutuhan rumah tangganya. Hendaknya satu keluarga menyempatkan berkumpul makan siang dan makan malam bersama-sama. Hanya saja, dalam acara makan bersama tersebut, seorang perempuan tidak boleh berkumpul dengan lelaki ajnabi. Bercampur antara dua jenis yang bukan mahram ini, antara perempuan dan lelaki ajnabi dalam acara makan bersama, sungguh telah menjadi adat kebiasaan yang mungkar yang menyelisihi syariat di kalangan manusia. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberi hidayah kepada semuanya. (Durus wa Fatawa al-Haram al-Makki, 2/116)
Baca juga: Bila Suami Membiarkan Istrinya Bermaksiat
Di akhir tulisan ini kami lengkapi dengan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah tentang hak suami istri. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam rahimahullah menukilnya dalam kitab beliau Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram (5/344—345) sebagai berikut.
[1] Haji yang wajib hanya sekali seumur hidup. Apabila seseorang yang telah berhaji kembali menunaikan haji, hukumnya mustahab.
[2] Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
وَلاَ تَأْذَنْ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Dan istri tidak boleh mengizinkan seorang pun masuk ke rumah suami kecuali dengan izinnya.” (HR. al-Bukhari)
[3] Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang hak istri terhadap suaminya. Beliau menjawab,
تُطْعِمُهَا إِذَا أَكَلْتَ، وَتَكْسُوْهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ
“Engkau beri makan istrimu jika engkau makan. Engkau beri pakaian kepadanya jika engkau berpakaian. Jangan engkau tampar wajahnya, jangan engkau jelekkan (caci maki), dan jangan engkau boikot kecuali di dalam rumah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan an-Nasai)
[4] Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ
“Dan istri-istri yang kalian khawatirkan nusyuz mereka maka nasihatilah mereka, boikotlah mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka.” (an-Nisa: 34)
Baca juga: Satu Permisalan Bergaul yang Makruf
[5] Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda tentang suami yang tidak berlaku adil di antara istri-istrinya,
تُطْعِمُهَا إِذَا أَكَلْتَ، وَتَكْسُوْهَامَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا دُوْنَ الْأُخْرَى، جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ
“Siapa yang memiliki dua istri, lalu dia cenderung kepada salah satunya dan meninggalkan yang lain, dia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan separuh tubuhnya miring.” (HR. Ahmad dan al-Arba’ah; dinyatakan sahih oleh al-Hakim menurut syarat asy-Syaikhani dan disepakati oleh adz-Dzahabi.)
[6] Aisyah radhiallahu anha memberitakan,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ سَفَرًا أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ، فَأَيَّتُهُنَّ خَرَجَ سَهْمُهَا، خَرَجَ بِهَا مَعَهُ
“Apabila hendak safar, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengundi di antara istri-istrinya. Siapa saja di antara mereka yang keluar bagiannya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun menyertakan istri tersebut dalam safar bersama beliau.” (Muttafaqun ‘alaihi)
[7] Anas bin Malik radhiallahu anhu menyampaikan, “Termasuk sunnah, jika seorang lelaki menikahi gadis (poligami), dia menemaninya selama tujuh hari. Setelahnya, barulah dia membagi giliran dengan istri yang lain. Jika menikahi janda, dia tinggal bersamanya selama tiga hari. Setelahnya, barulah dia membagi giliran dengan istri yang lain.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
[8] Ummu Salamah radhiallahu anha memberitakan bahwa tatkala Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menikahinya, beliau tinggal bersamanya selama tiga hari. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan,
أَنَّهُ لَيْسَ بِكِ عَلَى أَهْلِكِ هَوَانٌ، إِنْ شِئْتِ سَبَّعْتُ لَكِ، وَإِنْ سَبَّعْتُ لَكِ سَبَّعْتُ لِنِسَائِي
“Ini bukanlah penghinaan dan peremehan suamimu kepadamu. Jika engkau mau, aku akan tinggal bersamamu selama tujuh hari. Namun, jika aku tinggal selama tujuh hari bersamamu, aku akan tinggal pula selama tujuh hari bersama istri-istriku (yang lainnya).” (HR. Muslim)
[9] ‘Urf adalah urusan yang jiwa menetapinya dengan persaksian akal dan tabiat menerimanya dengan sepenuhnya. (at-Ta’rifat, al-Jurjani, hlm. 149)