(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah)
Dalam edisi perdana dari majalah kesayangan kita ini, kami pernah membahas tentang darah yang keluar dari kemaluan wanita, termasuk di antaranya darah haid. Namun pembahasan yang kami paparkan saat itu adalah pembahasan ringkas sehingga ada beberapa permasalahan yang sengaja kami tinggalkan. Dalam edisi kali ini kami tergerak untuk mengangkat beberapa permasalahan yang tidak sempat kami bahas dalam edisi perdana yang telah lewat atau hanya sempat kami singgung sedikit, dengan harapan dapat menambah faedah kepada para pembaca yang semoga dirahmati Allah.
Haid adalah ketetapan Allah I bagi anak perempuan Adam
Allah I menetapkan wanita yang normal dan telah baligh mesti mengalami haid, yang dengan haid tersebut wanita tertahan untuk melakukan beberapa ibadah kepada Allah I. Haid inilah yang membuat Ummul Mukminin ‘Aisyah x menangis karena menganggap haid akan menahannya untuk melangsungkan ibadah haji yang akan ditunaikan bersama suaminya Rasulullah r. ‘Aisyah x menuturkan:
“Kami pergi (meninggalkan Madinah), tidak ada persangkaan kami kecuali untuk melaksanakan ibadah haji. Maka tatkala kami berada di Sarif,1 aku haid. Rasulullah r datang menemuiku, ketika itu aku sedang menangis. Rasulullah r bersabda: “Kenapa engkau menangis, apakah engkau haid?” “Ya,” jawabku. Beliau bersabda: “Sesungguhnya haid itu merupakan perkara yang telah Allah tetapkan bagi anak-anak perempuan Adam. Tunaikanlah apa yang ditunaikan oleh orang yang berhaji hanya saja engkau jangan thawaf di Baitullah (sampai engkau suci dari haid, barulah diperkenankan thawaf-pent.).”2
Hadits di atas memberikan faedah bahwa haid pada awalnya dialami oleh anak-anak perempuan Adam bahkan dialami oleh Hawa sebagaimana riwayat yang dibawakan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t dalam Fathul Bari (1/519) yang dikeluarkan oleh Al-Hakim dan Ibnul Mundzir dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas c, ia berkata:
“Sesungguhnya permulaan haid dialami oleh Hawa setelah ia turun dari surga.”
Adapun riwayat yang disandarkan oleh Al-Hafizh t kepada Abdurrazzaq Ash-Shan‘ani dan Al-Hafizh menshahihkan sanad-nya sampai kepada Ibnu Mas‘ud t:
“Dahulu para lelaki dan wanita dari kalangan Bani Israil melakukan shalat bersama-sama. Maka ada seorang wanita mengintip seorang lelaki, Allah pun menimpakan haid kepada mereka (para wanita Bani Israil) dan melarang mereka dari mendatangi masjid-masjid.”
Kata Ad-Dawudit: “Tidak ada per-tentangan di antara kedua riwayat ini3 karena wanita-wanita Bani Israil termasuk anak-anak perempuan Adam.” Al-Hafizh berkata: “Memungkinkan untuk menjamak (mengumpul-kan kedua riwayat) dengan menyatakan bahwa haid tersebut umum menimpa seluruh anak perempuan Adam (termasuk wanita-wanita Bani Israil) hanya saja Allah I menimpakan haid kepada wanita-wanita Bani Israil dengan waktu yang panjang (lagi sangat deras, –pent.) sebagai hukuman bagi mereka. Dengan demikian riwayat Ibnu Mas`ud t ini tidaklah menunjukkan wanita Bani Israil yang pertama kali mengalami haid.” (Fathul Bari, 1/519)
Perbedaan di antara tiga agama dalam bermuamalah dan bergaul dengan wanita haid
Anas bin Malik t berkata:
“Kebiasaan orang-orang Yahudi bila wanita di kalangan mereka haid maka mereka tidak mau makan bersamanya dan tidak mau berkumpul dengannya di dalam rumah. Para sahabat Nabi r pun bertanya kepada Nabi tentang hal itu maka Allah I menurunkan ayat: “Mereka bertanya kepadamu tentang darah haid, maka katakanlah bahwa darah haid itu adalah kotoran (najis) maka jauhilah (jangan menggauli) para istri ketika haidnya (di tempat keluarnya darah/farji)…” sampai akhir ayat. Rasulullah r berkata: “Lakukanlah segala sesuatu (dengan istri kalian saat ia haid) kecuali jima'(tidak boleh kalian lakukan, -pent.).”4
‘Aisyah x mengabarkan:
“Adalah Rasulullah r menyuruhku maka aku pun mengenakan pakaian/kain (yang menutupi aurat dan sekitarnya) lalu beliau mubasyarah5 denganku dalam keadaan aku haid.”6
Cukuplah dua hadits di atas memberikan gambaran kepada kita akan adanya perbedaan muamalah yang diajarkan Islam dengan agama lain terhadap wanita yang sedang haid. Lihatlah orang-orang Yahudi, mereka memandang wanita haid itu kotor lagi najis sehingga mereka memisahkan dan mengucilkan wanita ketika sedang haid. Mereka anggap wanita haid itu badan, pakaian, dan tempat tidurnya najis sehingga mereka enggan makan bersama wanita haid dan berkumpul bersamanya di dalam rumah sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Anas bin Malik t di atas.
Lihat pula orang-orang Nasrani, mereka berada di kutub yang berlawanan dengan orang-orang Yahudi. Bila orang-orang Yahudi bersikap keras dan kaku, maka Nasrani sebaliknya bermudah-mudah dan meremehkan hingga mereka menghalalkan menjima’i wanita yang sedang haid walaupun darah haid yang najis sedang mengalir dari kemaluan si wanita. Adapun Islam berada di pertengahan antara sikap ghuluw dan meremehkan karena Islam adalah agama yang adil dalam seluruh perkara. Islam memandang yang najis dari wanita haid hanyalah pada tempat keluarnya darah, adapun bagian tubuhnya yang lain, keringat dan pakaiannya tetap suci sehingga seorang suami boleh melakukan mubasyarah dengan istrinya yang sedang haid, berkumpul dengannya dalam rumah bahkan sekamar setempat tidur, melakukan segala sesuatu bersamanya,7 yang harus dihindarinya hanyalah kemaluan istrinya, tidak boleh ia menggaulinya sampai istrinya suci dari haid. Allah I berfirman:
“Mereka bertanya kepadamu tentang darah haid, maka katakanlah bahwa darah haid itu adalah kotoran (najis) maka jauhilah (jangan menggauli) para istri ketika haidnya (di tempat keluarnya darah/farji).” (Al-Baqarah: 222)
Rasulullah r pun bersabda:
.
“Lakukanlah segala sesuatu (dengan istri kalian saat ia haid) kecuali jima’ (tidak boleh kalian lakukan, -pent.)”.
‘Abdullah bin Sa‘ad Al-Anshari t berkata:
“Wahai Rasulullah, apa yang halal bagiku dari istriku ketika ia sedang haid?”. Rasulullah menjawab: “Dihalalkan bagimu apa yang ada di atas kain (penutup aurat/kemaluannya).”9
Lihatlah Rasulullah r yang telah memberikan contoh nan agung dalam pergaulan suami istri. Beliau memanggil istrinya yang sedang haid untuk tidur bersamanya,10 membaca Al-Qur`an di pangkuan istrinya11, membiarkan istrinya menyisir rambut beliau12 dan beliau menyuruh istrinya untuk menutupkan kain ke tempat keluarnya darah lalu bermesraan dengannya13, yang beliau hindari hanyalah jima’. (Taudlihul Ahkam min Bulughil Maram, 1/454-455)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata dalam fatwanya: “…dibolehkan seorang suami untuk istimta` (bersenang-senang) dengan istrinya yang sedang haid atau nifas pada bagian yang ada di atas kain (penutup sekitar tempat keluarnya darah, –pent.). Sama saja apakah si suami bersenang-senang dengan istrinya melalui bibir, tangan, atau kakinya. Seandainya ia menggauli istrinya pada bagian perutnya hingga ia mengeluarkan mani maka hal ini dibolehkan. Namun bila ia istimta` dengan dua paha istrinya, tentang boleh tidaknya ada perselisihan pendapat di kalangan ulama, wallahu a`lam.” (Majmu` Fatawa, 21/624)
Kapankah seorang suami dibolehkan mencampuri istrinya yang telah suci dari haid?
Allah I mengharamkan seorang suami untuk menggauli istrinya yang sedang haid pada kemaluannya sampai si istri suci dari haidnya, Allah I menyatakan dalam Tanzil-Nya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang darah haid, maka katakanlah bahwa darah haid itu adalah kotoran (najis) maka jauhilah (jangan menggauli) para istri ketika haidnya (di tempat keluarnya darah/farji) dan janganlah kalian mendekati (jima’) dengan mereka sampai mereka suci. Maka apabila mereka telah suci, campurilah mereka di tempat yang Allah perintahkan kepada kalian.” (Al-Baqarah: 222)
Al-Imam Al-Alusi Al-Baghdadi t menerangkan tentang firman Allah I : “Menurut Abu Hanifah adalah berhentinya darah. Adapun menurut madzhab Syafi‘iyyah, yang dimaksud dalam ayat di atas adalah mandi setelah berhentinya darah. Mereka mengatakan: ‘Yang menunjukkan hal ini adalah bacaan Hamzah, Al-Kisa`i dan ‘Ashim dari riwayat Ibnu ‘Abbas: -dengan tasydid- yakni , yang dimaksudkan dengan kata ini adalah (mereka mandi)’. Beliau menyatakan shighah mubalaghah dari lafaz memberikan faedah thaharah yang sempurna dan tentunya thaharah yang sempurna dari haid adalah dengan mandi.” (Ruhul Ma‘ani, 2/177)
Al-Imam Al-Bahgawi t menerang-kan: adalah (Ma‘alimut Tanzil,1/145)
Dalam Al-Mughni, Al-Imam Ibnu Qudamah t menyatakan: “Apabila telah berhenti darah haidnya maka si istri tidak boleh dijima’ sampai ia mandi. Kesimpulannya, menggauli wanita haid sebelum ia mandi suci hukumnya haram, walaupun darahnya telah berhenti menurut pendapat mayoritas ahlul ilmi. Ibnul Mundzir t berkata: “Hal ini seperti ijma` dari mereka (ahlul ilmi)”. (Kitab Ath-Thaharah, mas’alah: Fain Inqatha`a Damuha Fala Tutha’u Hatta Taghtasila)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Adapun wanita haid yang telah berhenti darahnya, maka suaminya tidak boleh mencampurinya sampai ia mandi apabila memang ia mampu untuk itu. Jika tidak, ia tayammum sebagaimana ini madzhab jumhur ulama seperti Ahmad dan Syafi`i.” (Majmu` Fatawa, 21/625)
Ahlu dzahir berpandangan bahwa yang dimaksud dengan bila mereka telah mencuci kemaluan mereka. Namun pendapat ini tidak teranggap, kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t karena kata tathahhur dalam Al-Qur`an maknanya adalah mandi sebagaimana Allah I berfirman:
“Dan jika kalian junub maka mandilah.” (Al-Ma`idah: 6)
Tathahhur yang dikaitkan dengan haid sama dengan tathahhur yang dikaitkan dengan janabah. (Majmu‘ Fatawa , 21/626)
Kesimpulan dalam masalah ini adalah tidak boleh mencampuri wanita haid pada kemaluannya apabila ia telah suci dari haidnya sampai ia mandi.
Cara membersihkan pakaian/kain yang terkena darah haid
Bila pakaian yang dipakai terkena darah haid maka dibersihkan bagian yang terkena darah dengan dikerik menggunakan ranting (bila darahnya mengering) atau dengan ujung-ujung jari, lalu dicuci/digosok dengan air dan daun sidr (bidara) atau dengan sabun atau pencuci/pembersih yang semisalnya. Kemudian barulah bagian lain dari pakaian itu dicuci. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah r:
“Keriklah dengan ranting dan cucilah dengan air dan daun sidr.”14
Rasulullah r bersabda:
“Apabila pakaian salah seorang dari kalian terkena darah haid hendaklah ia menggosoknya dengan ujung-ujung jarinya kemudian hendaklah ia mencucinya dengan air…”15
‘Aisyah x mengabarkan:
“Adalah salah seorang dari kami berhaid, kemudian ia menggosok darah yang menempel pada pakaiannya ketika ia telah suci dari haidnya lalu ia mencuci pakaian tersebut dan membasuh seluruh bagiannya, kemudian ia shalat mengenakan pakaian tersebut (ketika telah kering, –pent.).”16
Membasuh seluruh pakaian setelah dibersihkannya bagian yang terkena darah selain didapatkan dari pengabaran ‘Aisyah x di atas juga telah datang tuntunannya dari Nabi r, sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain dari hadits Asma’ bintu Abu Bakar Ash-Shiddiq x, Rasulullah r mengatakan dalam hadits tersebut:
“…Kemudian gosoklah dengan air lalu cucilah seluruh pakaian tersebut. Setelah itu engkau bisa shalat menggunakannya (bila telah kering, -pent.).”
Asy-Syaikh Al-Albani t berkata: “Dalam riwayat ini ada tambahan: (), dan ini merupakan tambahan yang penting. Karena tambahan ini menjelaskan bahwa ucapan Nabi dalam riwayat Hisyam: () bukanlah dimaksudkan mencuci bagian pakaian yang terkena darah (saja) akan tetapi seluruh bagian dari pakaian tersebut.” (Ash-Shahihah, 1/602)
Bila pakaian telah dibersihkan namun masih tampak noda darah yang sukar dihi-langkan, maka tidak menjadi masalah sebagai-mana ditunjukkan dalam hadits berikut ini:
“Khaulah bintu Yasar pernah datang menemui Nabi r, ia bertanya: “Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki pakaian kecuali hanya satu, dan aku mengenakannya ketika sedang haid sehingga pakaian itu terkena darah haid, lalu apa yang harus kuperbuat?” Rasulullah r menjawab: “Apabila engkau telah suci , cucilah pakaian tersebut, kemudian engkau boleh shalat menggunakannya”. Khaulah bertanya lagi: “Sekalipun darah yang menempel pada pakaian tersebut tidak keluar (tidak bisa hilang nodanya)”. Rasulullah menjawab: “Cukup bagimu pencucian darah tersebut (dengan air) dan tidak bermudharat bagimu bekasnya.”17,18
Penulis Taudhihul Ahkam berkata: “Pakaian dan semisalnya apabila telah dicuci dari darah haid, kemudian masih tersisa bekas warna darah (nodanya) pada pakaian atau badan maka tidaklah bekas itu memudharatkan dalam kesempurnaan tathahhur dan tidak memudharatkan kesahan shalat dan semisalnya.” (1/191)
Demikian tambahan pembahasan tentang haid yang dapat kami haturkan untuk pembaca, semoga bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca secara umum, wa billahit taufiq.
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
Catatan Kaki:
1 Tempat yang berdekatan dengan kota Makkah, jarak antara keduanya sekitar 10 mil (Fathul Bari, 1/520)
2 HR. Bukhari no. 294, kitab Al-Haidh, bab Al-Amru bin Nufasai’i Idza Nufisna dan Muslim, kitab Al-Hajj, bab Bayanu Wujuhil Ihram wa Annahu Yajuzu Ifradul Hajji wat Tamattu‘
3 Yakni riwayat Ibnu Mas‘ud t di atas dengan hadits:
4 HR. Muslim no. 692, kitab Al-Haidh, bab fi Qaulillahi ta‘ala
5 Melakukan pergaulan suami istri selain jima’.
6 HR. Bukhari no. 300, kitab Al-Haidh, bab Mubasyaratul Haidh dan Muslim no. 677, kitab Al-Haidh, bab Mubasyaratur Rajul Al-Haidh Fawqal Izar
7 Al-Imam Al-Hafizh Ibnul Qaththan t berkata: “Umat sepakat akan sucinya (tubuh) wanita haid dan boleh menidurinya apabila ia menutupi kemaluannya. Mereka sepakat keringat wanita haid itu suci, sebagaimana mereka sepakat boleh bagi suaminya untuk makan dan minum bersamanya.” (Al-Iqna’ fi Masa`ilil Ijma’, 1/103-104)
8 adalah sebutan untuk tempat keluarnya darah haid (yaitu kemaluan). Dikhususkannya perintah untuk menjauhi tempat keluarnya darah merupakan dalil bolehnya mubasyarah pada bagian tubuh yang selainnya. (Al-Mughni, kitab Ath-Thaharah, mas’alah: Wa Yastamti‘u minal Haidh Bima Dunal Farj)
9 HR. Abu Dawud no. 212, kitab Ath-Thaharah, bab Fil Madzi, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud dan Asy-Syaikh Muqbil t dalam Al-Jami‘us Shahih Mimma Laisa fish Shahihain, 1/549
10 Ummu Salamah x mengisahkan: “Tatkala aku sedang berbaring bersama Nabi r dalam satu kain, tiba-tiba aku haid maka akupun pergi dengan perlahan lalu mengambil pakaian yang biasa kupakai ketika haid. Rasulullah yang melihat hal itu bertanya: “Apakah engkau haid?” Aku menjawab: “Iya.” Beliau lalu memanggilku maka akupun berbaring bersama beliau dalam satu selimut.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
11 Aisyah x berkata: “Nabi r pernah membaca Al-Qur`an sementara kepalanya berada di pangkuanku padahal aku dalam keadaan haid.” (HR. Bukhari dan Muslim)
12 Masih dari kabar ‘Aisyah x, ia berkata: “Aku pernah menyisir rambut Rasulullah n dalam keadaan aku haid.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
13 Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits ‘Aisyah
14 HR. Abu Dawud no. 363, kitab Ath-Thaharah, bab Al-Mar’ah Taghsilu Tsaubahal Ladzi Talbasuhu fi Haidhiha, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 300 dan Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami‘ush Shahih, 1/550
15 HR. Al-Bukhari no. 307, kitab Al-Haidh, bab Ghuslu Damil Mahidh dan Muslim no. 673, kitab Ath-Thaharah, bab Najasatud Dam wa Kaifiyatu Ghuslihi
16 HR. Al-Bukhari no. 308
17 Yakni tidak mengurangi kesucian pakaianmu. (Taudlihul Ahkam, 1/190)
18 HR. Abu Dawud no. 365, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 298