(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)
Hukum-hukum shalat dan puasa bagi wanita haid telah kita bahas dalam edisi-edisi yang lalu. Namun, kami masih tergerak untuk membicarakan tentang haid sebagai satu kebiasaan yang telah Allah l tetapkan terhadap kaum hawa1. Keinginan kami adalah agar masalah haid bisa dibahas dari berbagai hukum ibadah agar tidak menyisakan atau meminimalkan isykal/kerumitan/masalah di kalangan wanita. Namun karena keterbatasan ilmu yang ada pada kami, pastilah pembahasan yang ada belum memuaskan pembaca dan tentu banyak sisi yang luput dari pembicaraan dan banyak kekurangan di sana-sini, wallahul musta’an.
Bagaimanapun, kami hanya berusaha sebatas apa yang kami mampu. Bila pembaca menginginkan, bisa kembali kepada kitab-kitab fiqih yang luas karya ulama kita rahimahumullah.
Seperti yang kami katakan di atas, kali ini kami masih ingin membahas tentang haid dan kami memilih mengaitkannya dengan satu ibadah yang merupakan rukun Islam kelima, yaitu haji ditambah dengan amalan umrah.
Hukum ihram bagi wanita haid, baik ihram untuk haji atau untuk umrah.
Al-Imam An-Nawawi t menghikayatkan adanya kesepakatan ahlul ilmi tentang sahnya wanita nifas dan haid berihram. Disunnahkan bagi si wanita untuk mandi sebelum ihram, sebagaimana disunnahkan pula bagi selain wanita haid. (Al-Minhaj, 8/372)
Bahkan untuk wanita haid, mandi ini lebih ditekankan karena adanya hadits yang menyebutkannya. (Al-Mughni, Kitabul Hajj, bab Dzikrul Ihram)
Di antaranya:
1. Hadits Jabir bin Abdillah c yang panjang tentang kisah haji Rasulullah n. Di antaranya ia berkata:
حَتَّى أَتَيْنَا ذَا الْحُلَيْفَةِ فَوَلَدَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ مُحَمَّدَ بْنَ أَبِي بَكْرٍ، فَأَرْسَلْتُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ n: كَيْفَ أَصْنَعُ؟ قَالَ: اغْتَسِلِي وَاسْتَنْفِرِي بِثَوْبٍ وَأَحْرِمِي
Hingga ketika kami tiba di Dzul Hulaifah2, Asma’ bintu Umais melahirkan putranya yang bernama Muhammad bin Abi Bakr. Asma’ mengirim orang menemui Rasulullah n untuk menanyakan, “Apa yang harus kuperbuat?”3 Rasulullah n bersabda, “Mandilah dan tutuplah (tempat keluar darah nifas) dengan kain dan berihramlah.” (HR. Muslim no. 2941)
Wanita haid hukumnya sama dengan wanita nifas.
2. Hadits Ibnu Abbas c dari Nabi n, beliau bersabda:
الْحَائِضُ وَالنُّفَسَاءُ إِذَا أَتَتَا عَلَى الْوَقْتِ تَغْتَسِلاَنِ وَتُحْرِمَانِ وَتَقْضِيَانِ الْمَنَاسِكَ كُلَّهَا غَيْرَ الطَّوَافِ بِالْبَيْتِ
“Wanita nifas dan haid, bila keduanya mendatangi miqat, hendaknya keduanya mandi dan berihram serta menunaikan manasik seluruhnya selain thawaf di Baitullah.” (HR. Abu Dawud no. 1744 dan selainnya, dishahihkan dalam Shahih Abi Dawud)
3. Nabi n memerintahkan Aisyah x mandi karena berihram haji dalam keadaan haid4. (HR. Ibnu Majah no. 641, dishahihkan dalam Al-Irwa’ no. 134, Ash-Shahihah no. 188)
Namun, sebagian ahlul ilmi menyatakan jika wanita haid tersebut ada harapan suci sebelum keluar dari miqat, disenangi baginya menunda mandi sampai ia suci agar lebih sempurna baginya. (Al-Majmu’, 7/220)
Hukum thawaf ketika haid
Ulama sepakat, wanita yang sedang haid tidak boleh melakukan thawaf di Baitullah. (Al-Iqna’ fi Masailil Ijma’, 1/270)
Ibnu Hazm t berkata, “Larangan shalat, puasa, thawaf, dan jima’ pada kemaluan ketika sedang haid merupakan ijma’ yang diyakini lagi dipastikan. Tidak ada perselisihan di dalamnya di antara seorang pun dari pemeluk Islam.” (Al-Muhalla, 1/380)
Namun, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t memberikan batasan/ketentuan bahwa ijma’/kesepakatan tersebut –terkhusus masalah larangan thawaf bagi wanita haid– adalah bila ia melakukan thawaf dalam keadaan tidak darurat. Adapun bila darurat, lain lagi pembicaraannya (tentang hal ini akan dibahas pada edisi mendatang, insya Allah, pen.), karena beliau menyatakan, “Adapun masalah yang aku tidak mengetahui ada perselisihan di dalamnya adalah seorang wanita tidak boleh thawaf dalam keadaan haid, jika memang dia mampu untuk thawaf dalam keadaan suci nantinya. Aku tidak tahu ada perselisihan tentang haramnya thawaf tersebut baginya dan ia berdosa bila melakukannya.” (Majmu’ Fatawa, 26/206)
Bila ternyata wanita haid itu tetap melakukan thawaf, ulama berbeda pendapat tentang sah atau tidaknya thawaf tersebut. Mayoritas ahlul ilmi (Al-Majmu’, 8/23), termasuk pendapat Malikiyyah (Al-Ma’unah, 1/186), Syafi’iyyah, Hanabilah dalam satu pendapat (Al-Majmu’, 8/23), dan Zhahiriyyah (Al-Muhalla, 5/189) memandang thawafnya tidak sah, karena menurut mereka, thaharah dari hadats merupakan syarat thawaf, sehingga orang yang melakukan thawaf harus dalam keadaan suci. Dalil mereka di antaranya:
1. Hadits Aisyah x:
أَنَّ أَوَّلَ شَيْءٍ بَدَأَ بِهِ حِيْنَ قَدِمَ النَّبِيُّ n أَنَّهُ تَوَضَّأَ ثُمَّ طَافَ ….
“Yang awal dilakukan Nabi n ketika beliau tiba di Makkah adalah berwudhu kemudian thawaf…” (HR. Al-Bukhari no. 1614 dan Muslim no. 2991)
2. Hadits Jabir c bahwasanya Nabi n bersabda:
لِتَأْخُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ
“Ambillah dariku manasik kalian.” (HR. Muslim no. 3124)
Makna ucapan Nabi n di atas adalah bahwa urusan-urusan yang aku lakukan dalam hajiku, baik ucapan, perbuatan maupun penampilan, merupakan urusan dan tata cara haji. Ini adalah manasik kalian, hendaklah kalian mengambilnya dariku. Terimalah manasik ini, hafalkan/jagalah, amalkan dan ajarkanlah kepada orang-orang. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/50)
Adapula yang berpendapat sah thawafnya, namun ia berdosa. Demikian pendapat Hanafiyyah (Al-Mabsuth, 4/38), satu riwayat dari Al-Imam Ahmad (Al-Majmu’, 8/23), dan pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Majmu’ Fatawa, 26/213) sebagaimana telah diisyaratkan di atas, karena beliau memandang thaharah bukanlah syarat sahnya thawaf tapi merupakan kewajiban. Sebagaimana pernyataan beliau, “Pewajiban thaharah dan menutup aurat di dalam thawaf yang tsabit/pasti dengan dalil nash adalah masalah yang disepakati. Adapun keterangan pasti akan keharusan thaharah sebagai syarat dalam thawaf sebagaimana shalat (dipersyaratkan thaharah), ada perbedaan pendapat tentangnya.” (Majmu’ Fatawa, 26/222-223)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Apa yang harus dilakukan oleh wanita yang berhaji tamattu’5 bila ia haid sebelum thawaf umrah dan khawatir tidak bisa melakukan amalan haji?
Yang dimaksudkan di sini adalah wanita yang berihram untuk umrah, setelah selesai dari umrah ia bertahallul, kemudian berihram untuk haji di tahun itu juga. Wanita tersebut misalnya tiba di Makkah tanggal 5 Dzulhijjah. Ternyata ia haid dan kebiasaan haidnya 6 hari. Berarti, ia akan suci tanggal 11 Dzulhijjah, sedangkan waktu wukuf telah berlalu (tanggal 9 Dzulhijjah). Dengan demikian, ia luput menunaikan haji. Kondisinya sekarang, karena sedang haid ia tidak mungkin melakukan thawaf, sa’i, dan mengakhiri umrahnya. Lalu apa yang harus ia lakukan?
Jumhur ulama, di antaranya ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanafiyyah, Zhahiriyyah, pendapat Al-Auza’i dan kebanyakan ulama lainnya, menyatakan ia berihram untuk haji bersama umrahnya sehingga hajinya menjadi haji qiran. Hal ini dengan dalil hadits Jabir ibnu Abdillah c, ia berkata:
أَقْبَلْنَا مُهِلِّيْنَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ n بِحَجٍّ مُفْرَدٍ، وَأَقْبَلَتْ عَائِشَةُ x بِعُمْرَةٍ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِسَرَفٍ عَرَكَتْ، حَتَّى إِذَا قَدِمْنَا طُفْنَا بِالْكَعْبَةِ وَالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، فَأَمَرَناَ رَسُوْلُ اللهِ n أَنْ يَحِلَّ مِنَّا مَنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ هَدْيٌ. قَالَ: فَقُلْنَا: حِلُّ مَاذَا؟ قَالَ: الْحِلُّ كُلُّهُ. فَوَاقَعْنَا النِّسَاءَ وَتَطَيَّبْنَا بِطِيْبٍ وَلَبِسْنَا ثِيَابَنَا وَلَيْسَ بَيْنَنَا وَبَيْنَ عَرَفَةٍ إِلاَّ أَرْبَعُ لَيَالٍ، ثُمَّ أهْلَلْنَا يَوْمَ التَّرْوِيَة، ثُمَّ دَخَلَ رَسُوْلُ اللهِ n عَلَى عَائِشَةَ x، فَوَجَدَهاَ تَبْكِي. فَقَالَ: مَا شَأْنُكِ؟ قَالَتْ: شَأْنِي أَنِّي قَدْ حِضْتُ وَقَدْ حَلَّ النَّاسُ وَلَمْ أَحْلِلْ، وَلَمْ أَطُفْ بِالْبَيْتِ وَالنَّاسُ يَذْهَبُوْنَ إِلَى الْحَجِّ الْآنَ. فَقاَلَ: إِنَّ هذِهِ أَمْرٌ كَتَبَهُ اللهُ عَلَى بَناَتِ آدَمَ، فَاغْسِلِيْ ثُمَّ أَهِلِّي بِالْحَجِّ. فَفَعَلَتْ وَوَقَفَتِ الْمَوَاقِفَ حَتَّى إِذَا طَهَرَتْ طَافَتْ بِالْكَعْبَةِ وَالصَّفَا وَالْمَرْوَةَِ. ثُمَّ قَالَ: قَدْ حَلَلْتِ مِنْ حَجِّكِ وَعُمْرَتِكِ جَمِيْعًا. قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنِّي أَجِدُ فِي نَفْسِي أَنِّي لَمْ أَطُفْ بِالْبَيْتِ حَتَّى حَجَجْتُ. قَالَ: فَاذْهَبْ بِهَا يَا عَبْدَ الرَّحْمنِ، فَأَعْمِرْهَا مِنَ التَّنْعِيْمِ
Kami datang bertalbiyah bersama Rasulullah n dengan haji ifrad dan Aisyah x datang dengan umrah6, hingga ketika kami tiba di Sarf ia haid. Saat kami tiba di Makkah, kami thawaf di Ka’bah dan melakukan sa’i di Shafa dan Marwah. Kemudian, Rasulullah n memerintahkan orang-orang yang tidak membawa hewan hadyu7 di antara kami agar bertahallul8. Jabir berkata, “Kami bertanya, ‘Tahallul dari apa?’.” Beliau menjawab, “Halal dari segala sesuatu yang semula diharamkan karena sedang berihram.” Kami pun menggauli istri-istri kami, memakai wangi-wangian, dan mengenakan pakaian yang biasa kami kenakan (tidak lagi mengenakan pakaian ihram, pen.). Jarak waktu kami dengan hari Arafah hanya empat malam. Kemudian pada hari Tarwiyah (tanggal 8 Dzulhijjah) kami bertalbiyyah untuk haji. Ketika itu Rasulullah n masuk ke tempat Aisyah x dan mendapatinya sedang menangis. Rasulullah n bertanya, “Ada apa denganmu?” Aisyah menjawab, “Aku haid, sementara orang-orang telah bertahallul (dari umrah mereka), sedangkan aku belum tahallu, karena aku belum thawaf di Baitullah. Sekarang orang-orang pergi untuk berhaji.” Rasulullah bersabda, “Haid adalah sesuatu yang telah ditetapkan Allah l terhadap anak-anak perempuan Adam. Mandilah engkau kemudian bertalbiyahlah untuk haji.” Aisyah pun melakukan apa yang diperintahkan dan wukuf di tempat wukuf. Ketika ia telah suci, ia thawaf di Ka’bah dan sa’i di antara Shafa dan Marwah. Rasulullah n berkata, “Engkau telah tahallul dari haji dan umrahmu sekaligus9.” Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah, aku merasakan tidak enak dalam hatiku, karena belum thawaf umrah hingga aku berhaji.” Rasulullah bersabda, “Bawalah dia wahai Abdurrahman. Umrahkan dia dari Tan’im.” (HR. Muslim no. 2929)
Hadits di atas merupakan dalil wajibnya wanita yang mengalami kejadian seperti Aisyah x berihram untuk haji sehingga hajinya menjadi haji qiran, karena Rasulullah n memerintahkan Aisyah x untuk melakukannya. Sementara, hukum asal perintah adalah wajib.
Disamping itu, ibadah haji merupakan kewajiban yang harus segera ditunaikan, tidak boleh ditunda. Bila si wanita yang sedang haid itu tidak berihram untuk haji niscaya ia akan kehilangan haji pada tahun tersebut.
Alasan lain, seseorang sebenarnya datang ke Makkah untuk haji, sedangkan umrah ditunaikan karena ingin berhaji setelahnya. Umrah sendiri bisa ditunaikan di setiap waktu dan tidak mungkin si wanita menunaikan haji ketika itu terkecuali ia telah tahallul dari umrahnya. Dalam situasi seperti ini, mustahil ia bertahallul dari umrahnya karena tidak bisa thawaf di Ka’bah akibat haid yang menimpanya. Maka dari itu, tidak ada yang tersisa baginya kecuali berihram untuk haji, dan dinamakan haji qiran.
Makna berihram untuk haji adalah memasukkan haji kepada umrah dan bukan membatalkan umrah, karena kalau umrah dibatalkan berarti hajinya ifrad. Sementara Rasulullah n berkata kepada Aisyah x:
يَسَعُكِ طَوَافُكِ لِحَجِّكِ وَعُمْرَتِكِ
“Thawafmu di Baitullah mencukupimu untuk haji dan umrahmu.” (HR. Muslim no. 2925)
Dalam riwayat lain:
يُجْزِءُ عَنْكِ طَوَافُكِ بِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ عَنْ حَجِّكِ وَعُمْرَتِكِ
“Thawafmu (sa’i) antara Shafa dan Marwah mencukupimu dari amalan haji dan umrahmu.” (HR. Muslim no. 2926)
Misalnya, bila ada seorang wanita berihram untuk umrah, setelahnya bertahallul. Ketika hari Tarwiyah nanti ia akan berihlal (talbiyah) untuk haji (tamattu’). Namun setelah thawaf di Baitullah, sebelum sempat sa’i, ia haid. Tidak mungkin di saat itu dia berihram untuk haji (memasukkan haji pada umrahnya sehingga hajinya menjadi qiran), karena termasuk syarat bolehnya memasukkan haji pada umrah adalah sebelum dilakukannya thawaf, sedangkan si wanita telah selesai mengerjakan thawaf.
Bila demikian, apa yang harus dilakukannya?
Si wanita melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah, karena orang yang berhadats besar, seperti junub dan haid –apatah lagi orang yang berhadats kecil– diperkenankan untuk melakukan sa’i. Namun di atas thaharah tentu lebih utama.
Menunaikan setiap ibadah dalam keadaan bersuci tentu lebih utama. Namun bila telah datang waktu haji sementara ia belum suci dari haid, ia tetap berihram karena haid tidak menghalanginya untuk berihram. Dalilnya hadits Asma’ bintu Umais x yang telah disebutkan.
Bila haid menimpa seorang wanita ketika ia melakukan thawaf, ia tidak boleh menyempurnakan thawafnya karena haidnya. Dia harus berhenti dan membatalkan thawafnya. Bila ia khawatir luput mengerjakan haji, ia berihram untuk haji (melaksanakan haji qiran). (Asy-Syarhul Mumti’, 7/ 98-100)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Insya Allah bersambung)
1 Sebagaimana kata Rasulullah n kepada istrinya Aisyahx:
إِنَّ هذِهِ أَمْرٌ كَتَبَهُ اللهُ عَلَى بَناَتِ آدَمَ
“Haid ini merupakan perkara yang telah Allah l tetapkan terhadap anak-anak perempuan Adam.” (HR. Muslim no. 2929)
2 Miqat bagi penduduk Madinah.
3 Setelah melahirkan, sementara mereka telah berada di miqat.
4 Ketika itu Rasulullah n bersabda kepada Aisyah x:
انْقُضِي شَعْرَكِ وَاغْتَسِلِي
“Gerailah rambutmu dan mandilah.”
5 Silakan lihat kembali kajian utama majalah Asy-Syariah Vol.III/No. 27/1427/2006 tentang jenis-jenis haji yang tiga: haji tamattu’, qiran, dan ifrad.
6 Rasulullah n memang mempersilakan para sahabatnya untuk memilih jenis haji yang hendak ditunaikan. Beliau n bersabda:
مَنْ أَرَادَ مِنْكُمْ أَنْ يُهِلَّ بِحَجٍ وَعُمْرَةٍ فَلْيَفْعَلْ، وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُهِلَّ بِحَجٍ فَلْيُهِلَّ، وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُهِلَّ بِعُمْرَةٍ فَلْيُهِلَّ
“Siapa di antara kalian yang ingin berihlal/berrtalbiyah dengan haji dan umrah maka silakan ia lakukan. Siapa di antara kalian yang ingin berihlal dengan haji maka silakan ia berihlal. Dan siapa yang ingin untuk berihlal dengan umrah maka berihlallah.” (HR. Muslim no. 2905)
7 Yaitu hewan yang dihadiahkan untuk Al-Haram, nantinya disembelih dan dagingnya dibagi-bagikan kepada fakir miskin di sekitar Al-Haram.
8 Sehingga yang semula ingin melaksanakan haji qiran diganti menjadi haji tamattu’. Karena, ketika sampai di Makkah, Rasulullah n berkata kepada para sahabatnya, “Jadikanlah talbiyah kalian umrah.” Seselesainya dari amalan umrah, orang-orang pun bertahallul kecuali orang yang membawa hadyu. (HR. Al-Bukhari no. 305 dan Muslim no. 2911)
9 Al-Imam An-Nawawi t setelah membawakan hadits di atas dalam syarahnya terhadap Shahih Muslim menyatakan, ada tiga masalah yang bagus yang bisa diambil dari hadits tersebut:
Pertama: Aisyah x melaksanakan haji qiran dan tidak membatalkan umrahnya.
Kedua: Orang yang melaksanakan haji qiran cukup baginya satu thawaf dan satu sa’i untuk haji serta umrah. Ini madzhab Asy-Syafi’i dan jumhur ulama. Abu Hanifah dan sekelompok ulama lain berpendapat harus dua thawaf dan dua sa’i.
Ketiga: Pelaksanaan sa’i antara Shafa dan Marwah disyaratkan setelah thawaf yang shahih. Yang menunjukkan hal ini adalah Rasulullah n memerintahkan Aisyah x untuk melakukan semua yang dilakukan oleh orang yang berhaji (di saat ia mengadukan haidnya, pen.) kecuali thawaf di Baitullah. Aisyah juga tidak melakukan sa’i sebagaimana ia tidak berthawaf. Seandainya amalan sa’i tidak tergantung dengan thawaf yang harus dilakukan sebelumnya niscaya Aisyah tidak akan mengakhirkan pelaksanaan sa’i sampai ia suci. (Al-Minhaj, 8/393-394)