Asysyariah
Asysyariah

golongan yang tidak berhak menerima zakat

4 tahun yang lalu
baca 17 menit
Golongan yang Tidak Berhak Menerima Zakat

Ada tujuh golongan yang tidak berhak menerima zakat, yaitu:

  1. Bani Hasyim, yaitu Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan kerabatnya
  2. Orang kaya
  3. Orang yang berfisik kuat dan berpenghasilan cukup
  4. Orang yang dinafkahinya
  5. Orang yang tercukupi nafkahnya oleh yang menanggungnya.
  6. Budak
  7. Orang kafir

 

  1. Bani Hasyim, yakni Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan Kerabatnya

Zakat diharamkan atas Bani Hasyim, yaitu Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan kerabatnya. Mereka adalah keluarga Abbas, keluarga Ali, keluarga Ja’far, keluarga Aqil, keluarga al-Harits bin Abdil Muththalib.

Adapun tentang keluarga Abu Lahab, ada perbedaan pendapat tentangnya. Asy-Syaukani berkata,

“Keluarga Abu Lahab tidak termasuk dalam hukum ini, berdasarkan apa yang dikatakan (bahwa tidak ada seorang pun dari mereka yang masuk Islam pada masa hidup Nabi shallallahu alaihi wa sallam). Namun, hal ini terbantah dengan apa yang disebutkan dalam Jami’ul Ushul bahwa dua putra Abu Lahab, yang bernama Utbah dan Mu’attib, masuk Islam pada Fathu Makkah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun bergembira dengan keislaman keduanya. Keduanya juga ikut Perang Hunain dan Thaif.[1] Menurut ahli nasab, keduanya memiliki keturunan.”

Penulis kitab ar-Raudhul Murbi’ menetapkan bahwa keluarga Abu Lahab tergolong Bani Hasyim yang haram menerima zakat.

Ibnu Utsaimin menyebutkan bahwa sejak lebih dari seribu tahun yang silam, raja-raja yang berkuasa di negeri Yaman adalah Bani Hasyim. Nasab mereka masyhur dan dikenal sebagai Bani Hasyim. Selain mereka, banyak juga yang bernasab Bani Hasyim. Beliau menyatakan bahwa barang siapa mengaku sebagai Bani Hasyim, pengakuannya diterima dan tidak diberi zakat.

Zakat diharamkan atas Bani Hasyim, yaitu Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan kerabatnya, sebagai pemuliaan terhadap mereka. Sebab, mereka adalah kerabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Kerabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah nasab manusia yang paling mulia sehingga tidak pantas menerima zakat yang merupakan kotoran manusia, karena zakat membersihkan pemiliknya dari kotoran (dosa). Dalilnya adalah sebagai berikut.

a. Hadits al-Muththalib bin Rabi’ah bin al-Harits

“Rabi’ah bin al-Harits dan al-Abbas bin Abdil Muththalib berkumpul. Keduanya mengutus al-Muththalib dan al-Fadhl bin Abbas untuk menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam agar beliau mengangkat keduanya sebagai amil zakat. Dengan demikian, keduanya ikut mendapat bagian dari zakat sebagaimana yang lainnya.

Tatkala keduanya menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الصَّدَقَةَ لاَ تَنْبَغِي لِآلِ مُحَمَّدٍ، إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ

“Sesungguhnya zakat tidak dihalalkan bagi Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan keluarganya. Zakat itu hanyalah merupakan kotoran manusia.”

Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menikahkan keduanya. Beliau juga memerintahkan petugas al-khumus agar memberikan harta al-khumus kepada keduanya untuk mahar pernikahan.” (HR. Muslim “Bab Tarki Isti’mali Ali an-Nabi ‘alash Shadaqah” no. 1072)

b. Hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu

أَخَذَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا تَمْرَةً مِنْ تَمْرِ الصَّدَقَةِ فَجَعَلَهَا فِى فِيهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كِخْ كِخْ، ارْمِ بِهَا! أَمَا عَلِمْتَ أَنَّا لاَ نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ؟

Al-Hasan bin Ali radhiallahu anhuma memungut sebutir kurma dari kurma zakat lalu memasukkannya ke dalam mulutnya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Kikh kikh,[2] muntahkan! Tidakkah engkau mengetahui bahwa kita tidak boleh memakan harta zakat?” (HR. al-Bukhari no. 1491 dan Muslim no. 1069)

Dalam riwayat al-Bukhari yang lain dengan lafaz,

أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ آلَ مُحَمَّدٍ لاَ يَأْكُلُونَ الصَّدَقَةَ؟

“Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya Muhammad dan keluarganya tidak boleh memakan harta zakat?” (HR. al-Bukhari no. 1485)

Kedua hadits ini menunjukkan haramnya zakat bagi mereka. Hadits yang pertama menunjukkan bahwa sebabnya adalah zakat merupakan kotoran manusia. Sebab, zakat yang dikeluarkan membersihkan pemiliknya dari kotoran (dosa). Suatu pembersih tentu saja bercampur dengan kotoran yang dibersihkannya.

Dalil bahwa zakat membersihkan pemiliknya dari kotoran adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

خُذۡ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡ صَدَقَةٗ تُطَهِّرُهُمۡ وَتُزَكِّيهِم بِهَا

 

“Hendaklah engkau (wahai Muhammad) mengambil zakat dari harta-harta mereka yang dengannya engkau membersihkan mereka dari dosa dan memperbaiki keadaan mereka.” (at-Taubah: 103)

Keumuman hadits-hadits tersebut meliputi Bani Hasyim, baik yang fakir-miskin, sebagai amil zakat, muallaf, maupun lainnya. Bahkan, hadits al-Muththalib bin Rabi’ah bin al-Harits merupakan nas yang menunjukkan bahwa zakat adalah haram bagi Bani Hasyim meskipun mereka menjadi amil zakat. Sebab, kisahnya terkait dengan permintaan mereka menjadi amil zakat dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tetap mengharamkan bagi mereka. Inilah pendapat yang rajih.

Demikian pula keumuman hadits-hadits yang ada, meliputi zakat Bani Hasyim dan yang lainnya. Inilah pendapat yang rajih.

Bani Hasyim haram menerima zakat. Sebagai gantinya, mereka berhak dibantu dengan harta al-khumus, yaitu seperlima bagian dari seperlima ghanimah (harta rampasan perang), sedangkan empat per lima bagian dari ghanimah dibagikan kepada pasukan yang merampasnya.

Jadi, seperlima bagian dari ghanimah dibagi menjadi lima bagian. Salah satunya untuk kerabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Seperlima bagian tersebut untuk kerabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, yaitu Bani Hasyim. Dalam hal ini Banil Muththalib memiliki hukum yang sama dengan mereka.

Jubair bin Muth’im radhiallahu anhu berkisah,

مَشَيْتُ أَنَا وَعُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، أَعْطَيْتَ بَنِي الْمُطَّلِبِ وَتَرَكْتَنَا، وَنَحْنُ وَهُمْ مِنْكَ بِمَنْزِلَةٍ وَاحِدَةٍ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا بَنُو الْمُطَّلِبِ وَبَنُو هَاشِمٍ شَيءٌ وَاحِدٌ

Aku berjalan bersama Utsman bin Affan radhiallahu anhu menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Kami berkata, “Wahai Rasulullah, engkau memberi bagian dari al-khumus kepada Banil Muththalib dan engkau membiarkan kami. Padahal kami dan mereka memiliki kedudukan yang sama darimu.” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun bersabda, “Hanyalah Banil Muththalib dan Bani Hasyim itu satu kesatuan.” (HR. al-Bukhari no. 2971)

Oleh karena itu, apabila mereka dizalimi dengan tidak diberi bagian dari khumus atau tidak ada khumus yang akan dibagikan kepada mereka, sebagaimana realitas pada masa sekarang, fakir-miskin di antara mereka berhak dibantu dengan zakat untuk memenuhi kebutuhan darurat (pokok) mereka. Ini adalah pendapat sebagian fuqaha mazhab Hanbali, salah satu sisi pendapat di kalangan fuqaha mazhab Syafi’i, dinukilkan juga dari Abu Hanifah, dan dirajihkan oleh Ibnu Taimiyah serta Ibnu Utsaimin.

Ada beberapa golongan yang diperselisihkan oleh ulama, apakah memiliki hukum yang sama dengan Bani Hasyim atau tidak?

Golongan-golongan tersebut adalah sebagai berikut.

a. Maula Bani Hasyim, yaitu budak yang dimerdekakan oleh Bani Hasyim

Pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa mereka memiliki hukum yang sama dengan Bani Hasyim dalam hal haramnya zakat bagi mereka. Ini berdasarkan hadits Abu Rafi’ maula Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk menjadi amil zakat.

Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الصَّدَقَةَ لَا تَحِلُّ لَنَا وَإِنَّ مَوَالِيَ الْقَوْمِ مِنْ أَنْفُسِهِمْ

“Sesungguhnya zakat tidak dihalalkan bagi kami, dan maula suatu kaum adalah bagian dari mereka.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan yang lainnya; dinilai sahih oleh al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil no. 880)

b. Istri-istri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam

Syaikhul Islam memilih salah satu riwayat dari Imam Ahmad bahwa zakat itu haram bagi istri-istri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Sebab, mereka merupakan keluarga/kerabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ini adalah pendapat yang rajih.

Adapun maula istri-istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam, tidak ada perbedaan pendapat bahwa kedudukannya berbeda dengan maula Bani Hasyim. Zakat itu halal atas mereka.

c. Banil Muththalib

Al-Muththalib adalah saudara Hasyim. Mereka empat bersaudara, yaitu Hasyim, al-Muththalib, Abdu Syams, dan Naufal. Ayah mereka bernama Abdu Manaf.

Asy-Syafi’i dan salah satu riwayat dari Ahmad berpendapat bahwa Banil Muththalib memiliki hukum yang sama dengan Bani Hasyim, yakni haram menerima zakat. Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Hajar.

Mereka berdalil dengan qiyas (analogi) terhadap penyamaan hukum antara keduanya dalam hal menerima bagian dari al-khumus. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengabarkan bahwa Bani Hasyim dan Banil Muththalib adalah dua keluarga yang merupakan satu kesatuan yang berhak menerima al-khumus, sebagaimana dalam hadits Jubair bin Muth’im radhiallahu anhu di atas.

Berdasarkan pendapat ini, berlaku perbedaan pendapat tentang hukum maula Banil Muththalib dalam menerima zakat seperti pada maula Bani Hasyim, berikut yang rajih dari perbedaan pendapat tersebut.

Namun, pendalilan ini lemah. Sebab, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyamakan hukum keduanya dalam menerima al-khumus dan menyatakan bahwa keduanya merupakan satu kesatuan. Hal ini berdasarkan loyalitas Banil Muththalib terhadap Bani Hasyim yang senantiasa membela dan menolong mereka dalam peperangan, baik pada masa jahiliah maupun pada masa Islam. Bukan semata-mata karena Banil Muththalib memiliki hubungan kekerabatan. Buktinya, Bani Abdi Syams dan Bani Naufal yang juga memiliki hubungan kekerabatan dengan Bani Hasyim, hukumnya lain.

Adapun dalam masalah zakat, urusannya berbeda dan tidak bisa disamakan.

Oleh karena itu, yang rajih adalah pendapat Abu Hanifah, Malik, dan salah satu riwayat dari Ahmad yang menjadi mazhab ulama Hanbali bahwa Banil Muththalib halal menerima zakat. Sebab, mereka masuk dalam keumuman ayat tentang delapan golongan yang berhak menerima zakat. Mereka tidak termasuk kerabat Muhammad shallallahu alaihi wa sallam yang bernasab mulia yang menyebabkannya diharamkan menerima zakat. Pendapat inilah yang dirajihkan oleh Ibnu Utsaimin.

Masalah: Apakah sedekah yang bersifat sunnah juga diharamkan atas Bani Hasyim?

Ada perbedaan pendapat di antara ulama. Yang rajih, sedekah itu haram atas Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan halal untuk Bani Hasyim yang lainnya. Jadi, khusus bagi Nabi shallallahu alaihi wa sallam, seluruh sedekah haram, baik yang wajib (zakat) maupun yang sunnah. Ini adalah pendapat jumhur, yang dirajihkan oleh Ibnu Qudamah dan Ibnu Utsaimin.

Ibnu Qudamah menerangkan sebabnya,

“Sebab, hal itu termasuk ciri dan tanda yang menunjukkan kenabian beliau shallallahu alaihi wa sallam sehingga beliau shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menerimanya sama sekali.”

Ada banyak hadits yang menunjukkan hal ini.

Adapun Bani Hasyim yang lainnya, halal menerima sedekah sunnah tetapi haram menerima yang wajib (zakat). Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, yang dirajihkan oleh Ibnu Qudamah dan Ibnu Utsaimin.

Ibnu Utsaimin berkata dalam Fathu Dzil Jalali wal Ikram,

“Sebab, diharamkannya zakat bagi Bani Hasyim ini tidak sesuai penerapannya pada sedekah sunnah. Sedekah sunnah hukumnya tidak wajib (seperti zakat) sehingga bukan merupakan pembersih harta (kotoran manusia), melainkan sebagai penghapus dosa.”

  1. Orang Kaya

Yang dimaksud dengan orang kaya di sini adalah orang yang memiliki harta yang cukup dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari bersama keluarganya—jika dia berkeluarga—dalam jangka waktu setahun, menurut tingkat kehidupan masyarakat sekitarnya yang sederajat dengannya.

Golongan orang kaya diharamkan menerima zakat untuk memenuhi kebutuhannya bersama keluarganya—jika dia berkeluarga—karena dia bukan golongan fakir-miskin yang membutuhkan.

Dalilnya adalah hadits Ubaidullah bin Adi bin Khiyar radhiallahu anhu tentang dua orang sahabat, keduanya bercerita kepada Ubaidullah,

أَنَّهُمَا أَتَيَا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ وَهُوَ يَقْسِمُ الصَّدَقَةَ فَسَأَلَاهُ مِنْهَا فَرَفَعَ فِينَا الْبَصَرَ وَخَفَضَهُ فَرَآناَ جَلْدَينِ فَقَالَ: إِنْ شِئْتُمَا أَعْطَيتُكُمَا وَلاَ حَظَّ فِيهَا لِغَنِيٍّ وَلاَ لِقَوِيٍّ مُكْتَسِبٍ

Mereka berdua mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada haji Wada’ ketika beliau tengah membagi-bagikan zakat. Keduanya lantas meminta bagian kepada beliau shallallahu alaihi wa sallam.

Mereka berkata, “Beliau shallallahu alaihi wa sallam menatap kami dan mengamati dari atas ke bawah. Beliau melihat kami berdua sebagai lelaki yang kuat.”

Beliau shallallahu alaihi wa sallam kemudian berkata, “Jika kalian menginginkannya (akan kuberikan). Akan tetapi, sesungguhnya tidak ada bagian dari zakat untuk seorang yang kaya, tidak pula untuk seorang yang berfisik kuat, serta punya profesi yang mencukupinya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, ad-Daraquthni, al-Baihaqi, dan lainnya; dinyatakan bagus sanadnya oleh Ahmad, dinilai sahih oleh an-Nawawi dalam al-Majmu’ [6/170] dan al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil no. 876)

Demikian pula hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu anhu yang telah lewat. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلاَّ لِخَمْسَةٍ: لِغَازٍ فِى سَبِيلِ اللهِ، أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا، أَوْ لِغَارِمٍ، أَوْ لِرَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ، أَوْ لِرَجُلٍ كَانَ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتُصُدِّقَ عَلَى الْمِسْكِينِ فَأَهْدَاهَا الْمِسْكِينُ لِلْغَنِيِّ.

“Zakat tidak halal bagi orang kaya, kecuali lima lima jenis orang kaya: (1) yang berjihad di jalan Allah, (2) amil zakat, (3) yang berutang, (4) yang membelinya (zakat tersebut) dengan hartanya, dan (5) yang bertetangga dengan orang miskin yang mendapat zakat kemudian menghadiahkannya kepadanya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan al-Hakim)

Kedua hadits ini menunjukkan bahwa orang kaya haram menerima zakat dari bagian golongan fakir-miskin, bagaimana pun derajat kekayaannya, baik dia memiliki harta yang mencapai nishab maupun tidak.[3]

  1. Orang yang Berfisik Kuat dan Berpenghasilan Cukup

Orang yang berfisik kuat dan punya profesi/penghasilan yang mencukupinya untuk keluarganya—jika dia berkeluarga—pada hakikatnya termasuk kaya.

Oleh karena itu, zakat haram baginya untuk memenuhi kebutuhannya bersama keluarganya—jika dia berkeluarga. Sebab, dia tidak termasuk golongan fakir-miskin yang membutuhkan.

Dalilnya adalah hadits dua laki-laki sahabat di atas. Makna muktasib dalam hadits tersebut, seperti kata asy-Syaukani dalam Nailul Authar, adalah berpenghasilan cukup.

Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata menerangkan hadits ini dalam Fathu Dzil Jalali wal Ikram,

“Nabi shallallahu alaihi wa sallam mempersyaratkan dua syarat untuk golongan ini, yaitu fisik kuat dan punya profesi/penghasilan. Jika dia berfisik kuat, tetapi tidak punya profesi/penghasilan, zakat halal baginya. Jika dia punya profesi, tetapi fisiknya lemah, zakat halal baginya. Seperti halnya seorang lelaki yang memiliki profesi yang ditekuni, tetapi dia tidak mampu bekerja menjalankan profesinya karena sakit, maka zakat halal baginya.

Inilah dua golongan yang haram menerima zakat: orang kaya serta orang yang berfisik kuat dan berprofesi dengan penghasilan yang mencukupinya. Orang kaya tercukupi dengan hartanya. Orang yang berfisik kuat dan berprofesi tercukupi dengan penghasilannya.”

  1. Orang yang Tercukupi Nafkahnya oleh yang Menanggungnya

Orang yang telah tercukupi nafkahnya oleh pihak yang bertanggung jawab menafkahinya, tidak berhak diberi zakat untuk memenuhi kebutuhannya. Sebab, kebutuhannya telah tercukupi dengan nafkah itu.

Maka dari itu, zakat tidak boleh diberikan kepada seorang wanita fakir yang dipenuhi nafkahnya oleh suaminya, seorang anak yang dipenuhi nafkahnya oleh ayahnya, dan siapa saja yang kebutuhannya dipenuhi oleh pihak yang menanggung nafkahnya.

Demikian pendapat yang rajih, menurut Ibnu Utsaimin rahimahullah.

Perhatian

Zakat halal bagi orang yang kaya—dengan harta/penghasilannya—dan orang yang terpenuhi nafkahnya oleh yang menanggungnya dari sisi makna yang lain selain kemiskinan dan kefakiran, yaitu sebagai amil zakat, orang yang berutang, mujahid, atau ibnus sabil yang kehabisan bekal dalam safarnya. Penjelasannya bisa dibaca pada pada Golongan yang Berhak Menerima Zakat.

  1. Orang yang Dinafkahinya

Yang wajib dinafkahi oleh seseorang terkait dengan pembahasan zakat meliputi:

a. Kerabat yang dinafkahinya

Orang yang kaya wajib menafkahi keturunannya ke bawah dan asal-usulnya ke atas secara mutlak (mewarisi atau tidak mewarisi). Demikian pula kerabatnya yang lain, dengan syarat dia mewarisi dari kerabatnya itu. Adapun kerabat yang pada asalnya tidak diwarisi olehnya atau dia tertutupi oleh yang lainnya untuk menerima warisan darinya, dia tidak berkewajiban memberi nafkah kepadanya.

Oleh karena itu, seseorang yang mampu (kaya) berkewajiban menafkahi kedua orang tuanya yang miskin, kakek dan neneknya yang miskin, anak-anak dan cucu-cucunya yang miskin, serta kerabat lainnya yang miskin yang diwarisinya.

Seseorang diharamkan memberikan zakatnya kepada kerabat yang dinafkahinya untuk menutupi kebutuhannya dengan zakat itu. Sebab, jika zakatnya diberikan kepada orang yang dinafkahinya, berarti kebutuhannya tercukupi dengan zakat itu. Dengan sendirinya, gugurlah kewajibannya memberi nafkah kepadanya.

Maka dari itu, pemberian zakat kepadanya mengandung makna pengguguran kewajiban menafkahinya. Ini tentu tidak diperbolehkan. Ini adalah mazhab asy-Syafi’i dan salah satu riwayat dari Ahmad, yang dirajihkan oleh Ibnu Taimiyah, as-Sa’di, dan Ibnu Utsaimin.

Pendapat ini lebih kuat daripada pendapat jumhur yang membolehkan zakat diberikan kepada kerabat selain orang tua dan anak. Berdasarkan hal ini:

  • seseorang yang menafkahi anaknya, tidak boleh memberikan zakatnya kepada anaknya, yang berarti menggugurkan nafkahnya.

  • seseorang yang menafkahi orang tuanya tidak boleh memberikan zakatnya kepada orang tuanya, yang berarti menggugurkan nafkahnya.

  • seseorang yang menafkahi kakek atau neneknya tidak boleh memberikan zakatnya kepada kakek atau neneknya, karena menggugurkan nafkahnya.

  • seseorang yang menafkahi saudaranya tidak boleh memberikan zakatnya kepada saudaranya tersebut, yang berarti menggugurkan nafkahnya.

Jika pemberian zakat kepada salah seorang mereka tidak menggugurkan nafkahnya, hukumnya boleh menurut mazhab Syafi’i, salah satu pendapat dalam mazhab Hanbali, yang dirajihkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Utsaimin. Pendapat ini yang rajih, insya Allah.

Berdasarkan hal ini, jika seseorang tidak menafkahinya karena hartanya tidak cukup untuk menafkahinya dan dia memiliki zakat, dia boleh memberikan zakatnya kepadanya. Sebab, hal itu tidak bermakna menggugurkan kewajibannya memberi nafkah kepadanya.

Misalnya, seseorang menafkahi ayahnya, tetapi tidak cukup untuk menafkahi kakeknya. Maka dari itu, zakatnya harus diserahkan kepada kakeknya, bukan ayahnya. Hal ini agar kewajiban memberikan nafkah kepada ayah tidak gugur. Begitu seterusnya, dengan anak dan cucu. Zakat itu diberikan kepada cucu, bukan kepada anak.

Demikian pula halnya jika yang dinafkahinya berhak menerima zakat dengan makna lain selain kefakiran dan kemiskinan, seperti halnya jika dia berutang atau musafir yang terputus bekalnya dalam safar. Dalam hal ini dia boleh memberikan zakat tersebut kepadanya untuk melunasi utangnya atau bekalnya dalam menyempurnakan safarnya.

Namun, jika yang dinafkahinya berutang untuk memenuhi kebutuhan nafkah yang semestinya merupakan tanggung jawabnya, dia tidak boleh memberikan zakatnya untuk pelunasan utang tersebut. Hal ini karena maknanya kembali kepada pengguguran nafkah yang wajib ditanggungnya. Dia berkewajiban untuk melunasi utang kerabatnya dengan hartanya, bukan dari zakatnya. Sebab, utang itu untuk memenuhi kebutuhan/nafkah kerabat yang merupakan tanggung jawabnya.[4]

Jika kerabat yang dinafkahinya berhak menerima zakat untuk kebutuhan dan maslahat kaum muslimin, yaitu sebagai mujahid, atau berutang untuk mendamaikan dua pihak yang bertikai, dia boleh memberikan zakatnya kepada kerabatnya itu. Hal ini diterangkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qudamah.[5]

b. Istri

Seorang suami wajib menafkahi istrinya secara mutlak, baik istrinya miskin maupun kaya. Haram baginya memberikan zakatnya kepada istrinya untuk memenuhi kebutuhannya yang seharusnya dipenuhi dengan nafkahnya. Sebab, hal ini bermakna menggugurkan kewajiban memberikan nafkah kepadanya, ini tidak boleh.

Adapun seseorang memberikan zakatnya kepada istrinya untuk makna lain yang tidak mengandung makna pengguguran nafkah, seperti melunasi utangnya, maka dibolehkan. Ini menurut pendapat yang dirajihkan oleh Ibnu Utsaimin.[6]

  1. Budak

Zakat tidak boleh diberikan kepada seorang budak untuk memenuhi kebutuhannya. Sebab, nafkah seorang budak merupakan tanggung jawab tuan/pemiliknya. Kebutuhannya telah terpenuhi dengan nafkah dari tuannya. Di samping itu, seorang budak tidak mempunyai hak milik, karena diri dan hartanya adalah milik tuannya. Jika dia diberi zakat, otomatis zakat itu akan beralih ke tangan tuannya.

Ibnu Qudamah berkata, “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini.”

Berbeda halnya jika seorang budak diberi zakat sebagai amil zakat dengan izin tuannya. Hal ini boleh sebagaimana bolehnya menyewa tenaga seorang budak untuk suatu pekerjaan dengan izin tuannya.

Demikian pula, boleh menyalurkan zakat untuk memerdekakan budak, sebagaimana telah dibahas pada Golongan yang Berhak Menerima Zakat.[7]

  1. Orang Kafir

Orang kafir tidak boleh diberi zakat.

Ibnul Mundzir menukilkan ijmak (kesepakatan) ulama tentang hal ini. Ibnu Qudamah mengatakan, “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini.”

Akan tetapi, dikecualikan orang kafir yang diberi zakat sebagai mualaf.[8]

Wallahu a’lam.


[1] Lihat al-Ishabah fi Ma’rifati ash-Shahabah pada biografi Utbah bin Abi Lahab dan Mu’attib bin Abi Lahab.

[2] Kata ini digunakan untuk menghardik anak kecil dari sesuatu yang kotor dan menjijikkan. Lihat Syarhu Muslim li an-Nawawi “Bab Tahrim az-Zakah ‘ala Rasulillah”, dan Fathul Bari “Bab Ma Yudzkaru fi ash-Shadaqah li an-Nabi”.

[3] Lihat kembali pembahasan golongan fakir-miskin yang berhak mendapat zakat pada Kajian Utama Orang-orang yang Berhak Menerima Zakat.

[4] Lihat al-Mughni (4/98—100), al-Majmu’ (6/222—223), Majmu’ al-Fatawa (25/90—93), al-Ikhtiyarat hal. 61—62, Nailul Authar (4/178—179), dan asy-Syarhul Mumti’ (6/251—253, 262—263).

[5] Lihat Majmu’ al-Fatawa (25/90), al-Mughni (4/108).

[6] Lihat al-Mughni (4/100), al-Majmu’ (6/173—174, 223), Nailul Authar: Bab Fadhli ash-Shadaqah ‘ala az-Zauji wal Aqarib, dan asy-Syarhul Mumti’ (6/268).

[7] Lihat al-Mugni (4/106—107) dan asy-Syarhul Mumti’ (6/264—266).

[8] Lihat al-Mughni (4/106—108) dan al-Majmu’ (6/110).

 

Ditulis oleh Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-Makassari