Golongan yang berhak menerima zakat disebut juga ahli zakat. Jumlahnya delapan golongan.
Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan mereka dalam Al-Qur’an,
إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡعَٰمِلِينَ عَلَيۡهَا وَٱلۡمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمۡ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَٱلۡغَٰرِمِينَ وَفِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِۖ فَرِيضَةً مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil (petugas) zakat, para mualaf yang dibujuk kalbunya, untuk (pemerdekaan) budak, untuk pelunasan utang orang-orang yang berutang, untuk jihad, dan untuk kepentingan musafir yang kehabisan bekal dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (at-Taubah: 60)
Perlu diketahui bahwa delapan golongan tersebut terbagi menjadi dua kelompok: kelompok yang menggunakan huruf lam (اللَّامُ) dan kelompok yang menggunakan huruf fi (فِي).
لِلۡفُقَرَآءِ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡعَٰمِلِينَ عَلَيۡهَا وَٱلۡمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمۡ
“Untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil (petugas) zakat, dan para mualaf yang dibujuk kalbunya.”
Huruf ini bermakna kepemilikan. Artinya, zakat itu diberikan kepada golongan-golongan tersebut untuk dimiliki oleh mereka. Berdasarkan hal ini, zakat tersebut harus diberikan kepada mereka untuk dimiliki oleh mereka sendiri. Setelahnya, terserah pemiliknya masing-masing dalam memanfaatkan harta tersebut untuk kepentingan dan maslahat dirinya, apakah untuk kebutuhan makan dan minum, pakaian, tempat tinggal, melunasi utang, atau hajat lainnya.
Seandainya seorang fakir-miskin yang telah diberi zakat tiba-tiba mendapat warisan dalam jumlah besar dan menjadi kaya karenanya, zakat yang telah diterimanya tetap menjadi miliknya. Dia tidak dituntut mengembalikannya.
وَفِي ٱلرِّقَابِ وَٱلۡغَٰرِمِينَ وَفِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِۖ
“Untuk (pemerdekaan) budak, untuk pelunasan utang orang-orang yang berutang, untuk jihad, dan untuk kepentingan musafir yang kehabisan bekal dalam perjalanan.”
Huruf ini bermakna zharfiyah (ruang lingkup). Artinya, zakat itu disalurkan dalam ruang lingkup kepentingan golongan-golongan tersebut, bukan dimiliki oleh mereka untuk digunakan secara bebas dalam memenuhi seluruh hajat dan maslahat yang diinginkannya. Zakat itu digunakan secara terbatas dalam ruang lingkup kepentingan yang menjadi alasan zakat itu diberikan.
Atas dasar ini, Ibnu Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’ (6/229, 234–235) menyatakan bahwa zakat tersebut tidak harus diserahkan langsung ke tangan mereka, tetapi bisa disalurkan untuk kepentingan yang bersangkutan tanpa melalui tangannya. Berikut ini penjelasannya.
Zakat bisa diberikan ke tangan seorang budak mukatab (yang membeli dirinya) yang telah membeli dirinya dari tuannya dengan mencicil, untuk dia bayarkan kepada tuannya agar dia dimerdekakan. Bisa pula langsung dibayarkan kepada tuannya agar memerdekakannya tanpa sepengetahuan budak yang bersangkutan.
Zakat bisa diberikan kepadanya untuk dia gunakan melunasi utangnya. Bisa pula diberikan langsung kepada pemilik piutang tersebut tanpa sepengetahuan yang bersangkutan.
Zakat boleh diberikan kepada para mujahid yang berjihad untuk memenuhi kebutuhannya selama jihad berlangsung. Boleh juga langsung dibelanjakan untuk kepentingan jihad berupa peralatan/persenjataan perang dan lainnya.
Zakat boleh diberikan kepadanya untuk memenuhi kepentingan safarnya hingga dia tiba di negerinya. Boleh juga langsung dibelikan tiket kendaraan (pesawat, kereta, atau bus), perbekalan makan/minum, dan lainnya yang dibutuhkannya dalam safar. Setelah itu, diberikan kepadanya hingga dia tiba di negerinya.
Apabila zakat itu telah digunakan olehnya untuk kepentingan yang menjadi alasan dia diberi zakat dan ada yang tersisa, sisanya wajib dikembalikan. Selain mujahid (orang yang berjihad), maka menurut Ibnu Qudamah rahimahullah, sisa yang ada menjadi haknya, sebagaimana akan datang penjelasannya. Wallahu a’lam.
Apabila di antara kelompok yang pertama (yang berhak memilikinya) ada yang lemah akalnya dalam pemanfaatan harta, zakat itu diberikan kepada wali yang mengurusi kepentingan dan maslahatnya, untuk disalurkan olehnya demi kepentingan dan maslahat yang bersangkutan.
Sebagian ulama ada yang beranggapan bahwa fakir dan miskin adalah sama, padahal keduanya berbeda. Namun, ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam membedakan keduanya. Ada yang berpendapat bahwa orang fakir lebih kesusahan daripada orang miskin. Ada pula yang berpendapat sebaliknya. Yang rajih, orang fakir lebih kesusahan daripada orang miskin.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata,
“Orang fakir lebih kesusahan daripada orang miskin. Orang miskin adalah orang yang punya harta/penghasilan, tetapi tidak mencukupinya. Adapun orang fakir tidak punya harta/penghasilan sama sekali. Ini adalah pendapat asy-Syafi’i serta jumhur ahli hadits dan ahli fikih.”
Ini pula pendapat Ibnu Hazm azh-Zhahiri.
Dalil-dalil yang ada menunjukkan secara jelas hakikat fakir dan miskin, serta perbedaan keduanya. Jadi, jika digandengkan, keduanya memiliki perbedaan yang disebutkan. Namun, jika disebutkan kata fakir secara tersendiri, maknanya meliputi miskin. Demikian pula jika kata miskin disebutkan secara tersendiri, maknanya meliputi fakir.
Yang diperhitungkan dalam penetapan kemiskinan seseorang adalah kebutuhannya dalam setahun penuh. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa periode setahun merupakan periode perputaran haul harta zakat yang senantiasa dikeluarkan zakatnya setiap akhir tahun.
Baca juga:
Maka dari itu, zakat yang diberikan kepada fakir miskin adalah untuk memenuhi hajat kebutuhannya dalam setahun hingga tahun berikutnya, demikian seterusnya. Ini adalah pendapat ulama mazhab Hanbali yang difatwakan oleh Ibnu Utsaimin dan al-Lajnah ad-Da’imah yang diketuai oleh Ibnu Baz.
Pendapat ini lebih kuat daripada pendapat yang mengatakan bahwa yang diperhitungkan adalah kebutuhan seumur hidup, sehingga dia diberi zakat untuk memenuhi kebutuhannya seumur hidup.
Apabila dia berkeluarga, yang diperhitungkan bukan semata-mata kebutuhan dia sendiri. Kebutuhannya bersama seluruh anggota keluarga yang dia tanggung nafkahnya juga dihitung. Apabila penghasilan dan hartanya tidak mencukupi untuk kebutuhan bersama keluarganya dalam setahun, dia termasuk miskin.
Misalnya, penghasilannya setiap bulan satu juta rupiah dan terkadang ada tambahan. Jadi, dalam setahun penghasilannya sekitar 12—14 juta rupiah. Ternyata, kebutuhannya bersama keluarganya dalam setahun sekitar 16 juta rupiah. Berarti, dia termasuk miskin. Selaku pimpinan keluarga yang mewakili seluruh anggota keluarga yang dia tanggung nafkahnya, dia boleh mengambil zakat yang akan memenuhi kebutuhannya bersama mereka selama setahun.
Dhabith (kriteria) yang menjadi tolok ukur dalam hal ini adalah penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan seseorang bersama keluarganya menurut tingkat kehidupan masyarakat sekitarnya yang sederajat dengannya. Demikian fatwa al-Lajnah yang diketuai oleh Ibnu Baz (Fatawa al-Lajnah, 9/428).
Mereka adalah para petugas zakat yang mendapat tugas dan wewenang dari pemerintah untuk pengurusan zakat.
Ibnu Utsaimin menyatakan dalam asy-Syarhul Mumti’ (6/225) bahwa pengurusan zakat membutuhkan tiga jenis petugas yang ditunjuk, yaitu:
Beliau menyatakan bahwa yang bertugas memungut zakat, menjaga, dan membagikannya, merekalah yang dimaksud dengan para amil zakat.
Amil tidak dipersyaratkan harus seorang fakir-miskin. Dia boleh dari kalangan orang kaya selama dia tepercaya. Sebab, para amil bekerja demi maslahat zakat, bukan karena membutuhkan zakat. Yang menunjukkan hal ini adalah hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu anhu,
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلاَّ لِخَمْسَةٍ: لِغَازٍ فِى سَبِيلِ اللهِ، أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا، أَوْ لِغَارِمٍ، أَوْ لِرَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ، أَوْ لِرَجُلٍ كَانَ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتُصُدِّقَ عَلَى الْمِسْكِينِ فَأَهْدَاهَا الْمِسْكِينُ لِلْغَنِيِّ.
“Zakat tidak halal bagi orang kaya, kecuali lima jenis orang kaya: yang berjihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, amil zakat, yang berutang, yang membelinya dengan hartanya, yang bertetangga dengan orang miskin yang mendapat zakat, kemudian menghadiahkannya kepadanya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan al-Hakim)
Hadits ini diperselisihkan apakah maushul (sanadnya bersambung) atau mursal (sanadnya putus). Hadits ini dinyatakan sahih oleh al-Hakim, adz-Dzahabi, an-Nawawi dalam al-Majmu’ (6/191), dan al-Albani dalam al-Irwa’ (no. 870).
Baca juga:
Para amil zakat diberi bagian dari zakat sebagai bayaran atas pekerjaan mereka mengurus zakat dan dinamakan ‘umalah. Mereka mendapatkan bagian sesuai dengan kadar pekerjaan mereka dalam mengurusi zakat.
Demikian pula semua pihak yang ikut beramal dalam pengurusan zakat hingga zakat itu diterima oleh ahli zakat yang berhak. Mereka diberi upah dari zakat sesuai dengan kadar pekerjaan mereka. Seperti juru hitung, juru tulis, juru gudang, penggembala, dan semisalnya.
Adapun yang menimbang dan menakar zakat, serta menghitung zakat binatang ternak yang akan dipungut oleh amil, yang membayar upahnya adalah pemilik zakat. Sebab, hal itu merupakan bagian dari biaya pembayaran zakat yang merupakan tanggung jawab pemilik zakat.
Ini pendapat yang dirajihkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah dan dianggap paling benar oleh fuqaha yang bermazhab Syafi’i. Wallahu a’lam.
Mualaf yang dibujuk kalbunya adalah:
Hatinya dibujuk agar masuk Islam dengan pemberian zakat. Hikmahnya adalah untuk menghidupkan kalbunya yang mati. Jika seorang fakir-miskin diberi zakat untuk kehidupan jasadnya, tentu seorang kafir yang diberi zakat untuk kehidupan kalbunya lebih pantas.
Ibnu Utsaimin menegaskan dalam asy-Syarhul Mumti’ (6/225) bahwa hal itu harus berdasarkan qarinah (indikasi) yang menunjukkan adanya harapan dia akan masuk Islam. Indikasi tersebut misalnya adanya ketertarikan terhadap Islam, dia mencari kitab-kitab Islam untuk dipelajari, atau lainnya.
Adapun orang kafir yang tidak diharapkan keislamannya karena tidak ada indikasi yang mendasarinya, tidak termasuk mualaf. Sebab, menginginkan sesuatu yang tidak berdasar berarti mengkhayalkan sesuatu yang tidak diharapkan terjadi.
Kalbunya dibujuk dengan zakat untuk mencegah gangguan dan kejahatannya terhadap mereka. Hal itu apabila gangguan dan kejahatannya tidak dapat dicegah dengan selain zakat.
Kalbunya dibujuk dengan pemberian zakat agar imannya bertambah kuat dan tetap kokoh dalam Islam. Hikmahnya adalah untuk menghidupkan kalbunya, yang lebih penting daripada kehidupan jasadnya.
Ada perbedaan pendapat di antara ulama, apakah dipersyaratkan mualaf tersebut seorang sayyid (pemimpin/tokoh) yang ditaati oleh kaum/sukunya ataukah tidak?
Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa (28/290) dan as-Sa’di dalam Tafsir-nya menetapkan pendapat yang mempersyaratkan hal itu. Dalilnya:
Berbeda halnya dengan seorang pemimpin atau tokoh kaum/suku yang diharapkan kaumnya juga ikut beriman dan iman mereka menjadi kuat. Demikian pula halnya seorang yang dikhawatirkan kejahatannya terhadap kaum muslimin, jika dia seorang pemimpin/tokoh boleh jadi kejahatannya tidak dapat dicegah dengan cara lain selain dengan membujuk kalbunya melalui zakat.
Adapun jika dia hanya orang biasa, memungkinkan untuk dihukum dengan hukuman penjara, dipukul, atau hukuman lainnya.
Baca juga:
Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam asy-Syarhul Mumti’ (6/227) merajihkan hal ini untuk mualaf yang dikhawatirkan gangguan dan kejahatannya berdasarkan hujah yang disebutkan di atas. Adapun mualaf yang diharapkan keislamannya dan mualaf yang hendak dikuatkan imannya, beliau tidak mempersyaratkannya. Menurut beliau, menjaga agama seseorang agar tetap kokoh dan menghidupkan kalbunya dengan pemberian zakat lebih penting daripada menjaga jasadnya.
Pemerdekaan budak yang dimaksud dalam ayat di atas meliputi:
Mukatab ialah budak yang membeli dirinya dari tuannya dengan pembayaran yang dicicil dua kali atau lebih.
Hal ini dilakukan dengan membeli budak tersebut dari tuannya dengan zakat untuk dimerdekakan. Terlebih budak yang berada di tangan seorang tuan yang menyakitinya atau tuan yang tidak tepercaya atas budaknya.
Hal ini dilakukan dengan menebusnya dengan zakat yang diberikan kepada pihak kafir yang menawannya agar dia dibebaskan. Jika seorang budak saja dibantu dengan zakat agar bebas dari perbudakan, tentu membantu pembebasan seorang muslim yang tertawan musuh dan terancam nyawanya lebih pantas.
Hal ini meliputi:
Utangnya berhak dilunasi dengan zakat jika dia tidak mampu untuk melunasinya, meskipun dia memiliki harta yang mencukupi kebutuhannya bersama keluarganya. Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu anhu yang telah lalu.
Namun, apabila seseorang berutang untuk suatu maksiat, Ibnu Taimiyah, Ibnu Katsir, dan Ibnu Utsaimin merajihkan bahwa utangnya tidak berhak dilunasi dengan zakat hingga dia bertobat. Sebab, pelunasan utangnya dengan zakat berarti mendukung maksiatnya. Berbeda halnya jika dia telah bertobat, utangnya berhak dilunasi dengan zakat.
Maksudnya, ketika dia tidak mendapatkan jalan untuk mendamaikannya kecuali dengan memberikan harta/uang/materi kepada kedua pihak yang bertikai dan menanggung korban harta/jiwa dari kedua pihak, lalu dia berutang untuk hal itu.
Ibnu Utsaimin menyatakan dalam Fathu Dzil Jalali wal Ikram bahwa yang dikenal dari keterangan ulama adalah dipersyaratkan dalam hal ini pertikaian antarkelompok atau antarsuku, bukan pertikaian antarpribadi. Hanya ini yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah dan as-Sa’di.
Namun, an-Nawawi menukilkan dalam al-Majmu’ dari asy-Syafi’i dan fuqaha mazhab Syafi’I bahwa hal ini meliputi pertikaian antarsuku, antarkelompok, dan antarpribadi.
Dalilnya adalah hadits Qabishah bin Mukhariq al-Hilali radhiallahu anhu, dia berkata,
تَحَمَّلْتُ حَمَالَةً فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْأَلُهُ فِيهَا. فَقَالَ: أَقِمْ حَتَّى تَأْتِيَنَا الصَّدَقَةُ فَنَأْمُرَ لَكَ بِهَا. ثُمَّ قَالَ: يَا قَبِيصَةُ، إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَ تَحِلُّ إِلاَّ لِأَحَدِ ثَلاَثَةٍ: رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ …. الْحَدِيثَ
“Aku menanggung utang (untuk mendamaikan dua suku/kelompok yang bertikai). Aku pun menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk meminta harta guna melunasinya.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Tinggallah di sini hingga datang harta zakat kepada kami. Kami akan memerintahkan untuk diberikan kepadamu.”
Lalu beliau shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta itu tidak boleh kecuali bagi salah satu dari tiga golongan: seorang yang menanggung utang (untuk mendamaikan dua suku/kelompok yang bertikai), maka halal baginya untuk meminta hingga dia mendapatkannya (untuk melunasinya), lalu dia berhenti …. dst.” (HR. Muslim no. 1044)
Baca juga:
Oleh karena itu, utangnya berhak dilunasi dengan zakat meskipun dia kaya, berdasarkan zahir (yang tampak) dari hadits Qabishah di atas. Demikian juga berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu anhu yang telah lewat.
Ibnu Utsaimin berkata dalam Fathu Dzil Jalali wal Ikram,
“Dia diberi zakat meskipun kaya. Hal ini termasuk membantu dan menolong dalam urusan yang baik lagi terpuji dan disyukuri. Sudah sepantasnya dia diberi zakat untuk melunasi utangnya tersebut agar memotivasi dirinya dan yang semisalnya untuk melakukannya. Sebab, biasanya utang tersebut berjumlah besar.”
Ibnu Utsaimin merajihkan mazhab Ahmad dan jumhur ulama bahwa hal itu tidak boleh dengan beberapa alasan berikut.
Sebab, utang adalah seperti kata pepatah, “Utang adalah kegelisahan di malam hari dan kehinaan di siang hari.”
Pada awalnya, jika ada mayat yang tidak meninggalkan harta untuk melunasi utangnya, beliau tidak menyalatinya. Setelah Allah subhanahu wa ta’ala memberikan banyak kemenangan kepada beliau dan banyak harta fai (baitul mal) yang diperuntukkan bagi kemaslahatan kaum muslimin, beliau pun melunasi utang mayat darinya.
Sebab, biasanya perasaan lebih condong untuk mengasihani orang yang telah meninggal daripada yang masih hidup.
Yang dimaksud dengan fi sabilillah (di jalan Allah subhanahu wa ta’ala) dalam ayat adalah jihad saja, bukan yang lainnya. Inilah yang benar dari seluruh pendapat ulama. Ini adalah pendapat jumhur dan Ibnu Hazm.
Dalilnya adalah hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu anhu,
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِىٍّ إِلاَّ لِخَمْسَةٍ: لِغَازٍ فِى سَبِيلِ اللَّهِ …. الحديث.
“Zakat tidak halal bagi orang kaya, kecuali lima lima jenis orang kaya: yang berjihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala …. dst.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan al-Hakim)[1]
Oleh karena itu, penafsiran ayat ini dengan seluruh jalan kebaikan, seperti pembangunan masjid, madrasah/sekolah agama, biaya operasional madrasah, pencetakan/penerbitan buku-buku agama, dan yang semisalnya, adalah pendapat yang lemah.
Hal ini diingkari pula oleh Ibnu Qudamah, al-Albani, Ibnu Utsaimin, dan al-Lajnah ad-Da’imah yang diketuai Ibnu Baz. Menurut mereka, jika demikian maknanya, berarti tidak ada faedahnya pembatasan ahli zakat pada delapan golongan saja. Sebab, penafsiran ini berkonsekuensi meliputi seluruh jalan kebaikan yang tidak terbatas. Bahkan, al-Albani menyatakan bahwa pendapat seperti ini tidak dinukilkan dari siapa pun dari kalangan ulama salaf.
Baca juga:
Adapun ibadah haji sebagai salah satu amalan fi sabilillah telah diperdebatkan sengit oleh para ulama. Apakah haji termasuk dalam cakupan ayat yang berhak mendapatkan penyaluran zakat atau tidak?
Syaikhul Islam dan al-Albani memilih pendapat yang mengatakan bahwa ibadah haji termasuk dalam cakupan fi sabilillah yang berhak mendapat penyaluran zakat. Ini adalah salah satu riwayat dari dua pendapat Imam Ahmad dan merupakan fatwa Ibnu Abbas radhiallahu anhuma serta Ibnu Umar radhiallahu anhuma.
Pendapat ini berhujah dengan hadits Ibnu Abbas radhiallahu maanhu tentang seorang wanita yang meminta kepada suaminya agar diberangkatkan berhaji oleh suaminya dengan mengendarai untanya yang telah diwakafkan untuk kepentingan jihad fi sabilillah. Suaminya lalu mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk menanyakan hal itu.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَمَا إِنَّكَ لَوْ أَحْجَجْتَهَا عَلَيْهِ كَانَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ .
“Ketahuilah bahwa jika engkau memberangkatkannya berhaji dengan mengendarai unta itu, sesungguhnya hal itu termasuk di jalan Allah.” (HR. Abu Dawud, ath-Thabarani, al-Hakim, dan Ibnu Khuzaimah; dinilai sahih oleh al-Albani dalam Tamamul Minnah hlm. 381 dan al-Irwa’ no. 869)
Adapun Ibnu Utsaimin memilih pendapat yang mengatakan bahwa ibadah haji tidak termasuk dalam cakupan fi sabilillah yang dimaksudkan dalam ayat tersebut. Dengan demikian, tidak berhak mendapat penyaluran zakat. Ini adalah mazhab Imam Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, salah satu riwayat dari dua pendapat Imam Ahmad, dan jumhur ulama, serta Ibnu Hazm.
Ibnu Hazm berkata,
“Jika dikatakan, ‘Bukankah telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa ibadah haji termasuk fi sabilillah? Telah benar pula riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma bahwa beliau berfatwa bahwa ibadah haji berhak mendapat penyaluran zakat?’
Kami jawab, memang benar demikian dan seluruh amalan kebaikan termasuk di jalan Allah. Akan tetapi, tidak ada perbedaan pendapat bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak menginginkan seluruh jalan-jalan kebaikan dalam masalah pembagian zakat. Oleh karena itu, zakat tidak boleh dibagikan kepada selain yang ditetapkan oleh nas.”
Nas yang beliau maksud adalah hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu anhu di atas yang menetapkan bahwa fi sabilillah yang berhak mendapat penyaluran zakat adalah jihad.
Baca juga:
Mereka menguatkan hal ini dengan hujah bahwa seorang mujahid di medan jihad diberi zakat demi kebutuhan dan kepentingan kaum muslimin terhadapnya. Adapun seorang yang berhaji, kaum muslimin tidak punya kebutuhan dan kepentingan terhadapnya. Tidak ada pula manfaat untuk kaum muslimin dengan hajinya seseorang.
Lagi pula tidak ada tuntutan kebutuhan bagi seorang fakir miskin untuk diberangkatkan berhaji dengan zakat. Sebab, haji tidak diwajibkan baginya selaku orang yang tidak mampu menunaikannya dari sisi kemampuan harta.
Penyaluran zakat untuk menutupi kebutuhan orang-orang yang berhajat dari delapan golongan yang berhak mendapat zakat serta penyalurannya untuk kepentingan dan maslahat kaum muslimin tentu lebih diutamakan daripada ini.
Kesimpulannya, pendapat jumhur tampak lebih kuat. Sepertinya, inilah yang rajih. Wallahu a’lam.
Berdasarkan hal ini, jihad dalam ayat ini meliputi:
Ibnu Utsaimin menegaskan bahwa dalam hal ini tidak hanya diberikan ke tangan para mujahid tersebut. Akan tetapi, zakat berhak disalurkan untuk memenuhi seluruh kebutuhan dan kepentingan perang berupa nafkah para mujahid selama perang, pembelian persenjataan/peralatan perang, kendaraan perang, dan lainnya yang terkait dengan kepentingan jihad tersebut.
Termasuk pula membayar para penunjuk jalan yang disewa untuk menunjukkan tempat-tempat yang dibutuhkan dalam perang tersebut. Sebab, fi sabilillah (jihad) dalam ayat menggunakan huruf fi sebagaimana telah diterangkan di atas.
Seorang mujahid berhak diberi zakat untuk memenuhi kebutuhannya selama perang berlangsung meskipun dia termasuk orang kaya. Ini berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu anhu yang telah lewat. Hal itu karena para mujahid tersebut diberi zakat untuk kebutuhan dan maslahat kaum muslimin.
Oleh karena itu, jika dia tidak jadi berangkat ke medan perang, dia berkewajiban mengembalikan zakat tersebut. Jika dia pulang di tengah jalan sebelum berperang atau tidak menyelesaikan perangnya, dia berkewajiban mengembalikan yang tersisa dari zakat yang diterimanya.
Adapun jika menyelesaikan perangnya dan ada yang tersisa, Ibnu Qudamah menegaskan bahwa zakat yang diberikan kepadanya telah menjadi miliknya. Seba., dia tidaklah diberi kecuali sebatas kebutuhannya selama jihad. Jika ada yang tersisa, berarti dia sendiri yang mempersempit dirinya dalam penggunaan zakat tersebut.
As-Sa’di berkata dalam Taisir al-Karim ar-Rahman,
“Jika seorang lelaki yang memiliki kemampuan untuk mencari nafkah berkonsentrasi menuntut ilmu agama, dia berhak diberi zakat. Sebab, menuntut ilmu agama termasuk jihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala.”
Apa yang dinyatakan oleh as-Sa’di ditegaskan oleh para fuqaha mazhab Hanbali, sebagaimana dalam asy-Syarhul Mumti’ (6/221).
Ibnu Utsaimin berfatwa dalam Majmu’ ar-Rasa’il (18/391—392),
“Aku berpendapat bolehnya menyalurkan zakat kepada para penuntut ilmu syariat. Sebab, agama Islam tegak dengan ilmu dan senjata. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ جَٰهِدِ ٱلۡكُفَّارَ وَٱلۡمُنَٰفِقِينَ
“Wahai Nabi, perangilah kaum kafir dan munafik.” (at-Tahrim: 9)
Baca juga:
Telah diketahui bersama bahwa jihad memerangi kaum munafik dilakukan dengan ilmu, bukan dengan senjata.
Berdasarkan hal ini, zakat disalurkan untuk nafkah mereka dan pembelian kitab-kitab yang mereka butuhkan. Sama saja, baik dibelikan kitab-kitab yang dibutuhkan untuk dimiliki secara pribadi oleh masing-masing mereka maupun dibelikan kitab-kitab yang disimpan di perpustakaan untuk dimanfaatkan oleh penuntut ilmu secara umum. Kitab di tangan penuntut ilmu seperti pedang, senapan, dan senjata lainnya di tangan pasukan perang.
Adapun penyaluran zakat untuk pembangunan asrama dan madrasah (sekolah) untuk kepentingan para penuntut ilmu, kami ragu akan hal itu. Perbedaan antara keduanya, pemanfaatan kitab merupakan sarana untuk menuntut ilmu. Jadi, tidak ada ilmu tanpa kitab. Berbeda halnya dengan asrama dan madrasah.
Namun, jika para penuntut ilmu itu termasuk fakir miskin, boleh menyewakan perumahan untuk mereka dari zakat yang merupakan bagian fakir miskin. Demikian pula halnya dengan madrasah, jika tidak memungkinkan bagi mereka belajar di masjid. Wallahu a’lam.”
Yang dimaksud dengan ibnus sabil dalam ayat adalah musafir yang terputus perjalanannya karena kehabisan bekal dalam safar (perjalanan). Dia membutuhkan bantuan dengan zakat agar bisa pulang ke negerinya. Dia disebut ibnus sabil, yang artinya anak jalan, karena dia menetapi jalan dalam safarnya.
Berdasarkan makna tersebut, seseorang yang baru saja hendak memulai safar meninggalkan negerinya dan tidak punya bekal, dia tidak termasuk ibnus sabil yang berhak dibantu dengan zakat, menurut pendapat yang rajih.
Ini adalah pendapat Ibnu Hazm, Ahmad, Malik, Abu Hanifah, dan jumhur ulama yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah, as-Sa’di, dan al-Utsaimin. Adapun asy-Syafi’i berpendapat bahwa dia termasuk ibnus sabil. Akan tetapi, pendapat yang pertama lebih kuat, insya Allah.
Baca juga:
Ibnu Utsaimin berkata,
“Jika safar yang hendak dilakukannya sangat mendesak dan bersifat darurat, sementara dia tidak punya bekal untuk safar, dia berhak dibantu dengan zakat dari sisi lain, yaitu sebagai orang fakir.”
Seorang ibnus sabil berhak dibantu dengan zakat karena kebutuhannya dalam safar. Oleh karena itu, dia diberi zakat meskipun hartanya melimpah di negerinya.
Apabila perjalanannya terputus sebelum mencapai tempat tujuan safarnya, dia diberi zakat yang cukup sebagai bekal untuk mencapai tempat tujuannya hingga pulang ke negerinya, menurut pendapat mazhab Hanbali dan tampaknya dibenarkan oleh Ibnu Utsaimin.
Menurut kami, pendapat ini lebih kuat daripada pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah bahwa dia hanya berhak dibantu dengan zakat untuk pulang ke negerinya, tidak untuk menyelesaikan perjalanannya ke tempat tujuan hingga dia pulang ke negerinya.
Tidak ada perbedaan antara musafir yang safarnya jauh dan safarnya dekat. Namun, apabila safarnya dalam rangka maksiat, dia tidak berhak dibantu dengan zakat hingga dia bertobat, menurut pendapat yang rajih. Pendapat ini adalah mazhab Hanbali dan dirajihkan oleh Ibnu Utsaimin.
Wallahu a’lam.
[1] Lihat kembali haditsnya secara lengkap pada pembahasan amil (petugas) zakat.