Di Indonesia, ide-ide kontroversial dari kelompok pemuja akal jumlahnya cukup banyak. Berikut ini beberapa contoh gagasan mereka beserta bantahannya.
Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan manusia adalah sebagai makhluk yang penuh dengan kekurangan. Dalam semua sisi kehidupan, kekurangan yang melekat pada manusia ini menyebabkan kemampuan yang dimiliki menjadi sangat terbatas.
Salah satu keterbatasan manusia itu adalah kemampuan akalnya. Setiap manusia yang masih bersih fitrahnya akan mengakui hal ini. Akal manusia tidak akan mampu mengetahui hakikat sesuatu secara sempurna, lebih-lebih bila hakikat itu meliputi berbagai permasalahan.
Fungsi akal manusia yang paling besar adalah untuk mengetahui hakikat kebenaran. Apa kebenaran sejati itu? Sekali lagi, bagi orang yang fitrahnya masih suci, akan mengakui bahwa hanya dengan akalnya, seorang manusia tidak akan mencapai kebenaran sejati. Ia akan mengakui untuk mengetahui kebenaran harus melalui bimbingan Penciptanya yaitu Allah subhanahu wa ta’ala.
Namun tidak demikian dengan orang-orang yang terlalu “percaya diri” dengan kemampuan akalnya. Orang-orang yang merupakan penerus dari paham Mu’tazilah ini merasa tidak butuh dengan bimbingan Allah subhanahu wa ta’ala untuk mengetahui kebenaran. Tidak cukup sampai di situ, bahkan dengan lancangnya mereka “mengobrak-abrik” syariat Allah subhanahu wa ta’ala yang menurut akal mereka bukan merupakan kebenaran.
Di Indonesia gerakan ini sudah berlangsung cukup lama, antara lain dipelopori oleh Nurcholis Madjid, Munawir Syadzali, Ahmad Wahib, Harun Nasution, dan lain-lain. Kini, para pengusung mazhab ini bergabung dalam sebuah “sindikat” bernama Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dikomandani oleh Ulil Abshar Abdalla. Di wadah inilah, ide-ide gila mereka dikeluarkan secara lebih intens.
Ciri gagasan gila mereka adalah berisi gugatan (protes) terhadap syariat Allah subhanahu wa ta’ala yang menurut mereka tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan akal mereka. Hampir semua sendi agama ini telah digugat mereka, seperti syariat tentang jilbab, hukum had, qishash, jenggot, jihad, larangan perkawinan antaragama, hukum waris, makna syahadat, kebenaran al-Qur’an, dan yang paling tinggi adalah gugatan terhadap Islam sebagai satu-satunya agama yang benar. (www.islamlib.com)
Intinya, mereka tidak setuju dengan aturan-aturan Allah subhanahu wa ta’ala itu dan kemudian memunculkan gagasan yang berlawanan dengannya.
Seperti gagasan bahwa semua agama selain Islam adalah benar, telah lama dilontarkan oleh mereka. Di antaranya oleh orang yang mereka anggap sebagai pelopor gerakan “Pembaru Pemikiran Islam” di Indonesia, Ahmad Wahib. Anak muda yang tidak diketahui di mana belajar agama ini berkata, “Aku bukan nasionalis, bukan Katolik, bukan sosialis. Aku bukan Budha, bukan Protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin orang memandang dan menilaiku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana aku termasuk serta dari aliran mana saya berangkat.” (Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib)
Ahmad Wahib yang kesehariannya sering bergaul dengan para romo Katolik dan mendapat banyak ‘kebaikan’ dari mereka berkata tentang teman dekatnya itu, “Aku tak yakin apakah Tuhan tega memasukkan romoku itu ke neraka.” (Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib)
Dengan berbagai pernyataan yang nyeleneh itu, dalam usia yang masih muda Ahmad Wahib telah menjadi “tokoh” nasional kebanggaan salibis. Pujian setinggi langit untuk Ahmad Wahib banyak menghiasai media massa salibis semasa hidupnya (Ahmad Wahid meninggal dalam usia 31 tahun dalam sebuah peristiwa kecelakaan).
Seruan yang sama juga sering dilontarkan Nurcholis Madjid dengan slogan pluralismenya. Intinya sama, yakni menyerukan bahwa semua agama memiliki kebenaran yang sama.
Tokoh lainnya yang cepat “naik daun” karena lebih berani (dan lebih lucu) dalam mengeluarkan pernyataanpernyataannya adalah Ulil Abshar Abdalla (pentolan Jaringan Islam Liberal/JIL). Tentang kebenaran agama selain Islam, Ulil Abshar mengatakan, “Semua agama sama, semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, bukan Islam yang paling benar.”
Dalam buku Fikih Lintas Agama (FLA) hlm. 214 disebutkan, “Ayat yang lebih tegas tentang keselamatan agama-agama lain adalah surat al-Baqarah ayat 62.”
Dalam buku yang sama hlm. 20, disebutkan, “Kesamaan dan kesatuan semua agama para nabi juga ditegaskan oleh Nabi sambil digambarkan bahwa para nabi itu satu saudara lain ibu, namun agama mereka satu dan sama. Salah satunya adalah hadits al-Bukhari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Aku lebih berhak atas ‘Isa putra Maryam di dunia dan di akhirat, para nabi adalah satu ayah dari ibu yang berbeda-beda dan agama mereka adalah satu’.”
Pada hlm. 21 disebutkan, “… penjelasan tersebut menegaskan prinsip-prinsip hubungan antaragama yang dapat diturunkan dari al-Qur’an yang menegaskan adanya pluralisme agama.”
Kutipan-kutipan di atas memuat kesimpulan berikut ini.
Bantahan:
Mereka berkesimpulan bahwa bukan Islam yang paling benar. Yang lain, apa pun agama itu—demikian yang tampak dari ucapannya—juga benar. Bahkan mungkin lebih benar dari Islam. Demikian yang dipahami dari ucapan mereka.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Sungguh besar kalimat yang keluar dari mulut mereka, mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (al-Kahfi: 5)
Sesungguhnya seorang muslim yang masih suci fitrahnya tahu kebatilan ucapan ini. Kalimat ini adalah ucapan kufur dan merupakan perkataan tentang agama Allah subhanahu wa ta’ala tanpa ilmu.
Namun jika hati tertutup, siapa pun dia tidak akan mengetahui kebatilannya, bahkan lebih parah karena hal itu dianggap sebagai sesuatu yang benar. Alasannya sepele, “Semua agama sama, semuanya menuju jalan kebenaran.” Dengan mudahnya ia menyimpulkan dengan akalnya.
Apakah setiap orang yang menuju kepada kebenaran itu akan sampai? Tentu jawabnya tidak. Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi tidak mendapatkannya.”
Ini adalah sesuatu yang sama-sama kita saksikan. Tidak akan memungkirinya kecuali orang yang congkak. Kalau jalan Yahudi, Nasrani, Majusi, dan agama lain itu benar, untuk apa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak mereka masuk Islam, dan ketika mereka menolak terjadi permusuhan dan pertumpahan darah? Bagaimana kemudian dianggap agama selain Islam lebih benar?! Fa’tabiru, ya Ulil Abshar! (maka hendaknya engkau perhatikan wahai orang yang memiliki pandangan).
Kesimpulan kedua, agama lain selain Islam adalah agama yang selamat, artinya tidak dimurkai Allah subhanahu wa ta’ala dan (para penganutnya) tidak diazab.
Tentu ini bukan ucapan seorang muslim dan tak ada seorang muslim yang hakiki kecuali tahu betapa batil, sesat, dan kufurnya kalimat ini. Sayangnya ia mengelabui orang dengan berdalil surat al-Baqarah ayat 62,
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabi’in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” (al-Baqarah: 62)
Ia memahami ayat tersebut dengan akal yang sudah terkotori oleh noda pluralisme, sehingga menganggap masing-masing dari Yahudi dan Nasrani benar dan selamat.
Ibarat mereka seperti orang yang membaca ayat yang artinya,
“Celaka orang yang shalat….” (al-Ma’un: 4) lalu berhenti dan tidak diteruskan. Atau ayat, “Jangan kalian mendekati shalat…” dan tidak dibaca kelanjutan ayatnya (yang berbunyi) “dalam keadaan kalian mabuk.” (an-Nisa: 43)
Sungguh ini adalah akhlak Yahudi yang beriman dengan sebagian ayat dan kafir dengan sebagian yang lain.
“Apakah kamu beriman kepada sebagian al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiada balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia. Dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (al-Baqarah: 85)
Bukankah kita dalam memahami ayat al-Qur’an harus merujuk kepada ayat lain yang menjelaskannya, demikian pula merujuk kepada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Allah subhanahu wa ta’ala pasrahi untuk menjelaskan al-Qur’an? Dikemanakan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Orang-orang Yahudi berkata, ‘Uzair itu putra Allah’, dan orang Nasrani berkata, ‘al-Masih itu putra Allah’. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?
Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Rabb Yang Maha Esa; tidak ada Rabb (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (at-Taubah: 30—31)
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, ‘Sesungguhnya Allah itu ialah al-Masih putra Maryam.’ Katakanlah, ‘Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan al-Masih putra Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi semuanya?’ Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang di antara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (al-Maidah: 17)
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, ‘Sesungguhnya Allah adalah al-Masih putra Maryam’, padahal al-Masih (sendiri) berkata, ‘Hai bani Israil, sembahlah Allah Rabbku dan Rabbmu’. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya al-jannah, dan tempatnya ialah an-naar, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.
Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan, ‘Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga’, padahal sekali-kali tidak ada Rabb (yang berhak disembah) selain Rabb Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (al-Maidah: 72—73)
Masih sekian banyak ayat dan hadits lain yang dengan sangat tegas mengafirkan mereka (Yahudi dan Nasrani). Bagaimana mereka dikatakan selamat, padahal Allah subhanahu wa ta’ala mengubah mereka menjadi babi dan kera,
“Katakanlah, ‘Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasiq) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?’ Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.” (al-Maidah: 60)
Allah subhanahu wa ta’ala melaknati mereka dengan lisan Dawud dan ‘Isa ‘alaihimassalam,
“Telah dilaknati orang-orang kafir dari bani Israil dengan lisan Daud dan ‘Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.” (al-Maidah: 78)
Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan,
“Katakanlah, mengapa Allah mengazab kalian dengan dosa-dosa kalian?” (al-Maidah: 18)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Tidaklah mendengar (seruan) aku seorang Yahudi atau Nasrani lalu tidak beriman dengan apa yang aku diutus dengannya kecuali ia termasuk ahli neraka.” (Sahih, HR. Muslim)
Kalau kita perhatikan baik-baik ayat yang dipakai sebagai dalil oleh mereka (al-Baqarah: 62), akan tampak bahwa ayat tersebut sama sekali tidak mendukung paham pluralisme dan Mahasuci Kalamullah untuk dikatakan mendukung pluralisme.
Bukankah ayat tersebut memberikan syarat, yaitu beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala? Apakah Yahudi dan Nasrani atau Majusi beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala? Jawabnya, tidak! Karena beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala bukan hanya beriman dengan adanya Allah subhanahu wa ta’ala. Bila hanya percaya dengan keberadaan Allah subhanahu wa ta’ala maka Iblis pun beriman, orang munafik pun beriman, dan Fir’aun pun beriman.
Tidak ada yang mengatakan demikian kecuali orang yang sejenis mereka. Iman kepada Allah subhanahu wa ta’ala mencakup keimanan tentang adanya Allah subhanahu wa ta’ala dan keesaannya yang tiada sekutu baginya. Yahudi menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala dengan ‘Uzair, dan Nasrani menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala dengan Nabi ‘Isa ‘alaihissalam.
Di antara keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah meyakini uluhiyyah Allah subhanahu wa ta’ala yakni memberikan ibadah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan meyakini hal itu. Yahudi dan Nasrani beribadah kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala bahkan kepada pendeta-pendeta.
Ayat itu juga memberikan syarat dalam beramal saleh. Yahudi dan Nasrani tidak melakukan amal saleh karena syarat amal saleh tidak mereka penuhi. Di antaranya yang merupakan syarat dasar yaitu iman, tidak mereka penuhi. Kemudian ikhlas, mereka juga tidak penuhi karena mereka beramal untuk selain Allah subhanahu wa ta’ala.
Bagaimana mungkin mereka dikatakan selamat sementara tidak memenuhi syarat-syarat sebagai orang yang beriman. Pahamilah, wahai yang berakal sehat! Jadi ayat ini berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat-syarat tersebut. Ini berlaku sebelum datangnya Islam. Oleh karenanya Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan bahwa setelah itu turunlah ayat 85 surat Ali Imran,
“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Zubdatuttafsir)
Di ayat lain, Allah subhanahu wa ta’ala menganggap mereka bukan orang yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan hari akhir sebagaimana dalam ayat 29 surat at-Taubah,
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”
Adapun hadits yang mereka pakai juga tidak mendukung pluralisme sama sekali. Sebab kesamaan agama para rasul itu adalah pada intinya yaitu agama tauhid dan beribadah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Ternyata hal ini pun dilanggar oleh para pengikut rasul, terutama setelah datangnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas bagaimana mereka bisa dianggap sama dengan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Hadits itu juga menunjukan bahwa syariat para rasul berbeda-beda. Itu yang dimaksud—wallahu a’lam—dengan saudara sebapak lain ibu? (Syarah Shahih Muslim hadits no. 6085, Kitab al-Fadhail)
Pada praktiknya justru JIL ingin menyamakan syariat mereka semua sehingga membolehkan kawin dan waris beda agama. Tidak mungkin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berperang melawan Yahudi demi agama lalu menyabdakan sebuah hadits yang mendukung pluralisme agama.
Membolehkan Perkawinan Antaragama Secara Mutlak
Islam membolehkan seorang muslim menikahi wanita ahlul kitab Yahudi atau Nasrani:
“(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.” (al-Maidah: 5)
Akan tetapi, tentu dengan syarat-syarat tertentu. Di antaranya, pihak laki-laki benar-benar melakukannya untuk menjaga dari maksiat zina dan sejenisnya, serta benar-benar menjauhi zina. Kemudian, pihak wanitanya juga demikian yaitu wanita yang menjaga diri dari perbuatan keji. Semua itu karena hikmah dan tujuan yang luhur dan itu sekilas tampak dari syarat-syarat tersebut. Untuk menjelaskan secara luas, tempat ini tidaklah cukup. Namun tentu kita yakin bahwa semua syariat Allah subhanahu wa ta’ala pasti demi hikmah yang tinggi yang Ia kehendaki.
Dengan hikmah-Nya pula, Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkan sebaliknya yakni seorang wanita muslimah dinikahi orang kafir siapa pun dia. Namun, kelompok JIL menganggap semuanya boleh dan hal itu diatasnamakan Islam. Ulil mengatakan, “Jadi, soal pernikahan laki-laki nonmuslim dengan wanita muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terkait dengan konteks tertentu, di antaranya konteks dakwah Islam pada saat itu, yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antaragama merupakan sesuatu yang terlarang.” (Fikih Lintas Agama hlm. 164)
Kesimpulan ucapannya adalah:
Bantahan:
Bagaimana dia bisa mengatakan larangan itu tidak jelas? Barangkali ia tidak pernah baca al-Qur’an sampai khatam atau membaca tapi tidak tahu maknanya. Bukankah Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 221,
وَلَا تَنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤۡمِنَّۚ وَلَأَمَةٞ مُّؤۡمِنَةٌ خَيۡرٞ مِّن مُّشۡرِكَةٖ وَلَوۡ أَعۡجَبَتۡكُمۡۗ وَلَا تُنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤۡمِنُواْۚ وَلَعَبۡدٞ مُّؤۡمِنٌ خَيۡرٞ مِّن مُّشۡرِكٖ وَلَوۡ أَعۡجَبَكُمۡۗ أُوْلَٰٓئِكَ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلنَّارِۖ وَٱللَّهُ يَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱلۡجَنَّةِ وَٱلۡمَغۡفِرَةِ بِإِذۡنِهِۦۖ وَيُبَيِّنُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَذَكَّرُونَ ٢٢١
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke an-naar, sedang Allah mengajak ke al-jannah dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
Dalam ayat itu terdapat dua larangan:
Dan ahlul kitab itu termasuk musyrik berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam at-Taubah ayat 31,
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Rabb Yang Maha Esa; tidak ada Rabb (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Lihat Tafsir Adhwa-ul Bayan, 1/143)
Diriwayatkan bahwa Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Saya tidak tahu ada syirik yang lebih besar daripada seseorang yang mengatakan bahwa Tuhannya adalah ‘Isa.”
Namun keumuman larangan yang pertama yakni menikahi wanita musyrik, telah diberi kekhususan yaitu bahwa wanita musyrik dari kalangan ahlul kitab dengan syarat-syaratnya boleh dinikahi lelaki muslim sebagaimana terdapat dalam surat al-Maidah ayat 5.
Adapun larangan yang kedua maka itu tetap pada keumumannya. Sehingga lelaki siapa pun baik dari Yahudi, Majusi, Nasrani, maupun yang lain maka haram menikahi seorang wanita muslimah. Ayat itu jelas dan itu merupakan ijma’ (kesepakatan) umat seperti kata Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsir ayat ini dan al-Imam asy-Syaukani rahimahullah. Bagaimana kemudian Ulil mengatakan tidak jelas dalil yang melarangnya?
Lebih jelas lagi Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (al-Mumtahanah: 10)
Adapun alasan bahwa larangan itu bersifat kontekstual, inilah yang kami maksud memahami ayat atau hadits yakni agama ini dengan akal yang mengakibatkan pemahaman itu berbalik yakni menolak hukum ayat tersebut.
Yang demikian pasti terjatuh dalam kesesatan. Buktinya, sekilas kita melihat di awal dia katakan bahwa dalil yang melarang tidak jelas. Artinya, secara halus ia mengingkari adanya larangan. Lalu di saat lain ia katakan larangan itu bersifat kontekstual, artinya ia akui adanya larangan. Bukankah ini tanaqudh (terjadi kontradiksi) antarucapannya sendiri?!
Cukup pembaca yang budiman mengetahui batilnya pendapat itu, dengan melihat hasil akhirnya adalah mengingkari ayat dan hadits yang melarangnya.
Kemudian sesungguhnya larangan itu sebabnya tidak seperti yang dia ungkapkan. Sebab kalau kita perhatikan ayat tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala telah menyebutkan hikmah syariat itu di akhir ayat, “… mereka mengajak (ke neraka)….”
Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan, “Dengan mushaharah (pernikahan), berkeluarga serta hidup bersama dengan mereka terdapat bahaya besar terhadap wanita yang menikah dengan mereka dan terhadap anaknya. Maka tidak boleh bagi kaum mukminin untuk mencampakkan diri dalam (fitnah) ini dan masuk padanya.”
Kata beliau juga sebelumnya, “Hal itu karena ada penghinaan terhadap Islam.” (Zubdatuttafsir hlm. 44)
Hikmah seperti ini terus berlaku tidak hanya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hikmah ini tentu berbeda ketika pihak laki-laki adalah seorang muslim dan wanitanya ahlul kitab. Tidak seorang pun memungkiri kecuali orang yang tidak bisa diajak berpikir, apalagi memahami dalil. Tentu di sana terdapat lebih banyak lagi hikmah lain yang tidak cukup untuk diuraikan di sini atau belum kita ketahui. Yang jelas Allah Mahahakim.
Dengan gugurnya dua alasan orang-orang JIL ini, maka gugurlah secara otomatis hukum yang mereka tentukan. Tetap tegarlah hukum Allah subhanahu wa ta’ala sepanjang zaman.
Ini hanya contoh dari pendapat-pendapat mereka yang nyeleneh dari sekian banyak pendapat. Namun semua pendapat mereka itu kebatilannya tidak jauh dari apa yang dicontohkan, bahkan mungkin lebih batil, lebih berbahaya dan juga lebih lemah dari sarang laba-laba.
Mereka mesti bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mesti tahu bahwa mereka amat sangat lemah untuk bicara dalam agama. Ini kalau mereka tidak punya niat jelek dan jahat terhadap Islam dan muslimin. Sungguh Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (al-Baqarah: 169)
Bagi kaum muslimin hendaknya menjauhi mereka sejauh-jauhnya, juga buku dan siaran serta uraian mereka demi keselamatan agama. Ingatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya,
“Akan datang tahun-tahun yang menipu, yang dusta dianggap jujur, yang jujur dianggap dusta, yang khianat dianggap amanah, dan yang amanah dianggap khianat, dan pada tahun-tahun itu Ruwaibidhah pun berbicara.”
Beliau ditanya, “Apa Ruwaibidhah itu wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Orang yang hina (yakni dangkal ilmunya) bicara dalam urusan yang besar.” (HR. Ibnu Majah dan yang lain, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’, no. 3650, lihat pula ash-Shahihah no. 1887)
Hadits Tentang Akal
الدِّيْنُ هُوَ اْلعَقْلُ وَمَنْ لاَ دِيْنَ لَهُ لاَ عَقْلَ لَهُ
“Agama adalah akal, barang siapa yang tidak punya agama, ia tidak punya akal.”
Hadits ini atau yang semakna dengannya begitu masyhur. Tak jarang kita mendengarnya dari para khatib dan muballigh, bahkan menjadi salah satu landasan mereka yang mengultuskan akal. Untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya kedudukannya dalam timbangan kritik hadits, mari kita melihat penjelasan asy-Syaikh al-Albani, seorang ulama ahli hadits abad ini.
Beliau mengatakan, hadits ini batil. Diriwayatkan oleh an-Nasai rahimahullah dalam kitabnya al-Kuna dan ad-Dulabi meriwayatkan darinya dalam kitabnya al-Kuna wal Asma (2/104) melalui seorang rawi bernama Bisyr bin Ghalib bin Bisyr bin Ghalib dari az-Zuhri dari Mujammi’ bin Jariyah dari pamannya sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa kalimat “Agama adalah akal.”
An-Nasai rahimahullah mengatakan, “Hadits ini batil, mungkar.”
Saya katakan, “Sebabnya adalah karena Bisyr ini majhul (tidak dikenal) sebagaimana dikatakan oleh al-Azdi dan disetujui oleh adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitabnya Mizanul I’tidal fi Naqdirrijal dan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah dalam kitabnya Lisanul Mizan.”
Al-Harits bin Abu Usamah meriwayatkan dalam Musnad-nya dari seorang rawi bernama Dawud bin al-Muhabbir sebanyak tiga puluh sekian hadits yang menerangkan tentang keutamaan akal. Ibnu Hajar rahimahullah mengomentarinya, “Semuanya palsu (maudhu’).”
Di antaranya adalah hadits yang kita bahas ini, sebagaimana disebutkan oleh al-Imam as-Suyuthi rahimahullah dalam kitabnya Dzailul La’ali al-Mashnu’ah fil Ahadits al-Maudhu’ah (hlm. 4—10) dan dinukil pula dari beliau oleh al-‘Allamah Muhammad bin Thahir al-Hindi rahimahullah dalam kitabnya Tadzkiratul Maudhu’at (hlm. 29—30).
Dawud bin al-Muhabbir (tersebut di atas) dikatakan oleh adz-Dzahabi, “Dia adalah penulis buku al-‘Aql (akal). Duhai seandainya ia tidak menulisnya.” Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, “Dia sesungguhnya tidak tahu tentang hadits.”
Abu Hatim rahimahullah mengatakan,__ “Haditsnya lenyap, tidak bisa dipercaya.”
Ad-Daruquthni rahimahullah mengatakan, “(Haditsnya) ditinggalkan.”
Abdul Ghani meriwayatkan dari ad-Daruquthni rahimahullah bahwa ia mangatakan, “Buku al-‘Aql (hadits-haditsnya) dipalsu oleh Maisarah bin Abdi Rabbih. Buku itu dicuri oleh Dawud bin al-Muhabbir lalu dirangkai sendiri sanadnya, tidak seperti sanad Maisarah, lalu dicuri oleh Abdul ‘Aziz bin Abi Raja’ kemudian dicuri oleh Sulaiman bin ‘Isa as-Sijzi.”
Asy-Syaikh al-Albani berkata, “Di antara yang perlu diingatkan bahwa seluruh hadits yang menerangkan keutamaan akal adalah hadits-hadits yang sama sekali tidak sahih, berkisar antara lemah dan palsu. Aku telah meneliti hadits-hadits yang disebut oleh Abu Bakr bin Abid Dunya dalam kitabnya yang berjudul al-‘Aql wa Fadhluhu (akal dan keutamaannya), maka saya dapati seperti yang tadi saya katakan, tidak sedikit pun yang sahih.”
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan dalam bukunya al-Manar (hlm. 25), “Hadits-hadits tentang akal semuanya dusta.” (diterjemahkan dari Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah, no. 1)
Hadits lain yang semakna,
قِوَامُ الْمَرْءِ عَقْلُهُ وَلاَ دِيْنَ لِمَنْ لاَ عَقْلَ لَهُ
“Penegak seseorang adalah akalnya dan tiada agama bagi yang tidak memiliki akal.”
Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Hadits ini maudhu’ (palsu).”
Sebabnya, hadits ini diriwayatkan melalui seorang rawi bernama Dawud bin al-Muhabbir yang telah dijelaskan di atas. (Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah, no. 370)
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.