Asysyariah
Asysyariah

gadai, mahalnya amanah di tengah umat

12 tahun yang lalu
baca 3 menit
Gadai, Mahalnya Amanah Di Tengah Umat

السلام عليكم ورحمة الله و بركاته

Amanah kian pudar di zaman sekarang. Utang piutang demikian sering terjadi, demikian sering pula ada pihak-pihak yang terzalimi. Banyak orang yang berutang lantas mangkir dari kewajibanmembayar. Amanah memang mudah diucapkan, namun sulit kala dipraktikkan.

Di zaman yang kejujuran dan sikap amanah menjadi barang mahal, banyak muamalah utang piutang yang menuntut adanya jaminan/agunan untuk memberikan rasa aman bagi pemberi utang (kreditor). Menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syariat sebagai jaminan utang, yang memungkinkan untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari jaminan tersebut, itulah yang disebut gadai (ar-rahn).

Gadai sendiri pernah dipraktikkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Kepada seorang Yahudi, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menggadaikan baju perangnya demi membeli sedikit gandum. Tidak berarti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam tidak dipercaya jika “sekadar” utang tanpa agunan. Namun, perbuatan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ini mengandung hikmah yang besar.

Tidak hanya sebagai dalil yang memberi keabsahan praktik gadai, namun menunjukkan itikad baik beliau sekaligus kesederhanaan seorang pemimpin umat. Kondisi prihatin dan serba kekurangan yang semestinya dicontoh oleh kita semua, terutama para pemimpin atau pejabat pemerintahan.

Sudah mafhum, tabiat manusia adalah suka menzalimi sesama. Oleh karena itu, Islam pun memagari setiap muamalah (transaksi) dengan aturan-aturan yang indah agar manusia melakukan muamalah secara benar, tidak memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Islam mensyariatkan ar-rahn untuk kemaslahatan bersama dan masyarakat secara luas.

Dengan gadai, orang yang menggadaikan/pemberi gadai (ar-rahin) tertutupi kebutuhannya tanpa harus kehilangan harta miliknya. Adapun pemberi utang/pemegang gadai (al-murtahin), selain mendapat ketenangan dan rasa aman atas haknya, dia juga mendapatkan keuntungan syar’i apabila memang ia niatkan untuk mencari pahala dari Allah Subhanahu wata’ala.

Adapun kemaslahatan yang dirasakan masyarakat, yaitu memperluas interaksi, saling memberikan kecintaan dan kasih sayang di antara mereka, serta menjauhkan masyarakat dari praktik bunga yang tidak wajar, ijon, dan praktik riba lainnya.

Gadai, pada asalnya mengikuti (bersifat accessoir) akad (perjanjian) pokoknya berupa utang piutang. Ketika terjadi perjanjian utang piutang, barang/objek gadai (marhun) harus diserahterimakan oleh ar-rahin kepada al-murtahin sejak dilangsungkannya akad. Serah terima (qabdh) ini bahkan menjadi syarat mutlak (inbezitstelling) dari gadai. Dengan serah terima tersebut, agunan akan berada di bawah kekuasaan (secara fisik) al-murtahin.

Namun, agunan dalam syariat gadai adalah amanat, hanya berfungsi sebagai jaminan utang pihak yang menggadai. Murtahin dalam hal ini hanya mempunyai hak kebendaan, tidak boleh memanfaatkan atau menyalahgunakan barang gadai. Dengan kata lain, fungsi marhun adalah untuk menjaga kepercayaan setiap pihak, sehingga murtahin meyakini bahwa rahin beritikad baik untuk mengembalikan pinjamannya.

Penjualan objek gadai (baik dengan cara lelang maupun lainnya) hanyalah upaya terakhir yang dilakukan apabila ada rahin yang wanprestasi (hingga batas waktu yang telah ditetapkan rahin masih belum melunasi pinjamannya).

Alhasil, Islam sangat menjaga agar transaksi gadai benar-benar tidak merugikan salah satu pihak, dengan melarang bunga gadai, mencegah timbulnya biaya-biaya yang tidak disebutkan dalam akad awal, dan sebagainya. Akad gadai pun dilarang mengandung syarat fasid, seperti murtahin mensyaratkan barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas. Islam benar-benar menyeimbangkan hak dan kewajiban secara indah di tengah mahalnya sifat amanah di tengah umat.

والسلام عليكم ورحمة الله و بركاته