Seakan menjadi hal yang niscaya dalam sejarah, peristiwa-peristiwa memilukan juga turut mewarnai perjalanan Islam. Beragam peristiwa atau lebih tepatnya fitnah ini tak urung menjadi “sisi kelam” yang terus dikenang umat sepanjang masa. Terlebih, berbagai peristiwa itu yang seharusnya ditangkap hikmah darinya malah disikapi dan dimaknai secara berbeda oleh sebagian umat (kelompok) Islam.
Sebagai contoh, peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan z. Tanpa didukung riwayat-riwayat yang sahih, ada pihak-pihak yang justru mendukung tindakan biadab ini secara terang-terangan maupun terselubung. Faraq Fouda, tokoh Islam Liberal Mesir, dalam tulisannya yang dipromosikan kalangan Islam Liberal di Indonesia, menganggap sahabat yang mulia ini korup hingga “umat” –entah umat mana yang dimaksud Fouda- mendesaknya untuk mundur. Karena menolak, Utsman pun dibunuh. Begitu pun Sayyid Quthub, tokoh yang didewa-dewakan kelompok Ikhwanul Muslimin (IM), yang di depan namanya ditambahi gelar “Asy-Syahid”, juga ikut-ikutan memancing di air keruh dengan menyudutkan Utsman sebagai pihak yang seolah-olah memang bersalah dengan mengatakan bahwa pemberontakan yang didalangi tokoh Yahudi Abdullah bin Saba’ lebih dekat kepada “ruh Islam” daripada pihak Utsman. Tak hanya itu, di bukunya Al-Adalah Al-Ijtima’iyyah, Sayyid Quthub juga banyak menguraikan cerita-cerita dusta (tidak jelas sumber dan sanadnya), tentang ketidakadilan Utsman.
Lebih ironis lagi, peristiwa yang didahului oleh aksi demonstrasi anarkis pertama dalam sejarah Islam kemudian ada yang menjadikannya sebagai dalil untuk membenarkan aksi-aksi demonstrasi dengan dalih amar ma’ruf nahi munkar. Ketidaktepatan dalam memahami sejarah ini, alhasil, saling bahu-membahu dalam menggulung kebenaran. Sejarah bukan lagi dimaknai secara proporsional namun justru terpenjara oleh kepentingan kelompok.
Demikian juga dengan upaya-upaya mengaburkan sejarah. Abdullah bin Saba’, aktor intelektual di balik makar pembunuhan Utsman juga hendak digunting dari lembar sejarah. Tokoh peletak dasar agama Syiah Rafidhah, oleh kalangan penganut agama tersebut, orientalis, dan musuh-musuh Islam lainnya, hendak dikesankan sebagai tokoh fiktif. Tujuan akhirnya, tak lain adalah mengelabui umat dengan memupus fakta adanya pertalian yang erat antara agama Syiah dan Yahudi.
Oleh karena itu, adanya seruan-seruan untuk menyatukan Islam dan Syiah, sebagaimana digemakan oleh Hasan Al-Banna dan tokoh IM lainnya serta kalangan Islam Liberal, jelas berasal dari orang-orang yang bukan saja tidak paham akidah namun juga orang yang tidak mengerti sejarah.
Maka, agar perbedaan dalam memahami setiap peristiwa sejarah tidak menjurang, dibutuhkan ilmu dalam memahaminya. Setiap alur peristiwa semestinya didukung riwayat-riwayat yang sahih sehingga bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hawa nafsu pribadi atau kelompok sudah seharusnya tunduk di hadapan dalil-dalil syariat. Bukan malah meliuk-liukkan sejarah, mendistorsinya atau bahkan mengubur penggal sejarah demi kepentingan kelompoknya. Bahkan memutarbalikkan sejarah justru untuk menelanjangi Islam itu sendiri sebagaimana dilakukan para orientalis, kelompok agama lain (Yahudi, Nasrani, Syiah Rafidhah, dll), serta orang-orang yang membebek dengan mereka.
Sudah mafhum, seiring dengan munculnya kelompok-kelompk sempalan dalam Islam, banyak pula bertaburan hadits-hadits palsu yang ditunggangi oleh kelompok tertentu untuk membela akidah atau amalan mereka. Sehingga setiap sejarah terlebih yang menyangkut eksistensi Islam, seperti fitnah-fitnah besar yang akan dipaparkan di Kajian Utama edisi ini, mesti dicermati secara saksama agar kita menjadi bagian dari orang-orang yang bisa memahami agama ini secara lurus. Insya Allah!