Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta’ yang saat itu diketuai oleh Samahatul Walid asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz t, menjawab beberapa pertanyaan seputar hubungan yang terjalin karena pernikahan sebagaimana berikut.
JABAT TANGAN DENGAN IBU MANTAN ISTRI
Saya menikahi seorang wanita kemudian menceraikannya. Apakah pascaperceraian tersebut saya masih dibolehkan berjabat tangan dengan ibunya (mantan ibu mertua)?
Jawab:
Seorang lelaki yang menikahi seorang wanita kemudian menalaknya, boleh berjabat tangan dengan ibu mantan istri. Dengan akad yang pernah dilangsungkannya dengan si wanita, ibu dan nenek-nenek si wanita menjadi haram baginya dengan pengharaman mu’abbad (selama-lamanya, yakni ia tidak boleh menikahi ibu atau nenek istrinya walaupun ia telah menceraikan sang istri). Mereka yang disebutkan adalah mahram si lelaki sehingga tidak perlu berhijab darinya. Ia pun dibolehkan berjabat tangan dengan mereka.
(Fatwa no. 16790. Anggota Lajnah: asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, asy-Syaikh Shalih al-Fauzan, dan asy-Syaikh Bakr Abu Zaid)
RABIBAH (ANAK TIRI PEREMPUAN)
Seorang lelaki menikah dengan seorang wanita dan keduanya dikaruniai beberapa anak perempuan, kemudian terjadi perceraian. Wanita itu menikah lagi dengan lelaki lain dan melahirkan beberapa anak perempuan. Apakah anak-anak perempuan dari suami yang kedua ini harus berhijab dari mantan suami ibunya (suami pertama)? Bila ternyata harus berhijab, apakah suami pertama itu boleh menikah dengan salah seorang dari anak-anak perempuan mantan istrinya?
Jawab:
Apabila seorang lelaki menikah dengan seorang wanita dan telah dukhul1dengannya maka haram–dengan tahrim mu’abbad2–dia menikahi salah seorang putri istrinya, cucu perempuan istrinya dari anak lelakinya, dan terus ke bawah. Sama saja, baik anak-anak perempuan itu dari suami yang terdahulu (sebelum menikah dengan si lelaki) maupun suami yang belakangan (setelah bercerai dengan si lelaki). Ini berdasarkan firman Allah l:
“Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian…”
Sampai pada firman-Nya:
“…dan rabibah yang ada dalam asuhan kalian dari istri-istri kalian yang kalian telah dukhul dengan mereka.” (an-Nisa: 23)
Rabibah adalah anak perempuan istri.
Berdasarkan hal ini si mantan suami teranggap sebagai mahram bagi anak-anak perempuan dari suami kedua yang menikahi si mantan istri dan telah dukhul dengannya. Dengan demikian boleh bagi anak-anak perempuan tersebut untuk tidak berhijab dari si mantan suami.
(Fatwa no. 2012. Wakil Lajnah: asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi. Anggota: asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud)
RABIB (ANAK LELAKI ISTRI)
BUKAN MAHRAM BAGI ISTRI-ISTRI YANG LAIN
Saya memiliki seorang istri yang punya seorang anak lelaki yatim dari suaminya terdahulu yang telah meninggal dunia. Anak itu sekarang berumur lebih dari 15 tahun. Saat saya menikahi ibunya, usianya kurang dari tiga tahun. Sementara saya juga memiliki istri-istri yang lain, saudara-saudara perempuan, dan seorang anak perempuan. Apakah istri-istri saya yang lain, saudara-saudara perempuan saya, dan putri saya harus berhijab dari anak lelaki tersebut? Padahal kami semua menyebut dia dengan ‘anak lelaki kami’. Orang-orang juga mengatakan tentangnya ‘anak lelaki kalian.’ Kami berharap jawaban akan hal ini, semoga Allah l menjaga Anda.
Jawab:
Anak lelaki yang disebutkan berarti rabib Anda, namun ia bukanlah mahram bagi istri-istri Anda yang lain, saudara-saudara perempuan Anda, serta anak-anak perempuan Anda yang bukan berasal dari ibu si rabib (tapi dari istri-istri yang lain). Anak lelaki tersebut berstatus sebagai ajnabi, sehingga para wanita yang telah disebutkan itu wajib berhijab darinya. Anak lelaki itu juga tidak boleh berkhalwat (berduaan saja) dengan mereka.
(Fatwa no. 10256. Wakil Lajnah: asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi. Anggota: asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan)
IBU MERTUA AYAH
Ayah saya menikah lagi dengan istri keduanya yang bukan ibu saya. Bolehkah saya bersalaman dengan ibu dari istri ayah saya?
Jawab:
Anda tidaklah termasuk mahram bagi ibu dari istri ayah Anda, karena Anda ajnabi baginya.
(Fatwa no. 21041. Anggota Lajnah: asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, asy-Syaikh Shalih al-Fauzan, dan asy-Syaikh Bakr Abu Zaid)
Kakek Suami
Saya seorang wanita yang menikah dengan seorang lelaki yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan saya. Apakah boleh bagi saya membuka wajah di hadapan kakek suami saya dari pihak ibunya? Saya menganggap ia termasuk mahram saya, namun suami saya tidak menganggap demikian.
Jawab:
Kakek suami—baik dari pihak ayah maupun pihak ibu—teranggap sebagai mahram bagi istri cucu lelaki dari anak lelaki atau dari anak perempuannya. Ini berdasarkan firman Allah l ketika menyebutkan mahram-mahram (yang boleh melihat perhiasan seorang wanita):
“Atau ayah-ayah dari suami-suami mereka.”3
Kakek dari pihak ayah ataupun ibu teranggap sebagai ayah.
Wallahu a’lam. Wa billahi at-taufiq. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.
(Fatwa no. 18022. Anggota Lajnah: Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan, Asy-Syaikh Abdul Aziz Alusy Syaikh, dan Syaikh Bakr Abu Zaid)
Catatan Kaki:
1 Si suami sudah masuk menemui si istri dan berjima’ dengannya.
2 Haram selama-lamanya. Sebaliknya, tahrim muaqqat berarti pengharaman yang terbatasi waktu tertentu.
3 Awal firman Allah l tersebut adalah:
Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka serta janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang biasa tampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka dan janganlah menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka, atau ayah-ayah mereka, atau ayah-ayah dari suami mereka …..” (an-Nur: 31)