Sebuah kisah yang baik akan lebih mudah meresap dan memberikan kesan yang mendalam pada hati orang yang membaca atau mendengarnya. Bahkan, suatu pengajaran yang disampaikan melalui pemaparan kisah (narasi), ternyata lebih banyak faedahnya.
Pada beberapa edisi yang lalu, kita telah memaparkan sejumlah kisah umat-umat terdahulu yang sebagiannya disebutkan di dalam al-Qur’an dan hadits-hadits yang sahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Maka dari itu, dalam kesempatan kali ini kami akan mengajak para pembaca untuk merenungkan hikmah mengapa Allah subhanahu wa ta’ala begitu sering mengungkap berbagai kejadian umat manusia sebelum kita. Kami juga akan menukilkan sebagian uraian Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, dari kitab Ushul at-Tafsir karya beliau, disertai dengan beberapa tambahan dari sumber lain. Wallahul muwaffiq.
Secara bahasa, al-qashash bermakna ‘menelusuri jejak’. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
قَالَ ذَٰلِكَ مَا كُنَّا نَبۡغِۚ فَٱرۡتَدَّا عَلَىٰٓ ءَاثَارِهِمَا قَصَصًا
“Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.” (al-Kahfi: 64)
Maksudnya, keduanya kembali menelusuri jejak yang tadi mereka lalui.
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman melalui lisan Ibunda Nabi Musa alaihis salam,
وَقَالَتۡ لِأُخۡتِهِۦ قُصِّيهِۖ
“Dan dia (ibunda Musa) berkata kepada saudara perempuan Musa, ‘Ikutilah dia (Musa).’” (al-Qashash: 11)
Artinya, ikutilah dia sampai engkau melihat siapa yang memungutnya.
Baca juga: Kisah Nabi Musa dan Nabi Harun
Al-qashash artinya adalah ‘berita yang berturut-turut’. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ ٱلۡقَصَصُ ٱلۡحَقُّۚ
“Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar.” (Ali Imran: 62)
Adapun al-qishshah (kisah) bermakna al-amr (urusan), al-khabar (berita), asy-sya`nu (perkara), dan al-hal (keadaan).
Jadi, qashashul Qur’an adalah berita mengenai keadaan umat-umat dan para nabi terdahulu, serta berbagai peristiwa yang telah terjadi. Adapun menurut istilah, ia bermakna kisah tentang kejadian-kejadian yang mempunyai beberapa tahapan, yang sebagiannya mengikuti yang lain.
Kisah-kisah Qur’ani adalah kisah yang paling bisa dipercaya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَنۡ أَصۡدَقُ مِنَ ٱللَّهِ حَدِيثًا
“Siapakah yang lebih benar perkataan(nya) daripada Allah?” (an-Nisa: 87)
Hal itu karena ia (al-Qur’an) begitu selaras dengan kenyataan yang ada. Artinya, tidak ada perkataan yang lebih jujur dan lebih benar daripada firman Allah subhanahu wa ta’ala.
Kisah-kisah Qur’ani adalah kisah yang paling baik. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
نَحۡنُ نَقُصُّ عَلَيۡكَ أَحۡسَنَ ٱلۡقَصَصِ بِمَآ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ
“Kami menceritakan kepadamu (Muhammad) kisah yang paling baik dengan mewahyukan al-Qur’an ini kepadamu.” (Yusuf: 3)
Sebab, keindahan bahasa dan keagungan maknanya amatlah sempurna.
Bahkan, kisah-kisah di dalam al-Qur’an merupakan kisah yang paling bermanfaat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَقَدۡ كَانَ فِي قَصَصِهِمۡ عِبۡرَةٌ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِۗ
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (Yusuf: 111)
Semua ini karena kisah-kisah di dalam al-Qur’an memiliki pengaruh yang kuat untuk memperbaiki hati, akhlak, dan perilaku manusia. Dengan demikian, kisah-kisah Qur’ani adalah kisah yang paling indah bahasanya dan paling indah pula maknanya.
Kisah-kisah dalam al-Qur’an ada tiga macam:
Sebagai contoh adalah kisah Nabi Nuh, Hud, Shalih, Ibrahim, Luth, Musa dan Harun, Isa dan Muhammad, serta para nabi lainnya alaihimus salam.
Contohnya, kisah ribuan orang yang keluar dari kampung mereka karena takut mati, kisah Thalut dan Jalut, dua putra Adam, para pemuda penghuni gua (Ashabul Kahfi), Dzulqarnain, Qarun, Ashabus Sabti (Orang-Orang yang Melanggar Larangan di Hari Sabtu), Ashabul Ukhdud (Para Pembuat Parit), dan Ashabul Fiil (Tentara Bergajah).
Misalnya, kisah Perang Badr dan Perang Uhud dalam surah Ali Imran, kisah Perang Hunain dalam surah at-Taubah, peristiwa hijrah, Isra, dan sebagainya.
Kisah-kisah di dalam al-Qur’an mengandung beberapa faedah penting, di antaranya:
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِيٓ إِلَيۡهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada tuhan (yang boleh disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.” (al-Anbiya: 25)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَكُلّٗا نَّقُصُّ عَلَيۡكَ مِنۡ أَنۢبَآءِ ٱلرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِۦ فُؤَادَكَۚ وَجَآءَكَ فِي هَٰذِهِ ٱلۡحَقُّ وَمَوۡعِظَةٌ وَذِكۡرَىٰ لِلۡمُؤۡمِنِينَ
“Dan semua kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat, dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (Hud: 120)
Sebagai contoh, firman Allah subhanahu wa ta’ala,
كُلُّ ٱلطَّعَامِ كَانَ حِلًّا لِّبَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسۡرَٰٓءِيلُ عَلَىٰ نَفۡسِهِۦ مِن قَبۡلِ أَن تُنَزَّلَ ٱلتَّوۡرَىٰةُۚ قُلۡ فَأۡتُواْ بِٱلتَّوۡرَىٰةِ فَٱتۡلُوهَآ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ
“Semua makanan itu halal bagi Bani Israil, kecuali makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah (Muhammad), ‘(Jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum turun Taurat), maka bawalah Taurat itu lalu bacalah, jika kamu orang-orang yang benar.’” (Ali Imran: 93)
Allah berfirman subhanahu wa ta’ala,
لَقَدۡ كَانَ فِي قَصَصِهِمۡ عِبۡرَةٌ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِۗ
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (Yusuf: 111)
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَلَقَدۡ جَآءَهُم مِّنَ ٱلۡأَنۢبَآءِ مَا فِيهِ مُزۡدَجَرٌ ٤ حِكۡمَةُۢ بَٰلِغَةٌ فَمَا تُغۡنِ ٱلنُّذُرُ ٥
“Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka beberapa kisah yang di dalamnya terdapat ancaman (terhadap kekafiran), (itulah) suatu hikmah yang sempurna, tetapi peringatan-peringatan itu tidak berguna (bagi mereka).” (al-Qamar: 4—5)
Hal ini sebagaimana yang disebutkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَمَا ظَلَمۡنَٰهُمۡ وَلَٰكِن ظَلَمُوٓاْ أَنفُسَهُمۡۖ فَمَآ أَغۡنَتۡ عَنۡهُمۡ ءَالِهَتُهُمُ ٱلَّتِي يَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ مِن شَيۡءٍ لَّمَّا جَآءَ أَمۡرُ رَبِّكَۖ
“Dan Kami tidak menzalimi mereka, tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri, karena itu tidak bermanfaat sedikit pun bagi mereka sembahan yang mereka sembah selain Allah, ketika siksaan Rabbmu datang.” (Hud: 101)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّآ أَرۡسَلۡنَا عَلَيۡهِمۡ حَاصِبًا إِلَّآ ءَالَ لُوطٍۖ نَّجَّيۡنَٰهُم بِسَحَرٖ ٣٤ نِّعۡمَةً مِّنۡ عِندِنَاۚ كَذَٰلِكَ نَجۡزِي مَن شَكَرَ ٣٥
“Sesungguhnya Kami kirimkan kepada mereka badai yang membawa batu-batu (yang menimpa mereka) kecuali keluarga Luth. Kami selamatkan mereka sebelum fajar menyingsing, sebagai nikmat dari Kami. Demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (al-Qamar: 34—35)
Hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
إِنَّآ أَرۡسَلۡنَٰكَ بِٱلۡحَقِّ بَشِيرًا وَنَذِيرًاۚ وَإِن مِّنۡ أُمَّةٍ إِلَّا خَلَا فِيهَا نَذِيرٌ ٢٤ وَإِن يُكَذِّبُوكَ فَقَدۡ كَذَّبَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ جَآءَتۡهُمۡ رُسُلُهُم بِٱلۡبَيِّنَٰتِ وَبِٱلزُّبُرِ وَبِٱلۡكِتَٰبِ ٱلۡمُنِيرِ ٢٥
“Jika mereka mendustakanmu, sungguh, orang-orang yang sebelum mereka pun telah mendustakan (rasul-rasul); ketika rasul-rasulnya datang dengan membawa keterangan yang nyata (mukjizat), zubur, dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna. Kemudian Aku azab orang-orang yang kafir; maka (lihatlah) bagaimana akibat kemurkaan-Ku.” (Fathir: 25—26)
Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,
فَٱسۡتَجَبۡنَا لَهُۥ وَنَجَّيۡنَٰهُ مِنَ ٱلۡغَمِّۚ وَكَذَٰلِكَ نُۨجِي ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
“Maka Kami kabulkan (doa)nya dan Kami selamatkan dia dari kedukaan. Dan demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (al-Anbiya: 88)
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
أَفَلَمۡ يَسِيرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَيَنظُرُواْ كَيۡفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡۖ دَمَّرَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِمۡۖ وَلِلۡكَٰفِرِينَ أَمۡثَٰلُهَاَ
“Maka apakah mereka tidak pernah mengadakan perjalanan di muka bumi sehingga dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Allah telah membinasakan mereka, dan orang-orang kafir akan menerima (nasib) yang seperti itu.” (Muhammad: 10)
Sebab, tidak ada yang mengetahui berita umat-umat terdahulu kecuali Allah azza wa jalla. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
تِلۡكَ مِنۡ أَنۢبَآءِ ٱلۡغَيۡبِ نُوحِيهَآ إِلَيۡكَۖ مَا كُنتَ تَعۡلَمُهَآ أَنتَ وَلَا قَوۡمُكَ مِن قَبۡلِ هَٰذَاۖ
“Itulah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah engkau mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini.” (Hud: 49)
أَلَمۡ يَأۡتِكُمۡ نَبَؤُاْ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ قَوۡمِ نُوحٍ وَعَادٍ وَثَمُودَ وَٱلَّذِينَ مِنۢ بَعۡدِهِمۡ لَا يَعۡلَمُهُمۡ إِلَّا ٱللَّهُۚ
“Apakah belum sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (yaitu) kaum Nuh, Ad, Tsamud, dan orang-orang setelah mereka. Tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah.” (Ibrahim: 9)
Semuanya berlaku pada orang-orang terdahulu dan yang datang kemudian agar dapat dijadikan pelajaran bagi orang-orang yang beriman.
Oleh sebab itulah kisah-kisah tersebut tidak semata-mata memaparkan sejarah umat manusia atau sosok tertentu, tetapi juga menguraikan sekian hal yang memang dapat dijadikan sebagai pelajaran, nasihat, dan peringatan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَكُلًّا نَّقُصُّ عَلَيۡكَ مِنۡ أَنۢبَآءِ ٱلرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِۦ فُؤَادَكَۚ وَجَآءَكَ فِي هَٰذِهِ ٱلۡحَقُّ وَمَوۡعِظَةٌ وَذِكۡرَىٰ لِلۡمُؤۡمِنِينَ
“Dan semua kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat, dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (Hud: 120)
Wallahu a’lam.