Pernikahan insan selalu saja menjadi saat yang berharga dan spesial dalam hidupnya. Siapa gerangan yang tidak berbahagia menghadapinya, kecuali mungkin mereka yang “kawin paksa”, dan kejadian yang seperti itu sedikit.
Sebelum ke jenjang pernikahan, orang biasa pilah pilih, siapa yang bakal menjadi teman hidupnya. Si lelaki memilih, si perempuan pun memilih. Karena perempuan berhak memilih, dia boleh menolak pinangan lelaki yang datang apabila memang dia tak suka.
Perempuan biasa dipilih karena empat hal, sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ، لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Perempuan dinikahi karena empat hal; karena hartanya, karena nasabnya (keturunannya), karena kecantikannya, dan karena agamanya. Utamakanlah oleh kalian perempuan yang baik agamanya, taribat yadak.” (HR. Muslim no. 3620)
Perhatikan hadits di atas! Memang, ketaatan beragama selalu saja menjadi prioritas terdepan dalam urusan pernikahan. Siapa pun dia dan dari mana pun dia. Jadi, apabila seorang perempuan cantik jelita, kaya raya, memiliki kedudukan dan martabat tinggi di tengah-tengah manusia, dari keturunan bangsawan pula, namun agamanya ‘hampa’, dia bukan perempuan salihah. Adakah kebaikan yang diharapkan darinya, padahal kebaikan yang hakiki adalah kebaikan agama?
Apabila perempuan dituntut kesalihannya, demikian pula lelaki. Karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertitah kepada para wali perempuan yang didatangi oleh lelaki saleh yang ingin melamar putri atau saudari mereka,
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ، فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوْا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ
“Jika melamar kepada kalian, seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, nikahkanlah perempuan kalian dengannya. Jika tidak kalian lakukan, niscaya akan terjadi fitnah (bencana) di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. at-Tirmidzi, hadits hasan sahih, lihat Shahih at-Tirmidzi no. 1084, al-Irwa no. 1868, ash-Shahihah no. 1022)
Dalam Tuhfatul Ahwadzi dijelaskan makna hadits di atas sebagai berikut. Jika seseorang yang kalian anggap baik agama dan pergaulannya meminta kalian untuk menikahkannya dengan seorang perempuan dari kalangan anak-anak atau karib kerabat kalian, nikahkanlah perempuan kalian dengannya. Apabila tidak kalian lakukan, padahal agama dan perangai si lelaki bagus, karena kalian hanya menginginkan seseorang yang terpandang nasabnya, bagus fisiknya (tampan rupawan), atau hartanya, niscaya akan terjadi fitnah (bencana) dan kerusakan yang besar.
Sebab, kalau kalian tidak mau menikahkan perempuan kalian kecuali dengan lelaki yang berharta atau berkedudukan, bisa jadi banyak perempuan kalian yang hidup tanpa memiliki suami. Akan banyak pula lelaki kalian yang tidak memiliki istri. Akhirnya. merebaklah bencana dengan terjadinya perbuatan zina. Bisa jadi, para wali perempuan mendapatkan cela hingga bergejolaklah bencana demi bencana dan kerusakan, dan berdampak terputusnya nasab, sedikitnya kesalihan dan sedikitnya iffah ( kehormatan diri). (Kitab an-Nikah, bab “Ma Ja’a, Idza Ja’akum man Tardhauna Dinahu Fa Zawwijuhu”)
Demikianlah bimbingan agama yang mulia bagi para pendamba kemuliaan. Akan tetapi, banyak manusia berpaling darinya, sadar ataupun tidak. Tidak murni salah memang apabila seseorang memilih pasangan karena kebagusan fisiknya. Tidak pula disalahkan seseorang yang mengutamakan nasab tertentu atau memilih yang sesuku. Ingin yang bangsawan dan orang terpandang, ingin yang berharta… dst.
Semuanya keinginan yang manusiawi, boleh-boleh saja. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasihati dan memberikan arahan kepada Fathimah bintu Qais radhiallahu ‘anha agar tidak menerima lamaran Muawiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma, karena Muawiyah seorang yang fakir, tidak berharta?[1]
Sebelum jauh mengurus proses pernikahan, bukankah disyariatkan nazhar (melihat calon pasangan) terlebih dahulu? Kira-kira apa fungsinya? Melihat fisik, bukan?
Yang dicela hanyalah apabila sisi agama diabaikan dan tidak dijadikan prioritas. Maka dari itu, janganlah manusia hanya dinilai dari kedudukan, keturunan, dan kekayaannya. Yang keturunan bangsawan enggan menikah dengan yang bukan bangsawan. Kabilah yang dianggap mulia hanya mau menikah dengan yang sederajat. Keturunan Arab berpikir seribu kali untuk menikah dengan orang ajam (non-Arab).
Apabila ada yang beralasan bahwa menikah haruslah dengan yang sekufu, perlu dipahami terlebih dahulu apa maksud sekufu tersebut. Makna sekufu, kata al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah, adalah sama dan semisal. Sekufu yang teranggap adalah sekufu dalam hal agama. (Subulus Salam, 6/57)
Jadi, si lelaki dan si perempuan seagama[2], dan keduanya adalah orang baik-baik. Sebab, Allah ‘azza wa jalla mengingatkan dalam Tanzil-Nya,
“Perempuan-perempuan yang keji adalah untuk laki-laki yang keji. Dan lakilaki yang keji adalah untuk perempuan-perempuan yang keji pula. Perempuan-perempuan yang baik adalah untuk laki-laki yang baik. Dan laki-laki yang baik adalah untuk perempuan-perempuan yang baik pula.” (an-Nur: 26)
Al-Imam Malik rahimahullah termasuk yang berpendapat bahwa kafa’ah (sekufu) yang teranggap hanyalah dalam masalah agama, bukan yang lain. (al-Mughni, Kitab an-Nikah, Mas’alah Wal Kuf’u Dzud Din wa al-Manshib)
Dinukilkan pula pendapat seperti ini dari Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu dan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Demikian pula Ibnu Sirin rahimahullah dan Umar bin Abdil Aziz rahimahullah dari kalangan tabi’in. (Fathul Bari, 9/165—166)[3]
Dalilnya, kata al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah, ialah ayat 13 dari surah al-Hujurat dan hadits,
النَّاسُ كُلُّهُمْ وَلَدُ آدَمَ
“Manusia semuanya adalah anak Adam.” (HR. Ibnu Sa’d dalam ath-Thabaqat 1/25. Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dalam Sunannya dengan sedikit perbedaan lafadz no. 5116 dan at-Tirmidzi no. 3955; dinyatakan hasan dalam Shahih Abi Dawud dan Shahih at-Tirmidzi) (Subulus Salam, 6/57)
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah mengisyaratkan dukungan terhadap pendapat ini. Dalam Kitab an-Nikah dalam Shahih-nya, beliau membuat judul bab: al-Ikfa’ fid Din (bab “Sekufu Itu dalam Agama”). Kemudian beliau membawakan firman Allah ‘azza wa jalla,
“Dan Dia pula yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu berketurunan dan bermushaharah (hubungan yang terjalin karena pernikahan)….” (al-Furqan: 54)
Beliau bawakan pula beberapa hadits, di antaranya hadits Aisyah Ummul Mukminin radhiallahu ‘anha tentang Abu Hudzaifah bin Utbah bin Rabi’ah radhiallahu ‘anhu yang memiliki anak angkat bernama Salim, seorang maula (bekas budak), dan dinikahkannya dengan keponakannya, Hindun bintu al-Walid bin Utbah bin Rabi’ah. (Hadits no. 5088)
Dengan demikian, apabila engkau, wahai lelaki, ingin menikah dengan perempuan yang mulia, carilah perempuan yang bertakwa. Sebab, kemuliaan ada pada takwa, bukan yang lain. Setelah itu, baru engkau memperhitungkan paras si perempuan, nasabnya, dan seterusnya. Demikian pula dirimu, wahai perempuan, pilihlah seorang yang bertakwa sebagai suamimu, setelah itu baru engkau melihat sisi yang lain.
Jadi, tidak masalah engkau yang bangsawan menikah dengan yang bukan bangsawan, asal saling ridha. Tidak masalah engkau yang kaya menikah dengan yang miskin. Sebab, semua itu bukan standar kemuliaan. Kemuliaan, sekali lagi, hanya ada pada takwa.
Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Ulama Islam sepakat tentang bolehnya seorang lelaki menikahi perempuan yang bukan dari kabilahnya, apabila agama mereka sama. Ulama pun sepakat tentang bolehnya seorang muslim menikahi perempuan ahlul kitab yang menjaga kehormatan dirinya, walaupun si perempuan bukan dari kalangan bangsa Arab. Dalil tentang hal ini banyak didapatkan dari al-Quran, as-Sunnah, dan amalan salaf. Di antaranya,
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa.” (al-Hujurat: 13)
Dalam ayat yang mulia di atas, Allah ‘azza wa jalla menjelaskan kepada para hamba-Nya, tidak ada kelebihan atau keistimewaan seseorang terhadap orang lain di sisi Allah ‘azza wa jalla selain dengan takwa. Maka dari itu, orang yang paling mulia di sisi Allah ‘azza wa jalla adalah yang paling bertakwa di antara mereka.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang orang yang paling mulia. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Yang paling bertakwa di antara manusia.”
Ayat dan hadits yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa kabilahkabilah yang ada di tengah-tengah masyarakat manusia adalah sekufu, sama, dan sederajat. Oleh karena itu, seorang lelaki dari kabilah Quraisy (Qurasyi) dan dari Bani Hasyim (Hasyimi) boleh menikah dengan seorang perempuan dari Bani Tamim dan Qahthan, atau selain keduanya. Demikian pula sebaliknya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri, yang merupakan seorang dari Bani Hasyim yang paling mulia, menikah dengan Zainab bintu Jahsyin dari Bani Asad bin Khuzaimah. Zainab bukanlah dari suku Quraisy. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menikah dengan Ummu Habibah bintu Abi Sufyan, Hafshah bintu Umar, Juwairiyah bintu al-Harits, Saudah bintu Zam’ah, Ummu Salamah dan Aisyah, semoga Allah ‘azza wa jalla meridhai mereka, semuanya bukan dari kalangan Bani Hasyim. Bahkan, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menikahi Shafiyah bintu Huyai, seorang keturunan Bani Israil.
Umar ibnu al-Khaththab radhiallahu ‘anhu menikahi Ummu Kultsum bintu Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, padahal Umar dari Bani ‘Adi sedangkan Ummu Kultsum dari Bani Hasyim.
Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu menikah dengan dua putri Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam , secara berurutan yang satu setelah meninggal yang lain, yaitu Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Utsman dari Bani Umayyah sementara dua putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jelas dari Bani Hasyim.
Kenyataan seperti ini banyak sekali (menikah dengan kabilah yang berbeda). Semua ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau g adalah orang-orang yang tidak lagi memedulikan urusan nasab ketika urusan agama telah lurus.
Termasuk bukti yang menunjukkan akan hal ini adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkan Usamah bintu Zaid radhiallahu ‘anhu dengan Fathimah bintu Qais, seorang perempuan dari suku Quraisy. Padahal, Usamah adalah seorang bekas budak dari Bani Kalb.
Abu Hudzaifah bin Utbah bin Rabi’ah bin Abdi Syams radhiallahu ‘anhu menikahkan putri saudara lelakinya (keponakannya) dengan bekas budaknya yang bernama Salim, padahal keponakannya dari suku Quraisy, sedangkan Salim seorang mantan budak.
Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu menikahkan saudara perempuannya dengan al-Asy’ats bin Qais. Abu Bakr dari Bani Tamim dari suku Quraisy, sedangkan al-Asy’ats dari Bani Kindah (al-Kindi).
Abdur rahman ibnu Auf radhiallahu ‘anhu menikahkan saudara perempuannya dengan Bilal bin Rabah, sang muazin, padahal saudarinya adalah Zuhriyah Quraisyiyah sedangkan Bilal seorang Habasyi (dari Afrika).
Semua ini menunjukkan kepada pencari ilmu tentang bolehnya pernikahan dengan selain kabilahnya jika memang urusan agama sudah lurus. Dalil dan kenyataan yang disebutkan di atas kiranya mencukupi, insya Allah.” (Fatwa ini disampaikan Samahatusy Syaikh tatkala beliau masih menjabat sebagai Wakil Rektor Universitas Islam Madinah. Dikutip dari Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, hlm. 401—403)
Seseorang hanyalah istimewa dengan takwa. Maka dari itu,ketika memilih pasangan ataupun memilihkan pasangan untuk orang lain, utamakan takwa, setelahnya baru mempertimbangkan hal lain. Tidak boleh menganggap remeh urusan agama si calon. Periksalah, apakah dia seorang yang senantiasa menegakkan shalat dan menjalankan rukun-rukun Islam yang lain? Apakah dia seorang yang selalu berupaya meninggalkan kemaksiatan? Apakah dia seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, suka beramar ma’ruf nahi mungkar, dan berbagai kebaikan lainnya?
Seseorang yang mengesampingkan perkara agama dalam urusan ini menunjukkan bahwa dia seorang yang lemah agamanya, lemah keimanannya, dan sedikit takwanya.
Para wali yang mengurusi perempuan mereka, baik putri, saudara perempuan, maupun keponakan perempuan, hendaknya mengedepankan kesalihan seorang lelaki yang meminang perempuan mereka.
Apabila si perempuan ridha terhadap lelaki yang datang, tanpa ada cela pada agama dan akhlak si lelaki, wali wajib menikahkannya, walaupun si lelaki bukan dari kasta atau “kelas” yang sama dengan mereka. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas,
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ، فَزَوِّجوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوْا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ
“Jika melamar kepada kalian, seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, nikahkanlah perempuan kalian dengannya. Jika tidak kalian lakukan, niscaya akan terjadi fitnah (bencana) di muka bumi dan kerusakan yang besar.”
Wali tidak boleh memaksa seorang perempuan untuk menikah dengan lelaki pilihan walinya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
“Anak gadis tidak boleh dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR. al- Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, tidak ada kehinaan bagi seorang bangsawan menikah dengan bukan bangsawan. Tidak ada kerendahan bagi seorang Arab ketika menikah dengan non-Arab. Tidak ada cela satu suku menikah dengan suku yang berbeda. Manusia semuanya sama, anak keturunan Adam q. Yang membuatmu istimewa hanyalah karena takwa. Karena takwa pula engkau pantas diutamakan.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
[1] Ketika Fathimah bintu Qais radhiallahu ‘anha selesai dari iddahnya, datanglah Muawiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm melamarnya. Fathimah menyampaikan perihal lamaran tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam guna meminta bimbingan beliau. Beliau menasihatkan, “Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya. Sementara itu, Muawiyah seorang yang fakir, tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid….” (HR. Muslim)
[2] Walaupun ada kebolehan bagi lelaki untuk menikah dengan perempuan dari kalangan ahlul kitab.
[3] Adapun jumhur ulama memandang bahwa selain agama maka nasab juga termasuk dalam kafa’ah. (Fathul Bari, 9/166)