Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar Ibnu Rifa’i
“Jangan berdusta atas namaku. Sungguh, siapa saja berdusta atas namaku, silakan masuk dalam neraka!”
Ucapan di atas adalah sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari (no. 106), Muslim di dalam Muqaddimah Shahih-nya (Bab “Taghlizhul Kadzib” no. 1), at-Tirmidzi (no. 2660), dan Ibnu Majah (no. 31).
Tentang Hadits
Madar (sumber) inti hadits di atas terletak pada perawi bernama Manshur bin al-Mu’tamir, dari Rib’i bin Hirasy, dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Tentang Ali radhiallahu ‘anhu, lembaran kertas dalam tulisan ini tidak akan cukup untuk berkisah tentang kelebihan, keistimewaan, dan keutamaan beliau. Perlu karya tersendiri untuk bercerita tentang figur Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu sebagaimana yang telah dilakukan oleh para ulama, jazahumullahu khairan.
Murid Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, yang meriwayatkan hadits dari beliau adalah Rib’i bin Hirasy. Siapakah beliau? Ahli hadits dari Kufah ini tercatat sebagai seorang tabi’in mulia yang tidak pernah berdusta walau sekali dalam hidupnya. Beliau pernah bersumpah untuk tidak tertawa sebelum mengetahui, di surga atau neraka tempatnya kelak?
Salah seorang yang memandikan jenazah Rib’i mengatakan, “Rib’i terus terlihat dalam senyum di atas ranjangnya, sampai kami selesai memandikannya.”
Beliau wafat pada 101 H di masa kekuasaan al-Hajjaj bin Yusuf. Sebagai madar hadits, Manshur bin al-Mu’tamir memang termasuk perawi di dalam kutubus sittah (kitab hadits yang enam). Banyak ulama menyebut beliau sebagai atsbatu ahli Kufah, perawi paling kuat di kota Kufah. Karena sering menangis, beliau mengalami gangguan penglihatan. Manshur wafat pada 132 H, semoga Allah ‘azza wa jalla merahmati beliau.
Dalam kalangan Syiah tidak dikenal istilah yang cukup populer di bidang ilmu hadits. Tidak ada pembahasan hadits sahih, hasan, ataupun dha’if, menurut keyakinan mereka. Jika pun ditemukan dalam beberapa kitab rujukan mereka, hal itu dilakukan demi prinsip taqiyyah (dusta demi keyakinan).
Makna Hadits
Sebagian ulama pensyarah hadits (Syarah Shahih Muslim karya an-Nawawi) menyatakan bahwa riwayat di atas termasuk dalam kategori mutawatir. Artinya, pada setiap tingkatan sanad hadits, ada banyak perawi yang meriwayatkan hadits ini.
Abu Bakr al-Bazzar menyebutkan ada sekitar 40 orang sahabat yang meriwayatkan hadits ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, ada yang mengatakan 62 sahabat, termasuk sepuluh orang sahabat yang dijamin masuk surga.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhir hadits (النَّار فَلْيَلِجِ) diterangkan oleh ulama menyimpan dua makna.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas dimaknai, “Semoga kelak ia masuk ke dalam neraka.”
Dengan demikian, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas berarti, “Kelak ia akan masuk neraka, maka bersiap-siaplah.”
Makna mana pun dari kedua kemungkinan tersebut, seharusnya hal tersebut menjadi sebuah rambu hidup untuk tidak bermain-main ketika berbicara atas nama Islam, agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berdusta adalah menyampaikan sesuatu yang bertolak belakang dengan fakta. Hal ini bisa terjadi secara disengaja maupun tidak, lupa atau karena tidak tahu. Akan tetapi, di dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan ancaman siksa bagi mereka yang secara sengaja melakukan tindak dusta atas nama beliau. Apa pun alasan dan tujuannya!
Apakah pelakunya dapat dikafirkan?
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa dusta termasuk perbuatan dosa yang keji dan kesalahan yang membinasakan. Akan tetapi, dikafirkan atau tidak, menurut pendapat yang masyhur dari mayoritas ulama di berbagai mazhab, pelakunya tidak dikafirkan, kecuali jika ia meyakini hal tersebut halal dilakukan.
Bagaimana pun, ancaman yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas harusnya menjadi garis pengingat untuk kita agar berhati-hati jika berbicara atas nama agama. Tanpa ilmu syar’i sebagai landasan dan sikap ilmiah dalam bertindak, seorang muslim dilarang berucap atau berpendapat lantas mengatasnamakannya sebagai ajaran Islam.
Allah ‘azza wa jalla berfirman dalam al-Qur’an, Katakanlah, “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu, dan (mengharamkan) mengadaadakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui.” (al-A’raf: 33)
Putar Balik Fakta Ala Syiah
Kalangan Syiah dengan berbagai sektenya, sangat tepat untuk dijadikan contoh nyata dalam pembahasan kita. Sengaja kami memilih riwayat hadits dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu—bukan dari sahabat lain—, karena pengakuan kalangan Syiah yang menghormati dan mengagungkan beliau.
Adapun kenyataannya? Silakan Anda menelaah tulisan ringkas ini.
Dalam kalangan Syiah tidak dikenal istilah yang cukup populer di bidang ilmu hadits. Tidak ada pembahasan hadits sahih, hasan, ataupun dha’if, menurut keyakinan mereka. Jika pun ditemukan dalam beberapa kitab rujukan mereka, hal itu dilakukan demi prinsip taqiyyah (dusta demi keyakinan).
Hal ini dinyatakan sendiri oleh salah satu tokoh besar mereka yang bernama al-Faidh al-Kasyani. Selain itu, al-Faidh menyebut pembagian hadits menjadi sahih, hasan, dan dhaif, hanyalah mustahdats. Artinya, sesuatu yang dibuatbuat oleh Ahlus Sunnah. Pernyataannya ini dimuat di dalam kitab al-Wafi pada mukadimah keduanya (1/11).
Bukankah hal ini menyelisihi prinsip utama kaum muslimin? Bukankah hal ini akan membuka lebar pintu berbicara dan bersikap tanpa dasar ilmiah? Bukankah hal ini secara tidak langsung telah membuktikan bahwa kalangan Syiah tidak peduli dengan sahih atau tidaknya riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Buku-buku referensi utama mereka penuh dengan riwayat palsu dan dusta. Bagaimana tidak, para perawi andalan kaum Syiah adalah kumpulan para pendusta. Sebut saja Zurarah bin A’yan, Jabir al-Ju’fi, Abu Bashir al-Laits, Barid al-‘Ijli, Humran bin A’yan, dan yang semisalnya.
Zurarah bin A’yan disebut ulama sebagai tokoh ekstrem kaum Syiah, terutama sebagai tokoh pendiri sekte Zurariyah (al-A’lam karya az-Zirikli 3/43).
Akan tetapi, apa pendapat Abu Abdillah, seorang ulama yang ditokohkan oleh kaum Syiah tentangnya? Kata Abu Abdillah Ja’far ash-Shadiq (Rijalul Kusysyi hlm. 149—151), “Zurarah lebih jahat dibandingkan dengan kaum Yahudi dan Nasrani!”
Seorang perawi yang telah dicacat oleh tokohnya sendiri, mengapa kemudian dijadikan sebagai salah satu sumber utama riwayat kaum Syiah?
Tidak perlu kaget atau heran! Kaum Syiah pada dasarnya memang tidak mengakui disiplin ilmu hadits, apalagi ilmu al-jarh wat ta’dil!
Sekalipun ditemukan sejenis ilmu al-jarh wat ta’dil di kalangan Syiah, pasti diiringi oleh kontradiksi, pertentangan, dan pendapat yang saling berlawanan.
Buktinya?
Adalah pengakuan dari seorang tokoh mereka yang dikenal dengan sebutan al-Kasyani. Dalam mukadimah kedua dari kitab al-Wafi (1/11/12), ia mengatakan, “Di dalam al-jarh wat ta’dil serta syarat yang berlaku, terdapat kontradiksi, pertentangan, dan pendapat yang saling berlawanan. Hampir-hampir hal ini membuat hati tidak tenang, sebagaimana hal ini tidak tersembunyi bagi orang yang mengetahuinya.”
Sikap Syiah Terhadap Referensi Islam
Kejahatan kaum Syiah ternyata tidak cukup sampai di situ. Selain membuat dan bersandar pada riwayat palsu dan dusta, mereka tidak menerima kitab hadits yang telah disepakati oleh kaum muslimin sebagai rujukan utama di dalam riwayat hadits.
Apa sikap mereka terhadap Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim? Dua referensi hadits yang disepakati ulama, bahkan kaum muslimin secara umum, sebagai dua kitab yang paling sahih setelah al-Qur’an?
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah menyatakan dalam Syarah Shahih Muslim, “Para ulama rahimahumullah telah bersepakat bahwa kitab paling sahih setelah al-Qur’an al-Aziz adalah ash-Shahihain; al-Bukhari dan Muslim. Bahkan, seluruh umat dapat menerimanya.”
Namun, bagaimanakah sikap Syiah? Mereka tidak dapat menerima riwayat hadits di dalam kedua kitab tersebut. Sebab, mereka meyakini bahwa para sahabat telah murtad setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, kecuali tiga orang, yaitu Abu Dzar, al-Miqdad, dan Salman al-Farisi radhiallahu ‘anhum.
Bukankah ini bentuk pelecehan terhadap sahabat? Bukankah hal ini bentuk cela mereka terhadap sahabat? Jika demikian, dari mana ajaran Islam dapat sampai kepada umat jika para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dicerca?
Mereka menuduh para sahabat masuk Islam karena paksaan, faktor ekonomi, penuh keraguan, munafik, dan celaan lainnya. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh tokoh mereka, Husain bin Abdus Shamad dalam Musthalah Hadits-nya. Lihatlah pernyataan tokoh besar mereka, Alu Kasyif al-Ghitha’ (Ushulus Syiah, hlm. 79) yang berkata, “Kaum Syiah tidak menganggap sunnah kecuali riwayat dari ahlu bait yang dinilai sahih. Adapun seperti riwayat Abu Hurairah dan Samurah bin Jundub, tidak berharga bagi kalangan Imamiyah walau senilai sayap nyamuk.”
Pantas saja apabila Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dicela dan dijatuhkan kredibilitasnya! Sebab, riwayat Abu Hurairah banyak membongkar kesesatan dan kedustaan kaum Syiah. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda dalam hadits Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu riwayat al-Bukhari dan Muslim,
لاَ تَسُبُّوا أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِي، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَوْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَ نَصِيفَه
“Janganlah kalian mencela seorang pun dari sahabat-sahabatku! Sungguh, jika salah salah seorang di antara kalian berinfak emas sebesar Gunung Uhud, tidak akan bisa menyamai infak satu mud mereka, bahkan setengahnya.”
Parahnya lagi, kaum Syiah mencela imam kaum muslimin yang empat: Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Bahkan, dalam kitab asy-Syiah Hum Ahlus Sunnah (hlm. 109), sang penulis mengatakan, “… Empat mazhab yang diakui oleh Ahlus Sunnah hanyalah mazhab yang direkayasa oleh kaum politikus.”
Astaghfirullah! Sungguh keji dan dusta tuduhan mereka! Akidah Syiah semacam itu, apakah seorang muslim memakai perasaan dan empati untuk menganggap Syiah sebagai saudaranya?
Apakah ia ingin memaksakan kehendak, dengan pura-pura buta dari fakta, untuk menyatukan antara Sunnah dan Syiah?!
Kontradiksi Riwayat-Riwayat Syiah
Setelah membaca keterangan ringkas di atas, kita dapat mengukur keakuratan dan kevalidan sistem riwayat di kalangan Syiah. Oleh sebab itu, jangan heran apabila riwayat-riwayat kaum Syiah memiliki banyak kontradiksi dan pertentangan. Tidak ada satu pun riwayat kecuali pasti ditemukan riwayat lain yang bertentangan.
Fakta ini diakui sendiri oleh mereka, seperti oleh as-Sayyid Dildar as-Syi’i dalam kitab Asasul Ushul (hlm. 5), Husain bin Syihabudin al-Kurki dalam kitab Hidayatul Abrar (hlm. 264), dan as-Sayyid Hasyim Ma’ruf al-Husaini dalam kitab al-Maudhu’at (hlm. 165 cetakan pertama).
Simak saja pernyataan seorang tokoh terkemuka Syiah di dalam sebuah referensi utama mereka. Di dalam mukadimah kitab Tahdzibul Ahkam, Abu Ja’far Muhammad bin al-Hasan at-Thusi mengatakan, “… Sampai-sampai setiap kabar yang ada, pasti di sana ada yang bertentangan dengannya. Tidak ada satu pun hadits yang selamat kecuali di sisi lain ada yang menafikannya. Hal ini menjadi salah satu kritikan terbesar dari orang yang menyelisihi mazhab kita.”
Jangan Mudah Tertipu oleh Syiah!
Setelah sedikit mengenal metode periwayatan hadits yang berlaku di kalangan Syiah, semestinya kita berhatihati dan tidak mudah terpengaruh oleh riwayat-riwayat mereka. Kita justru harus mengubur rasa penasaran atau rasa ingin tahu tentang riwayat-riwayat Syiah. Khawatirnya, riwayat mereka yang kita baca kemudian menimbulkan syak dan syubhat (kerancuan pemikiran) di hati.
Nukilan tentang Syiah di atas kiranya cukup. Nukilan tersebut penulis ambil dari dua buah kitab, yaitu Haqiqatus Syiah karya Abdullah al-Maushili, dan Aqa’idus Syiah karya Abdurrahman as-Syatsri.
Mudah-mudahan kaum muslimin memperoleh pencerahan dan hidayah dari Allah ‘azza wa jalla sehingga semakin memahami tentang hakikat gerakan Syiah.
Amin ya Arham ar-Rahimin.