Dari Abdullah bin Abi Aufa radhiallahu anhu, dia berkata,
اللَّهُمَّ بَارِكْ فِيهِ وَفِيكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَاهُ قَوْمٌ بِصَدَقَتِهِمْ، قَالَ: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِمْ. فَأَتَاهُ أَبِي -أَبُو أَوْفَى- بِصَدَقَتِهِ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ أَبِي أَوْفَى
Apabila satu kaum mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk menunaikan zakatnya, beliau berdoa, “Ya Allah, berilah ampunan kepada mereka.” Hingga datanglah ayahku—Abu Aufa—membawa zakat, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun berdoa, “Ya Allah, berilah ampunan kepada Abu Aufa.”
Hadits ini muttafaqun ‘alaihi, disepakati kesahihannya oleh Syaikhan (al-Bukhari dan Muslim).
Al-Bukhari meriwayatkannya dalam Shahih-nya, pada “Bab Shalatul Imam wa Du’auhu li Shahibi ash-Shadaqah” (Bab Imam bershalawat dan mendoakan orang yang bersedekah) no. 1497, dan dalam at-Tarikh al-Kabir (3/1/24).
Adapun Imam Muslim meriwayatkannya dalam Shahih-nya (2/756 no. 1078).
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu Dawud (no. 1590), an-Nasai (5/31), Ibnu Majah (no. 1796), ath-Thayalisi (no. 819), Ahmad (4/353, 355, 381, 383), ath-Thahawi dalam Musykilul Atsar (4/162), dan lainnya, melalui banyak jalan dari Syu’bah bin al-Hajjaj, dari ‘Amr bin Murrah, dari Abdullah bin Abi Aufa radhiallahu anhu.
Abdullah bin Abi Aufa radhiallahu anhu dan ayahnya, Abu Aufa—Alqamah bin Khalid al-Harits al-Aslami radhiallahu anhu—adalah sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang menyaksikan Perjanjian Hudaibiyah (6 H) dan mengikuti Baiat Ridhwan saat itu.
لَّقَدۡ رَضِيَ ٱللَّهُ عَنِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ إِذۡ يُبَايِعُونَكَ تَحۡتَ ٱلشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمۡ فَأَنزَلَ ٱلسَّكِينَةَ عَلَيۡهِمۡ وَأَثَٰبَهُمۡ فَتۡحًا قَرِيبًا
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (al-Fath: 18)
Bahkan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengabarkan keselamatan ahli Baiat Ridhwan dari neraka, seperti dalam sabdanya,
لَا يَدْخُلُ النَّارَ إِنْ شَاءَ اللهُ مِنْ أَصْحَابِ الشَّجَرَةِ، أَحَدُ الَّذِينَ بَايَعُوا تَحْتَهَا
“Tidak akan masuk ke dalam neraka—insya Allah—seorang pun dari sahabat-sahabat yang berbaiat (kepada Rasulullah) di bawah pohon (yakni Baiat Ridhwan).” (Shahih Muslim 4/1942, no. 2496)
Abdullah bin Abi Aufa radhiallahu anhu meninggal pada 87 H, 76 tahun setelah wafat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau radhiallahu anhu tercatat sebagai sahabat terakhir yang meninggal di Kufah. (Lihat at-Taqrib)
Doa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk Abu Aufa radhiallahu anhu,
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ أَبِي أَوْفَى
“Ya Allah, berilah ampunan kepada Abi Aufa.”[1]
adalah dalil disyariatkannya mendoakan muzakki (orang yang membayar zakat) ketika ia menyerahkannya. Shalawat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam doa ini mengandung makna permohonan ampun kepada Allah bagi Abu Aufa radhiallahu anhu.
Al-Khaththabi—sebagaimana dinukil ash-Shan’ani—berkata,
“Makna asal shalat (shalawat) adalah doa. Namun, ia memiliki kandungan makna berbeda sesuai dengan orang yang didoakan. Shalawat Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada umatnya bermakna doa agar Allah subhanahu wa ta’ala memberikan ampunan kepada mereka. Adapun shalawat umatnya untuk beliau maknanya adalah permohonan kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar menganugerahi beliau kedekatan yang sempurna kepada-Nya. Oleh karena itu, (makna ini) tidak layak kecuali untuk beliau.” (Subulus Salam, 2/130)
Baca juga:
Berdasarkan hadits ini, disyariatkan bagi imam (pemerintah), wakilnya, atau penerima zakat untuk mendoakan muzakki ketika memberikan zakatnya. Doa ini sesungguhnya merupakan bentuk syukur (terima kasih) atas kebaikan yang sampai melalui tangan muzakki (pemberi zakat).
Hadits ini juga menunjukkan bolehnya seseorang datang kepada imam atau yang mewakilinya untuk menyerahkan zakatnya, bukan didatangi. Syaikh alu Bassam rahimahullah menerangkan,
“Penyerahan zakat kepada pemerintah muslimin bisa dengan diutusnya petugas pengambil zakat yang mendatangi tempat penggembalaan dan kebun-kebun mereka, atau muzakki sendiri yang datang kepada (waliyul amr, sebagaimana dalam hadits Ibnu Abi Aufa radhiallahu anhu). Semua ini boleh.” (Taudhihul Ahkam 3/42)
Bolehkah bershalawat untuk selain Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam?
Dalam doa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ada shalawat untuk Abu Aufa radhiallahu anhu. Apakah kita juga mengucapkan shalawat bagi muzakki?
Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. An-Nawawi rahimahullah mengatakan,
“… Ucapan as-sa’i (petugas pengambil zakat), ‘Allahumma shalli ‘ala fulan,’ dimakruhkan oleh jumhur ulama mazhab Syafi’i. Ini juga merupakan pendapat Ibnu Abbas radhiallahu anhu, Malik, Ibnu Uyainah, dan sekelompok salaf.
Adapun sekelompok ulama lainnya berpendapat bahwa hal itu diperbolehkan tanpa ada kemakruhan sama sekali, berdasar hadits ini (yakni hadits Abdullah bin Abi Aufa radhiallahu anhu)….” (al-Minhaj)
Masalah ini dijawab oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya, Jala’ul Afham. Beliau rahimahullah berkata,
“Sebagai penengah dalam masalah ini, kita katakan bahwa shalawat kepada selain Nabi shallallahu alaihi wa sallam bisa jadi ditujukan bagi keluarga beliau, istri-istri, keturunan beliau, atau selain mereka.
Jika shalawat itu ditujukan (kepada keluarga Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, istri-istri, dan keturunan beliau), shalawat kepada mereka disyariatkan, digandengkan bersama shalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam.[2]
Baca juga:
Hak-hak Rasulullah shallallahu alaihi wasallam atas Umat Manusia
Adapun shalawat yang ditujukan kepada selain para istri dan keluarga Nabi shallallahu alaihi wa sallam, jika yang dimaksud adalah malaikat dan orang-orang taat secara umum—yang para nabi dan selain mereka juga masuk dalam keumuman tersebut—diperbolehkan juga. Ini seperti ucapan,
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مَلَائِكَتِكَ الْمُقَرَّبِينَ وَأَهْلِ طَاعَتِكَ أَجْمَعِينَ
“Ya Allah, berilah shalawat kepada malaikat-malaikat-Mu yang dekat dan hamba-hamba-Mu yang taat seluruhnya.”
Akan tetapi, jika shalawat tertuju hanya kepada seseorang atau kelompok tertentu[3], hal ini dibenci. Bahkan, ada benarnya kalau dikatakan bahwa hal itu haram—terlebih jika hal tersebut dijadikan sebagai syiar khusus—untuk orang tersebut dan tidak diberikan kepada selainnya yang berkedudukan sama atau bahkan lebih baik darinya, sebagaimana dilakukan Rafidhah (Syiah) terhadap Ali radhiallahu anhu.[4]
Jika shalawat (yang ditujukan pada orang tertentu itu) dilakukan sesekali—tidak dijadikan sebagai syiar—sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bershalawat atas orang yang membayar zakat, dan atas seorang wanita beserta suaminya, sebagaimana pula Ali radhiallahu anhu pernah bershalawat atas Umar radhiallahu anhu, yang seperti ini tidak mengapa.” (Jala’ul Afham hlm. 352)
Shalawat Rasul shallallahu alaihi wa sallam atas seorang wanita dan suaminya diriwayatkan oleh Abu Dawud dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu,
أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صلِّ عَلَيَّ وَعَلَى زَوْجِي. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَلَّى اللهُ عَلَيْكَ وَعَلَى زَوْجِكَ
Seorang wanita berkata kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Bershalawatlah untukku dan untuk suamiku.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata,
صَلَّى اللهُ عَلَيْكَ وَعَلَى زَوْجِكَ
“Semoga Allah memberi ampunan untukmu dan suamimu.” (HR. Abu Dawud dalam as-Sunan no. 1533 dengan sanad yang sahih; dinilai sahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
“… Boleh bershalawat untuk selain Nabi shallallahu alaihi wa sallam… Namun, kebolehan ini selama tidak sering bershalawat kepada selain Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Juga selama tidak menyerupai pengikut hawa nafsu yang mengkhususkan shalawat bagi (tokoh) yang mereka agungkan, atau mengkhususkan shalawat untuk sebagian sahabat saja. Dalam tafsir surah al-Ahzab,
إِنَّ ٱللَّهَ وَمَلَٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِيِّۚ
‘Sesungguhnya, Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi.’ (al-Ahzab: 56)
Ibnu Katsir berkata, ‘Penulisan عَلَيْهِ السَّلَامُ (alaihis salam) yang tertera dalam beberapa kitab setelah menyebut Ali radhiallahu anhu (secara khusus), ini dilakukan oleh nussakh (para penyalin) dan bukan perbuatan penulis asli kitab tersebut. Sebab, di antara jalan salaf adalah tidak membeda-bedakan para sahabat. Yang masyhur di kalangan salaf adalah bershalawat untuk para nabi, mendoakan keridhaan kepada para sahabat, dan mendoakan rahmat bagi orang-orang sesudah sahabat’.” (Syarh Kitab Adabul Masyi ilash Shalah hlm. 45—46)
Alhasil, doa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan bentuk shalawat untuk muzakki disyariatkan dengan dalil hadits Ibnu Abi Aufa radhiallahu anhu. Wallahu ta’ala a’lam.
Doa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bagi muzakki yang beliau lafazkan dalam hadits Abdullah bin Abi Aufa radhiallahu anhu sesungguhnya adalah pengamalan beliau terhadap perintah Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya,
خُذۡ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡ صَدَقَةٗ تُطَهِّرُهُمۡ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيۡهِمۡۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٞ لَّهُمۡۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (at-Taubah: 103)
Apa hukum mendoakan muzakki? Wajibkah sebagaimana yang tampak dari perintah dalam ayat atau mustahab (hukumnya sunnah)?
Al-Baghawi rahimahullah (wafat 516 H) dalam tafsirnya, Ma’alimut Tanzil, menukil adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini. Beliau rahimahullah mengatakan,
“Ulama berselisih pendapat tentang wajibnya imam/penguasa mendoakan muzakki ketika mengambil zakatnya. Sebagian mengatakan wajib, sedangkan yang lainnya menganggap sunnah. Sebagian mewajibkannya pada sedekah yang wajib dan menganggapnya sunnah pada sedekah yang sunnah. Sebagian lagi berpendapat, doa ini wajib diucapkan imam, sedangkan fuqara yang menerima zakat sunnah hukumnya (mendoakan) orang yang memberikan.” (Tafsir al-Baghawi 2/323)
An-Nawawi rahimahullah mengatakan,
“Yang masyhur dalam mazhab kami (Syafi’i) dan mazhab seluruh ulama, mendoakan orang yang membayar zakat hukumnya sunnah dan tidak wajib. Berbeda halnya dengan ahli zahir yang mengatakan bahwa mendoakan muzakki hukumnya wajib … Mereka bersandar pada perintah dalam ayat.
Menanggapi pendapat ahli zahir ini, jumhur ulama berkata, ‘Perintah (dalam ayat ini) menurut kami adalah sunnah. Alasannya, ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengutus Muadz bin Jabal radhiallahu anhu dan lainnya untuk mengambil zakat, beliau tidak memerintah mereka untuk mendoakan (orang yang berzakat)….” (al-Minhaj)
Pendapat jumhur adalah pendapat yang rajih (kuat), insya Allah. Pendapat ini juga merupakan zahir perkataan asy-Syaukani dalam Nailul Authar dan Syaikh Abdurrahman Nashir as-Sa’di dalam Tafsir beliau pada ayat at-Taubah.
As-Sa’di mengatakan, “… Dalam ayat ini (ada faedah), disunnahkan bagi imam atau wakilnya untuk mendoakan berkah bagi yang membayar zakatnya.” (Taisir al-Karimir Rahman 3/293)
Seyogianya doa itu diucapkan dengan keras agar didengar orang yang bersedekah sehingga dia tenteram dengan doa tersebut.
Dari makna ayat, juga diambil faedah bahwa seorang mukmin sepantasnya berusaha membahagiakan saudaranya dengan perkataan yang lembut, mendoakan kebaikan untuknya, atau hal-hal yang menenangkan dan menenteramkan hatinya.
Lafadz doa tersebut tidak harus dalam bentuk shalawat. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
“Orang yang mengambil zakat hendaknya mengucapkan, ‘Allahumma shalli alaika’, atau doa (lain) yang dipandang sesuai. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam,
خُذۡ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡ صَدَقَةٗ تُطَهِّرُهُمۡ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيۡهِمۡۖ
‘Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka’.” (at-Taubah: 103) (Lihat asy-Syarhul Mumti’ 6/208)
An-Nasai dalam al-Mujtaba (5/30) meriwayatkan dari Wa’il bin Hujr radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mendoakan berkah kepada seorang yang datang kepada beliau membawa seekor unta zakat yang baik.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ سَاعِيًا فَأَتَى رَجُلًا فَأَتَاهُ فَصِيلًا مَخْلُولًا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بَعَثْنَا مُصَدِّقَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِنَّ فُلَانًا أَعْطَاهُ فَصِيلًا مَخْلُولًا، اللَّهُمَّ لَا تُبَارِكْ فِيهِ وَلَا فِي إِبِلِهِ. فَبَلَغَ ذَلِكَ الرَّجُلَ فَجَاءَ بِنَاقَةٍ حَسْنَاءَ فَقَالَ: أَتُوبُ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَإِلَى نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اللَّهُمَّ بَارِكْ فِيهِ وَفِي إِبِلِهِ
Baca juga:
Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengutus seorang utusan untuk mengambil zakat. Dia mendatangi seseorang (untuk mengambil zakatnya), tetapi orang itu mengeluarkan (zakat berupa) unta sapihan yang sangat kurus.
(Ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengetahuinya) beliau bersabda, “Aku mengutus seseorang yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya (untuk mengambil zakat), tetapi Fulan memberikan unta sapihan kurus (yang tidak pantas untuk zakat). Ya Allah, janganlah Engkau berkahi dia dan jangan Engkau berkahi untanya.”
Sampailah doa ini kepada lelaki itu. Bergegas ia datang membawa seekor unta yang baik seraya berkata, “Aku bertobat kepada Allah dan kembali kepada Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam.”
Lalu beliau shallallahu alaihi wa sallam pun berdoa, “Ya Allah, berkahilah ia dan untanya.”
Dari riwayat tersebut diambil faedah bahwa doa untuk muzakki tidaklah harus dalam bentuk shalawat.
Membalas kebaikan orang lain meskipun hanya dengan doa adalah akhlak terpuji. Akhlak ini tampak dalam hadits Abdullah bin Abi Aufa radhiallahu anhu.
Akhlak ini juga dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam sabdanya yang masyhur,
وَمَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفاً فَكاَفِئُوْهُ، فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْنَ أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ
“Orang yang berbuat baik padamu, imbangilah kebaikannya. Jika kamu tidak mampu mengimbangi kebaikannya, doakanlah kebaikan untuknya hingga engkau merasa telah membalas kebaikannya.” (Sahih, HR. Abu Dawud dan an-Nasai dalam Sunan keduanya dari sahabat Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma)
Dalam hadits ini, Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintah kita untuk membalas kebaikan dengan kebaikan yang seimbang. Perangai seperti ini menunjukkan baiknya agama, akhlak, dan muruah (harga diri) seseorang.
Berbeda halnya jika seorang tidak memiliki perangai tersebut, tidak ada niat untuk membalas kebaikan saudaranya. Ia dikatakan la’im (tidak tahu balas budi/kikir). Lebih jelek daripada itu, ada orang yang membalas kebaikan dengan kejelekan, sebagaimana dikatakan dalam pepatah negeri ini, “Air susu dibalas dengan air tuba.”
Orang yang bertakwa selalu membalas kebaikan dengan kebaikan yang semisal atau lebih. Jika diperlakukan dengan jelek, ia membalasnya dengan kebaikan, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
ٱدۡفَعۡ بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ ٱلسَّيِّئَةَۚ نَحۡنُ أَعۡلَمُ بِمَا يَصِفُونَ
“Balaslah kejelekan dengan yang lebih baik. Kami mengetahui apa yang mereka sifatkan.” (al-Mu’minun: 96)
Baca juga:
Membalas kebaikan orang lain sangat erat kaitannya dengan tauhid. Manusia yang beriman, yang bergantung dan beribadah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, meyakini bahwa segala kebaikan yang dia dapatkan adalah dari Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, ia dituntut untuk bersyukur kepada-Nya dengan lisan, anggota badan, dan hati.
Jika ada seseorang yang berbuat baik kepadanya dalam bentuk bantuan harta, tenaga, atau pikiran, terkadang muncul kecondongan hati kepada orang tersebut. Oleh sebab itu, agar ketergantungan kepada makhluk hilang dan selalu murni untuk Allah subhanahu wa ta’ala, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mensyariatkan kebaikan orang tersebut dibalas dengan yang sebanding.
Jika tidak bisa engkau membalasnya dengan pemberian, disyariatkan engkau berdoa untuk kebaikannya hingga engkau merasa telah membalas kebaikannya. Dengan doa, engkau telah mengalihkan niatmu untuk membalas kebaikan itu kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dia adalah sebaik-baik pembalas kebaikan.
Doa di atas adalah doa yang diucapkan imam (penguasa), wakilnya, atau mereka yang menerima zakat. Adakah doa yang diajarkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk dibaca oleh orang yang berzakat?
Dalam beberapa kitab fikih disebutkan bahwa muzakki disunnahkan membaca doa,
اللَّهُمَّ اجْعَلْهَا مَغْنَمًا وَلَا تَجْعَلْهَا مَغْرَمًا
“Ya Allah, jadikan zakatku ini sebagai keuntungan (bagiku) dan jangan Kau jadikan sebagai kerugian.”
Doa tersebut dinisbahkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Namun, penisbahan ini tidak sah.
Ibnu Majah dalam as-Sunan (no. 1797) meriwayatkan sebuah hadits dari jalan Suwaid bin Sa’id, dari al-Walid bin Muslim, dari al-Bakhtari bin Ubaid, dari bapaknya, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أَعْطَيْتُمُ الزَّكَاةَ فَلَا تَنْسَوُا ثَوَابَهَا أَنْ تَقُولُوا: اللَّهُمَّ اجْعَلْهَا مَغْنَمًا وَلَا تَجْعَلْهَا مَغْرَمًا
“Jika kalian mengeluarkan zakat, janganlah kalian melupakan pahalanya dengan kalian berdoa, ‘Ya Allah, jadikan zakatku ini keuntungan (bagiku) dan jangan Engkau jadikan sebagai kerugian’.”
Hadits ini lemah. Bahkan, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah menghukuminya sebagai hadits maudhu’ (palsu).
Al-Bakhtari bin Ubaid at-Thabikhi al-Kalbi adalah perawi yang matruk (ditinggalkan). Suwaid bin Sa’id dikatakan fihi maqal (ada pembicaraan tentangnya). Adapun al-Walid bin Muslim adalah seorang mudallis (yang suka menggelapkan hadits), dan dalam sanad ini dia meriwayatkan hadits dengan ‘an’anah. (Lihat takhrij hadits ini dalam Irwa’ul Ghalil 3/343—344)
Pembaca, yang semoga dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Penting juga kita ingatkan, sebagian masyarakat menganggap bahwa jika muzakki tidak didoakan ketika membayar zakatnya, zakat yang ia keluarkan tidak afdal atau menjadi kurang nilai ibadahnya.
Keyakinan tersebut seringkali membuat kaum muslimin khawatir dengan zakat yang ia keluarkan, sah atau tidak? Sebagian lagi tidak mau atau merasa berat hati mengeluarkan zakat kecuali jika didoakan dengan doa yang panjang, bahkan dengan kaifiah (tata cara) yang diada-adakan.
Ketahuilah, anggapan-anggapan ini tidaklah benar. Doa untuk muzakki hukumnya sunnah sebagaimana pendapat jumhur ulama. Doa ini sama sekali tidak terkait dengan sah tidaknya zakat yang dikeluarkan. Seandainya muzakki mengeluarkan zakatnya dan tidak didoakan oleh orang yang menerima zakat tersebut, tidak perlu muncul kekhawatiran akan tidak afdalnya zakat yang ia keluarkan. Apalagi beranggapan bahwa amalannya tidak sah.
Zakat adalah mahasin (keindahan-keindahan) agama yang penuh rahmat dan kasih sayang. Lihatlah hadits di atas. Betapa indah jalinan kasih sayang antara orang yang memberikan zakat dan orang yang menerima, baik imam (penguasa), wakil, atau yang berhak mendapatkan zakat.
Saudaraku rahimakumullah.
Harta yang diambil dari si kaya jumlahnya sangat sedikit dibandingkan harta yang dimilikinya. Akan tetapi, harta itu sangat berharga bagi saudara-saudaranya yang berhak mendapatkan zakat. Karena besarnya pahala dan manfaat zakat serta sedekah-sedekah lainnya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sangat mendorong umatnya untuk bersedekah sebagai bekal menghadap Allah subhanahu wa ta’ala.
Adi bin Hatim ath-Tha’i radhiallahu anhu berkata dalam sebuah hadits yang panjang tentang kisah keislamannya,
فَبَيْنَمَا أَنَا عِنْدَه عَشِيَّةً إِذْ جَاءَهُ قَوْمٌ فِي ثِيَابٍ مِنَ الصُّوْفِ مِنَ النِّمَارِ. قَالَ: فَصَلَّى وَقَامَ فَحَثَّ عَلَيْهِمْ ثُمَّ قَالَ: وَلَوْ صَاعٌ، وَلَوْ بِنِصْفِ صَاعٍ، وَلَوْ قَبْضَةٌ، وَلَوْ بِبَعْضِ قَبْضَةٍ يَقِي أَحَدُكُمْ وَجْهَهُ حَرَّ جَهَنَّمَ أَوِ النَّارِ، وَلَوْ بِتَمْرَةٍ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَاقَى اللهَ وَقَائِلٌ لَهُ: مَا أَقُولُ لَكْم؛ أَلَمْ أَجْعَلْ لَكَ سَمْعًا وَبَصَرًا؟ فَيَقُولُ: بَلَى. فَيَقُولُ: أَلَمْ أَجْعَلْ لَكَ مَالًا وَوَلَدًا؟ فَيَقُولُ: بَلَى. فَيَقُولُ: أَيْنَ مَا قَدَّمْتَ لِنَفْسِكَ؟ فَيَنْظُرُ قُدَّامَهُ وَبَعْدَهُ وَعَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ لَا يَجِدُ شَيْئًا يَقِي بِهِ وَجْهَهُ حَرَّ جَهَنَّمَ، لِيَقِ أَحَدُكُمْ وَجْهَهُ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ … الْحَدِيثَ
Baca juga:
“Suatu petang ketika aku berada di sisi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, datanglah kaum dengan baju dari kain yang bergaris yang terbuat dari bulu domba. Beliau pun shalat lalu berdiri dan berkhotbah memberi dorongan kepada para sahabatnya (untuk bersedekah).
Beliau bersabda, “Walaupun satu sha’ atau setengah sha’, meskipun satu genggam atau sebagiannya, akan melindungi salah seorang kalian dan wajahnya dari panasnya Jahannam, walau dengan sebutir kurma atau separuhnya. Sungguh, kalian akan berjumpa dengan Allah dan Dia akan berkata, ‘Bukankah Aku telah memberikanmu pendengaran dan penglihatan?’ Katanya, ‘Ya.’
Allah berfirman, ‘Bukankah Aku telah berikan engkau harta dan anak?’ Katanya, ‘Ya.’
Lalu Allah berfirman, ‘Lalu manakah (amalan) yang telah engkau siapkan untukmu?’
Ia melihat apa yang di depannya dan sesudahnya. Ia pun melihat ke arah kanan dan kirinya, namun tidak dia dapati apa pun yang menyelamatkannya dari panasnya neraka.”
Rasulullah bersabda, “Jagalah diri kalian dari api neraka meskipun dengan separuh kurma. Jika tidak bisa, dengan kalimat yang baik….” (HR. at-Tirmidzi dalam as-Sunan [5/no. 2953] dan Ahmad dalam al-Musnad [4/378]. Al-Albani berkata dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, “Hasan.”)
Washallallahu ‘ala Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
[1] Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ أَبِي أَوْفَى
“Ya Allah, berilah ampunan kepada keluarga Abu Aufa,” maksudnya adalah doa untuk Abu Aufa. Ath-Thahawi menjelaskan dalam Musykilul Atsar bahwa orang Arab biasa menyebut satu orang tertentu dengan alu fulan (keluarga fulan).
[2] An-Nawawi berkata, “Ulama bersepakat bahwasanya boleh bershalawat untuk selain para nabi jika diikutkan kepada mereka, seperti
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَتِهِ وَأَتْبَاعِهِ
“Semoga Allah memberikan shalawat kepada Muhammad (shallallahu alaihi wa sallam), keluarga Muhammad (shallallahu alaihi wa sallam), para istri, keturunan, dan pengikut beliau.”
Sesungguhnya, salaf tidak melarang shalawat (yang seperti ini) dengan dalil adanya perintah bershalawat seperti ini dalam tasyahud shalat dan lainnya.” (al-Minhaj)
[3] Yang nabi dan rasul tidak termasuk di dalamnya. (-pen.)
[4] Mereka mengkhususkan shalawat untuk Ali. Sementara itu, yang lebih mulia dari ‘Ali radhiallahu anhu seperti Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu anhu mereka mengharamkan shalawat untuknya. Bahkan, mereka mencela dan mengafirkannya.