Mengenal lebih dalam iman dan rukun-rukunnya menjadi keharusan. Sebab, memahami keimanan secara benar akan berdampak langsung bagi kehidupan seseorang.
Dalam kitab-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala telah menyebutkan banyak sekali hal tentang keimanan, antara lain definisinya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ءَامَنَ ٱلرَّسُولُ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡهِ مِن رَّبِّهِۦ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَۚ كُلٌّ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَمَلَٰٓئِكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ لَا نُفَرِّقُ بَيۡنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِۦۚ وَقَالُواْ سَمِعۡنَا وَأَطَعۡنَاۖ غُفۡرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيۡكَ ٱلۡمَصِيرُ
“Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya. Demikian pula orang-orang yang beriman semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan), ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya.’ Dan mereka mengatakan, ‘Kami dengar dan kami taat.’ (Mereka berdoa), ‘Ampunilah kami, ya Rabb kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali’.” (al-Baqarah: 285)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ ءَامِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَٱلۡكِتَٰبِ ٱلَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ وَٱلۡكِتَٰبِ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ مِن قَبۡلُۚ وَمَن يَكۡفُرۡ بِٱللَّهِ وَمَلَٰٓئِكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلَۢا بَعِيدًا
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (an-Nisa: 136)
Baca juga: Pembatal-Pembatal Keimanan
Kemudian, Allah subhanahu wa ta’ala juga menjelaskan bahwa keimanan adalah karunia yang Dia berikan untuk Rasul-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَكَذَٰلِكَ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ رُوحًا مِّنۡ أَمۡرِنَاۚ مَا كُنتَ تَدۡرِي مَا ٱلۡكِتَٰبُ وَلَا ٱلۡإِيمَٰنُ وَلَٰكِن جَعَلۡنَٰهُ نُورًا نَّهۡدِي بِهِۦ مَن نَّشَآءُ مِنۡ عِبَادِنَاۚ وَإِنَّكَ لَتَهۡدِيٓ إِلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسۡتَقِيمٍ
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apa Al-Kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apa iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu dengan cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (asy-Syura: 52)
Selanjutnya, Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan balasan yang diperoleh orang-orang beriman di dunia dan di akhirat. Adapun balasan di dunia, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ سَيَجۡعَلُ لَهُمُ ٱلرَّحۡمَٰنُ وُدًّا
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan ke dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (Maryam: 96)
Adapun balasan di akhirat, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَنُكَفِّرَنَّ عَنۡهُمۡ سَئَِّاتِهِمۡ وَلَنَجۡزِيَنَّهُمۡ أَحۡسَنَ ٱلَّذِي كَانُواْ يَعۡمَلُونَ
“Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh, benar-benar akan Kami hapuskan dari mereka dosa-dosa mereka dan benar-benar akan Kami beri mereka balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” (al-Ankabut: 7)
Baca juga: Syarat Diterimanya Amal
Iman adalah agama. Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah membagi agama menjadi tiga tingkatan. Dalam sebuah hadits, Umar ibnul Khaththab radhiallahu anhu berkata,
Ketika kami duduk-duduk di samping Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tiba-tiba datang seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih dan berambut sangat hitam. Pada dirinya tidak tampak bekas melakukan perjalanan jauh. Namun, tak seorang pun di antara kami mengenalnya.
Ia pun duduk di hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan menempelkan kedua lututnya ke kedua lutut beliau sambil meletakkan dua telapak tangannya pada kedua paha beliau. Lantas, dia bertanya, “Hai Muhammad, beritahu aku tentang Islam.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah jika engkau punya kemampuan untuk itu.”
Laki-laki itu berkata, “Engkau benar.”
Kami merasa heran terhadapnya, ia yang bertanya dan ia juga yang membenarkannya.
Selanjutnya, dia bertanya, “Beritahu aku tentang iman.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, kepada hari akhir, dan beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk.”
Laki-laki itu kembali membenarkannya. Kemudian, dia bertanya, “Beritahukan kepadaku tentang ihsan.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “(Ihsan) adalah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, Dia melihatmu.” (HR. Muslim no. 93)
Hadits ini menerangkan tentang hakikat keimanan, yaitu beriman terhadap rukun-rukunnya yang enam.
Agar kita dapat mengetahui dampak keimanan dalam kehidupan seorang muslim atau masyarakatnya, kita harus mengetahui makna-makna rukun iman yang enam ini.
Beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah hubungan yang kuat antara manusia dan Sang Penciptanya. Hubungan itu tertanam di dalam hati. Hati adalah sesuatu yang berharga yang dimiliki oleh manusia, sedangkan yang paling berharga dalam hati manusia adalah keimanan.
Oleh sebab itulah, hidayah iman merupakan nikmat yang paling besar. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَمُنُّونَ عَلَيۡكَ أَنۡ أَسۡلَمُواْۖ قُل لَّا تَمُنُّواْ عَلَيَّ إِسۡلَٰمَكُمۖ بَلِ ٱللَّهُ يَمُنُّ عَلَيۡكُمۡ أَنۡ هَدَىٰكُمۡ لِلۡإِيمَٰنِ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ
Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu. Sebenarnya, Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan, jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (al-Hujurat: 17)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
قَالَتِ ٱلۡأَعۡرَابُ ءَامَنَّاۖ قُل لَّمۡ تُؤۡمِنُواْ وَلَٰكِن قُولُوٓاْ أَسۡلَمۡنَا وَلَمَّا يَدۡخُلِ ٱلۡإِيمَٰنُ فِي قُلُوبِكُمۡۖ وَإِن تُطِيعُواْ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ لَا يَلِتۡكُم مِّنۡ أَعۡمَٰلِكُمۡ شَيًۡٔاۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Orang-orang Arab badui itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk’.” Sebab, iman itu belum masuk ke dalam hatimu, dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalanmu, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (al-Hujurat: 14)
Beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala meliputi:
Secara pasti, fitrah dan akal manusia mengakui eksistensi Allah sebagai pencipta dan tidak mungkin segala sesuatu yang ada terjadi dengan sendirinya. Terlebih lagi, segala sesuatu yang ada ini, yang sudah tertata sedemikian rupa, pada asalnya dalam keadaan tidak ada. Jadi, tidak akan mungkin tercipta begitu saja dalam keadaan sudah sempurna. Ini semua memberikan kepastian yang jelas akan wujud Allah subhanahu wa ta’ala, Rabb semesta alam.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَمۡ خُلِقُواْ مِنۡ غَيۡرِ شَيۡءٍ أَمۡ هُمُ ٱلۡخَٰلِقُونَ ٣٥ أَمۡ خَلَقُواْ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَۚ بَل لَّا يُوقِنُونَ ٣٦ أَمۡ عِندَهُمۡ خَزَآئِنُ رَبِّكَ أَمۡ هُمُ ٱلۡمُصَۜيۡطِرُونَ ٣٧
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Rabbmu atau merekakah yang berkuasa?” (ath-Thur: 35—37)
Kata rububiyah adalah nisbah kepada nama Allah ‘ar-Rabb’, yang bermakna Pendidik, Penolong, Pemelihara, Yang Merajai, dan sebagainya.
Makna beriman kepada rububiyah Allah ialah beriman bahwa Allah Maha Pencipta, Yang Menguasai dan Mengatur segala urusan, Menghidupkan dan Mematikan, serta perbuatan-perbuatan Allah lainnya. Jadi, keimanan kepada rububiyah Allah ini mengandung beberapa hal, antara lain beriman terhadap perbuatan-perbuatan Allah secara umum, beriman terhadap qadha dan qadar Allah, dan beriman terhadap keesaan Dzat-Nya. (al-Madkhal li ad-Dirasatil ‘Aqidah al-Islamiyah hlm. 87)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَلَا لَهُ ٱلۡخَلۡقُ وَٱلۡأَمۡرُۗ تَبَارَكَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta alam.” (al-A’raf: 54)
وَلَئِن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ لَيَقُولُنَّ خَلَقَهُنَّ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡعَلِيمُ
Sungguh, jika kamu tanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Niscaya mereka akan menjawab, “Semuanya diciptakan oleh Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (az-Zukhruf: 9)
وَلَئِن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَهُمۡ لَيَقُولُنَّ ٱللَّهُۖ فَأَنَّىٰ يُؤۡفَكُونَ
Sungguh, jika kamu bertanya kepada mereka, siapakah yang menciptakan mereka; niscaya mereka menjawab, “Allah.” Maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)? (az-Zukhruf: 87)
Iman terhadap uluhiyah Allah subhanahu wa ta’ala maknanya ialah meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya sembahan yang benar, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dengan kata lain, mengesakan Allah dalam hal ibadah dan ketaatan.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِلَٰهُكُمۡ إِلَٰهٞ وَٰحِدٌۖ لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلرَّحۡمَٰنُ ٱلرَّحِيمُ
“Dan Ilah kalian adalah Ilah Yang Maha Esa, tidak ada ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah: 163)
ذَٰلِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدۡعُونَ مِن دُونِهِۦ هُوَ ٱلۡبَٰطِلُ وَأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡعَلِيُّ ٱلۡكَبِيرُ
“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (sembahan) Yang Haq, dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah adalah yang batil, dan sesungguhnya Allah Dialah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (al-Hajj: 62)
Adapun makna beriman terhadap asma wa shifat-Nya adalah meyakini dan menetapkan nama-nama-Nya yang paling baik dan sifat-sifat-Nya yang paling tinggi, yang terdapat dalam kitab Allah dan Sunnah Rasulullah.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلِلَّهِ ٱلۡأَسۡمَآءُ ٱلۡحُسۡنَىٰ فَٱدۡعُوهُ بِهَاۖ
“Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu.” (al-A’raf: 180)
لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَيۡءٌۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syura: 11)
Keimanan yang benar kepada Allah subhanahu wa ta’ala akan menumbuhkan rasa cinta yang kuat kepada-Nya dan mengagungkan-Nya. Selain itu, akan tampak sekali dalam diri manusia rasa khasyah dan takut dari-Nya serta selalu berharap kepada-Nya, yang kemudian mendorongnya untuk beribadah.
Sebagian salaf berkata, “Siapa yang menyembah Allah subhanahu wa ta’ala karena rasa cinta semata, dia seorang zindik. Siapa yang menyembah-Nya karena penuh harap (raja`) semata, dia seorang pengikut Murjiah. Adapun yang menyembah-Nya karena rasa takut saja, dia pengikut Khawarij. Adapun yang menyembah-Nya karena cinta, takut, dan penuh harap, dialah seorang mukmin ahli tauhid.” (al-Madkhal li ad-Dirasatil ‘Aqidah al-Islamiyah hlm. 120)
Kata malaikat adalah bentuk jamak dari “malak”. Asal katanya adalah ma`lak, dari kata al-alukah yang bermakna delegasi. (Shahih al-Bukhari dengan syarah Imam al-Kirmani, 1/194)
Iman kepada malaikat meliputi keimanan terhadap seluruh malaikat, baik yang diketahui nama dan tugasnya maupun tidak. Demikian juga mengimani bahwasanya mereka adalah makhluk yang Allah ciptakan dari cahaya dengan tujuan agar beribadah kepada-Nya dan menjalankan perintah-Nya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَهُۥ مَن فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ وَمَنۡ عِندَهُۥ لَا يَسۡتَكۡبِرُونَ عَنۡ عِبَادَتِهِۦ وَلَا يَسۡتَحۡسِرُونَ ١٩ يُسَبِّحُونَ ٱلَّيۡلَ وَٱلنَّهَارَ لَا يَفۡتُرُونَ ٢٠
“Dan (malaikat-malaikat) yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada pula merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” (al-Anbiya: 19—20)
Ketika seorang muslim meyakini adanya makhluk yang disebut malaikat dengan keyakinan yang benar, akan tertanam dalam jiwanya pengetahuan terhadap keagungan Allah, kekuatan, dan kekuasaan-Nya. Sebab, kebesaran yang ada pada makhluk adalah gambaran akan kebesaran al-Khaliq. Selanjutnya, akan muncul pula darinya rasa syukur karena perhatian Allah atas segenap Bani Adam. Allah subhanahu wa ta’ala menugasi para malaikat untuk menjaga manusia dan mencatat amalannya serta kemaslahatan lainnya. Di samping itu, tumbuh pula kecintaan kepada para malaikat atas apa yang mereka lakukan berupa beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. (Tsalatsatul Ushul dengan syarah Syaikh Ibnu Utsaimin hlm. 92)
Iman kepada kitab-kitab Allah subhanahu wa ta’ala meliputi keimanan akan beberapa hal, di antaranya:
Kitab-kitab sebelum Al-Qur’an semuanya telah dimansukh (dihapus hukumnya) oleh Al-Qur’an. Karena itu, tidak boleh mengamalkan hukum yang ada pada kitab-kitab tersebut kecuali yang sahih dan diakui oleh Al-Qur’an.
Seorang hamba akan semakin menyadari betapa besar perhatian Allah kepada makhluk-Nya, dengan menurunkan kitab yang menjadi petunjuk bagi setiap kaum. Inilah dampak terbesar dari keimanan kepada seluruh kitab-Nya. Di samping itu, ada hikmah yang nyata berupa syariat yang Allah subhanahu wa ta’ala tetapkan untuk setiap kaum yang sesuai dengan keadaan mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
لِكُلٍّ جَعَلۡنَا مِنكُمۡ شِرۡعَةً وَمِنۡهَاجًاۚ
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (al-Maidah: 48)
Para rasul Allah subhanahu wa ta’ala adalah orang-orang pilihan yang diutus kepada kita untuk menyampaikan syariat-Nya. Karena itu, beriman kepada para rasul berarti;
Tanpa kehadiran seorang rasul, tak seorang pun di antara manusia yang mengetahui bagaimana cara menyembah Allah subhanahu wa ta’ala dan menuju jalan-Nya yang lurus. Padahal, semua itu merupakan tugas yang harus dijalankan oleh segenap manusia.
Keimanan kepada para rasul juga membuat seorang muslim menguatkan rasa syukur akan nikmat yang besar ini. Sebab, dia mengetahui kasih sayang dan perhatian Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya. Rasa cinta, pujian, dan sanjungan yang pantas akan mengalir kepada para rasul karena mereka adalah utusan Allah, beribadah kepada-Nya, menyampaikan risalah-Nya, dan penasihat bagi umatnya.
Beriman kepada hari akhir maknanya adalah keyakinan yang pasti bahwa hari akhir itu benar adanya, tiada keraguan tentangnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَۚ لَيَجۡمَعَنَّكُمۡ إِلَىٰ يَوۡمِ ٱلۡقِيَٰمَةِ لَا رَيۡبَ فِيهِۗ وَمَنۡ أَصۡدَقُ مِنَ ٱللَّهِ حَدِيثًا
“Allah, tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan kamu di hari kiamat, yang tidak ada keraguan terjadinya. Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?” (an-Nisa: 87)
Keimanan ini mencakup iman terhadap hari kebangkitan setelah kematian dan keimanan kepada semua yang akan terjadi pada hari itu.
Beriman kepada hari akhir tentu saja menjadi motivasi tersendiri bagi seorang muslim untuk semakin senang dan bersemangat melakukan berbagai ketaatan, sebagai puncak harapan agar mendapatkan pahala pada hari itu. Adanya siksa dan ancaman pada hari itu juga membuat seorang muslim takut dan lari dari kemaksiatan di dunia. Kemudian, akan muncul kebahagiaan dalam dirinya ketika mengingat hari akhir sebagai kenikmatan dan perhiasan pengganti perhiasan dunia. (Taisirul Wushul hlm. 81)
Seseorang yang beriman kepada takdir, maknanya dia harus mengimani bahwa
Dalil-dalil tentang hal ini banyak, Allah azza wa jalla telah menyebutkan dalam kitab-Nya.
Ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala atas makhluk-Nya pasti terjadi. Oleh karena itu, iman kepada takdir menuntut seorang muslim untuk bersandar sepenuhnya kepada Allah subhanahu wa ta’ala ketika melakukan suatu sebab dan tidak bersandar kepada sebab itu sendiri.
Seorang muslim tidak akan memiliki perasaan ujub tatkala mampu meraih apa yang diinginkan. Sebab, pencapaiannya tersebut semata-mata nikmat dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Hatinya pun akan menjadi tenang dan lega manakala takdir Allah subhanahu wa ta’ala menimpanya. Tidak menjadi goyah keimanannya akibat lenyapnya berbagai hal yang dicintai dan datangnya hal yang dibenci. Sebab, dia yakin bahwa semua itu terjadi dengan takdir Allah azza wa jalla.
Wallahu a’lam.