Buku (agama) adalah pengikat ilmu. Adagium demikian memang tidak ada yang mengingkarinya. Namun, tak semua yang ada di buku adalah ilmu dan tak semua buku layak dibaca. Sebab, di tengah-tengah kita, banyak bertebaran buku-buku ‘agama’ yang justru menyesatkan.
Bertebarannya beragam buku sesat di tengah-tengah umat merupakan bahaya laten yang mesti diwaspadai. Terlebih jika buku-buku itu dikemas dan diberi judul menarik serta berkesan ilmiah. Tanpa terasa, pembaca pun akan terbawa, terpola oleh isi buku, dan ujung-ujungnya terjerumus ke dalam kesesatan.
Pasalnya, buku-buku sesat merupakan salah satu media paling efektif yang digunakan oleh musuh-musuh Islam untuk merusak agama umat dan menyesatkan mereka dari jalan kebenaran.
Asy-Syaikh Muhammad bin Nashir al-’Uraini rahimahullah berkata, “Sesungguhnya, di antara media terkuat yang mereka gunakan untuk menyebarkan pemikiran menyimpang dan menyesatkan hamba-hamba Allah adalah buku-buku yang dihiasi dengan judul-judul menarik untuk mengesankan kepada para pembaca bahwa ia baik, padahal isinya racun yang mematikan.” (at-Tahdzir Minat Tasarru’ fit Takfir, hlm. 51)
Mungkin Anda terheran-heran, seraya bergumam, “Apalah arti sebuah buku, benda yang tak mampu berbicara apalagi berceramah. Mungkinkah ia menjadi salah satu media paling efektif untuk merusak agama umat?”
Sebagai jawabannya, simaklah keterangan berikut:
Dia akhirnya memerintahkan penerjemahan buku-buku sesat Yunani kuno. Bahkan, demi programnya ini, ia datangkan para penerjemah dari berbagai negeri hingga terciptalah terjemahan dalam bahasa Arab. Akibatnya kaum muslimin disibukkan dengan (membaca) buku-buku sesat tersebut.
Al-Ma`mun sendiri yang memprakarsai program tersebut semakin larut dan terbawa buku-buku sesat itu hingga majelisnya pun didominasi gerombolan Jahmiyah (yang banyak mengandalkan akal dalam memahami agama,-pen.) yang pada masa Khalifah al-Amin, kakak al-Ma`mun, justru menjadi buronan. Ada yang tertangkap kemudian dipenjara, ada pula yang dibunuh.
Orang-orang inilah yang meracuni dan membisikkan bid’ah Jahmiyah ke telinga dan hati al-Ma`mun, hingga merasuklah bid’ah itu pada dirinya dan dianggap sebagai kebaikan. Bahkan, dia mengajak manusia kepada bid’ah tersebut dan menghukum siapa saja yang tidak menyambut ajakannya.” (ash-Shawa’iq al-Mursalah, 1/148)
Ia berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdillah (al-Imam Ahmad) tentang al-Karabisi dan pemikiran yang ia lontarkan.
Muka beliau pun tampak masam seraya mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu berkata, “Orang ini telah menyuarakan pemikiran Jahmiyah … Sesungguhnya kesesatan yang menimpa mereka itu disebabkan buku-buku sesat yang mereka susun. Mereka tinggalkan atsar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, kemudian mendalami buku-buku sesat tersebut.” (Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir Rijal wal Kutub wath Thawaif karya asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi ‘Umair al-Madkhali hlm. 132)
Pembaca, dari keterangan di atas dapatlah diambil pelajaran yang sangat berharga bahwa buku-buku sesat sangat berbahaya bagi umat. Buku-buku tersebut merusak agama umat dan dapat menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan. Sampai-sampai al-Ma`mun yang ketika itu menjabat khalifah dan sejak kecil hafal al-Qur`an menjadi sesat akibat buku-buku sesat Yunani Kuno dan buku-buku sesat karya tokoh-tokoh Jahmiyah pada masanya.
Setiap muslim berkewajiban untuk membentengi dirinya dari kesesatan dan segala bentuk medianya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Katakanlah, ‘Hai ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agama kalian. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat sebelumnya (sebelum kedatangan Nabi Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka telah tersesat dari jalan yang lurus.” (al-Ma`idah: 77)
Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dikatakan oleh sahabat Hudzaifah bin al-Yaman radhiallahu ‘anhu,
“Orang-orang (para sahabat) selalu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan. Adapun aku selalu bertanya kepada beliau tentang kejelekan, karena aku khawatir kejelekan itu akan menimpaku.
Aku pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu tenggelam dalam kehidupan jahiliyah dan kejelekan, kemudian Allah menganugerahkan kepada kami kebaikan (Islam) ini. Apakah setelah kebaikan ini akan ada kejelekan?’
Beliau bersabda, ‘Ya.’
Aku pun berkata, ‘Dan apakah setelah kejelekan itu akan ada kebaikan lagi?’
Beliau bersabda, ‘Ya, namun padanya terdapat kesuraman (pergeseran dalam agama).’
Aku berkata, ‘Apa bentuk kesuraman itu?’
Beliau bersabda, ‘Adanya suatu kaum yang berprinsip dengan selain Sunnahku dan mengambil petunjuk dengan selain petunjukku. Engkau mengetahui apa yang datang dari mereka dan bisa mengingkari.’
Aku pun berkata, ‘Apakah setelah adanya kebaikan itu akan ada kejelekan lagi?’
Beliau bersabda, ‘Ya, munculnya sekelompok dai yang berada di pintu-pintu Jahannam. Barang siapa menyambut ajakan mereka, niscaya mereka akan melemparkannya ke dalam Jahannam itu.’
Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, apa nasihatmu jika aku mendapati kondisi seperti itu?’
Beliau bersabda, ‘Berpegangteguhlah dengan jamaah kaum muslimin dan imam (pemimpin) mereka.’
Aku berkata, ‘Bagaimana jika mereka (kaum muslimin) tidak mempunyai jamaah dan imam?’
Beliau bersabda, ‘Hendaknya engkau tinggalkan semua kelompok-kelompok (yang menyeru kepada kesesatan) itu, walaupun engkau terpaksa harus menggigit akar pohon, sampai kematian mendatangimu dalam keadaan engkau seperti itu.’ (HR. al-Bukhari, no. 7084 dan Muslim no. 1847, dengan lafadz Muslim)
Adapun para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah seperti yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam gambarkan dalam sabdanya,
“Ilmu agama ini akan terus dibawa oleh orang-orang adil (terpercaya) dari tiap-tiap generasi, yang selalu berjuang membersihkan agama ini dari pemutarbalikan pemahaman agama yang dilakukan orang-orang yang menyimpang, kedustaan orang-orang sesat yang mengatasnamakan agama, dan penakwilan agama yang salah yang dilakukan oleh orang-orang jahil.” (HR. al-Khathib al-Baghdadi dalam Syaraf Ash-habil Hadits hlm. 11; asy-Syaikh al-Albani menukilkan penilaian sahih dari al-Imam Ahmad dan al-’Ala`i dalam Misykatul Mashabih)
Karena itu, ketika merasakan adanya bahaya terselubung dari buku-buku sesat tersebut, mereka tampil untuk membentengi umat dari kesesatan-kesesatannya.
Hal itu bisa dilihat dari sikap dan pernyataan mereka berikut ini:
“Asy-Syaikh Muwaffaquddin Ibnu Qudamah rahimahullah melarang (umat, -pen.) membaca buku-buku ahlul bid’ah. Beliau berkata, ‘Dahulu salafus shalih melarang duduk-duduk bersama ahlul bid’ah, membaca buku mereka, dan mendengarkan ucapan mereka’.” (al-Adab asy-Syar’iyah, dinukil dari kitab Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir Rijal wal Kutub wath Thawaif hlm. 132)
Aku sampaikan kepada al-Imam Ahmad, “Aku telah meminjam sebuah buku yang di dalamnya banyak sekali kejelekan. Setujukah Anda apabila aku merobek atau membakarnya?”
Beliau menjawab, “Ya.”
Aku pun membakarnya. (ath-Thuruq al-Hukmiyah, karya Ibnul Qayyim hlm. 282)
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat di tangan ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu, sebuah buku yang disadur dari Taurat. Ketika itu ‘Umar merasa takjub akan kesesuaiannya dengan al-Qur`an. Memerahlah wajah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (karena marah) hingga akhirnya ‘Umar membawa buku tersebut lalu memasukkannya ke dalam tungku.
Bagaimana halnya seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat buku-buku yang ditulis sepeninggal beliau yang menyelisihi kandungan al-Qur`an dan as-Sunnah? Wallahul Musta’an.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah memerintahkan siapa saja yang menulis sesuatu dari beliau selain al-Qur`an agar menghapusnya, walaupun akhirnya beliau mengizinkan penulisan as-Sunnah dan tidak mengizinkan selain itu. Semua buku yang menyelisihi Sunnah Nabi tidaklah diperbolehkan. Sepantasnya buku-buku tersebut dihapus atau dimusnahkan karena demikian berbahaya bagi umat.
Para sahabat pernah membakar seluruh mushaf yang menyelisihi mushaf ‘Utsmani karena kekhawatiran mereka akan perselisihan umat. Bagaimanakah apabila mereka melihat buku-buku sesat yang dapat menjerumuskan umat kepada perselisihan dan perpecahan?!”
Kemudian Ibnul Qayyim melanjutkan perkataannya,
“Maksud kami, buku-buku yang mengandung kedustaan dan kebid’ahan itu harus dimusnahkan. Memusnahkannya lebih utama daripada memusnahkan alat-alat musik dan bejana-bejana khamar. Sebab, bahaya buku-buku itu jauh lebih besar daripada bahaya alat-alat musik dan bejana khamar. Tidak ada denda bagi yang memusnahkannya, sebagaimana pula tidak ada denda bagi siapa saja yang memecahkan bejana-bejana khamar dan merusak tempat-tempat penyimpanan khamar lainnya.” (ath-Thuruq al-Hukmiyah hlm. 282)
“Aku telah menyaksikan Abu Zur’ah ar-Razi ditanya tentang al-Harits al-Muhasibi dan buku-buku karya tulisnya. Beliau menjawab, ‘Hati-hatilah engkau dari buku-buku itu, karena ia merupakan buku-buku bid’ah dan sesat. Cukuplah bagimu hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena engkau akan mendapati (di dalam hadits-hadits itu) apa yang memuaskanmu.’
Kemudian disampaikanlah kepada Abu Zur’ah bahwa di dalam buku-buku itu terdapat ibrah (pelajaran berharga). Beliau pun menjawab, ‘Barang siapa tidak bisa mendapatkan ibrah dari al-Qur`an maka dia tidak akan bisa mendapatkan ibrah dari buku-buku tersebut.’
Apakah telah sampai pada kalian bahwa al-Imam Sufyan ats-Tsauri, al-Imam Malik, dan al-Imam al-Auza’i pernah menulis buku-buku semacam ini? Betapa cepatnya umat manusia condong kepada kepada kebid’ahan!” (Mizanul I’tidal fi Naqdir Rijal karya al-Imam adz-Dzahabi, 1/431)
“Itu baru semacam al-Harits! Lalu bagaimanakah jika Abu Zur’ah melihat buku-buku para mutaakhirin, seperti kitab al-Quut karya Abu Thalib? Itu baru buku semacam al-Quut!
Bagaimanakah jika beliau melihat kitab Bahjatul Asrar karya Ibnu Jahdham dan kitab Haqaiq at-Tafsir karya as-Sulami?! Sungguh, akan copot jantungnya.
Bagaimanakah jika beliau melihat karya Abu Hamid ath-Thusi (al-Ghazali) yang tidak jauh dari itu dan sarat dengan hadits-hadits palsu di dalam kitab Ihya’ Ulumiddin?
Bagaimanakah jika beliau melihat kitab al-Ghunyah karya Abdul Qadir?
Bagaimana pula jika beliau melihat Fushushul Hikam dan al-Futuhat al-Makkiyah?! (Mizanul I’tidal, 1/431)
“Semoga Allah merahmati al-Imam adz-Dzahabi. Bagaimana seandainya beliau melihat kitab semacam ath-Thabaqat karya asy-Sya’rani, Jawahirul Ma’ani dan Bulughul Amani fi Faidhi Abil ‘Abbas at-Tijani karya ‘Ali bin Harazim al-Fasi, Khazinatul Asrar karya Muhammad Haqqi an-Nazili, Nurul Abshar karya asy-Syablanji, Syawahidul Haq fi Jawazi al-Istighatsah bi Sayyidil Khalqi dan kitab Jami’ Karamatil Auliya karya an-Nabhani?!
Bagaimanakah jika beliau melihat kitab Tablighi Nishab dan buku karangan tokoh-tokoh tarekat Sufi selainnya?!
Bagaimanakah jika beliau melihat karya-karya al-Ghazali masa kini yang menyerang Sunnah Nabi, melecehkan para pembawanya dan para pemuda Salafi yang berpegang teguh dengannya, serta menikam mereka dengan tuduhan-tuduhan yang sangat keji dan julukan-julukan yang sangat jelek?!
Bagaimanakah beliau jika melihat karya-karya al-Maududi dan segala bentuk penyimpangannya, baik dalam hal akidah, akal, dan suluk?!
Bagaimanakah jika beliau melihat karya-karya al-Qaradhawi yang membela ahlul bid’ah dan memperjuangkan kebid’ahan, bahkan mempromosikan prinsip-prinsip kebid’ahan tersebut? Yusuf al-Qaradhawi sejalan dengan al-Ghazali masa kini, bahkan lebih berbahaya!
Bagaimanakah jika beliau melihat sekelompok dai pada zaman kita ini, yang justru mendalami buku-buku sesat, bahkan memperjuangkan dan membela kelompok-kelompok sesat dan tokoh-tokohnya dari kalangan ahlul bid’ah?!
Bagaimanakah jika beliau melihat karya-karya Sa’id Hawwa dalam hal kesufian dan politik yang jauh menyimpang?!
Bagaimanakah jika beliau melihat karya-karya al-Kautsari dan murid-muridnya, Abu Ghuddah dkk., dari kalangan gembong (bid’ah, -pen.) yang sangat fanatik kepada sufi dan mazhab?!
Bagaimanakah jika beliau melihat karya-karya al-Buthi dan sejenisnya dari musuh-musuh as-Sunnah, musuh-musuh madrasah tauhid, dan madrasah Ibnu Taimiyah?!
Bagaimanakah jika beliau melihat umat ini bahkan kalangan pemudanya yang condong kepada tauhid tetapi tidak mengerti manhaj salaf, bahkan tidak mengerti al-Qur’an dan as-Sunnah, dan justru menyambut baik buku-buku yang menyesatkan tersebut?!
Duhai kiranya… Adakah orang-orang yang tampil membantah buku-buku sesat tersebut dengan misi membentengi agama dan akidah para pemuda dari kesesatan buku-buku itu?!
Duhai kiranya… Adakah orang-orang yang menjaga agama ini dari bidikan panah tokoh-tokoh sesat itu dan tuduhan-tuduhan keji mereka yang sangat keterlaluan?! (Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir Rijal wal Kutub wath Thawaif hlm. 132)
“Akan tetapi, hadits ini juga diriwayatkan oleh para ulama yang menulis tentang amalan-amalan pagi dan petang, seperti Ibnu Sunni dan Abu Nu’aim. Di dalam buku-buku semacam ini banyak sekali hadits-hadits palsu yang tidak boleh dijadikan sandaran dalam syariat, menurut kesepakatan ulama.
Hadits ini juga diriwayatkan Abusy Syaikh al-Ashbahani di dalam kitabnya Fadhail A’mal, dan di dalam kitab ini juga terdapat hadits-hadits dusta dan palsu yang cukup banyak.” (al-Qa’idah al-Jalilah fit Tawassul wal Wasilah hlm. 164—165)
Masih banyak lagi buku-buku yang diperingatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam tulisan dan fatwa beliau. Hal itu semata-mata untuk membentengi umat dari berbagai kesesatan.
Lihatlah bantahan al-Imam ad-Darimi terhadap Bisyr al-Marisi, juga bantahan Ibnu Abdil Hadi -salah seorang murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah- terhadap as-Subki.
Adapun bantahan-bantahan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap ahlul bid’ah tidak terhitung banyaknya. Beliau benar-benar seperti pedang terhunus bagi mereka. Lihatlah kitabnya ar-Raddu ‘alal Akhna’i dan ar-Raddu ‘alal Bakri, bantahannya terhadap Imamul Haramain dalam kitab Dar’u Ta’arudhil ‘Aqli wan Naqli, bantahan terhadap ar-Razi dalam kitab Talbisul Jahmiyyah, dan bantahannya terhadap al-Ghazali dan Ibnul Muthahhar dalam kitab Minhajus Sunnah.
Demikianlah secara berkesinambungan hingga zaman kita ini, para ulama as-Sunnah selalu mengangkat tinggi bendera as-Sunnah dan membelanya, memerangi bid’ah, memperingatkan (umat) dari ahlul bid’ah dan buku-buku mereka.
Segala puji hanya milik Allah yang telah menjadikan di zaman kita ini orang-orang yang menjaga kemurnian agama dan membela akidah salafiyah sehingga tidak tercemari oleh berbagai kotoran.
Perhatikanlah kitab-kitab asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, penuh dengan bantahan-bantahan terhadap ahlul bid’ah. Perhatikanlah bantahan beliau terhadap al-Kautsari dan muridnya, Abdul Fattah Abu Ghuddah, serta ash-Shabuni dalam hal sifat-sifat Allah! Anda akan mendapatinya dengan jelas di dalam kitab Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah.
Al-Mu’allimi juga membantah al-Kautsari dalam kitab at-Tankil.
Perhatikan pula bantahan-bantahan asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah terhadap ahlul bid’ah, seperti bantahannya terhadap Abu Ghuddah di dalam mukadimah kitab al-’Aqidah ath-Thahawiyah dan kitab beliau Kasyfun Niqab, juga bantahan beliau terhadap Muhammad al-Buthi. Kaset-kaset beliau pun penuh dengan diskusi tentang ahlul bid’ah serta membongkar tipu daya dan kerancuan-kerancuan mereka.
Demikian pula bantahan-bantahan asy-Syaikh Shalih al-Fauzan terhadap ahlul bid’ah, seperti bantahan beliau terhadap al-Buthi dalam kitab as-Salafiyyah dan bantahan beliau terhadap ash-Shabuni.
Bantahan-bantahan asy-Syaikh al-‘Allamah Hamud at-Tuwaijiri rahimahullah terhadap ahlul bid’ah pun sangat banyak. Di antaranya kitab ar-Raddul Qawi ‘Alal Mujrimil Atsim, al-Qaulul Baligh Fit Tahdzir Min Jama’atit Tabligh, dan al-Ihtijaj Bil Atsar ‘Ala Man Ankara al-Mahdi al-Muntazhar.
Lihatlah apa yang telah ditulis oleh asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali dalam menyingkap akidah Sayyid Quthub dan bantahan terhadap orang-orang yang berlebihan terhadapnya dalam empat kitab yang sangat berharga: (1) Adhwa Islamiyah ‘Ala ‘Aqidati Sayyid Quthub wa Fikrihi, (2) Matha’in Sayyid Quthub Fi Ash-habi Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, (3) al-‘Awashim Mimma Fi Kutubi Sayyid Quthub Minal Qawashim, dan (4) al-Haddul Fashil Bainal Haqqi wal Bathil.
Masih banyak lagi ulama selain mereka yang membongkar buku-buku sesat, siang dan malam, baik secara sembunyi dan terang-terangan, dengan mengharap pahala dari Allah azza wa jalla. (Untuk lebih rincinya, silakan lihat Majalah Asy Syariah, edisi “al-Jarh wat Ta’dil”)
Belakangan ini marak al-muwazanah, sebuah metode dalam mengkritisi buku-buku dan yang lainnya. Metode ini mengharuskan penyebutan kebaikan di samping penyebutan kesalahan/kesesatannya. Metode ini diusung para tokoh Sururiyah semacam Salman al-’Audah dalam bukunya Akhlaqud Da’iyah dan Ahmad bin Abdurrahman ash-Shuwayyan dalam bukunya Manhaj Ahlis Sunnah Wal Jama’ah fi Taqwiimir Rijali wal Muallafat, serta para pengekornya.
Dengan metode bid’ah ini, terlindungilah para penyeru kesesatan dan buku-buku sesat mereka. Umat pun bingung, karena tidak adanya ketegasan dalam menyikapi para penyeru kesesatan dan buku-buku sesat mereka itu.
Berikut ini fatwa para ulama tentang prinsip sesat al-muwazanah:
Beliau ditanya tentang manhaj Ahlus Sunnah dalam mengkritik ahlul bid’ah dan buku-buku mereka. Apakah harus menyebutkan kebaikan dan kejelekan-kejelekan mereka sekaligus, ataukah hanya menyebutkan kejelekannya saja?
Beliau menjawab, “Yang dikenal dari perkataan ulama adalah mengkritik kejelekan (kesesatan) dalam rangka peringatan (tahdzir); menjelaskan kesalahan-kesalahan yang ada pada mereka (ahlul bid’ah dan buku-buku mereka,-pen.) dalam rangka memperingatkan (umat,-pen.) dari kesalahan-kesalahan tersebut. Adapun hal-hal yang baik, semuanya tahu dan bisa diterima. Namun, tujuannya adalah memperingatkan (umat,-pen.) dari kesesatan-kesesatan mereka. Jahmiyah, Mu’tazilah, Syi’ah Rafidhah, dan sejenisnya.
Adapun jika mendesak untuk disebutkan sisi kebenaran yang ada pada mereka, boleh disebutkan. Demikian juga bila ada yang bertanya, ‘Apa sisi kebenaran yang ada pada mereka? Sisi mana saja yang sama dengan Ahlus Sunnah?’ Apabila yang ditanya mengetahui hal tersebut, boleh dia menyebutkannya. Namun, tujuan utama dan terpenting dari ini semua adalah menjelaskan kebatilan yang ada pada mereka agar si penanya berhati-hati dari kebatilan tersebut dan tidak condong kepada mereka.” (Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir Rijal wal Kutub wath Thawa`if, hlm. 8)
Beliau menjawab, “Tidak. Tidak harus demikian, tidak harus demikian! Sebab, jika engkau membaca buku-buku Ahlus Sunnah, niscaya engkau akan mendapati bahwa tujuan mereka itu adalah dalam rangka peringatan (tahdzir).
Bacalah buku-buku al-Imam al-Bukhari: Khalqu Af’alil ‘Ibad, “Kitabul Adab” dari Shahih al-Bukhari; as-Sunnah karya Abdullah bin al-Imam Ahmad, Kitab at-Tauhid karya Ibnu Khuzaimah, bantahan ‘Utsman bin Sa’id Ad-Darimi terhadap ahlil bid’ah, dan sebagainya.
Mereka menyebutkan (kebatilan-kebatilan ahlul bid’ah) dalam rangka memperingatkan umat darinya. Tujuannya tidaklah untuk menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka, tetapi memperingatkan (umat) dari kebatilan mereka.
Adapun kebaikan-kebaikan mereka tidaklah bermanfaat bagi orang yang telah kafir. Jika bid’ahnya dari jenis bid’ah yang menyebabkan kekafiran, sirnalah kebaikannya. Jika bid’ahnya tidak menyebabkan kekafiran, dia berada pada kondisi yang membahayakan.
Jadi tujuan dari itu semua adalah menerangkan kesesatan dan kesalahan yang umat wajib diperingatkan darinya.” (Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir Rijal wal Kutub wath Thawaif hlm. 9)
“Ketahuilah, semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan taufik kepada kita dan seluruh kaum muslimin, belum pernah ada sejarahnya seorang pun dari kalangan Salafus Shalih baik dari kalangan sahabat ataupun tabi’in yang mengagungkan ahlul bid’ah, mencintai mereka, dan mengajak orang untuk mencintai mereka.
Sebab, ahlul bid’ah adalah orang-orang yang berpenyakit hati. Siapa saja yang bergaul atau berhubungan dengan mereka, dikhawatirkan terjangkiti penyakit yang membahayakan itu. Seseorang yang berpenyakit dapat menularkan penyakitnya pada orang sehat, tetapi tidak sebaliknya. Maka dari itu, hati-hatilah, dan hati-hatilah dari seluruh ahlul bid’ah….” (Manhaj Ahlis Sunnah Wal Jama’ah fi Naqdir Rijal wal Kutub wath Thawaif hlm. 9—10)
“Jika engkau sebutkan kebaikan-kebaikan mereka, berarti engkau telah mengajak orang untuk mengikuti mereka. Jangan! Jangan engkau sebutkan (kebaikan-kebaikan mereka)! Sebutkanlah kesalahan/kesesatan yang ada pada mereka saja. Sebab, sesungguhnya engkau tidaklah berkewajiban untuk mempelajari keadaan mereka dan meluruskannya… Tugasmu adalah menerangkan kesesatan yang ada pada mereka agar mereka bertobat darinya dan agar orang-orang berhati-hati (dari kesesatan tersebut).
Adapun apabila engkau sebutkan kebaikan-kebaikan mereka, niscaya mereka akan berterima kasih padamu seraya mengatakan, ‘Semoga Allah membalasimu dengan kebaikan, dan inilah yang kami inginkan…’.” (Manhaj Ahlis Sunnah Wal Jama’ah fi Naqdir Rijal wal Kutub wath Thawaif hlm. 10)
Dari bahasan di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwasanya:
Wallahu a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc